BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, dapat. disimpulkan bahwa Banyuwangi merupakan wilayah yang rawan

dokumen-dokumen yang mirip
Gerakan 30 September Hal tersebut disebabkan para kader-kader Gerwani tidak merasa melakukan penyiksaan ataupun pembunuhan terhadap para

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kekerasan dan Konstruksi Keagamaan

REPRESENTASI PERAMPASAN HAK HIDUP INDIVIDU YANG DIANGGAP TAPOL DALAM NOVEL MENCOBA TIDAK MENYERAH KARYA YUDHISTIRA ANM MASSARDI

I.PENDAHULUAN. telah disaksikan tata pola penguasa negara. Jika dilihat kembali awal berdirinya Orde

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

KONFLIK KEAGAMAAN DI SUMENEP MADURA (Studi Perebutan Otoritas antara Kyai Tradisional dan Walisongo Akbar)

BAB I PNDAHULUAN. Jepang dalam Perang Raya Asia Timur tahun Namun, ditengah tengah

BAB I PENGANTAR. Syair di atas merupakan sebuah lagu Tetese Eluh karangan. Catur Arum dan Yon s Dd tahun Pada syair tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pengertian kejahatan dan kekerasan memiliki banyak definisi

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan

BAB I PENDAHULUAN. berposisi di baris depan, sebagai komunitas sosial yang memotori perwujudan

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PANDUAN WAWANCARA. Identifikasi Informan. Nomor : Nama Informan :

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

Sikap Dan Tindakan Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Premanisme Yang Terjadi Di Masyarakat. Oleh : Suzanalisa

SISTEM PENANGANAN DINI KONFLIK SOSIAL DENGAN NUANSA AGAMA

ARTI PENTING PENYUSUNAN KAMPANYE ANTI DISKRIMINASI * Oleh: Suparman Marzuki **

BAB V. Kesimpulan. dari revolusi di kerdua Negara tersebut. Bahkan di Mesir media sosial

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. dan bernegara. Hal ini terjadi karena mahasiswa adalah orang-orang yang

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu sistem. Politik, salah

MARAKNYA PERILAKU AGRESIF DI TINJAU DARI SEGI PSIKOLOGI

Memaknai Pancasila sebagai Dasar Negara*

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS

Meninjau Kembali Pembantaian 50 Tahun Lalu

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Rinrin Desti Apriani, 2013

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Eros Rosinah, 2013 Gerakan Donghak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL

VII KONFLIK DAN INTEGRASI

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

Partai PDIP dan Pembasmian PKI Melalui Supersemar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat semakin

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

2015 PERISTIWA MANGKOK MERAH (KONFLIK DAYAK DENGAN ETNIS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT PADA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan salah satu produk budaya yang diciptakan oleh

BAB IV PENUTUP. bab sebelumnya, selanjutnya pada bab ini terdapat beberapa poin

sepenuhnya mempengaruhi dinamika dalam sistem. Dengan demikian, pastinya terdapat perilaku politik yang lebih beragam pula.

9 Penyebaran hate..., Gloria Truly Estrelita, FISIP UI, 2009

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gagalnya Konstituante dalam menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) dan

PEMETAAN STANDAR ISI

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi pada tanggal 17 Agustus

KodePuslitbang : 3-WD

Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB I PENDAHULUAN. tentang dirinya sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan mengenai dinamika Partai

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu nilai dasar

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

BAB I PENGANTAR. segala bentuk dan prakteknya telah berupaya dikembangkan, namun. cacat dan kekurangan dari sistem tersebut semakin terlihat nyata.

Kebencian pada Keturunan PKI Belum Hilang, Negara Harus Minta Maaf

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyebaran hate..., Gloria Truly Estrelita, FISIP UI, ), hal. 59. Universitas Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Universitas Indonesia

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

FORMAT KASUS - KOMPREHENSIF

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam hal ini adalah Amerika. Setelah kemenangannya dalam Perang

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XI (SEBELAS) SOSIOLOGI STRUKTUR DAN DIFERENSIASI SOSIAL

TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu institusi yang bertugas mendidik

BAB VI PENUTUP. sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa : Faktor Kemenangan koalisi Suharsono-Halim dalam

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ide. Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam yaitu: dan berpengaruh terhadap kehidupan individu.

PERADABAN EROPA MODERN DOSEN : AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang

PERAN POLITIK MILITER DI INDONESIA

IN MEMORIAM DR WIJAYA HERLAMBANG

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Transkripsi:

BAB V KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Banyuwangi merupakan wilayah yang rawan konflik. Hal ini tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi jauh sebelum tahun 1965 dan stigma yang telah berkembang terhadap masyarakat Banyuwangi, yaitu sebagai masyarakat Blambangan yang selalu mengadakan perlawanan atau pemberontakan terhadap segala bentuk penguasaan. Faktor ekonomi yang ditunggangi oleh kepentingan menjadi hal rentan yang dapat menyulut konflik di Banyuwangi. Melalui rumor dapat memunculkan kesenjangan sosial yang berlatar belakang keadaan ekonomi. Kondisi yang seperti ini dapat dimanfaatkan untuk memicu konflik. Konflik yang terjadi di Banyuwangi minim dengan isu yang berkaitan dengan suku dan ras. Sejalan dengan pernyataan Karl Marx, bahwa benturan kepentingan masyarakat yang berafiliasi pada golongan dapat memicu konflik, seperti juga yang terjadi di Banyuwangi. Kekerasan di Banyuwangi terjadi saat konflik antar golongan partai menemui jalan buntu. Hal ini sejalan dengan pendapat Dahrendorf, bahwa kekerasan lebih merupakan manifestasi konflik. Di Banyuwangi, pada bulan Desember 1964 hingga Agustus 1965, 159

sebelum meletusnya kekerasan, masyarakat terseret dalam konflik antar pendukung organisasi politik, yaitu PKI, PNI dan NU. Konflik terjadi karena salah satu pihak tidak terima calon bupati yang diusung kalah dalam pemilihan. Adanya momentum tuduhan bahwa dalang Gerakan 30 September adalah PKI, maka para elit politik non-komunis memanfaatkan situasi untuk menggulingkan kekuasaan yang sah. Melalui kekerasan dengan memanfaatkan massa pendukung dari golongan bawah, para elit politik di Banyuwangi dapat menyingkirkan musuh politiknya. Kekerasan 1965 di Banyuwangi tergolong baru, namun konflik yang ada merupakan konflik yang sudah ada dan berlarutlarut tidak kunjung selesai. Apa yang dikatakan oleh Hobes bahwa organisasi sosial mengarahkan dan menentukan tindakan apa saja yang paling tepat untuk mereka, termasuk kapan kekerasan dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di Banyuwangi, faktor politik lokal saat itu terkait kuat dalam terciptanya kekerasan arus bawah. Kepentingan politik saat meletusnya kekerasan di Banyuwangi tidak lebih dari perebutan kedudukan Bupati Banyuwangi, maka kekerasan dimanfaatkan dalam menggulingkan Bupati yang sah melalui perpecahan antar masyarakat. Keterlibatan elit lokal dalam kekerasan yang telah terjadi di Banyuwangi juga ditunjukkan dengan pembentukkan kelompok vigilante dari koalisi ormas. Pada 160

awalnya kelompok yang dibentuk bernama Front Bersatu. Kemudian sesuai dengan peraturan darurat saat itu dibentuk BKKS, lalu bertransformasi menjadi BKS. Terdapat juga kelompokkelompok vigilante dari koalisi ormas di Banyuwangi yang bertugas digarda depan dalam menghabisi nyawa orang-orang PKI. Apabila dilihat dari pola campur tangan elit politik Banyuwangi dalam kekerasan, maka tidak dapat dihindari lagi bahwa elit politik memainkan peranan penting dalam terciptanya kekerasan arus bawah di Banyuwangi. Kelompok vigilante terdiri dari masyarakat bawah yang secara samar-samar mencoba berperan serta dalam membersihkan simpatisan PKI, namun masyarakat bawah yang menjadi pelaku ini tidak menyadari sedang mengambil bagian dalam peran kejahatan tindak kekerasan di Banyuwangi. Ditinjau dari latarbelakang kehidupan masyarakat, ketegangan politik yang terdapat di Banyuwangi hanya pada kalangan elit lokal Banyuwangi saja, sedangkan masyarakat bawah hanya disibukkan dengan kesenjangan sosial yang disebabkan karena faktor ekonomi. keresahan atas ketidakpastian perekonomian saat itu dimanfaatkan oleh kalangan elit politik untuk mencapai tujuannya. Kembali pada pendapat Robert Cribb, bahwa kekerasan 1965 bukanlah sekedar amok, maka melalui pendekatan sosio-psikologis dapat dijelaskan motivasi masyarakat kalangan bawah dalam 161

tindak kekerasan di Banyuwangi: pertama, faktor penyesuaian pada tatanan sosial yang berlaku menjadi motivasi utama pelaku untuk melakukan tindakan kekerasan, sehingga sebagian masyarakat yang menjadi pelaku seakan mejadi ikut-ikutan agar tidak berbeda dengan masyarakat masyoritas yang ada dilingkungannya, dalam psikologi sosial, gejala ini disebut konformitas. Kedua, Adanya sebuah kepatuhan terhadap orang yang memiliki strata sosial tinggi, dalam kasus Banyuwangi kepatuhan banyak terdapat pada kalangan santri terhadap kyai. Pada tahun 1960an, para kyai di Banyuwangi banyak berperan dalam perpolitikan lokal. Ketiga, secara berkelompok motivasi muncul dari dibangkitkannya amarah masa lalu dan ketimpangan-ketimpangan yang dilakukan oleh orpol PKI, yang kemudian kemarahan tersebut diluapkan kepada para simpatisan PKI. Pada awal tahun 1966, kekerasan langsung di Banyuwangi mulai mereda. Kekerasan yang terjadi mengakibatkan luka-luka ataupun kematian terhadap korban tindak kekerasan, selain itu adalah ketakutan dan trauma psikis. Kekerasan di Banyuwangi menjadi sebuah warisan, hal ini karena praktek kekerasan masih berlanjut di Banyuwangi. Melalui kekerasan struktural, praktek kekerasan masih dijalankan terhadap simpatisan PKI. Para korban kekerasan diasingkan oleh masyarakat non-komunis, dan belum lagi pemerintah Indonesia menjalankan politik penanaman 162

kebencian terhadap para korban pergolakan 1965. Beriringan dengan penanaman politik kebencian tersebut, pemerintah lokal Banyuwangi membangun sebuah monumen sebagai bentuk legitimasi. Legitimasi yang dibentuk oleh elit lokal Banyuwangi sebagai upaya menstigmakan para simpatisan PKI. Dampaknya para korban yang dituduh sebagai simpatisan PKI tidak mendapatkan tempat seutuhnya sebagai masyarakat Banyuwangi, sehingga para korban merasa terasingkan dan sulit mendapat pekerjaan. Hal ini serupa seperti yang diungkapkan oleh Galtung, bahwa kekerasan struktural akan menghasilkan kesengsaraan, alienasi, dan represi. Tesis ini menyimpulkan bahwa kekerasan arus bawah di Banyuwangi adalah kekerasan yang terjadi terhadap kaum komunis, karena adanya kepentingan elit politik lokal Banyuwangi, yaitu NU dan militer lokal yang menginginkan Joko Supaat sebagai Bupati Banyuwangi. Jadi, kekerasan arus bawah di Banyuwangi merupakan produk dari Elit politik lokal Banyuwangi yang terkondisikan oleh rumor, keresahan dan krisis. Untuk melancarkan kepentingan tersebut, elit politik lokal menciptakan stigmatisasi kiri terhadap PKI sehingga terbentuklah masyarakat yang ter-marjinal-kan di Banyuwangi, diantaranya adalah masyarakat di Kampung Temenggungan dan di Kampung Cemetuk. Untuk melanggengkan stigma bahwa PKI merupakan orang-orang 163

yang kejam, tak beradab dan tak beragama maka para elit politik lokal Banyuwangi menciptakan sebuah monumen sebagai alat legitimasinya. Monumen tersebut berdiri di Dusun Cemetuk dengan nama Monumen Pancasila Sakti Cemetuk. Efek dari stigmatisasi kiri mendorong sebuah desa untuk merubah namanya, ini terjadi pada Kampung Karangasem yang kini berubah menjadi Kampung Yosomulyo. Upaya perubahan nama ini dilakukan agar kampung tidak diklaim sebagai kaum komunis dan menghindarkan penghuninya menjadi masyarakat yang ter-marjinal-kan akibat stigma, seperti yang terjadi di kampung Cemetuk dan kampung Temenggungan. Tanpa disadari oleh masyarakat Banyuwangi (nonkomunis), stigmatisasi kiri ciptaan elit politik lokal terus-menerus direproduksi menjadi warisan turun temurun kaum komunis hingga kini. 164