BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Perencanaan Jaringan Long Term Evolution (LTE) Frekuensi 900 MHz Pada Perairan Selat Sunda

ABSTRAK. Kata kunci : LTE-Advanced, signal level, CINR, parameter, dense urban, urban, sub urban, Atoll. ABSTRACT

BAB II LANDASAN TEORI

Perencanaan Cell Plan di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Menggunakan Software Mapinfo

Analisis Perencanaan Integrasi Jaringan LTE- Advanced Dengan Wifi n Existing pada Sisi Coverage

PERENCANAAN DAERAH CAKUPAN enodeb JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) FREKUESNI 1800 MHz DI KOTA BOGOR

DAFTAR ISTILAH. Besarnya transfer data dalam komunikasi digital per satuan waktu. Base transceiver station pada teknologi LTE Evolved Packed Core

ANALISIS PERFORMANSI PERENCANAAN LTE-UNLICENSED DENGAN METODE SUPPLEMENTAL DOWNLINK DAN CARRIER AGGREGATION DI WILAYAH JAKARTA PUSAT

PERENCANAAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) FREKUENSI 1800MHz DI JEMBATAN SURAMADU DENGAN PHYSICAL CELL IDENTITY (PCI)

BAB II JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE)

Studi Perencanaan Jaringan Long Term Evolution (LTE) Pada Spektrum 1800 MHz Area Kota Bandung Menggunakan Teknik FDD, Studi Kasus PT.

DAFTAR SINGKATAN. xiv

MANAJEMEN PENGGUNAAN BAND FREKUENSI PADA PERANCANGAN JARINGAN LTE-ADVANCED MENGGUNAKAN METODE CARRIER AGREGATION. (Skripsi) Oleh MOH FASYIN ABDA

1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan tugas akhir ini adalah: 1. Melakukan upgrading jaringan 2G/3G menuju jaringan Long Term Evolution (LTE) dengan terlebih

3.6.3 X2 Handover Network Simulator Modul Jaringan LTE Pada Network Simulator BAB IV RANCANGAN PENELITIAN

Wireless Communication Systems. Faculty of Electrical Engineering Bandung Modul 14 - Perencanaan Jaringan Seluler

ANALISIS PERFORMANSI PENERAPAN CARRIER AGGREGATION DENGAN PERBANDINGAN SKENARIO SECONDARY CELL PADA PERANCANGAN JARINGAN LTE-ADVANCED DI DKI JAKARTA

ANALISIS PERENCANAAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION MENGGUNAKAN METODE SOFT FREQUENCY REUSE DI KAWASAN TELKOM UNIVERSITY

BAB 2 PERENCANAAN CAKUPAN

BAB I PENDAHULUAN I-1

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Perancangan Jaringan Seluler 4G LTE Frekuensi MHz di Provinsi Papua Barat


ANDRIAN SULISTYONO LONG TERM EVOLUTION (LTE) MENUJU 4G. Penerbit Telekomunikasikoe

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi telekomunikasi yang semakin pesat dan kebutuhan akses data melahirkan salah satu jenis

Mekanisme Carrier Aggregation Pada Jaringan 4G LTE-Advanced. (Skripsi) Oleh Prasetia Muhharam

Simulasi Perencanaan Site Outdoor Coverage System Jaringan Radio LTE di Kota Bandung Menggunakan Spectrum Frekuensi 700 MHz, 2,1 GHz dan 2,3 GHz

BAB III PERANCANGAN DAN SIMULASI LEVEL DAYATERIMA DAN SIGNAL INTERFERENSI RATIO (SIR) UE MENGGUNAKAN RPS 5.3

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

ANALISA IMPLEMENTASI GREEN COMMUNICATIONS PADA JARINGAN LTE UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI ENERGI JARINGAN

1 BAB I PENDAHULUAN. Long Term Evolution (LTE) menjadi fokus utama pengembangan dalam bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Pengaruh Penggunaan Physical Cell Identity (PCI) Pada Perancangan Jaringan 4G LTE

Agus Setiadi BAB II DASAR TEORI

TUGAS AKHIR ANALISA KEY PERFORMANCE INDICATOR (KPI) 3RD CARRIER CELL PADA JARINGAN 3G

Jurnal Elektro Telekomunikasi Terapan Desember 2016

Jl. Telekomunikasi, Dayeuh Kolot Bandung Indonesia

BAB II LANDASAN TEORI

Handbook Edisi Bahasa Indonesia

III. METODE PENELITIAN. Teknik Elektro, Jurusan Teknik Elektro, Universitas Lampung. Tabel 3.1. Jadwal kegiatan Penelitian

Analisis Jaringan LTE Pada Frekuensi 700 MHz Dan 1800 MHz Area Kabupaten Bekasi Dengan Pendekatan Tekno Ekonomi

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. telekomunikasi berkisar 300 KHz 30 GHz. Alokasi rentang frekuensi ini disebut


Universal Mobile Telecommunication System

Analisis Pengaruh Model Propagasi dan Perubahan Tilt Antena Terhadap Coverage Area Sistem Long Term Evolution Menggunakan Software Atoll

PERENCANAAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) TIME DIVISION DUPLEX (TDD) 2300 MHz DI SEMARANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II SISTEM TELEKOMUNIKASI SELULAR UTRA-TDD

BAB II JARINGAN GSM. telekomunikasi selular untuk seluruh Eropa oleh ETSI (European

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR : 267 / DIRJEN / 2005 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Teknologi Seluler. Pertemuan XIV

Multiple Access. Downlink. Handoff. Uplink. Mobile Station Distributed transceivers Cells Different Frequencies or Codes

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II ARSITEKTUR SISTEM CDMA. depan. Code Division Multiple Access (CDMA) merupakan salah satu teknik

BAB 1 I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

ISSN : e-proceeding of Engineering : Vol.2, No.2 Agustus 2015 Page 3145

ABSTRACT. : Planning by Capacity, Planning by Coverage, Okumura-Hatta, Software Atoll

EVALUASI PENGGUNAAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK MENYELESAIKAN PERSOALAN PENGALOKASIAN RESOURCE BLOCK PADA SISTEM LTE ARAH DOWNLINK

Prodi S1 Teknik Telekomunikasi, Fakultas Teknik Elektro, Universitas Telkom 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan pada sistem komunikasi nirkabel dan bergerak sangatlah kompleks

PERSYARATAN TEKNIS ALAT DAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI SUBSCRIBER STATION BERBASIS STANDAR TEKNOLOGI LONG-TERM EVOLUTION

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 3G/UMTS. Teknologi WCDMA berbeda dengan teknologi jaringan radio GSM.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (CDMA) CDMA merupakan singkatan dari Code Division Multiple Access yaitu teknik

PERENCANAAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) TIME DIVISION DUPLEX (TDD) 2300 MHz DI SEMARANG TAHUN

PERENCANAAN KEBUTUHAN NODE B PADA SISTEM UNIVERSAL MOBILE TELECOMMUNICATION SYSTEM (UMTS) DI WILAYAH UBUD

BAB III PEMODELAN SISTEM

ANALISIS PERANCANGAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) DI WILAYAH KOTA BANDA ACEH DENGAN FRACTIONAL FREQUENCY REUSE SEBAGAI MANAJEMEN INTERFERENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ARSITEKTUR DAN KONSEP RADIO ACCESS

HALAMAN PERNYATAAN. : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ANALISIS PERENCANAAN LTE-ADVANCED DENGAN METODA CARRIER AGGREGATION INTER-BAND NON-CONTIGUOUS DAN INTRA-BAND NON- CONTIGUOUS DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Pengenalan Teknologi 4G

PERENCANAAN ANALISIS UNJUK KERJA WIDEBAND CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (WCDMA)PADA KANAL MULTIPATH FADING

PERENCANAAN BACKHAUL MICROWAVE UNTUK JARINGAN RADIO AKSES LONG TERM EVOLUTION DI KOTA BANYUMAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas literatur yang mendukung penelitian di antaranya adalah Long

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TEORI DASAR. Public Switched Telephone Network (PSTN). Untuk menambah kapasitas daerah

WIRELESS & MOBILE COMMUNICATION ARSITEKTUR JARINGAN SELULER

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Penggunaan Spektrum Frekuensi [1]

PENENTUAN CAKUPAN DAN KAPASITAS SEL JARINGAN UNIVERSAL MOBILE TELECOMMUNICATION SYSTEM (UMTS)

I. Pembahasan. reuse. Inti dari konsep selular adalah konsep frekuensi reuse.

ANALISIS OPTIMASI COVERAGE JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) TDD PADA FREKUENSI 2300 MHZ DI WILAYAH DKI JAKARTA

Radio Resource Management dalam Multihop Cellular Network dengan menerapkan Resource Reuse Partition menuju teknologi LTE Advanced

Analisa Tekno-Ekonomi Perencanaan Teknologi Long Term Evolution (LTE) di Kota Tasikmalaya

ANALISIS NILAI LEVEL DAYA TERIMA MENGGUNAKAN MODEL WALFISCH-IKEGAMI PADA TEKNOLOGI LONG TERM EVOLUTION (LTE) FREKUENSI 1800 MHz

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014

ANALISIS PENERAPAN MODEL PROPAGASI ECC 33 PADA JARINGAN MOBILE WORLDWIDE INTEROPERABILITY FOR MICROWAVE ACCESS (WIMAX)

BAB 4 ANALISA DATA. Gambar 4.1 Tampilan pada Wireshark ketika user melakukan register. 34 Universitas Indonesia

Perkembangan Teknolgi Wireless: Teknologi AMPS Teknologi GSM Teknologi CDMA Teknologi GPRS Teknologi EDGE Teknologi 3G, 3.5G Teknologi HSDPA, HSUPA

Transkripsi:

6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Long Term Evolution (LTE) Long Term Evolution (LTE) adalah suatu set perangkat tambahan Universal Mobile Telecommunications System (UMTS) yang diperkenalkan oleh 3rd Generation Partnership Project (3GPP) merupakan teknologi radio yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan jaringan sistem komunikasi bergerak dari pendahulunya. Teknologi ini mampu memberikan kecepatan akses data hingga mencapai 100 Mbps pada sisi downlink dan 50 Mbps pada sisi uplink. Selain itu, LTE mampu mendukung aplikasi yang secara umum terdiri dari layanan voice, data, video, termasuk juga IPTV dengan efesisensi cell-edge spectral di kisaran 2 sampai 4 kali yang disediakan release 6 HSPA. Kemampuan dan keunggulan LTE dari teknologi sebelumnya yaitu memberikan coverage dan kapasitas layanan yang lebih besar, mendukung penggunanaan antena multiple input-multiple output (MIMO), mengurangi jumlah biaya dalam operasional, pentingnya delay yang rendah dan penambahan kecepatan dalam transfer data. Selain itu, fleksibilitas spectrum dan kesamaan maksimum antara FDD dan TDD solusi yang jelas 2.1.1 Arsitektur Jaringan LTE Jaringan LTE dibagi menjadi dua jaringan besar, yaitu E-UTRAN (Evolved Universal Teresterial Radio Access Network) dan EPC (Evolved Packet Core) yang merupakan komponen jaringan baru pada arsitekturnya. Dalam arsitektur jaringan LTE, terdapat empat level utama yakni User Equipment (UE), Evolved UTRAN (EUTRAN), Evolved Packet Core Network (EPC), dan service domain. User Equipment User Equipment adalah perangkat dalam LTE yang terletak paling ujung dan berdekatan dengan user. Peruntukan User Equipment pada LTE tidak berbeda dengan UE pada UMTS atau teknologi sebelumnya. Pada bagian User Equipment terdapat 2 bagian penyusun yakni USIM (Universal Subscriber Identity Module) dan TE (Terminal Equipment). Pada UE LTE

7 sudah harus mendukung penggunaan antena MIMO downlink maupun uplink yang jumlahnya tergantung di tiap kategori. E-UTRAN (Evolved UMTS Terrestrial Radio Access Network) Evolved UMTS Terrestrial Radio Access Network (E-UTRAN) adalah sistem arsitektur LTE yang memiliki fungsi menangani sisi radio akses dari UE ke jaringan core. Teknologi ini berbeda dengan teknologi sebelumnya yang memisahkan NodeB dan RNC menjadi elemen sendiri, pada sistem LTE E-UTRAN hanya terdapat satu komponen yakni Evolved Node B (enodeb) yang telah menggabungkan fungsi keduanya. enodeb secara fisik adalah suatu base station yang terletak di permukaan bumi. enodeb pada LTE dapat meminimalisirkan delay time karena enodeb langsung dapat terhubung dengan enodeblainnya. enodeb memiliki 2 interface yaitu interface S1 untuk hubungan dengan EPC dan interface X2 untuk hubungan langsung dengan enodeb. Fungsi dari X2 untuk mendukung akses komunikasi dan penerusan paket trafik pada saat UE melakukan handover. EnodeB memiliki 2 tugas penting yaitu pertama sebagai radio transmitter dan receiver, lalu yang kedua adalah mengontrol low-level operation semua mobile user dengan cara mengirim suatu sinyal tertentu berupa seperti pada saat handover MME ( Mobility Management Entity) Merupakan elemen control utama yang terdapat pada EPC. Fungsi utama pada MME pada arsitektur jaringan LTE yaitu yang pertama authentication and security, ketika UE pertama kali melakukan registrasi ke jaringan, MME memulai autentikasi. Lalu yang kedua Mobility Management menjaga jalur lokasi semua UE yang berada Ppada service area. Fungsi yang ketiga Mananging subscription profile dan service connectivity pada saat UE melakukan registrasi ke jaringan, MME akan bertanggung jawab untuk mendapatkan kembali profil pelanggan dari home network, MME akan mengirimkan informasi ini selama melayani UE. S-GW (Serving Gateway) Arsitektur jaringan LTE, level fungsi tertinggi S-GW adalah jembatan antara manajemen dan switching user plane. Peranaan S-GW bertanggung jawab pada sumbernya sendiri dan mengalokasikan berdasarkan permintaan MME, P-GW atau PCR, yang memerlukan set up pada UE. PDN-GW (Packet Data Network Gateway)

8 PDN-GW adalah komponen penting pada LTE untuk melakukan terminasi dengan Packet Data Network (PDN).Sistem ini bertindak sebagai pelengkap IP point pada UE. PCRF (Policy and Charging Rules Function) PCRF merupakan bagian dari arsitektur jaringan yang mengumpulkan informasi, sistem pendukung operasional dan sumber lainnya (seperti portal) secara real time, yang mendukung pembentukan aturan dan kemudian secara otomatis membuat keputusan kebijakan untuk setiap pelanggan aktif di jaringan. HSS (Home Subscription Service) HSS merupakan tempat penyimpanan data pelanggan untuk semua data permanen user dan melakukan autentikasi data yang seperti halnya AuC (Authentication Center). Gambar 2.1 Arsitektur Jaringn LTE 2.2 MIMO-Multiple Input Multiple Output Salah satu teknologi mendasar yang diperkenalkan bersamaan saat rilis LTE adalah Multiple Input Multiple Output (MIMO), sistem ini termasuk bagian dari spatial multiplexing serta sebagai pra-coding dan transmit diversity. Prinsip dasar spatial multiplexing adalah mengirim sinyal dari dua atau lebih antena yang berbeda dengan aliran data yang berbeda dan dengan pemrosesan sinyal, yang berarti di penerima terjadi proses memisahkan

9 aliran data, sehingga mampu meningkatkan data dengan faktor 2 (konfigurasi 2-by-2 antena) atau faktor 4 (konfigurasi 4-by-4 antena). Dalam pra-coding sinyal ditransmisikan dari antena yang berbeda yang dititikberatkan untuk memaksimalkan sinyal yang diterima dibanding noise atau Signal to Noise Ratio (SNR). Transmit diversity mengandalkan mengirimkan sinyal yang sama dari multiple antenna dengan beberapa coding untuk mengeksploitasi peningkatan dari independent fading antara antena. 2.2.1 Spatial Multiplexing Teknik Spatial multiplexing mengirimkan data yang berbeda secara paralel dan dikodekan secara paralel untuk setiap antena transmisinya. Tujuan dari teknik untuk meningkatkan kapasitas kanal yang besar dengan cara mengirimkan beberapa aliran data secara paralel pada waktu bersamaan. Teknik ini berlangsung pada dimensi spasial karena setiap kombinasi data parallel ditujukan ke salah satu antenna transmitter. Spatial Multipelxing dapat menambah efisiensi spektrum sehingga menambah kecepatan transmisi data. Gambar 2.2 Spatial Multiplexing 2.2.2 Spatial Diversity Pada Teknik spatial diversity, setiap antena pengirim pada sistem MIMO mengirimkan data yang sama secara paralel dengan menggunakan coding yang berbeda. Diversity secara konvensional diaplikasikan dengan pemasangan antena array pada sisi receiver, dengan tujuan kualitas sinyal yang diterima dapat ditingkatkan dari sistem antena dalam kondisi kanal fading dengan adanya multipath.tujuan teknik ini yaitu untuk meningkatkan SNR dengan cara

10 mengurangi fading, meningkatkan kualitas link antara pengirim dengan penerima. Penggunaan STC (Space Time Coding) pada sistem MIMO dengan antena transmitter dan antena receiver memberikan kenaikan tingkat diversity menjadi Transmitter x Receiver. Gambar 2.3 Spatial Diversity 2.3 Spektrum Frekuensi di Indonesia Spectrum frekuensi merupakan elemen penting dalam industri telekomunikasi sebagai media lalulintas dan merupakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu pemerintah memiliki peraturan- peraturan melalui Dirjen Postel yang mengatur alokasi penggunaan frekuensi tersebut. Di Indonesia alokasi frekuensi yang digunakan sama dengan yang digunakan di Eropa yaitu pada pita 900 MHz, 1800 MHz, dan 2100 MHz. untuk frekuensi 900 MHz atau yang dikenal dengan sebutan GSM900 frekwensi 890 915 MHz digunakan untuk uplink sedangkan untuk downlink menggunakan pita 935-960 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan GSM 2G. Operator yang terdapat pada frekuensi ini ada 3 operator. Masing - masing operator memiliki lebar pita yang berbeda. Indosat memiliki 10 MHz, Tsel dan XL memiliki 7,5 MHz. Gambar 2.4 Peta alokasi frekuensi 900 MHz

11 Untuk GSM1800 atau DCS alokasi frekuensi uplink nya dari 1710 MHz s/d 1785 MHz sedangkan downlink dari 1805 MHz s/d 1880 MHz dimana alokasi frekuensi antara uplink dan downlink terpisah selebar 95 MHz. Frekunsi ini memiliki lebar 75 MHz yang digunakan untuk layanan GSM 2G oleh 4 operator, diamana setiap operator memiliki lebar pita yang berbeda-beda seperti pada gambar di bawah ini. Gambar 2.5 Alokasi frekuensi 1800 MHz. Pada pita frekuensi radio 1800 MHz, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, telah menandatangani Surat Edaran Nomor 1 tahun 2015 tentang Kebijakan Penataan Pita Frekuensi Radio 1800 MHz. Penataan ini didasarkan pada hasil kesepakatan para penyelenggara telekomunikasi sebagai berikut Gambar 2.6 Alokasi frekuensi 1800 MHz. Untuk UMTS2100 alokasi frekuensi uplinknya dari 1920 MHz s/d 1980 MHz dan downlink dari 2110 MHz s/d 2170 MHz dimana alokasi frekuensi antara uplink dan downlink terpisah 190 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan UMTS dan terdapat 4 operator yang menggunakan frekuensi ini dengan 2 diantaranya memiliki lebar pita 15 MHz atau 3 blok

12 alokasi dan sisanya memiliki lebar pita 10 MHz atau 3 blok alokasi. Total lebar pita frekuensi ini adalah 60 MHz. Pita frekuensi ini memiliki 12 blok frekuensi. Adapun alokasi frekuensi di pita 2100 MHz saat ini adalah H3I (Blok 1 dan 2), Telkomsel (Blok 3,4,5), Indosat (Blok 6 dan 7), XL (Blok 8,9,10). Dari 12 blok frekuensi ini terdapat 2 blok frekuensi AXIS yang dikembalikan kepada pemerintah setelah merger dengan XL. Gambar 2.7 Alokasi frekuensi 2100 MHz Berdasarkan Peraturan Menkominfo nomor 08/PER/M.KOMINFO/01/2009 tanggal 19 Januari 2009 tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel Pada Pita Frekuensi Radio 2.3 GHz ditetapkan bahwa pita ini menggunakan moda TDD (Time Division Duplex)yang terdiri dari 15 nomor blok dimana nomor blok 1 sampai dengan nomor blok 12 masing-masing lebar frekuensinya 5 MHz sedangkan nomor blok 13 dan nomor blok 14 masing-masing lebar frekuensinya 15 MHz dan nomor blok 15 lebar frekuensinya 10MHz. Pada blok 13 dan 14 ini telah digunakan untuk layanan WiMAX yang telah dilakukan tender untuk beberapa wilayah regional. Dalam perencnaan jaringan LTE diperlukan frekuensi kerja dengan menggunakan teknik Frequency Division Duplexing (FDD), dan Time Division Duplexing (TDD). Jenis dulex tersebut banyak digunakan di Negara-negara di dunia tergantung ketentuan dari regulator. Teknologi FDD berjalan di dua frekuensi yakni di 800 MHz dan 1800 MHz. Teknik ini memiliki kelebihan keseimbangan antara sisi uplink dan downlink, karena masing-masing berjalan di fekuensi sendiri-sendiri secara full duplek. Teknik ini banyak digunakan oleh operator-operator GSM di Indonesia seperti Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat. Sedangkan TDD menggunakan teknik setengah duplex dimana sangat memprioritaskan sisi downlink sedangkan disisi uplink sangat lambat. Teknik cocok diterapkan untuklayanan internet browsing, video surveilence atau broadcasting

13 Berikut tabel band frequency LTE yang di standarisasi oleh 3GPP. Tabel 2.1 Frequency band LTE FDD 2.4 Teori-Teori Dalam Perencanaan Jaringan Seluler Perencanaan jaringan seluler merupakn suatu proses yang komplit dan terdiri dari beberapa tahapan. Tujuan akhir dari perencanaan tersebut adalah untuk menentukan model jaringan yang akan dibangun menjadi jaringan seluler baik untuk tujuan perluasan jaringan yang sudah ada atau untuk membangun jaringan baru. Perancngan jaringan seluler terdiri dari beberapa tahapan antara lain :

14 Inisialisasi, merupakan tahapan pengumpulan data pra perancangan seperti perhitungan Link Budget, coverage dan capacity. Nominal dan planning lebih detail, contoh dari tahapan ini adalah pemilihn planning tool,model propagasi yang digunakan, penentuan threshold berdasarkan link budget, pengecekan kapasitas jaringan yang lebih detail, pra validasi dan validasi site, dan penentuan parameter enodeb. Menentukan KPI dan parameter perencanaan menggunakan sistem parameter dan perhitungan pada enodeb, menentukan nilai KPIs yang telah disepakati oleh vendor yang digunakan, dan melakukan verifikasi nilai-nilai KPI menggunakan tools simulasi. 2.4.1 Coverage Planning 2.4.1.1 Perhitungan Uplink Untuk arah uplink persamaan receiver power atau Receiver Sensitivity (RS) dari perangkat user adalah : EIRPsubcarrier = Psubcarrier + GT Ltcable [2-1] Psubcarrier GT LTcable : subcarrier power transmit (dbm) : gain antena transmitter (dbi) : loss cable transmitter (db) RSeNodeB = SINR + TNeNodeB + NFeNodeB [2-2] RSeNodeB : Receiver Sensitivity (dbm) NFeNodeB : Noise Figure enodeb (db) TNeNodeB : Thermal Noise per sub-carrier (dbm) SINR : Required Signal Interference Noise Ratio (db) adalah sebagai berikut: MSRS RSeNodeB Lcable IM GR Maka didapatkan persamaan Minimum signal Reception Strength (MSRS) uplink MSRS = RSeNodeB + Lcable + IM + GR [2-3] : Minimum Signal Reception Strenght (dbm) : Receiver Sensitivity enodeb (dbm) : Loss cable receiver (db) : Interference Margin (db) : Gain antenna receiver (db) Sedangkan persamaan untuk Maximum Allowable Path Loss (MAPL) untuk arah uplink adalah sebagai berikut :

15 MAPLuplink = EIRPsubcarrier MSRS PL SF [2-4] MAPLuplink : Maximum Allowable Path Loss uplink (db) EIRP subcarrier : Equivalent Isotropic Radiated Power subcarrier (dbm) MSRS : Minimum signal reception strenght (dbm) PL : Penetration loss (db) SF : Shadow fading margin (db) 2.4.1.2 Perhitungan Downlink Persamaan untuk menghitung Equivalent Isotropic Radiated Power (EIRP) subcarrier adalah: Psubcarrier GT LTcable EIRPsubcarrier = Psubcarrier + GT Ltcable [2-5] : subcarrier power transmit (dbm) : gain antena transmitter (dbi) : loss cable transmitter (db) Sedangkan untuk persamaan Receiver Sensitivity (SR) arah downlink adalah sebagai berikut RSue = TN + NFue + SINR [2-6] Keteranga : RSue : Receiver Sensitivity (dbm) TN : Thermal Noise per subcarrier (dbm) NFue : Noise Figure UE (db) SINR : Required Signal Interference Noise Ratio (db) Sehingga akan didapatkan persamaan Minimum Signal Reception Strenght (MSRS) downlink adalah sebagai berikut : MSRS = RSue + LRbody + IM [2-7] MSRS RSue LRbody IM : Minimum Signal Reception Strenght (dbm) : Receiver Sensitivity UE (dbm) : Loss body receiver (db) : Interference Margin (db) Sedangkan persamaan Maximum Allowable Path Loss (MAPL) untuk arah downlink adalah : MAPLdownlink = EIRPsubcarrier MSRS PL SF [2-8]

16 MAPLdownlink EIRPsubcarrier MSRS PL SF : Maximum Allowable Path Loss downlink (db) : Equivalent Isotropic Radiated Power subcarrier (dbm) : Minimum signal reception strenght (dbm) : Penetration loss (db) : Shadow fading margin (db) 2.4.1.3 Persamaan Cost 231 Perancangan jaringan LTE di frekuensi 1800 MHz menggunakan metode cost 231 untuk melakukan perhitungan propagasinya. Persamaan ini merupakan pengembangan dari metode Hatta. Persamaan model propahasi cost 231 adalah sebagai berikut : PL = 46,3 + 33,9 (log f) + 13,82 log B a(hr) + (44,9 6,55loghT)logd + Cm [2.9] CM = 0 db ;untuk ukuran medium kota dan daerah suburban CM = 3 db ; untuk daerah pusat kota a(hr) = (1,1 log (f) 0,7) hr (1,56 log (f) 0,8) ; untuk small/medium area a(hr) = 3,2 (log 11,75 hr)² 1,1 db ; untuk large area PL : path loss (db) f = frekuensi (MHz) ht : tinggi enodeb (m) D = jari-jari sel (km) hr : tinggi UE (m) perencanan d : jari-jari sel (km) 2.4.1.4 Perhitungan Luas Sel Pengoptimalan Jaringan LTE dapat dilakukan dengan menghitung luas sel yang dilalui lintasan menggunakan metode 3-sectoral yang memiliki persamaan sebagai berikut : LCell d LCell = 1, 95 x 2. 6xd² [2.10] : Luas Sel (km²) : jari-jari sel (km) 2.4.1.5 Perhitungan Jumlah Site Untuk menentuka jumlah site dapat dihitung mengguakan persamaan berikut: Σ LTECell = Larea Lcell ΣLTECell : Jumlah Sel LTE

17 LArea LCell : Luas Area : Luas Sel 2.4.2 Capacity Planning 2.4.2.1 Forecasting Untuk melakukan perhitungan jumlah pelanggan seluler di suatu daerah ditahun yang dingingkan menggunakan suatu metode yang disebut forecasting. Berikut persamaan metode forecasting. Un =Uo (1 + fp) N [2.11] Un = Jumlah Penduduk/ penumpang pada tahun yang direncanakan U0 = Jumlah penduduk/ penumpang pada tahun awal perhitungan N = Jumlah tahun forecasting fp = Laju pertumbuhan Traffic Parameters 2.4.2.2 Perhitungan Network Throughput Perhitungan network throughput bertujuan untuk mengetahui total throughput yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh pelanggan. Dalam melakukan perhitungan network throughput melalui beberapa langkah yaitu : menghitung throughput per session, kemudian menghitung single user throughput, dan selanjutnya menghitung UL dan DL throughput. Dalam perhitungan network throughput digunakan parameter services model dan traffic model vendor Huawei Perhitungan Throughput per session berdasarkan pada parameter service model yang digunakan. Tabel (2.2) menunjukan parameter trafik services model yang digunakan. Bearer Rate (Kbps) PPP Session Time (s) Tabel 2.2 Services Model UL DL UL DL PPP Session Duty Ratio BLER Bearer Rate (Kbps) PPP Session Time (s) PPP Session Duty Ratio BLER Throughput/ Session (Kbit) Throughput/ Session (Kbit) VoIP 26.90 80 0.4 1% 26.9 80 0.4 1% 869.4949 869.4949 Video Phone 62.53 70 1 1% 62.53 70 1 1% 4421.313 4421.313

18 Video Conference 62.53 1800 1 1% 62.53 1800 1 1% 113690.9 113690.9 Real Time 31.26 1800 0.2 1% 125.06 1800 0.4 1% 11367.27 90952.73 Gaming Streaming 31.26 3600 0.05 1% 250.11 3600 0.95 1% 5683.636 864016.4 Media IMS 15.63 7 0.2 1% 15.63 7 0.2 1% 22.10303 22.10303 Signalling Web 62.53 1800 0.05 1% 250.11 1800 0.05 1% 5684.545 22737.27 Browsing File 140.69 600 1 1% 750.34 600 1 1% 85266.67 454751.5 Transfer Email 140.69 50 1 1% 750.34 15 1 1% 7105.556 11368.79 P2P File Sharing 250.11 1200 1 1% 750.34 1200 1 1% 303163.6 909503 Throughput per session dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : Throughput Session Dimana: = Bearer Rate x PPP Session Time x PPP Session Duty Ratio x [ ] [2-12] 1 BLER Throughput per Session : Throughput minimal yang harus disediakan jaringan agar Bearer Rate PPP Session Tim kualitas layanan terjaga (Kbit). : Data rate yang harus disediakan oleh service application layer (IP) (Kbps). : Rata-rata durasi setiap layanan (s). PPP Session Duty Ratio : Rasio data yang dikirimkan setiap sesi. BLER : Block error rate yang diizinkan dalam satu sesi. Setelah didapatkan throughput per session, selanjutnya menghitung jumlah single user throughput berdasarkan parameter traffic model tiap daerah. Tabel (2.3) menunjukkan traffic model tiap tipe daerah. User Behaviour Tabel 2.3 Traffic Model tiap daerah Dense Urban Urban Suburban Rural Traffic Penetration Ratio BHSA Penetration Ratio BHSA Penetration Ratio BHSA 1 Penetration Ratio VoIP 100% 1.4 100% 1.3 50% 1 50% 0.9 Video Phone 20% 0.2 20% 0.16 10% 0.1 5% 0.05 BHSA

19 Video 20% 0.2 15% 0.15 10% 0.1 5% 0.05 Conference Real Time 30% 0.2 20% 0.2 10% 0.1 5% 0.1 Gaming Streaming 15% 0.2 15% 0.15 5% 0.1 5% 0.1 Media IMS 40% 5 30% 4 25% 3 20% 3 Signalling Web 100% 0.6 100% 0.4 40% 0.3 30% 0.2 Browsing File 20% 0.3 20% 0.2 20% 0.2 10% 0.2 Transfer Email 10% 0.4 10% 0.3 10% 0.2 5% 0.1 P2P File Sharing 20% 0.2 20% 0.3 20% 0.2 5% 0.1 Selain parameter traffic model tiap daerah, dalam perhitungan single user throughput digunakan parameter lain yaitu Peak to Average Ratio berdasarkan tipe daerah. Peak to Average Ratio merupakan asumsi persentase tertinggi kelebihan beban pada suatu jaringan atau nilai lebih yang ditambahkan pada perhitungan untuk mengantisipasi apabila terjadi lonjakan trafik pada daerah tersebut Tabel (2.4) menunjukkan parameter Peak to Average Ratio tiap daerah. Tabel 2.4 Tabel Peak to Average Ratio tiap daerah Morphology Dense Urban Urban Suburban Rural Peak to Average Ratio 40% 20% 10% 0% Single user throughput dapat dihitung dengan persamaan : Single user throughput (IP) = [(Throughput Session (2.13) Dimana: )x BHSA x Penetration rate x (1+Peak Average Ratio)] 3600 BHSA Penetration rate Peak to Average Ratio : Service attempt in busy hour. : Penetrasi suatu layanan digunakan berdasarkan daerah. : Persentase kelebihan beban berdasarkan daerah. Setelah didapatkan single user throughput, maka total throughput pada sisi UL dan DL dapat dihitung dengan persamaan:

20 UL Network Throughput (IP) = Total user number UL Single user throughput ( 2.14 ) DL Network Throughput (IP) = Total user number x DL Single user throughput (2.15) Dimana: Total user number UL Single User Throughput DL Single User Throughput : Total pelanggan berdasarkan forecasting. : Total uplink throughput yang harus dipenuh oleh single user pada tipe daerah tertentu. : Total downlink throughput yang harus dipenuhi oleh single user pada tipe daerah tertentu. 2.4.2.3 Perhitungan Throughput Per Cell Perhitungan throughput per cell bertujuan untuk mengetahui kapasitas UL dan DL pada suatu sel. Dalam menghitung throughput per cell melalui beberapa langkah yaitu: menghitung UL dan DL MAC layer throughput, kemudian menghitung cell average throughput, dan selanjutnya menghitung throughput per cell. Perhitungan UL dan DL MAC layer throughput dapat dilakukan dengan persamaan: UL MAC layer throughput + CRC = (168-24) x Code bits x Code rate x Nrb x C x 1000 (2.16) DL MAC layer throughput + CRC = (168-36-12) x Code bits x Code rate x Nrb x C x 1000 (2.17) Dimana: CRC : 24 168 : Jumlah resource element (RE) dalam 1 ms 36 : Jumlah control channel RE dalam 1 ms 12 : Jumlah reference signal RE dalam 1 ms 24 : Jumlah reference signal RE dalam 1 ms pada uplink

21 Code bits : Modulation efficiency Code rate : Channel coding rate Nrb : Jumlah Resource Block yang digunakan C : Mode antena MIMO Setelah didapatkan DL dan UL MAC layer throughput, selanjutnya adalah menghitung cell average throughput berdasarkan average SINR distribution. Cell average throughput dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : Cell average throughput(mac) = n=8 n=1 Pn x Rn (2.18) Dimana: n : Jumlah DL Cell Throughput Pn Rn : SINR Probability : DL Cell Throughput Tabel 2.5 Radio Overhead Protocol Layer Average Packet Size (Byte) Relative Efficiency Symbol IP 300 - PDCP 302 99,34% A RLC 304 99,34% B MAC 306 99,35% C PHY - Sehingga throughput per cell dapat dihitung menggunakan persamaan: Throughput per cell(ip) = Cell average throughput (MAC) x A x B x C (2.19) Dengan mendapatkan nilai network throughput serta throughput per cell maka jumlah sel yang dibutuhkan dapat dihitung dengan persamaan: Jumlah sel uplink: Number of cell = Jumlah sel downlink UL Network throughput Throughput per cell (2.20)

22 Number of cell = DL Network throughput Throughput per cell (2.21) Setelah didapat jumlah sel pada sisi uplink dan downlink, jumlah site yang dibutuhkan dapat dihitung menggunakan persamaan: Number of site = Number of cell 3 (2.22)