BAB II LANDASAN TEORI. Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian Pajak menurut Resmi (2013) adalah kontribusi wajib kepada negara

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

Repositori STIE Ekuitas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN. Para ahli di bidang perpajakan mendefinisikan pengertian pajak dengan berbagai pendapat yang berbeda antara lain :

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI (PKLM)

BAB II LANDASAN TEORI. Ilyas dan Richard Burton (2010:6), Pajak adalah prestasi yang dapat dipaksakan

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II BAHAN RUJUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENERAPAN PENGHITUNGAN, PEYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ATAS WAJIB PAJAK BADAN.

A. Pengertian Laporan Keuangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB II BAHAN RUJUKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II Tinjauan Pustaka

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB II. Tinjauan Pustaka. Menurut Rochmat Soemitro yang di kutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara

BAB II LANDASAN TEORI

Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB I BENDAHARA DAN KEWAJIBAN PAJAKNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (2002:1)

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTEK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Praktik Kerja Lapangan Mandiri adalah kegiatan yang dilakukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESI PENELITIAN. pemerintah kepada masyarakat guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

EVALUASI PENERAPAN PPH PASAL 23 PADA PT. BIN (PERSERO) DI TAHUN 2012

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam Siti Resmi (2009:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak dapat diartikan sebagai iuran wajib yang dipungut oleh Negara dari wajib pajak

EVALUASI MEKANISME PPh PASAL 21 PADA PT AIN TAHUN PAJAK Iramaulina Damanik Rachmat Kurniawan Fharel Hutajulu

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

BAB II BAHAN RUJUKAN

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar Perpajakan II.1.1 Pengertian Pajak Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 menerangkan bahwa, Pajak adakah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-nesarnya kemakmuran rakyat. Pengertian Pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo, S.H. (2008) mendefinisikan : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yanng wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasikembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam buku Perpajakan Edisi Revisi 2009 menyebutkan bahwa Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya. 2. Pajak tidak menimbulkan kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah. 3. Pajak diperuntukkan untuk pengeluaran umum negara yang bermanfaat bagi kemakmuran rakyat. II.1.2 Definisi Wajib Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka (2), Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penjelasan mengenai badan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka (3) adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,

atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. II.1.3 Fungsi Pajak & Penggolongan Pajak II.1.3.1 Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2009) ciri ciri yang melekat pada pengertian pajak, maka terlihat adanya 2 fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi penerimaan (budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras dan juga terhadap barang mewah. II.1.3.2 Penggolongan Pajak Menurut Ilyas W. B (2010) pajak dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu: 1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi: a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Misalnya: Pajak Penghasilan (PPh).

b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Misalnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2. Menurut sifat, dibagi menjadi: a. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya baru akan dicari objeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Misalnya: PPh. b. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Misalnya: PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 3. Menurut pemungut dan pengelolanya, dibagi menjadi: a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Misalnya: PPh, PPN, PPnBM, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Meterai. b. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Misalnya: pajak reklame, pajak hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PBB sektor perkotaan dan pedesaan. II.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Waluyo (2011) sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Sistem Official Assessment Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.

2. Sistem Self Assessment Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayarkan. 3. Sistem Withholding Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. II.2 Pajak Penghasilan II.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Sesuai dengan Undang Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) No. 7 Tahun 1991 sebagaimana telah diubah dengan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1 mengatakan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atau Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun Pajak. II.2.2 Subjek Pajak Penghasilan Mengacu pada pendapat Waluyo (2011) subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang - Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Yang termasuk dalam subjek pajak penghasilan yaitu: a. Orang pribadi;

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; c. Badan; dan d. Bentuk Usaha Tetap. II.2.3 Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan E. Suandy (2009) Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Objek pajak untuk PPh adalah penghasilan. Yang dimaksud dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Yang termasuk sebagai penghasilan sebagai objek pajak, yaitu: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang Undang ini; b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan; c. Laba usaha; d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya;

3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambil alihan usaha atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun; 4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak pihak yang bersangkutan; dan 5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; f. Bunga termasuk premium, diskonto atau imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. Premi asuransi; o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah; r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP; dan s. Surplus Bank Indonesia. II.2.4 Pajak Penghasilan Pasal 23 II.2.4.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23 Menurut Djoko Muljono (2009) ketentuan dalam pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. II.2.4.2 Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan Menurut Gunadi (2009) dijelaskan proses pemotongan, penyetoran dan pelaporan atas Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang. 1. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang adalah pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang

bersangkutan; yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya. 2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetorkan oleh si pemotong pajak selambatlambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. 3. Pemotong Pajak PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir. 4. Pemotong Pajak PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong. II.2.4.3 Pemotong PPh Pasal 23 Mengacu pada buku Djoko Muljono (2009) pemotong PPh Pasal 23 adalah pihakpihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas: 1. Badan pemerintah. 2. Subjek Pajak badan dalam negeri 3. Penyelenggara kegiatan 4. Bentuk usaha tetap 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur Jendral Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23, yang meliputi: a. Akuntan, arsitek, dokter, notaries, pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.

b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. II.2.4.4 Yang dikenakan Pemotongan PPh Pasal 23 Yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaran kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. II.2.4.5 Tarif Pemotongan Besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong adalah 1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas a. Dividen b. Bunga termasuk premium, diskonto, dam imbalan karena jaminan pengembalian utang c. Royalti; dan d. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan pasal 21 2. Sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. II.2.4.6 Pengecualian Objek Pemotongan PPh Pasal 23 Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah: 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank. 2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.

3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik Negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal para badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik Negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang di setor. 4. Dividen yang diterima oleh orang pribadi; 5. Bagian laba yang diterima atau yang diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif 6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya 7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. II.2.5 Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 (PPh yang Bersifat Final) Pajak bersifat final berarti pajak tersebut tidak dapat dikreditkan dan hanya dipotong satu kali. Berdasarkan Mardiasmo (2009) Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 terdiri dari : 1. Pajak penghasilan atas bunga, sewa, dan imbalan jasa konsultan dan jasa konstruksi yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;

2. Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan, dan diskonto sertifikat Bank Indonesia; 3. Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa Bunga atau Diskonto obligasi yang dijual di Bursa Efek; 4. Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan; 5. PPh Final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; 6. Usaha jasa kontruksi; 7. Pajak Penghasilan atas hadiah undian; dan 8. PPh Final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangankan di Bursa. II.2.5.1 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Menurut Undang-Undang dan ketentuan yang berlaku Pemotong pajak penghasilan Pasal 4 ayat (2) sama dengan pemotong pajak penghasilan Pasal 23. Pihak-pihak pemotong pajak tersebut terdiri atas : 1. Badan Pemerintah 2. Subjek Pajak Dalam negeri 3. Penyelenggaran Pemerintah 4. Bentuk Usaha Tetap 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya 6. Orang pribadi sebagi Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukan dari Direktorat Jenderal Pajak untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), yang meliputi :

a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. Adapun cara pelaporan dan pembayarannya sebagai berikut: PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. 1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. II.2.5.2 Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: 1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi 2. penghasilan berupa hadiah undian 3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura

4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; 5. penghasilan tertentu lainnya II.3 Jasa Konstruksi II.3.1 Pengertian Jasa Konstruksi Menurut Djoko Muljono Konstruksi adalah suatu industri jasa yang bertanggung jawab untuk mengubah rancangan - rancangan dan spesifikasi-spesifikasi menjadi produk jadi. Istilah-istilah yang digunakan dalam konstruksi secara umum: 1. Kontrak Konstruksi Suatu kontrak yang dinegosiasikan secara khusus untuk konstruksi suatu aset atau suatu kombinasi aset yang berhubungan erat satu sama lain atau saling tergantung dalam hal rancangan, teknologi, dan fungsi atau tujuan penggunaan pokok. 2. Uang Muka Jumlah yang diterima oleh kontraktor sebelum pekerjaan dilakukan. 3. Termin Jumlah yang ditagih untuk pekerjaan yang dilakukan dalam suatu kontrak, baik yang telah dibayar ataupun yang belum dibayar oleh pemberi kerja. 4. Retensi Jumlah termin (progress billings) yang tidak dibayar hingga pemenuhan kondisi yang ditentukan dalam kontrak untuk pembayaran jumlah tersebut atau hingga telah diperbaiki. II.3.2 Istilah Konstruksi Dalam Perpajakan

Berikut akan dilampirkan beberapa istilah yang akan dipakai atas usaha jasa konstruksi di bidang perpajakan, yaitu: Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasaan pekerjaan konstruksi. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement, and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build). Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang memerlukan layanan jasa konstruksi. Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan. II.3.3 Biaya atas Jasa Konstruksi Untuk usaha jasa konstruksi, akan dikeluarkan biaya yang sangat mendukung berjalannya usaha tersebut, yaitu: a. Cost Estimate Digunakan untuk menetapkan harga jual (bid price) sesuai permintaan yang akan ditawarkan kepada pihak-pihak luar perusahaan (client). b. Cost Budgeting Pedoman yang digunakan dalam kegiatan pembelanjaan selama proses pelaksanaan proyek, baik untuk biaya bahan/material, upah tenaga kerja, alat, subkontraktor, dan lain-lain agar pelaksanaan pembiayaan proyek dapat dikendalikan dengan baik (anggaran biaya pelaksanaan proyek). c. Cost Control Tindakan pengendalian, untuk mencegah terjadinya penyimpanganpenyimpangan pada semua unsur biaya.

II.3.4 Tipe Proyek, Kontrak, Pembayaran Konstruksi II.3.4.1 Tipe Proyek Konstruksi Menurut Barrie yang diterjemahkan oleh Sudinarto, tipe proyek konstruksi dibagi menjadi: a. Konstruksi Pemukiman Konstruksi pemukiman meliputi perumahan keluarga - tunggal, perumahan kota unit ganda, rumah pangsa/susun (flat), rumah pangsa bertaman, dan rumah pangsa yang diberlakukan sebagai milik sendiri (kondominium) b. Konstruksi Gedung Konstruksi gedung menghasilkan bangunan - bangunan yang dimulai dari toko pengecer yang kecil sampai pada kompleks peremajaan kota, mulai dari sekolah dasar sampai pada universitas, rumah sakit, bangunan bertingkat perkantoran komersial, bioskop, gedung pemerintahan, pusat rekreasi, pabrik industri kecil, dan pergudangan. c. Konstruksi Rekayasa Berat Konstruksi rekayasa berat meliputi bendungan, terowongan, pengendalian banjir dan irigasi, jembatan dari yang berukuran jalan setapak sampai pada berukuran besar, bangunan transportasi mencakup jaringan kereta api, pelabuhan udara, jalan raya, pelabuhan, dan bandara. d. Konstruksi Industri Konstruksi industri ini meliputi bangunan pabrik kecil sampai besar. II.3.4.2 Tipe Kontrak Konstruksi

Dalam pelaksanaan proyek, dikenal adanya bermacam macam kontrak ditinjau dari cara perhitungannya, yaitu: 1. Kontrak Cost Plus Fee Kontrak tipe ini, nilai kontraknya tidak ditentukan secara pasti, tetapi disesuaikan realisasi biaya yang terjadi kemudian ditambah dengan fee tertentu sesuai kesepakatan, untuk keuntungan kontraktor. 2. Kontrak Lump Sum Nilai kontrak dipatok sebesar nilai tertentu sesuai kontrak yang di tandatangani. Nilai kontrak adalah tetap dan tidak dapat berubah dengan alasan apapun, kecuali ada perubahan gambar desain atau spesifikasi yang diberikan owner. 3. Kontrak Unit Price Menurut jenis kontrak ini, yang mengikat adalah unit pricenya, sedang kuantitasnya pada saat tender diberikan, dan realisasinya pada saat pembayaran diukur bersama sama. II.3.4.3 Tipe Pembayaran Proyek Konstruksi Pembayaran proyek konstruksi ada bermacam macam, yaitu: 1. Pembayaran dengan uang muka atau tanpa uang muka; 2. Pembayaran bulanan (monthly payment); 3. Pembayaran termin (progress payment); atau 4. Pembayaran sekali diakhir (turn key payment). II.3.5 Tarif Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Konstruksi

Tarif Pajak Penghasilan untuk Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut: a. 2% (dua persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil; b. 4% (empat persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha; c. 3% (tiga persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b; d. 4% (empat persen) untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan e. 6% (enam persen) untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha. II.4 Peraturan Pemerintah II.4.1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Pada tanggal 20 Juli 2008, Pemerintah mengeluarkan peraturan terbaru mengenai PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 yang dimana peraturan ini menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000. Pada peraturan baru terdapat beberapa perubahan antara lain masalah tarif pajak yang dibedakan menjadi: 1. Untuk jasa pelaksanaan konstruksi, sbb:

a. Jika dilakukan oleh kontraktor kualifikasi usaha kecil : 2% x jumlah pembayaran (jumlah penerimaan pembayaran jika disetor sendiri) b. Jika dilakukan oleh kontraktor kualifikasi menengah atau besa : 3% x jumlah pembayaran (jumlah penerimaan pembayaran jika disetor sendiri) c. Jika dilakukan oleh kontraktor tak berkualifikasi : 4% x jumlah pembayaran (jumlah penerimaan pembayaran jika disetor sendiri) 2. Untuk jasa perencanaan atau pengawasan konstruksi, sbb: a. Jika dilakukan oleh kontraktor yang berkualifikasi : 4% x jumlah pembayaran (jumlah penerimaan pembayaran jika disetor sendiri) b. Jika dilakukan oleh kontraktor tak berkualifikasi : 6% x jumlah pembayaran (jumlah penerimaan pembayaran jika disetor sendiri). Peraturan baru tersebut berlaku surut dari 1 Januari 2008, dengan toleransi jika kontrak yang ditandatangani sebelum 1 Januari 2008, maka: a. Untuk pembayaran atau pembagian pembayaran kontrak s/d 31 Desember 2008, PPh dikenakan sesuai PP 140 Tahun 2000 b. Untuk pembayaran atau pembagian pembayaran kontrak setelah 31 Desember 2008, PPh dikenakan sesuai PP 51 Tahun 2008. Sedangkan pada peraturan yang lama, untuk usaha jasa konstruksi dibedakan pengenaannya sebagai PPh Final (PP 140 Tahun 2000) dan PPh Pasal 23 (PER-70/PJ/2007). II.4.2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 di dalam Pasal 10, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk

pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 sebagai berikut: 1. Dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pemotongan pajak dikenakan berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang peribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut pada saat pembayaran uang muka dan termin. 2. Dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak dilakukan setelah 31 Desember 2008 berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini.

b. Dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau penyelesaian pekerjaan pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi. Dengan diterbitkannya PP Nomor 140 Tahun 2000, maka mulai tahun pajak 2001, Wajib Pajak yang memiliki penghasilan dari usaha jasa konstruksi serta pihak-pihak yang menggunakan jasa konstruksi melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. No. 1 Kualifikasi Usaha Kecil, serta nilai pengadaan sampai 1 Milyar Sifat Final Mekanisme Pelunasan Pengguna Jasa Pengguna Jasa Bukan Pemotong PPh pemotong PPh Dipotong sesuai tarif x penghasilan Setor Sendiri bruto pada saat sesuai tarif x penghasilan pembayaran uang bruto muka dan pada saat pembayaran uang termin muka dan termin Tarif yang digunakan Tarif yang digunakan Jasa Perencanaan Jasa Perencanaan Konstruksi Konstruksi 4% 4% Jasa Pelaksanaan Jasa Pelaksanaan Konstruksi Konstruksi 2% 2% Jasa Pengawasan Jasa Pengawasan Konstruksi Konstruksi 4% 4%

No. 2 Kualifikasi Usaha Non Kecil (besar, menengah atau tidak punya kualifikasi Sifat Tidak Final/ Sesuai ketentuan umum PPh Mekanisme Pelunasan Pengguna Jasa Pemotong PPh Dipotong berdasarkan ketentuan pasal 23 UU PPh pada saat pembayaran uang muka dan termin (Tarif x DPP) Tarif pajak yang digunakan 15% Pengguna Jasa Bukan pemotong PPh Setor sendiri sesuai pasal 25 UU PPh