I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar mengembangkan sektor pertanian. Sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan, tetapi juga dalam penyediaan kesempatan kerja, sumber pendapatan, penyumbang devisa dan pertumbuhan ekonomi nasional. Bulan Agustus tahun 2010, sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebanyak 41,5 persen. Angka tersebut jauh dibandingkan penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan dan industri yang masingmasing hanya sebanyak 22,5 persen dan 13,8 persen 1. Namun, perubahan senantiasa terjadi terutama terkait dengan peran sektor pertanian dalam memenuhi pangan masyarakat. Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan ketidakseimbangan antara tingkat produksi pertanian dengan tingkat konsumsi pangan masyarakat. Fenomena ini pernah dipaparkan oleh Thomas Robert Malthus, yang mengatakan bahwa jumlah penduduk meningkat tidak terkendali mengikuti deret ukur sementara jumlah pangan meningkat mengikuti deret hitung. Oleh karena itu, populasi penduduk cenderung meningkat di atas batas ketersediaan pangan. Salah satu komoditas pangan yang mempunyai posisi penting dalam memenuhi kebutuhan pangan adalah beras. Beras merupakan komoditi yang penting tidak hanya untuk Indonesia, tetapi untuk sebagian besar negara-negara Asia. Beras bagi Indonesia merupakan makanan pokok utama dengan tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai sekitar 95 persen, artinya 95 persen rumah 1 Memperhatikan Masalah Pengangguran. http;//www. Kompas.com. Diakses tanggal 19 Februari 2011 1
tangga di Indonesia mengkonsumsi beras (Amang dan sawit,1999). Data BPS tahun 2008 menyebutkan bahwa tingkat konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia sebesar 104,9 kg per tahun (Tabel 1) 2. Angka konsumsi komoditas beras lebih besar dibandingkan dengan angka konsumsi komoditas pangan yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa beras merupakan komoditas pangan terpenting karena pola konsumsi masyarakat Indonesia yang cenderung mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok utama. Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Komoditas Pangan Pokok di Indonesia Tahun 2008 No. Komoditas Pangan Konsumsi per Kapita per Tahun (Kg) 1 Beras 104,9 2 Jagung 2,9 3 Terigu 11,2 4 Ubi Kayu 13,0 5 Ubi Jalar 2,8 6 Sagu 0,5 7 Umbi lainnya 0,6 Banyaknya masyarakat yang mengkonsumsi beras dan jumlah penduduk yang semakin bertambah menyebabkan permintaan beras pun meningkat. Kelangkaan akan terjadi jika produksi beras tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumsi beras yang terus meningkat. Tuntutan tersebut membawa perubahan pada sistem pertanian yang ada. Revolusi hijau merupakan salah satu upaya memecahkan masalah kelangkaan dengan cara merubah sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian dengan teknologi tinggi. Konsep Revolusi Hijau di Indonesia dikenal sebagai gerakan (Bimas) bimbingan masyarakat adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut 2 Badan Pusat Statistik tahun 2008. Konsumsi Pangan Pokok Perkapita. http;//bps.go.id/tabel/pertanian/pangan.html. Diakses tanggal 8 Desember 2010 2
dilatarbelakangi suatu keyakinan bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil produksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Namun, dalam jangka panjang gerakan Bimas tidak dapat memotivasi petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Karena kenyataan yang terjadi adalah petani sering kali dihadapkan pada berbagai masalah di lapangan, misalnya permasalahan harga input pertanian seperti tingginya harga pupuk. Kondisi seperti ini membuat petani kesulitan dalam hal modal. Selain harga pupuk yang tinggi, petani juga dihadapkan pada masalah harga gabah yang tidak stabil. Kedua masalah tersebut tidak memberikan insentif kepada petani untuk meningkatkan produksinya di saat tingginya permintaan beras. Selain dua permasalahan di atas, pada sektor pertanian dapat dideteksi beberapa masalah, antara lain kebutuhan pangan (juga termasuk sandang), masalah kesempatan kerja, dan kualitas sumber daya manusia yang semuanya terakumulasi sebagai masalah: 1) persediaan tanah yang semakin sempit, 2) kebutuhan pangan yang semakin tidak terpenuhi, 3) tingkat pengangguran yang semakin tinggi, serta 4) masalah sosial tentang kepemilikan lahan (Daniel, 2004). Usaha pertanian, terutama usahatani kecil dan berikut petani kecil sering, dan bahkan selalu kalah dalam bersaing. Petani kecil selalu kalah dari usahatani besar dan petani besarnya, serta usaha-usaha non pertanian. Masalah tersebut terjadi karena: pertama, Semakin besarnya lokasi pertanian dan usahatani 3
menjauhi pemusatan penduduk dan pusat pengembangan. Kedua, semakin banyaknya lahan pertanian lepas dari petani kecil baik itu keluar dari usahatani atau akan beralih ke petani besar. Ketiga, adanya pergeseran dari petani menjadi buruh tani atau ke profesi lain. Keempat, semakin sempitnya penguasaan/pemilikan serta penguasaan lahan pertanian, atau lebih tepat disebut makin sempitnya skala usahatani (Hernanto, 1996). 1.2 Perumusan Masalah Selain modal, salah satu faktor produksi yang penting adalah lahan. Lahan merupakan tempat bagi petani untuk melakukan proses usahataninya. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan konversi lahan pertanian mengakibatkan lahan pertanian semakin berkurang. Kondisi ini tentu menimbulkan dampak, salah satunya adalah banyaknya petani yang memiliki luas lahan yang sempit dan juga tidak sedikit petani yang tidak memiliki lahan garapan. Kepemilikan lahan petani yang semakin sempit menjadikan luas tanam padi terbatas. Rata-rata luas lahan perkapita pertanian kita hanya mencapai 0,09 hektar, dan sekitar 53 persen dari rumah tangga tani menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Data PATANAS di pulau Jawa menunjukkan gambaran yang lebih drastis lagi, dimana sekitar 88 persen rumah tangga hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Data sensus pertanian, jumlah petani gurem (luas garapan kurang dari 0,5 hektar) meningkat dari 10,8 juta KK (kepala keluarga) tahun 1993 menjadi 13,7 juta KK tahun 2003. Di pulau Jawa jumlah petani gurem mencapai 75 persen dari seluruh total rumah tangga petani 3. 3 Undang Undang Lahan Pertanian Hanya Memperburuk Nasib Petani Gurem. http://www.google.com. Diakses tanggal 19 Februari 2011. 4
Petani yang memiliki lahan yang sempit sering disebut petani gurem (petani miskin). Kebanyakan kehidupan mereka berada pada tingkat memprihatinkan. Petani-petani tersebut memiliki ciri-ciri antara lain: (1) memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, (2) modal kecil, dalam hal ini tenaga kerja kadang-kadang merupakan satu-satunya faktor produksi yang digunakan, (3) teknologi yang digunakan sangat sederhana, (4) mutu produksi yang dihasilkan tergolong rendah, (5) pasar terbatas, (6) dalam pembiayaan usahatani, mereka tidak memiliki akses terhadap dunia perbankan, (7) memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) yang rendah dan (8) kesulitan dalam merespon teknologi, karena terbatasnya kualitas SDM (Handayani, 2006). Hernanto (1996) membedakan empat golongan petani berdasarkan tanahnya, yaitu: a) petani luas (lebih dari 2 hektar), b) petani sedang (0,5-2 hektar), c) petani sempit (0,5 hektar), dan d) buruh tani tidak bertanah. Perbedaan golongan petani berdasar luas tanah tersebut akan berpengaruh terhadap sumber dan distribusi pendapatannya. Petani yang mempunyai lahan sempit dan juga petani yang tidak memiliki lahan terkadang harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjadi petani bagi hasil/penyakap yaitu memberikan sebagian dari hasil panen kepada pemilik lahan. Petani sering kali merasa dirugikan dengan sistem ini. Petani yang tidak memiliki lahan milik sendiri harus dihadapkan pada ketidakpastian dalam menggarap. Keberlangsungan petani penggarap (bagi hasil/sakap) dalam menggarap tergantung dari pemilik lahan. Selain itu, petani penggarap, pada umumnya kurang mempunyai modal dan kemampuan yang cukup dalam mengelola usahataninya, sehingga sulit untuk meningkatkan pendapatan petani. Sebagian 5
besar penduduk Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Hampir seluruh hasil panen di daerah penelitian hanya untuk konsumsi dan petani tidak mendapatkan penerimaan secara tunai dari hasil produksi padi namun petani di Desa Pasir Gaok merasakan manfaat yang cukup besar dengan menanam padi. Manfaat yang dirasakan petani adalah dapat menghemat pengeluaran untuk membeli makanan pokok yaitu beras. Data yang didapat dari kantor Desa Pasir Gaok yaitu ada sekitar 532 orang yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani padi. Berdasarkan status petani, petani di Desa Pasir Gaok memang masih banyak yang berstatus sebagai petani pemilik penggarap, namun tidak sedikit juga petani yang berstatus sebagai penggarap yaitu petani yang tidak memiliki lahan milik sendiri dan menggarap lahan milik orang lain. Melihat permasalahan di atas maka menarik untuk mengkaji beberapa hal: 1. Faktor-faktor produksi apa yang berpengaruh terhadap produksi padi pada usahatani yang dilakukan oleh petani pemilik pengarap dan petani penggarap di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur? 2. Bagaimana efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani padi di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, menurut status petani? 3. Bagaimana pengaruh status petani terhadap biaya dan pendapatan yang dikeluarkan dalam usahatani di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 6
1. Menganalisis penggunaan faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi padi pada usahatani yang dilakukan oleh petani pemilik penggarap dan petani penggarap di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur. 2. Menganalisis tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani padi di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, menurut status petani. 3. Menganalisis pengaruh status petani terhadap biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima dalam usahatani di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi petani di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur untuk pengusahaan produksi padi yang lebih baik. Selain itu penelitian ini juga sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi Dinas Pertanian setempat dan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan pertanian sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Penulis juga mengharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya, serta dapat memberikan manfaat berupa informasi dan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi dan pendapatan petani yang dibedakan berdasarkan status petani. Pengambilan data hanya dilakukan di satu desa yaitu Desa Pasir Gaok. Data yang dikumpulkan dari usahatani padi adalah data yang mendukung terhadap analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dan tingkat pendapatan usahatani 7
padi. Perhitungan pendapatan petani diukur hanya berasal dari kegiatan usahatani padi. Petani yang menjadi responden dibedakan menurut status petani yaitu petani pemilik penggarap dan petani penggarap. Dalam penelitian ini yang dimaksud petani pemilik penggarap adalah petani yang memiliki dan menguasai lahan sawah dan mengusahakannya sendiri. Sedangkan yang dimaksud petani penggarap adalah petani yang menyelenggarakan usahataninya di atas lahan milik orang lain. Petani penggarap dalam penelitian ini adalah petani bagi hasil atau penyakap. 8