II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

III. TINJAUAN PUSTAKA

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

OUTLOOK KOMODITI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Estimasi Produksi Komoditas Indonesia Tahun Produksi / Cadangan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

VI. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

Kebijakan Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Indonesia: Siapa Yang Untung?

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR DIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

1 UNIVERSITAS INDONESIA Rancangan strategi..., R. Agung Wijono, FT UI, 2010.

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Profil Kelapa Sawit Kelapa sawit memainkan peranan penting bagi pembangunan sub sektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat. Di samping itu, kelapa sawit melalui produk hasil olahannya memberikan kontribusi yang besar bagi devisa negara melalui ekspor. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian (2006) diketahui bahwa pada tahun 2005, total devisa yang dihasilkan industri kelapa sawit ini mencapai US.$ 4.4 milyar atau 5 persen dari total ekspor Indonesia seluruhnya yang mencapai US.$ 85.7 milyar. Industri kelapa sawit dibagi menjadi dua, yaitu industri CPO (minyak sawit) dan industri KPO (minyak inti sawit). Dari total devisa yang diperoleh melalui industri kelapa sawit, industri minyak sawit menjadi penyumbang devisa terbesar yaitu sebesar 86.2 persen dari nilai total ekspor industri kelapa sawit. Sisanya, sebesar 13.8 persen disumbangkan oleh industri KPO. Terlihat jelas bahwa industri minyak sawit yang membutuhkan kelapa sawit dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS) lebih mendominasi industri perkelapasawitan Indonesia dibandingkan industri minyak inti sawit (KPO). Sejak tahun 1979 hingga tahun 2007 luas areal maupun produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006). Dalam perdagangan dunia, Indonesia merupakan eksportir kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Berdasarkan perkembangan data ekspor impor selama tahun 1969-2007 Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan kelapa

14 sawit. Walaupun Indonesia mulai melakukan impor minyak sawit sejak tahun 1981, namun hal ini tidak mempengaruhi neraca perdagangan yang terjadi. Neraca perdagangan kelapa sawit justru terus mengalami surplus dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2006) menyatakan bahwa minyak sawit (CPO) adalah komoditi yang sangat potensial sehingga layak disebut sebagai komoditi ekspor non migas andalan dari kelompok agroindustri. Hal ini dapat dilihat dari kondisi : (1) secara komparatif terdapat ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan produksi, berbeda halnya dengan negara pesaing terberat Indonesia, Malaysia yang luas areal produksinya telah mencapai titik jenuh; (2) secara kompetitif pesaing Indonesia hanya sedikit; (3) kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional adalah yang tertinggi dibandingkan ekspor hasil perkebunan lainnya. Selain itu (4) minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti industri minyak goreng, biodiesel, shortening, kosmetika, farmasi, dan sebagainya. Berbagai manfaat minyak sawit inilah yang mendorong tingginya permintaan akan minyak sawit. Selain untuk memenuhi kebutuhan luar negeri melalui ekspor, produksi minyak sawit Indonesia juga diperuntukkan bagi industri hilir di dalam negeri. Industri hilir minyak sawit dalam negeri didominasi oleh industri minyak goreng sawit. Industri minyak goreng sawit saat ini telah menggeser kedudukan industri minyak goreng lainnya seperti minyak goreng kelapa. Minyak goreng merupakan bagian dari sembilan bahan pokok. Oleh karena itu, pasokan minyak sawit yang

15 merupakan bahan baku bagi industri minyak goreng sawit harus senantiasa terjaga. 2.2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit, Produksi, Produktivitas dan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia Perkembangan luas areal kelapa sawit tahun 1967-2007 ditunjukkan pada Gambar 3. Luas areal kelapa sawit sejak tahun 1967 hingga tahun 2007 terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 11.17 persen per tahun. Luas areal tahun 2007 mencapai 63.95 kali lipat dari luas areal pada tahun 1967. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan baru mulai tahun 1979 terdapat pula Perkebunan Rakyat (PR). 8000000 7000000 Luas Areal (Ha) 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2007 Tahun PR PBN PBS TOTAL Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 3. Perkembangan Luas Areal Kelapa sawit, Tahun 1967-2007 Sejalan dengan perkembangan luas areal kelapa sawit, perkembangan produksi minyak sawit juga terus mengalami peningkatan. Produksi minyak sawit

16 Indonesia pada tahun 1967 sebesar 168 ribu ton telah meningkat hingga 105 kali lipatnya pada tahun 2007, yaitu sebesar 17 665 ribu ton. Peningkatan luas areal kelapa sawit dan produksi minyak sawit adalah akibat dari pesatnya perkembangan industri hilir kelapa sawit baik dari dalam maupun luar negeri (permintaan akan minyak sawit meningkat). Perkembangan produksi minyak sawit dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi (Ton) 20000000 16000000 12000000 8000000 4000000 0 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 Tahun PR PBN PS TOTAL Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2007 Gambar 4. Perkembangan Produksi Minyak Sawit, Tahun 1967-2007 Berdasarkan data rata-rata produksi minyak sawit (CPO) tahun 2001-2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009), terdapat 6 propinsi sentra kelapa sawit yang memberikan kontribusi produksi terbesar terhadap total produksi minyak sawit nasional. Keenam propinsi tersebut adalah Riau (25.68 persen), Sumatera Utara (23.43 persen), Sumatera Selatan (9.98 persen), Jambi (7.42 persen), Kalimantan Barat (6.28 persen), dan Sumatera Barat (5.48 persen). Tabel 2 menunjukkan perkembangan produktivitas minyak sawit dari tahun 2001 hingga 2006. Selama tahun 2001-2006, rata-rata produktivitas minyak sawit perkebunan besar swasta lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata produktivitas

17 perkebunan besar negara dan perkebunan rakyat. Hal ini terjadi karena perkebunan besar swasta memiliki beberapa keunggulan, yaitu modal yang besar, teknologi yang lebih modern, dan lain-lain. Secara keseluruhan, produktivitas minyak sawit mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas yang terjadi pada perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara. Komoditas minyak sawit yang sangat potensial mendorong perkebunan kelapa sawit mencari solusi yang efisien dan efektif dalam rangka peningkatan produktivitas. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas on farm (pengolahan lahan, pemupukan, dan lain-lain). Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2001-2006 Tahun Produktivitas (Ton/Ha) PR PBN PBS Total 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2.64 2.74 2.75 3.26 3.58 3.13 3.07 3.06 3.25 3.45 3.57 3.62 2.91 3.00 4.29 3.59 3.51 3.74 2.84 2.91 3.05 3.17 3.29 3.49 Rata-Rata 3.02 3.34 3.51 3.13 Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) setiap tiga tahun sekali, konsumsi per kapita minyak sawit nasional terus mengalami peningkatan sejak tahun 1984 hingga tahun 2005, dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 11.26 persen. Konsumsi minyak sawit di Indonesia pada tahun 1984 tercatat sebesar 2.29 Kg/kapita terus meningkat menjadi 4.8 Kg/kapita pada tahun 2005. Tabel 3 menunjukkan perkembangan konsumsi minyak sawit Indonesia.

18 Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia, Tahun 1984-2005 Tahun Konsumsi / Kapita (Kg/th) Pertumbuhan (%) 1984 2.29-1987 2.54 10.92 1990 2.71 6.69 1993 2.96 9.23 1996 3.17 7.09 1999 3.88 22.37 2002 4.38 12.89 2005 4.80 9.59 Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) 11.26 Sumber : BPS, 2006 2.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia Data mengenai produksi dan konsumsi minyak sawit dunia ditunjukkan pada Tabel 4. Prospek industri kelapa sawit kini semakin cerah baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri, kebijakan pemerintah dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) seperti biodiesel sebagai alternatif dari Bahan Bakar Minyak (BBM) memberi peluang kepada industri ini untuk lebih berkembang. Fenomena biodiesel sebagai pengganti BBM juga terjadi di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan kenaikan penggunaan atau konsumsi minyak sawit di pasar dunia. Tabel 4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia, Tahun 2001-2007 Tahun Produksi Konsumsi (juta Ton) (juta Ton) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 23.98 25.39 28.11 30.91 33.73 37.14 38.16 23.87 25.60 28.20 29.90 32.98 36.14 38.31 Rata-Rata Pertumbuhan (%) 8.09 8.22 Sumber : Oil World, 2001-2007

19 Pertumbuhan penggunaan minyak sawit dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya tren pemakaian bahan dasar oleochemical pada industri makanan dan industri farmasi (kosmetik). Fenomena ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya. Dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa produksi dan konsumsi minyak sawit dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi dan konsumsi minyak sawit dunia meningkat dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar 8.09 persen dan 8.22 persen per tahun. Peluang Indonesia masih terbuka lebar untuk meningkatkan devisa melalui ekspor minyak sawit ke pasar dunia dengan tren peningkatan produksi dan konsumsi minyak sawit dunia. Hal ini dikarenakan, konsumsi pada tahun 2001-2007 telah menggambarkan tingginya konsumsi minyak sawit pada tahun-tahun yang akan datang. Saat ini banyak negara di dunia yang telah mendirikan pabrikpabrik biodiesel, dimana sebagian besar pabriknya telah beroperasi. Kondisi ini sangat menguntungkan, karena konsumsi minyak sawit di dunia akan terus mengalami peningkatan yang pesat di kemudian hari. 2.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Sawit Indonesia Sebagian besar ekspor produk olahan kelapa sawit Indonesia adalah dalam bentuk minyak sawit (CPO). Negara-negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah India, Belanda, China, Malaysia, dan Pakistan. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut yang lebih besar dibandingkan ke negara lainnya. Pada tahun 2007, jumlah ekspor Indonesia ke India, Belanda, China, Malaysia, dan Pakistan masing-masing sebesar 2 743

20 ribu ton, 570 ribu ton, 237 ribu ton, 265 ribu ton, dan 226 ribu ton (Oil World, 2007). Kenaikan permintaan dari negara-negara tersebut akan mendorong peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia. Perkembangan volume ekspor minyak sawit sejak tahun 1969 hingga tahun 2007 mengalami sedikit fluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Gambar 5 menunjukkan volume ekspor minyak sawit sejak tahun 1969 hingga tahun 2007. Pada tahun 1969 nilai ekspor minyak sawit hanya sebesar US.$ 24 juta meningkat hingga 329 kali lipatnya menjadi US.$ 7.9 milyar pada tahun 2007. Volume ekspor minyak sawit pada tahun 1969 yaitu sebesar 179 ribu ton mengalami kenaikan hingga 66 kali lipatnya pada tahun 2007 dengan volume sebesar 11 875 ribu ton. Ekspor minyak sawit yang tinggi baik dari sisi volume maupun nilainya dalam US.$ salah satunya dipicu oleh maraknya penggunaan biodiesel di pasar dunia yang mendorong kenaikan permintaan minyak sawit dunia. Naiknya permintaan minyak sawit dunia tentunya akan meningkatkan ekspor untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di luar negeri. Volume (Ton) 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 1969 1972 1975 1978 1981 1984 1987 1990 Tahun EKSPOR 1993 1996 1999 2002 2005 2006 2007 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 5. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 Ekspor Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 1999 hingga tahun 2007 (Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terhadap

21 komoditas minyak sawit. Pada masa krisis, minyak sawit hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri karena harga dalam negeri yang tidak stabil. Setelah masa krisis berlalu, pemerintah mengubah kebijakan menjadi kebijakan yang pro ekspor sehingga ekspor terus mengalami peningkatan hingga saat ini. Volume (Ton) 500000 400000 300000 200000 100000 0 1969 1972 1975 1978 1981 1984 1987 1989 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2006 2007 Tahun IMPOR Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009 Gambar 6. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 Volume impor minyak sawit Indonesia tahun 1969 hingga tahun 2007 disajikan dalam Gambar 6. Selain mengekspor minyak sawit, Indonesia juga melakukan impor yang dimulai sejak tahun 1981. Namun, berbeda dengan perkembangan volume ekspor minyak sawit Indonesia, volume impor minyak sawit sangat fluktuatif dengan kecenderungan semakin menurun. Volume impor pada tahun 1981 sebesar 33 ribu ton dengan nilai US.$ 17 juta, dimana mengalami penurunan menjadi 1 067 ton dengan nilai US.$ 1.02 juta pada tahun 2007. Impor minyak sawit dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri hilir kelapa sawit apabila terjadi kekurangan pasokan minyak sawit dari produsen minyak sawit dalam negeri. Impor minyak sawit yang terus mengalami peningkatan sejak tahun 1987 disebabkan oleh adanya perbedaan harga antara harga minyak sawit di pasar domestik dan pasar dunia. Pada periode tersebut,

22 harga minyak sawit dunia lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak sawit domestik sehingga industri hilir lebih memilih untuk mengimpor minyak sawit dari luar negeri. 2.5. Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga Selain diperuntukkan bagi kepentingan ekspor, produksi minyak sawit juga harus memenuhi permintaan industri minyak goreng sawit yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku. Permintaan minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga yang harus dipenuhi oleh industri minyak goreng sawit terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Akibatnya, industri minyak goreng sawit harus meminta pasokan minyak sawit yang semakin meningkat pula. Tabel 5 menunjukkan permintaan minyak goreng sawit pada tingkat rumah tangga dari tahun 1990 hingga tahun 2007. Tabel 5. Perkembangan Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia, Tahun 1990-2007 Permintaan Pertumbuhan Tahun (Ton) (%) 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2007 486 373 560 164 628 731 801 168 932 252 1 005 820 1 035 010-15.17 12.24 27.43 16.36 7.89 2.90 Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) 13.67 Sumber : BPS, 2007 Dari Tabel 5 juga dapat dijelaskan bahwa permintaan minyak goreng sawit terus mengalami kenaikan dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 13.67 persen. Permintaan minyak goreng sawit pada tahun 1990 hanya sebesar 486 ribu ton meningkat menjadi 1 035 ribu ton pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan

23 bahwa industri minyak sawit harus bertanggung jawab untuk menjaga pasokan bagi industri minyak goreng sawit karena permintaan minyak goreng sawit cenderung meningkat dari waktu ke waktu. 2.6. Profil Biodiesel Ide penggunaan minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar diesel didemonstrasikan pertama kalinya oleh Rudolph Diesel (± tahun 1900). Penelitian di bidang ini terus berkembang dengan memanfaatkan beragam lemak nabati dan hewani untuk mendapatkan bahan bakar hayati (biofuel) dan dapat diperbaharui. Perkembangan ini mencapai puncaknya di pertengahan tahun 80-an dengan ditemukannya alkil ester asam lemak yang memiliki karakteristik hampir sama dengan minyak diesel fosil yang dikenal dengan nama biodiesel (www.library.usu.ac.id). Saat ini, industri biodiesel kembali dikembangkan dan semakin penting karena cadangan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui semakin menipis. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbaharukan (renewable) atau biasa disebut sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Biodiesel adalah salah satu bagian dari bahan bakar hayati (biofuel) yang merupakan substitusi dari Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya jenis solar. Biodiesel dapat diproduksi dari minyak-minyak tumbuhan seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak pagar, dan lain-lain. Bahan bakar nabati ini dapat digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, dan mempunyai sifat-sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang ada, hampir tanpa modifikasi.

24 Keuntungan lain dari penggunaan bahan bakar ini adalah karena biodiesel dikenal ramah lingkungan. Asap buangan biodiesel tidak berwarna hitam, sepuluh kali tidak lebih beracun daripada minyak solar biasa, dapat terdegradasi dengan mudah, tidak mengandung sulfur dan senyawa aromatik sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan serta tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer. Lebih jauh lagi, penggunaan biodiesel akan mengurangi efek pemanasan global. Berbagai keunggulan yang ditawarkan biodiesel menarik perhatian dunia (Bode, 2000). Indonesia yang merupakan salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia berpeluang untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di pasar dalam negeri dan pasar dunia yang sangat tinggi. Indonesia berpotensi meningkatkan produksi dan mempopulerkan penggunaan biodiesel di dalam negeri. Lebih jauh lagi, apabila industri biodiesel dalam negeri sudah siap, maka ekspor biodiesel bukan tidak mungkin terjadi. Selain itu, penggunaan biodiesel di dalam negeri dapat mengurangi ketergantungan akan impor bahan bakar fosil yang harganya semakin tinggi. Peluang internasional terbuka lebar karena dunia mulai melirik biodiesel sebagai bahan bakar alternatif. Jumlah penduduk yang semakin bertambah dan berbagai keunggulan biodiesel yang telah dijelaskan sebelumnya mendorong negara-negara di berbagai belahan dunia memproduksi biodiesel dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar. Negara-negara yang memproduksi biodiesel dalam skala besar antara lain India, Pakistan, Cina, Jepang, dan negaranegara di Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, dan lain-lain. Tentunya, peningkatan jumlah pabrik biodiesel di negara-negara tersebut akan meningkatkan

25 permintaan minyak sawit. Sebagai salah satu negara produsen utama minyak sawit, kondisi ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Dengan luas areal kelapa sawit yang masih dapat dikembangkan, produksi dan ekspor Indonesia masih dapat mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor berarti peningkatan penerimaan pemerintah melalui devisa dan peningkatan pendapatan bagi eksportir minyak sawit, serta pelaku agribisnis kelapa sawit (Bode, 2000). 2.7. Kebijakan di Sektor Minyak Sawit Sejak tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang perluasan areal kelapa sawit dengan memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk menanam investasi di bidang perkebunan kelapa sawit. Kebijakan tersebut ditopang dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan regulasi perdagangan minyak sawit melalui SKB 3 menteri, Menteri Pertanian, Menteri Koperasi, dan Menteri Perdagangan. SKB tersebut memuat Pertama, produsen minyak sawit diharuskan menjual hasil produksinya kepada produsen di dalam negeri. Kedua, jumlah penjualan tersebut besarnya ditentukan oleh Menteri Pertanian. Ketiga, harga ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Koperasi. Keempat, produsen dapat menjual hasil produksinya ke luar negeri jika produsen dalam negeri tidak menebusnya. Pada tahun 1981 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang larangan ekspor bagi minyak sawit sehingga pada tahun tersebut ekspor minyak sawit kasar turun kembali hingga 61 persen akan tetapi tahun-tahun berikutnya ekspor minyak sawit tetap tinggi walaupun harga pasar cenderung turun. Berikutnya pada tahun 1984 melalui surat keputusan Menteri Perdagangan Nomor 47/KMK/001/84 pemerintah menetapkan pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenisnya sebesar

26 37.18 persen sementara tetap mempertahankan kebijakan mengenai harga minyak sawit untuk kebutuhan domestik. Pada tahun 1986 terjadi penurunan harga minyak sawit yang tajam mencapai US.$ 1.97 CIF Rotterdam sehingga memaksa pemerintah membebaskan pajak ekspor melalui ketetapan Menteri Perdagangan Nomor 549/KMK/001/86. Pada tahun 1990 terjadi peningkatan produksi minyak sawit yang cukup tinggi. Pemerintah membolehkan produsen bebas menjual ke pasar di dalam negeri atau pasar luar negeri melalui Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang dikeluarkan tanggal 3 Juni 1993 masing-masing Menteri Pertanian Nomor 240/Kpts/KB/320/v/1991, Menteri Perindustrian Nomor 11/M/SK/1991, dan Menteri Perdagangan Nomor 136/KPB/V/6/1991 tentang deregulasi atas tata niaga minyak sawit. Adapun sistem tata niaga sebelumnya mengharuskan perusahaan swasta nasional dan asing harus menjual sebagian produksi minyak sawitnya ke Kantor Pemasaran Bersama (KPB) dan Perusahaan Negara menjual seluruh produksinya ke KPB. Selanjutnya KPB minyak sawit dijual kepada konsumen domestik, broker, dan badan pemasaran luar negeri. Dari badan pemasaran luar negeri dan importir luar negeri minyak sawit dijual kepada konsumen luar negeri yang akan diolah menjadi berbagai komoditi kebutuhan akhir. Pada tahun 1994, pemerintah melalui Surat Keputusan Nomor 439/KM/KMK.017/1994 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan kembali memberlakukan pajak ekspor atas minyak sawit kasar dan produk olahannya dengan besarnya 40 persen sampai dengan 60 persen dari selisih harga ekspor dan harga dasar. Kebijakan ini didasarkan atas stabilitas dan ketersediaan harga eceran

27 di pasar dalam negeri. Pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dikemas dalam paket Deregulasi tanggal 23 Mei 1995 (Pakmei). Kebijakan tersebut menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap penawaran minyak goreng nasional yaitu dengan mencabut Daftar Negatif Investasi bagi industri minyak goreng, penurunan bea masuk minyak goreng non minyak sawit dari 20 persen menjadi 15 persen. Kebijakan tersebut dapat menstabilkan harga minyak goreng melalui persaingan industri minyak goreng dalam negeri. Pada tahun 1997, Menteri Keuangan melalui Surat Keputusan Nomor 300/KMK/01/1997 tentang perubahan tarif pajak ekspor bagi minyak sawit kasar dan produk olahan lain seperti : Crude Olein, RBD olein, dan RBD-PO masingmasing sebesar 5 persen, 4 persen, 2 persen dan 4 persen melalui mekanisme : PE = tarif x HPE x jumlah satuan barang x kurs dimana : PE pajak ekspor dan HPE adalah harga patokan ekspor yang ditetapkan secara berkala oleh Menteri Perindustrian. Sehingga pajak ekspor dapat dihitung yakni tarif dikalikan dengan HPE dikalikan jumlah satuan barang dikalikan lagi dengan kurs yang berlaku. Pada akhir tahun 1997 tepat mulai tanggal 24 Desember 1997, pemerintah melalui Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 420/1997 tentang larangan ekspor selama kuartal pertama tahun 1998. Tetapi dengan adanya kesepakatan dengan IMF kembali pemerintah mencabut larangan ekspor tersebut melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 242/KMK/01/1998 yang berisikan pengenaan pajak ekspor sebesar 40 persen untuk minyak sawit kasar dan 30-35 persen untuk produk lainnya.

28 Pada tahun 2001, Menteri Keuangan mengeluarkan SK Nomor 66/KMK.017/2001 yang menyatakan bahwa tarif ekspor minyak sawit sebesar 3 persen. Tarif ekspor minyak sawit kemudian diturunkan menjadi 1.5 persen pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2005 pada tanggal 23 Desember 2005. Kemudian pada tahun 2007, Menteri Keuangan mengeluarkan kembali Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.011/2007 pada tanggal 31 Agustus 2007 yang menetapkan tarif ekspor minyak sawit secara progresif dengan kisaran 0-10 persen yang bergantung pada besarnya harga referensi, yaitu harga minyak sawit CIF Rotterdam. Kebijakan pemerintah terkait minyak sawit harus didasarkan pada kondisi minyak goreng di dalam negeri, stabilitas harga di dalam negeri, dan kebutuhan industri dalam negeri. Pemerintah harus tegas dan konsisten dalam memegang orientasi kebijaksanaan. Oleh karena itu, sepatutnya kebijaksanaan yang dipilih oleh pemerintah adalah kebijaksanaan yang menyeluruh, tidak hanya memikirkan salah satu pihak dalam industri kelapa sawit pada saat keadaan telah mendesak melainkan meliputi seluruh pihak dengan melakukan perencanaan yang baik sehingga akan diperoleh solusi yang optimal. 2.8. Studi Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan Susilowati (1989) tentang keadaan pasar minyak sawit di pasar domestik dan beberapa negara konsumen dan produsen utama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permintaan minyak sawit bersifat elastis terhadap tingkat pendapatan dengan koefisien sebesar 2.475. Selanjutnya peneliti juga mengemukakan bahwa antara minyak sawit dengan minyak nabati lain di negara konsumen utama seperti Jepang, Amerika, dan Masyarakat

29 Ekonomi Eropa ternyata memiliki sifat komplementer. Elastisitas permintaan impor negara Jepang, Amerika, dan Masyarakat Ekonomi Eropa terhadap perubahan harga minyak sawit di negara tersebut bersifat inelastis. Manurung, et al (1991) telah melakukan penelitian mengenai prakiraan perkembangan perluasan areal kelapa sawit dan kebutuhan bahan tanaman dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua, dimana penelitian tersebut membahas prakiraan pengembangan perluasan kelapa sawit dan hubungannya dengan ketersediaan bahan tanaman dari tiga sumber benih di Indonesia sampai tahun 2018. Hasil penelitian menjelaskan bahwa sampai dengan tahun 2018 perluasan tanaman kelapa sawit akan tumbuh dengan kisaran antara 66 653 s/d 221 275 ha per tahun atau tumbuh rata-rata 3.24 persen per tahun. Prakiraan luasan areal tersebut juga didukung oleh ketersediaan bahan sampai tahun 2018. Juliawan (1992) melakukan penelitian mengenai pemasaran minyak sawit Indonesia ke negara Belanda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peubahpeubah yang berpengaruh nyata terhadap ekspor Indonesia ke Belanda adalah produksi, harga ekspor minyak sawit Indonesia dan harga minyak inti sawit. Studi yang dilakukan Simanjuntak (1992) tentang daya saing perusahaan kelapa sawit yang didasarkan pengelolaannya yaitu perkebunan besar swasta nasional, perusahaan perkebunan besar negara (PTP), dan perkebunan besar swasta asing. Kriteria yang digunakan adalah keuntungan finansial (ROI) dan biaya sumberdaya domestik (DRC). Hasil kesimpulan studi tersebut menjelaskan bahwa : (1) perusahaan swasta asing memiliki daya saing sangat kuat dibandingkan dengan perusahaan perkebunan lainnya, (2) komoditi minyak sawit kasar tetap memiliki keunggulan komparatif sebagai komoditi ekspor, dan (3)

30 semua kelompok perusahaan mengalami kenaikan efisiensi ekonomi relatif yang hampir sama setiap tahun akibat peningkatan efisiensi teknis. Studi yang dilakukan oleh Manurung (1993) tentang model ekonometrika industri komoditi kelapa sawit Indonesia yang antara lain bertujuan menganalisis berlakunya pembatas, pajak ekspor dan lain-lain. Studi tersebut menghasilkan antara lain : (1) luas areal tanaman dan produktivitas minyak sawit sangat responsif terhadap harga efektif riil ekspor minyak sawit, kebijakan pola pengembangan perkebunan dengan PIR, kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dan tingkat suku bunga, (2) elastisitas harga sendiri dan harga silang permintaan minyak sawit dan inti sawit domestik bersifat inelastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang, (3) kebijakan pembatas ekspor tidak efektif jika harga dunia lebih tinggi dari harga domestik, dan (4) bahwa pajak ekspor yang sebesar 5 persen dapat menurunkan surplus devisa sehingga defisit neraca perdagangan meningkat. Susila, et al (1995) melakukan penelitian tentang model domestik ekonomi minyak sawit mentah. Dalam penelitian ini data diagregasi menjadi data perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta. Kesimpulan dari penelitian tersebut antara lain : (1) produksi perkebunan rakyat dipengaruhi oleh harga domestik 3 tahun sebelumnya dan jumlah produksi tahun sebelumnya, (2) produksi perkebunan besar negara (PTP) identik dengan perkebunan rakyat, perbedaannya terletak pada koefisien parameter dugaan dan determinasinya, (3) produksi minyak sawit mentah perkebunan besar swasta dipengaruhi oleh harga domestik empat tahun yang lalu dan jumlah produksi minyak sawit mentah tahun sebelumnya, (4) perilaku jumlah ekspor minyak sawit

31 mentah Indonesia dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar dan jumlah ekspor tahun sebelumnya, dan (5) harga domestik minyak sawit mentah dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah, harga domestik tahun sebelumnya dan tingkat teknologi. Drajat dan Buana (1995) melakukan penelitian tentang konsumsi dunia dan posisi Indonesia dalam produksi dan perdagangan dunia minyak sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minyak sawit dunia meningkat selama tiga dasa warsa dengan negara-negara Eropa Barat, Amerika dan Jepang sebagai konsumen terbesar. Konsumsi minyak sawit pada dasa warsa 1983-1992 sebesar 87.7 ton merupakan peningkatan lima kali lipat dari dasa warsa 1963-1972. Posisi Indonesia sebagai pesaing potensial bagi Malayasia mengalami peningkatan produksi yang cukup pesat pada dasa warsa 1983-1992 yakni meningkat delapan kali lipat dibandingkan dasa warsa 1963-1972. Impor minyak sawit dunia meningkat delapan kali lipat menjadi 66.8 juta ton selama dasa warsa 1983-1992 dibanding dasa warsa 1963-1972. Adapun ekspor minyak sawit dunia meningkat dari delapan juta ton pada dasa warsa 1963-1972 menjadi 66.8 juta ton pada dasa warsa 1983-1992. Susila, et al (1995) melakukan penelitian tentang model ekonomi minyak sawit mentah dunia. Kesimpulan hasil penelitian bahwa respon jangka pendek produksi, konsumsi, ekspor, dan impor terhadap perubahan harga minyak sawit dan harga pesaing bersifat inelastis. Pada sisi lain respon harga minyak sawit terhadap perubahan produksi dalam jangka pendek bersifat elastis dengan koefisien 1.4. Hasil simulasi dengan skenario baku menunjukkan bahwa produksi, konsumsi, ekspor-impor minyak sawit dunia meningkat masing-masing dengan

32 laju 6.08 persen, 5 persen, dan 4.12 persen per tahun untuk tahun 1995-2000. Suharyono (1996) melakukan penelitian yang berkaitan dengan dampak kebijakan ekonomi pada komoditi minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Hasil penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa : (1) produksi minyak sawit domestik secara nyata dipengaruhi harga minyak sawit domestik, harga ekspor minyak sawit Indonesia, teknologi, permintaan minyak sawit domestik, luas areal produktif tiga tahun sebelumnya, (2) permintaan minyak sawit domestik secara statistik dipengaruhi oleh harga minyak sawit domestik, teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik, dalam jangka pendek maupun jangka panjang hanya responsif terhadap perubahan permintaan minyak goreng sawit domestik, (3) permintaan minyak goreng sawit domestik dalam jangka pendek hanya responsif terhadap pendapatan nasional dan perkembangan jumlah penduduk selanjutnya dalam jangka panjang selain responsif terhadap pendapatan nasional dan jumlah penduduk juga responsif terhadap harga minyak goreng sawit domestik dan harga minyak goreng kelapa, (4) penawaran minyak sawit domestik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang memiliki elastisitas masing-masing sebesar 1.517 dan 1.556. Sementara terhadap perubahan nilai tukar penawaran minyak sawit hanya responsif dalam jangka panjang dengan nilai elastisitas sebesar -1.006, dan (5) penawaran minyak goreng sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan teknologi sedangkan pengaruh produksi minyak terhadap penawaran komoditi ini dalam jangka panjang memiliki elastisitas sebesar 1.013. Penelitian yang dilakukan oleh Sugema, et al (2007) tentang strategi pengembangan industri hilir kelapa sawit, menyimpulkan : pungutan ekspor

33 merupakan buah dari ketidakjelasan strategi industrialisasi serta kebijakan kompetisi. Pengalaman menunjukkan bahwa PE merupakan instrumen yang tidak efektif dalam mencapai sasaran kebijakan yang hendak dicapai. Bahkan PE banyak memberikan dampak negatif bagi industri minyak sawit secara keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terdapat beberapa indikasi yang memperlihatkan kearah tersebut yakni sebagai berikut : (1) PE minyak sawit akan menyebabkan terjadinya disparitas harga domestik dengan harga dunia. Turunnya harga minyak sawit domestik akan merugikan produsen minyak sawit dan di lain pihak menguntungkan pelaku di industri hilir. Jumlah kerugian yang terjadi adalah Rp 3.45 triliun per tahun, (2) penurunan harga domestik tersebut akan diikuti dengan penurunan harga yang diterima petani dalam skala yang lebih besar. Petani adalah pihak yang paling dirugikan dimana setiap satu persen penurunan harga minyak sawit domestik akan berakibat pada penurunan harga di tingkat petani sebesar 1.2 persen, (3) karena pendapatan produsen atau petani TBS sawit menurun maka dampak selanjutnya adalah terjadinya involusi di perkebunan sawit. Kemampuan petani untuk membiayai kebun mereka menjadi berkurang sehingga produktivitas kebun sawit akan menurun. Selain itu, ekspansi areal tanam baru juga menjadi terhambat sehingga perkembangan industri sawit secara keseluruhan tidak akan secepat yang terjadi sekarang, (4) dengan adanya involusi di industri hulu maka kesinambungan di industri hilir juga terganggu. Saat ini integrasi hulu-hilir lebih sering terjadi dari hulu dibanding sebaliknya. Industri hulu yang memiliki nilai tambah yang lebih baik merupakan sumber akumulasi modal bagi pengembang di industri hilir. Karena itu pengenaan PE akan berakibat

34 pada lemahnya kemampuan pelaku di hulu untuk melakukan integrasi vertikal ke hilir, (5) dengan terjadinya involusi di hulu maka penyerapan tenaga kerja juga akan terganggu. Penyerapan tenaga kerja di hulu jauh lebih baik dibanding di hilir yang padat modal, (6) kenaikan tarif PE juga akan membuat daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia berkurang yang pada gilirannya akan mengurangi pangsa pasar ekspor Indonesia. Tentunya hal tersebut berimplikasi terhadap penerimaan devisa dari ekspor. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka pengembangan industri hilir sebaiknya tidak dilakukan dengan cara penerapan PE yang lebih tinggi tetapi lebih tepat menggunakan instrumen sistem insentif. Sistem insentif yang diberlakukan khusus untuk industri hilir tidak akan mengganggu industri hulu. Sistem insentif yang demikian akan sekaligus mampu mendorong industri hilir dan meningkatkan kesinambungan industri hulu. Zulkifli (2000) dalam penelitiannya tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri kelapa sawit Indonesia dan perdagangan minyak sawit dunia menjelaskan antara lain bahwa : (1) respon areal tanaman menghasilkan pada perkebunan besar negara inelastis terhadap perubahan harga minyak sawit kasar, sementara perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta memperlihatkan respon yang sangat elastis, (2) pengembangan areal perkebunan besar negara yang terarah di Kalimantan secara absolut mampu meningkatkan produktivitas. Adapun pengembangan areal kelapa sawit untuk perkebunan besar swasta dan rakyat di Kalimantan dan Sumatera justru menurunkan produksi kelapa sawit. Respon yang negatif tersebut disebabkan oleh umur tanaman yang lebih muda sehingga produktivitasnya masih rendah, (3) harga domestik minyak

35 sawit kasar dipengaruhi secara nyata oleh harga ekspor dan permintaan minyak sawit kasar domestik, dan (4) ekspor minyak goreng sawit Indonesia elastis terhadap perubahan harga domestik minyak goreng sawit baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sementara permintaan domestik minyak goreng sawit inelastis terhadap perubahan harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa. 2.9. Kebaruan Penelitian Penelitian mengenai Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia merupakan penelitian lanjutan dari penelitian mengenai minyak sawit sebelumnya. Adapun kebaruan (novelty) dari penelitian ini ditunjukkan pada simulasi peramalan yang bertujuan menganalisis kebijakan domestik yang memberikan dampak peningkatan kesejahteraan netto yang terbesar. Kebijakan domestik yang dianalisis tersebut adalah penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen, kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik sebesar 50 persen), pelarangan ekspor minyak sawit Indonesia, dan kuota ekspor minyak sawit sebesar 40 persen dari total produksi minyak sawit Indonesia. Kemudian kebaruan penelitian ini juga ditunjukkan adanya variabel harga minyak mentah dunia dalam persamaan permintaan minyak sawit oleh industri lain. Variabel ini digunakan untuk menunjukkan pengaruh peningkatan harga minyak mentah dunia terhadap perkembangan industri hilir minyak sawit domestik (khususnya industri biodiesel) dan terhadap peningkatan permintaan impor minyak sawit dunia untuk bahan bakar alternatif (biodiesel). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih

36 responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kenaikan harga minyak mentah dunia menyebabkan peningkatan permintaan minyak sawit oleh industri lain di pasar domestik dan permintaan impor minyak sawit dunia; Kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan Peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit terlebih dulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian ini juga dapat dilihat bahwa kebijakan penetapan pajak ekspor pada besaran tertentu ataupun dengan kebijakan kuota ekspor adalah efektif untuk jangka pendek dalam meningkatkan kesejahteraan netto. Namun untuk jangka panjang diperlukan kebijakan kuota domestik yang memastikan terpenuhinya penawaran minyak sawit domestik setelah adanya upaya untuk mengembangkan industri hilir minyak sawit domestik.