BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian Indonesia dalam beberapa dekade mengalami situasi yang tidak menentu. Pada tahun 1997 sistem perbankan Indonesia mengalami keterpurukan dengan adanya krisis moneter yang diikuti dengan krisis sosial dan keamanan. Akhir tahun 2008 juga mengalami krisis ekonomi sebagai dampak krisis ekonomi global. Krisis ekonomi yang demikian berdampak langsung pada terjadinya kenaikan mata uang asing terutama dollar Amerika yang pada tahun 2008 mencapai 12.000 (dua belas ribu) per dollar Amerika 1). Akibat adanya kenaikan dollar terhadap rupiah tersebut memberikan kontribusi yang besar terjadinya kenaikan kredit bermasalah. Kredit bermasalah ( non performing loan ) akan berpengaruh pada menurunya tingkat kesehatan bank. Peningkatan Non Performing Loan ( NPL ) akan mengurangi keuntungan sebagai pencadangan modal suatu bank. Pecadangan modal ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa bank akan tetap beroperasi dengan baik. Oleh karena itu bank wajib membentuk 1. Kompas, saham dan rupiah masih terpuruk, 18 November 2008 1
2 Penyisihan Penghapusan Aktiva ( PPA ) dalam setiap pemberian kredit. Penyisihan Penghapusan Aktiva ini akan semakin bertambah apabila terdapat kredit bermasalah. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ( PBI ) Nomor : 7/2/PBI/2005 terakhir diubah dengan PBI Nomor : 9/PBI/2007 penyisihan penghapusan aktiva ini ditetapkan sebesar 5 % dari aktiva produktive yang memiliki kualitas dapat perhatian khusus ( DPK ), 15 % untuk kualitas kurang lancar ( KL ) dan 50 % untuk kualitas diragukan serta 100 % untuk kualitas macet. Berdasarkan ketentuan tersebut semakin banyak kategori kredit macet maka keuntungan bank akan semakin berkurang pula. Pada prinsipnya bank berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam memberikan kredit bank harus punya keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur berdasarkan analisis yang mendalam terhadap kesanggupan dan kemampuan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Untuk mendapat keyakinan tersebut bank harus melakukan penilaian terhadap debitur tentang kebenaran identitas, watak, kemampuan usaha, modal dan agunan.
3 Dalam usaha untuk menurunkan Non Performing Loan ini pihak perbankan memiliki kewenangan untuk melakukan segala pengurusan dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah termasuk sampai pada penjualan barang jaminan atau agunan. Agunan atau barang jaminan menjadi salah satu unsur penting dalam memberikan keyakinan bank dalam rangka pemberian kredit. Agunan dapat memberikan solusi ketika kredit masuk dalam kategori macet. Penjualan agunan atau barang jaminan merupakan kewenangan bank dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah. Berkaitan dengan kewenangan bank dalam penyelesaian kredit bermasalah dengan cara penjualan barang jaminan diatur dalam dua peraturan. Barang jaminan berupa barang bergerak diatur dalam Undang- Undang Nomor : 40 Tahun 1997 tentang Fiducia. Sedanglan barang jaminan berupa tanah dan atau bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Dan Segala Sesuatu Yang Berkaitan Dengan Tanah. Berdasarkan pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996, pihak perbankan sebagai kreditur pemegang hak tanggungan dapat menyelesaikan kredit bermasalahnya dengan cara menjual obyek jaminan dengan cara : 1. Melalui pasal 6
4 Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa apabila debitur cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum ( lelang ) serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut ; 2. Melalui pasal 14 Pasal 14 ayat ( 2 ) Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 menyebutkan Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksut dalam ayat ( 1 ) memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Dari ketentuan ini kreditur dapat menjual obyek Hak Tanggungan melalui Pengadilan Negeri dan mengambil pelunasan. Penjualan dilakukan melaui pelelangan umum ( lelang ) 3. Dibawah tangan Pasal 20 ayat ( 2 ) Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu
5 akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dari ketiga alternatif penjualan barang jaminan tersebut yang paling sering dipergunakan adalah melalui pasal 6 dan pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan sedangkan alternatif ketiga yaitu penjualan dibawah tangan hampir tidak pernah ditempuh. Penjualan obyek hak tanggungan dibawah tangan mengalami kesulitan dalam hal pemenuhan persyaratannya. Persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 bahwa penjualan dibawah tangan dapat dilakukan sepanjang mendapat persetujuan dari debitur. Pelaksanaan eksekusi berdasarkan pasal 6 dan 14 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 mempunyai persamaan yaitu tata cara eksekusi harus melalui pelelangan umum. Namun demikian kedua tata cara eksekusi tersebut mempunyai perbedaan yang prinsipiil. Pelaksanaan eksekusi berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 didasarkan pada irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang ada pada Sertifikat Hak Tanggungan. Irah-irah ini memberi kekuatan pada pemegang Hak Tanggungan untuk menjual barang jaminan melalui Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kekuatan
6 eksekutorial pada pemegang Sertifikat Hak Tanggungan. Kekuatan eksekutorial pada Sertifikat Hak Tanggungan mengandung arti bahwa Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang telah mepunyai kekuatan hukum tetap. Dalam praktek pelaksanaan eksekusi yang demikian disebut parate eksekusi. Dasar dari pelaksanaan ini adalah pasal 224 HIR ( Het Herziene Inlandse Reglement ) yang menyebutkan Surat asli dari pada surat hipotik dan surat hutang yang diperkuat dihadapan notaris di Indonesia dan kepalanya memakai perkataan Atas Nama Undang-Undang. Menurut R. Soesilo dengan adanya irah - irah Atas Nama Undang - Undang ( Sekarang Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ) pada sertifikat Hipotik memberikan kekuatan sama dengan putusan hakim. Hal ini berarti apabila surat tersebut tidak ditepati dangan jalan damai, maka akan dijalankan seperti keputusan hakim biasa, yaitu dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum orang yang berutang. 2 Dalam pelaksanaannya hal ini merupakan kewenangan Pengadilan Negeri. Berbeda halnya dengan pelaksanaan eksekusi berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996. Dasar pelaksanaan eksekusi adalah janji menjual atas kekuasaan sendiri yang 2. Soesilo.R,RIB/HIR Dengan Penjelasan, Politea, Bogor, 1985,5
7 diberikan oleh debitur kepada kreditur yang tertuang dalam Perjanjian Kredit dan dikuatkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atau lebih dikenal dengan Beding Van Eigenmachtige Verkoop. Pelaksanaan penjualannya tidak memerlukan campur tangan Pengadilan Negeri. Pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama dapat langsung mengajukan permohonan penjualan ke Kantor Lelang ( Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang ). Kedua cara eksekusi barag jaminan tersebut, baik melalui pasal 14 maupun pasal 6 undang-undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 harus dilakukan dengan cara penjualan dimuka umum ( lelang ) seperti yang diamanahkan dalam pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 tahun 1996. Penjualan dimuka umum ( lelang ) berdasarkan pasal 1 Peraturan Lelang ( Vendureglement ) yang dimuat dalam Ordonantie 28 Pebruari 1908 L.N. 08-189 3) menyebutkan : pelelangan dan penjualan barang yang diadakan dimuka umum dengan penawaran harga makin meningkat atau dengan pendafataran harga, atau dimana orang-orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberikan tahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang, atau yang membeli untuk menawar harga, menyetujui harga atau mendaftarkan Sementara dalam pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 3. Soemitro, Rochmat, Peraturan dan Instruksi Lelang, PT. Eresco, Bandung, 1987
8 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Pelaksanaan penjualan lelang baik berdasarkan pasal 14 maupun pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 harus dihadapan Pejabat Lelang. Keharusan itu didasarkan pada pasal 1 a Peraturan Lelang (Vendureglement) yang dimuat dalam Ordonantie 28 Pebruari 1908 L.N. 08-189 yang menyebutkan bahwa Penjualan dimuka umum tidak boleh diadakan kecuali didepan juru lelang. Juru lelang atau Pejabat Lelang sesuai dengan pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan secara lelang. Pejabat lelang yang dapat melaksanakan lelang ekseksui hak tanggungan berdasarkan pasal 6 dan 14 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 adalah Pejabat Lelang kelas I yaitu Pejabat Lelang yang berasal dari pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
9 Pelaksanaan lelang eksekusi berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 banyak dipergunakan dengan alasan lebih efektif dibandingkan dengan pelaksanaan lelang berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 tahun 1996. Lelang eksekusi hak tanggungan melalui pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 memerlukan fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri. Fiat eksekusi ini adalah suatu pernyataan setuju untuk dilaksanakan atau dalam prakteknya fiat eksekusi ini berupa penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri berisi tentang perintah melaksanakan penjualan dimuka umum dari Ketua Pengadilan Negeri kepada jurusita pengadilan dengan disaksikan oleh dua orang saksi melalui perantara Kantor Lelang Negara ( Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang ). Fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri memerlukan serangkaian kegiatan atau prosedur yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Dan pemegang hak tanggungan tidak berkedudukan sebagai subyek hukum dalam pelaksanaan lelang eksekusi ini. Subyek hukum diambil alih oleh Pengadilan Negeri. Sehingga yang menentukan barang jaminan atau agunan yang akan di lakukan penjualan dimuka umum baik waktu dan harga jual ( harga limit lelang ) adalah pihak Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri berkedudukan sebagai pihak penjual.
10 Sedang pelaksanaan eksekusi berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 tidak memerlukan fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri sehingga di rasa lebih menghemat dari segi biaya dan waktu. Kedudukan subyek hukum tetap pada pemegang hak tanggungan peringkat pertama sehingga dapat menentukan waktu dan harga jual barang jaminan. Pemegang hak tanggungan peringkat pertama dapat langsung mengajukan permohonan lelang eksekusi kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Tata cara ini masih menimbulkan perdebatan didalam pelaksanaannya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan beding van eigenmachtige verkoop atau janji menjual atas kekuasaan sendiri yang diberikan oleh debitur kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama dalam hal terjadi cidera janji? 2. Bagaimana prospek penerapan beding van eigenmachtige verkoop dalam hal terjadi cidera janji?
11 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif Penelitian ini dimaksutkan untuk : a. Mengetahui kedudukan beding van eigenmachtige verkoop atau janji menjual atas kekuasaan sendiri yang diberikan oleh debitur kepada kreditur pemegang hak tanggungan peringkat pertama dalam hal terjadi cidera janji. b. Mengetahui prospek penerapan beding van eigenmachtige verkoop dalam hal terjadi cidera janji. 2. Tujuan Subyektif Penelitian ini dilakukan dalam rangka pembuatan tesis oleh penulis guna memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada strata 2 ( S2 ) program Magister Hukum. D. Manfaat Penelitian 1. Memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan khusunya pada ilmu hukum yang berkaitan dengan eksekusi Hak Tanggungan. 2. Memberikan masukan dari aspek hukum bagi upaya pengembangan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan.
12 E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang eksekusi hak tanggungan sudah banyak dilakukan namun penulisan ekseksui hak tanggungan dilihat dari sisi kedudukan Beding Van Eigenmachtige Verkoop Dalam Pelaksanaan Ekskeusi Hak Tanggungan Setelah Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor : 4 Tahun 1996 di KPKNL Surakarta sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan.