BAB I PENDAHULUAN. yang menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III ASAS NATIONAL TREATMENT SEBAGAI DASAR LEGAL STANDING WNA

SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

Kuasa Hukum Hendrayana, S.H., Mappinawang, S.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Oktober 2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 37/PUU-XIV/2016 Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIII/2015 Pengumuman Terhadap Hak Cipta Yang Diselenggarakan Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 101/PUU-XV/2017 Peralihan Hak Milik atas Tanah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XII/2014 Pengisian Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XV/2017 Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan dan Kebakaran Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 30/PUU-XIV/2016

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 4 / PUU-X / 2012 Tentang Penggunaan Lambang Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 48 partai politik peserta Pemilu Sistem multipartai ini

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 3/PUU-XV/2017 Pelaksanaan Tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 98/PUU-XV/2017 Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Aparatur Sipil Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 73/PUU-XV/2017

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan (Agama)

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 31/PUU-XIV/2016 Pengelolaan Pendidikan Tingkat Menengah Oleh Pemerintah Daerah Provinsi

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XIV/2016 Syarat Pendidikan Hukum untuk Profesi Advokat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

Kuasa Hukum: Fathul Hadie Utsman sebagai kuasa hukum para Pemohon, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 20 Oktober 2012.

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUU-XV/2017 Kewenangan Menteri Keuangan Dalam Menentukan Persyaratan Sebagai Kuasa Wajib Pajak

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XVI/2018 Eksistensi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Penjara 5 (lima) Tahun atau Lebih Bagi Calon Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XV/2017 Pelaksanaan Tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 98/PUU-XIV/2016 Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 66/PUU-XII/2014 Frasa Membuat Lambang untuk Perseorangan dan Menyerupai Lambang Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

KUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014.

BAB III PENUTUP. dilakukanlah penelitian hukum normatif dengan melacak data-data sekunder

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XV/2017 Remisi bagi Narapidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 67/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 94/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

I. PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diwakili oleh Kartika Wirjoatmodjo selaku Kepala Eksekutif

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

KUASA HUKUM Dra. Endang Susilowati, S.H., M.H., dan Ibrahim Sumantri, S.H., M.Kn., berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 September 2013.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIII/2015 Proses Seleksi Pengangkatan Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (selanjutnya disingkat Putusan MKRI No. 2-3/PUU-V/2007) yang menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang dimohonkan oleh warga negara asing (selanjutnya disingkat WNA) tidak dapat diterima. Dalam kasus ini dipertimbangkan bahwa WNA tidak memiliki legal standing untuk bertindak sebagai pemohon pengujian undangundang (selanjutnya disingkat PUU) di depan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disingkat MKRI) karena tidak diatur atau dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, yang selanjutnya disingkat UU MKRI). 1 Mayoritas Hakim Konstitusi berpendapat bahwa di dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MKRI beserta penjelasannya telah dinyatakan secara jelas dan tegas (expressis verbis) bahwa perorangan yang memiliki legal standing untuk bertindak sebagai pemohon PUU terhadap Undang-Undang Dasar Negara 1 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, h. 369. 1

2 Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) di depan MKRI adalah hanya perorangan yang memiliki kepentingan yang sama, yang dalam hal ini adalah WNI yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Tidak ada hak bagi WNA untuk bertindak sebagai pemohon PUU di depan MKRI. 2 Dalam kasus ini ada dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Maruarar Siahaan berpandangan bahwa WNA tetap dapat memiliki legal standing, yaitu dengan berdasarkan asas national treatment dalam hukum internasional, dimana dengan asas tersebut, Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MKRI dimungkinkan untuk mendapat penafsiran yang diperluas. 3 Akan tetapi, menurut Penulis argumen dari Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan masih kurang cukup mengelaborasi eksistensi dari asas national treatment tersebut dalam hal dapat digunakannya sebagai dasar legal standing WNA di MKRI. Asas national treatment adalah suatu prinsip yang telah ada di dalam hukum kebiasaan internasional. Prinsip ini mengatakan bahwa apabila negara bersedia menerima keberadaan WNA ke dalam wilayahnya, maka negara tersebut berkewajiban untuk memperlakukan WNA yang diterimanya sama seperti warga negaranya sendiri. 4 Tetapi, hal ini tidak berarti WNA akan diperlakukan sama secara absolute. Pembedaan dalam hal-hal tertentu tidak dilarang oleh hukum internasional, yaitu khususnya adalah dalam hal-hal yang menyangkut hak-hak 2 Ibid. 3 Ibid., h. 446-447. 4 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, Edisi Pertama, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2003, h. 23; Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, George Allen and Unwin, London, 1983, h. 87.

3 warga negara yang eksklusif. Artinya, sepanjang tidak menyangkut hak-hak warga negara yang eksklusif, maka WNA di dalam sebuah negara harus diperlakukan sama seperti warga negara setempat. Berdasarkan pada prinsip di dalam hukum kebiasaan internasional tersebut, melalui penelitian hukum ini Penulis hendak menyampaikan bahwa dengan demikian, meskipun UU MKRI secara eksplisit tidak mengatur legal standing untuk WNA, tetapi ketika perkara PUU di MKRI melibatkan WNA sebagai pemohon, maka seharusnya selama yang dipersoalkan tidak menyangkut hak eksklusif sebagai warga negara, in casu warga negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI), WNA tersebut berhak untuk diperlakukan sama seperti WNI, dalam arti diakui legal standing-nya sebagai pemohon PUU di MKRI dengan berlandaskan pada asas national treatment. Di sisi lain, penulis juga hendak menyampaikan bahwa dengan adanya prinsip hukum kebiasaan internasional yang mengatur perlakuan negara (host country) terhadap WNA, kata WNI di dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MKRI seharusnya dipahami secara kontekstual, bukan hanya tekstual atau secara sempit, dalam perkataan lainnya. Artinya, makna WNI sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MKRI seyogianya terbuka untuk dapat diinterpretasikan secara ekstensif hingga mencakup juga WNA berdasarkan asas national treatment. MKRI seharusnya perlu untuk mempertimbangkan kembali mengenai bagaimana implikasinya bagi negara Indonesia apabila WNA tidak diberikan akses untuk melakukan upaya hukum di MKRI. Tuduhan terjadinya denial of justice adalah resiko yang berpotensi dihadapi oleh negara Indonesia jika akses

4 upaya hukum ke MKRI tersebut ditutup bagi WNA. Karena sikap MKRI demikian sama saja dengan menutup kesempatan bagi WNA di wilayah negara Indonesia untuk dapat megakses seluruh upaya hukum yang tersedia di negara Indonesia yang efektif dalam hal upayanya untuk memulihkan kerugian atas hakhaknya yang terjadi selagi keberadaannya di negara Indonesia. Jika hal ini terjadi, maka negara Indonesia sangat berpotensi juga untuk diminta bertanggung jawab di hadapan pengadilan internasional oleh negara kebangsaan dari WNA yang dirugikan tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh prinsip di dalam hukum kebiasaan internasional yang mengatakan bahwa WNA di dalam suatu negara yang mengalami kerugian terhadap haknya atas tindakan dari tindakan atau kelalaian dari negara tuan rumah bersangkutan berhak untuk meminta perlindungan dari negara kebangsaannya agar turut campur tangan dalam memulihkan kerugian haknya dengan membawa perkaranya tersebut pada pengadaan proses hukum internasional. 5 Akan tetapi hukum internasional juga mengatur bahwa sebelum proses pengadaan hukum internasional tersebut pada akhirnya dapat dilakukan, WNA bersangkutan harus terlebih dahulu mengupayakan pemulihan atas kerugian haknya dengan menempuh upaya-upaya hukum nasional yang tersedia di negara tuan rumah setempat hingga exhausted (exhaustion of local remedies). 6 Artinya, 5 Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, terjemahan oleh Derta Sri Widowatie dkk., Penerbit Nusa Media, Bandung, 2013, h. 772-774.; Louis Henkin, et.al., International Law: Cases and Materials, Second Edition, West Publishing Co., St. Paul-Minn, 1987, h. 519. 6 Chittharanjan Felix Amerasinghe, Local Remedies in International Law, Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, h. 101.; Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 801.

5 sampai tidak ada lagi upaya hukum yang efektif dapat diupayakan untuk memulihkan kerugian haknya tersebut. Hal ini merupakan bentuk pemberian kesempatan kepada negara tuan rumah untuk memperbaiki kesalahannya sebagaimana yang pernah disinggung di dalam kasus Switzerland v. U.S. bahwa the state where the violation has occurred should have an opportunity to redress it by its own means, within the freamework of its own domestic legal system. 7 Oleh sebab itu, penulis berpendapat prinsip exhaustion of local remedies seyogianya dapat dipahami dengan mana berarti seharusnya seluruh upaya-upaya hukum nasional yang efektif harus tersedia seluas-luasnya untuk dapat diakses oleh WNA bersangkutan sebagai kesempatan dalam upayanya untuk melindungi atau mempertahankan haknya yang telah dirugikan. Jika kesempatan tersebut hilang, maka negara tuan rumah bersangkutan dapat dianggap telah melakukan denial of justice. Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka penulis berpendapat bahwa Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MKRI apabila tidak terbuka untuk dipahami secara kontekstual, maka berpotensi untuk menyalahi asas national treatment dalam hukum internasional karena dengan demikian telah membatasi legal standing pemohon PUU di MKRI hanya bagi WNI, WNA tidak berhak. Terhadap adanya permasalahan ini, penulis berpendapat bahwa asas national treatment seyogianya berlaku sebagai dasar legal standing WNA sebagai pemohon PUU di MKRI, terlebih lagi dengan adanya resiko denial of justice yang berpotensi dihadapi oleh negara Indonesia apabila asas national treatment tersebut tidak dapat dimanfaatkan sebagai dasar legal standing untuk WNA bertindak 7 Louis Henkin, et.al., Op.Cit., h. 558.

6 sebagai pemohon PUU di MKRI yang mana berimplikasi negara Indonesia dapat diminta bertanggung jawab secara internasional, dimana hal ini juga perlu untuk menjadi pertimbangan bagi MKRI, khususnya ketika perkara PUU melibatkan WNA sebagai pemohon di dalamnya. Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis suatu penelitian hukum yang dalam hal ini diberi judul LEGAL STANDING BAGI WARGA NEGARA ASING SEBAGAI PEMOHON PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI DEPAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN ASAS NATIONAL TREATMENT. Untuk selebihnya akan dibahas secara lebih mendalam oleh penelitian ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian-uraian yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu: Apakah asas national treatment dalam hukum internasional dapat menjadi dasar legal standing WNA di MKRI sementara pada saat yang sama UU MKRI membatasi legal standing hanya untuk WNI? C. Tujuan 1. Menjelaskan bahwa asas national treatment adalah prinsip yang ada di dalam hukum kebiasaan internasional yang mengatur perlakuaan negara terhadap WNA;

7 2. Menjelaskan bahwa asas national treatment dapat diberlakukan sebagai dasar pertimbangan MKRI untuk mengakui legal standing WNA untuk bertindak sebagai pemohon pengujian konstitusionalitas undang-undang di MKRI. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, dapat dipahami bahwa asas national treatment merupakan prinsip yang ada di dalam hukum internasional yang mengatakan bahwa WNA di dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti warga negara; 2. Secara praktis, dapat membantu Hakim Konsitusi dalam mana bahwa pada hal-hal tertentu perlu untuk menggunakan asas national treatment sebagai dasar pertimbangan legal standing WNA. E. Metode Penelitian Jenis penelitan yang digunakan oleh penulis ialah penelitian hukum (legal research). Adapun pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan historis dalam hal ini digunakan oleh penulis dalam rangka untuk menelaah perkembangan asas national treatment dalam praktik internasional. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan dalam maksud untuk

8 mengetahui doktrin-doktrin hukum yang berkembang dalam hukum kebiasaan internasional untuk mendukung penggunaan asas national treatment. F. Sistematika Penulisan Bab I penelitian ini akan menjelaskan mengenai latar belakang masalah berkenaan dengan judul yang diangkat dalam penelitan ini, yang mana selanjunya dikemukakan rumusan masalah dalam kaitannya dengan isu hukum yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini. Adapun juga dikemukakan tujuan, manfaat penelitan, serta metode penelitan yang digunakan oleh penulis. Bab II akan berbicara mengenai asas national treatment sebagai prinsip hukum internasional yang kemudian terdiri dari rincian sebagai berikut. Standar perlakuan terhadap warga negara asing; Prinsip national treatment dalam World Trade Organization; Hakikat national treatment sebagai prinsip hukum internasional. Bab III akan membahas asas national treatment sebagai dasar legal standing WNA yang didukung oleh analisa-analisa berikut. Interpretasi MKRI terhadap Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MKRI dalam Putusan MKRI No. 2-3/PUU-V/2007; Interpretasi ekstensif terhadap Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MKRI berdasarkan asas national treatment; Indonesia, MKRI, dan resiko denial of justice.