BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memiliki tubuh yang sehat dan terbebas dari segala jenis penyakit merupakan harapan bagi setiap individu, karena kesehatan merupakan salah satu aset yang sangat penting bagi kehidupan. Namun seketika harapan itu sirna, ketika terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak terencana di dalam kehidupan, seperti menderita sebuah penyakit kronis ataupun terjangkit virus berbahaya yang dapat menyebabkan kematian. Salah satu penyakit yang akan timbul akibat tubuh terinfeksi oleh sebuah virus adalah AIDS. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP & PL, Kemenkes R.I) (2014), melaporkan bahwa kini di Indonesia telah terjadi peningkatan prevalensi HIV/AIDS, dari 1 April 1987 hingga 30 September 2014 secara kumulatif telah mencatat adanya 150.296 kasus infeksi HIV dan 55.799 kasus AIDS. Jumlah kasus tersebut memberikan gambaran betapa penyakit tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius di Indonesia. Seperti yang disebutkan oleh Kusumah & Priyanggasari (2015), bahwa peningkatan angka penderita HIV positif yang drastis patut menjadi perhatian pada praktisi medis maupun psikologis. Terdapat beragam faktor yang menjadi penyebab penyebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia. Astindari & Lumintang (2014), menyebutkan bahwa "
# kasus terbanyak ditemukan pada kelompok risiko tinggi termasuk pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks dan pasangan/ pelanggannya, homoseksual, dan bayi yang tertular dari ibunya. Hal tersebut diperkuat berdasarkan data yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) (2003), yang menyebutkan bahwa sumbangan pengguna narkoba suntik berkisar 40 85%, di Asia antara 10 80%, dan di Indonesia berkisar 40 80% pada tahun 2001. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo nkusumo (RSCM), dan lembaga-lembaga kesehatan lainnya pada tahun 2001 melaporkan 40% - 60% pasien pengguna NAPZA suntik telah terinfeksi HIV (Besral, Utomo, & Zani, 2004). Sumbangan kasus penyebaran HIV selanjutnya ditemukan oleh Pusat Penelitian ian Kesehatan UI (2002), pada survey yang dilakukan di DKI Jakarta, Bandung, ng, dan Surabaya menemukan sebagian besar pengguna NAPZA suntik pernah berhubungan seks dengan lebih dari 1 pasangan, termasuk dengan penjaja seks komersil. Proporsi berhubungan seks dengan penjaja seks komersil bervariasi tiap daerah, antara 20% - 80%, penggunaan kondom dalam berhubungan seks sangatlah rendah, berkisar 5 25% responden saja yang selalu menggunakan kondom (Besral, Utomo, & Zani, 2004). Maka perilaku seks yang tidak menggunakan kondom akan berpotensi untuk menyebarkan HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum. Selanjutnya ditemukan juga hasil penelitian dari Yang, dkk (2016), yang menemukan bahwa penularan HIV/AIDS juga terjadi pada ibu rumah tangga
$ (istri), hal ini terjadi akibat suami sering melakukan hubungan seksual secara tidak aman dengan penjaja seks tanpa sepengetahuan istri. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia (Departemen Kesehatan R.I., 2006). Bagi orang yang telah di diagnosa positif mengidap HIV dan AIDS sering disebut sebagai ODHA. Tuapattinaja (dalam Diatmi & Fridari, 2014), menyebutkan bahwa ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV dan AIDS. Maka kini sebutan ODHA merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut seseorang yang telah di diagnosa positif terinfeksi HIV. Merupakan sebuah pukulan yang sangat berat apabila mengetahui diri kita terinfeksi HIV. Siapa yang mau mendapat kenyataan bahwa di dalam tubuhnya sedang berkembang sebuah virus yang mematikan? tentu tidak ada satupun individu di dunia ini yang menginginkan virus itu bersarang di dalam tubuh. Terlepas dari segala hal yang menjadi latar belakang masuknya virus tersebut kedalam tubuh. Ketika individu memasuki tahapan dewasa awal ia memiliki berbagai tugas perkembangan yang harus dijalani, seperti memulai bekerja, memilih pasangan, membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara serta mencari kelompok sosial yang menyenangkan (Hurlock, 2004). Individu yang berada pada tahapan ini awalnya dapat memenuhi semua tugas-tugas perkembangannya. Namun setelah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV membuat individu tidak lagi dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya secara maksimal. Seperti yang
% disebutkan di dalam Hoffman (1996), bahwa banyak penderita HIV mengalami rasa tertekan, rasa bersalah, serta kesepian setelah menerima diagnosis HIV positif. Individu yang positif terkena HIV/AIDS akan mengalami perubahan dalam menjalani kehidupan. World Health Organization (WHO) (2005), mengatakan ketika individu pertama kali dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukan perubahan karakter psikososialnya seperti hidup dalam stres, depresi, merasa kurang adanya dukungan sosial, dan perubahan perilaku. Stres juga dapat memperburuk keadaan dari individu yang mengidap HIV. Seperti yang disebutkan di dalam Ogden (2004), bahwa stress dapat meningkatkan proses replikasi virus HIV. Maka dari itu, individu yang mengidap HIV diharuskan untuk dapat menekan tingkat stres yang dialaminya agar penyebaran virus tidak semakin cepat. Bastaman (2007), juga menjelaskan bahwa perubahan kondisi fisik dan psikis penderita HIV/AIDS memberikan dampak negatif terhadap perkembangan psikologisnya ogisnya seperti rasa malu dan hilangnya kepercayaan dan harga diri. Hal ini terjadi karena jika individu sudah terinfeksi oleh virus HIV, maka keadaan tubuhnya akan semakin melemah dan rentan untuk terserang berbagai macam penyakit lain. Siregar (2004), menyebutkan bahwa rusaknya sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV menyebabkan orang tersebut mudah diserang oleh penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal dan sering disebut dengan infeksi oportunistik.
& Sampai saat ini belum ditemukan formulasi obat yang dapat langsung menyembuhkan virus HIV di dalam tubuh, yang dikonsumsi oleh ODHA sampai saat ini adalah obat untuk memperlambat reaksi virus. Jika obat untuk memperlambat reaksi virus tidak terjangkau sementara masa perkiraan inkubasi adalah 1 sampai 15 tahun, maka infeksi akan berlangsung seumur hidup dan penderitaan individu dengan HIV positif akan semakin bertambah (Departemen Kesehatan R.I, 2006). Fenomena lain yang terjadi di Indonesia yang ditemukan pada ODHA adalah kendala sosial yang dialami, antara lain adalah rendahnya penerimaan orang lain maupun orang terdekat terhadap orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Adanya a stigma negatif dan diskriminasi yang berujung pada ketidaksetaraan dalam kehidupan sosial dapat membuat ODHA menjadi enggan untuk membuka diri dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, hal ini akan sangat berdampak buruk karena dapat menghambat ODHA untuk berfungsi dalam lingkungan sosialnya. Stigma dan diskriminasi menciptakan suatu tekanan fisik maupun psikologis pada penderita HIV positif. Pengalaman individu yang terinfeksi HIV/AIDS serta pengaruh lingkungan yang negatif akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka, dan ketidakpastian dengan adaptasi terhadap dirinya (Widyaningtyas, 2009). Richardson (dalam Kusumah & Priyanggasari, 2015), mengatakan seseorang yang mengetahui bahwa dirinya menjadi seorang pengidap HIV positif
' akan menghadapi banyak masalah yang saling berhubungan dan terus dipikirkannya, diantaranya adalah diskriminasi, isolasi, kekuatiran, depresi, dan masalah seksualitas Apalagi ditambah dengan stigma yang muncul karena pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS sebagai penyakit mematikan yang mudah menular melalui kontak sosial biasa (berjabat tangan, berpegangan, berpelukan, dan sebagainya). Kusumah & Priyanggasari (2015), menjelaskan bahwa stigma terjadi karena HIV/AIDS identik dengan akibat dari perilakuperilaku immoral seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan seks sesama jenis, sehingga penderita dianggap pantas untuk mendapatkan hukuman akibat perbuatannya tersebut. Tentunya mereka yang hidup sebagai ODHA pasti memiliki keinginan untuk menjalani kehidupan sama baiknya dengan yang dijalani oleh orang normal (tidak terinfeksi virus HIV). Sebagai manusia, Tuhan sudah menciptakan kita dengan segala kesempurnaan, seperti memiliki akal dan pikiran yang mampu mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi. Kemampuan alami yang diberikan oleh Pencipta, membuat mereka yang terinfeksi virus HIV berusaha merubah nasib mereka dengan segala cara. Berbagai hal dilakukan untuk menerima kondisi yang sudah terinfeksi virus dan mencoba untuk bangkit dan kembali memotivasi diri untuk mencapai tujuan dan harapan hidup yang diinginkan. Salah satu karakteristik personal yang menurut peneliti dapat membantu ODHA untuk bangkit dan berjuang merubah nasib mereka adalah Resiliensi.
( Resiliensi merupakan kemampuan untuk pulih dari krisis dan mengatasi tantangan hidup (Walsh, 2006). Selanjutnya Perry (dalam Ledesma, 2014), menjelaskan bahwa resiliensi merupakan sebuah kapasitas untuk menghadapi stres tanpa gangguan negatif yang muncul dalam fungsi signifikan. Bonano (2004), juga menambahkan bahwa dalam literature perkembangan, resiliensi dibahas dalam faktor risiko psikologis yang mendorong perkembangan hasil positif dan karakteristik kepribadian yang sehat. Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa, kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh setiap individu dapat membuat mereka bertahan dan tidak menyerah pada keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya. Kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh ODHA dapat membuat mereka berusaha untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut, dan kemudian bangkit dari keterpurukan untuk menjadi individu yang lebih baik. Selanjutnya, individu yang memiliki kemampuan resiliensi yang baik diharapkan dapat berkembang dan mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sesuai dengan hasil penelitian dari Fredrickson (2001); Carver, Scheier, Sagerstrom (2010); Souri & Hasanirad (2011), yang menyatakan ada bukti yang menunjukan bahwa resiliensi (dengan optimisme) efektif dalam meningkatkan psychological well-being. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka terlihat bahwa seseorang yang mempunyai kemampuan resiliensi yang baik akan dengan cepat membangun perspektif positif di dalam kehidupannya. Perspektif positif yang terkait dengan pencapaian kesejahteraan hidup dapat dijelaskan melalui pandangan Positive Psychology. Seligman, Steen, Park, & Peterson (dalam Arif,
) 2016), menyatakan psikologi positif menemukan bahwa bila dilakukan dengan benar dan konsisten, gratitude (bersyukur) dapat membantu kesembuhan dan mencegah kembalinya penyakit mental yang berat, yaitu depresi secara lebih baik daripada metode psikoterapi lain ataupun pengobatan medis yang menggunakan psikofarmatologi. Gratitude (bersyukur) merupakan aspek dasar yang melatarbelakangi seorang individu untuk bangkit dan memandang kehidupannya dengan lebih baik. Pencapaian aian akhir dari perspektif positive psychology adalah untuk mengukur dan membangun kemajuan manusia, yang disebut dengan Flourish. Konsep wellbeing merupakan cara kajian yang tepat untuk melihat usaha dan perjuangan individu untuk mencapai kesejahteraannya. Flourishing merupakan pengalaman hidup yang berjalan baik, yang merupakan kombinasi dari perasaan baik (good feeling) ) yang berfungsi secara efektif (Effendy, 2016). Kemudian Dell Oro (dalam Bunkers, 2010), menjelaskan bahwa human flourishing dapat dipahami sebagai kemampuan manusia untuk mempertahankan ertahankan martabat dan mengatur afektif dalam menghadapi tantangan hidup dan kenyataan tragis. Selanjutnya Carse menyampaikan bahwa flourishing juga dijelaskan sebagai aksi dalam menyikapi hidup, bertindak untuk menumbuhkan rasa kesejahteraan pribadi dan mencapai kualitas hidup (dalam Bunkers, 2010). Effendy (2016), menyebutkan bahwa kemampuan manusia untuk mencapai flourish di dalam hidupnya dapat dikaji menggunakan konsep wellbeing, yang dikemukakan oleh Seligman dalam konsep lima pilar yang disebut
* dengan PERMA dan kini dikenal dengan sebutan flourish. Seligman mengungkapkan bahwa well-being merupakan sebuah konstruk dasar dari konsep kebahagiaan. Well-being itu seperti cuaca dan kebebasan di dalam struktur: tidak ada ukuran tunggal yang dapat didefinisikan secara mendalam, namun beberapa hal berkontribusi untuk itu; hal tersebut merupakan unsur dari wellbeing, dan masing-masing elemen ini adalah hal yang terukur (Seligman, 2012). Berdasarkan pengalaman yang pernah dialami oleh peneliti saat terlibat langsung dalam kegiatan pembinaan ODHA, dan mendapat informasi secara langsung dari mereka. Sebagian besar menceritakan bahwa banyak sekali kejadian buruk yang menimpa mereka pada saat mendapati bahwa diri mereka telah terinfeksi virus HIV, seperti mengurung diri dalam kurun waktu yang lama, sampai melakukan pencobaan bunuh diri. Percaya diri yang rendah juga mereka rasakan, karena mereka berpikir bahwa semua orang akan memandang negatif penyakit yang mereka derita, dan tidak ada keyakinan untuk mencapai tujuan hidup mereka. Namun, peneliti memiliki keyakinan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat membantu para ODHA bertahan dan melewati masa kelamnya hingga mencapai flourishing di dalam kehidupan mereka. Maka dari itu peneliti sangat tertarik untuk melihat gambaran resiliensi dan well-being (flourishing) pada ODHA yang berada pada usia dewasa awal paska mengetahui dirinya positif HIV.
"+ 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah gambaran resiliensi dan well-being (flourishing) pada ODHA yang berada di usia dewasa awal? 1.3 Tujuan Penelitan Untuk mengetahui gambaran resiliensi dan well-being (flourishing) pada ODHA yang berada di usia dewasa awal paska mengetahui dirinya positif HIV. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil Penelitian ini di harapkan dapat memberi sumbangan yang berarti bagi bidang psikologi, khususnya psikologi klinis dan psikologi perkembangan dalam kaitannya resiliensi dan well-being (flourishing) pada ODHA yang berada di usia dewasa awal. 1.4.2 Manfaat Praktis a) Penelitian ini di harapkan dapat menjadi acuan bagi masyarakat dan penelitian lainnya mengenai resiliensi dan flourishing. b) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi semua pihak (Pemerintah, LSM, Aktivis dan Pemerhati ODHA) untuk meningkatkan keperdulian terhadap ODHA. c) Menjadi bahan refrensi untuk menyusun program pemberdayaan dan perkembangan kepribadian.