PENDAHULUAN. dikelola dengan baik bisa menjadi keunggulan kompetitif bagi Indonesia.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. daratan menjadi objek dan terbukti penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. bermakana. Peranansektor ini dalam menyerap tenaga kerja tetap menjadi yang

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Bagi perekonomian Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan memegang peranan penting dalam meningkatkan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Samarinda, Juli 2016 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai peluang yang cukup besar dalam

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I. PENDAHULUAN. kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. untuk mendatangkan hasil dalam bidang pertanian. tanaman yang diusahakan yaitu tanaman pangan, hortikultura dan tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan rakyat, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Saat ini luas lahan pertanian pangan yang ada semakin terancam.

I. PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia yang mengalami penurunan pada masa. krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, masih berlangsung hingga

KATA PENGANTAR. Samarinda, September 2015 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

I. PENDAHULUAN. menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya pada hasil perkebunan.

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kelapa sawit merupakan komoditas perdagangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

I.PENDAHULUAN Selain sektor pajak, salah satu tulang punggung penerimaan negara

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki tanah sangat subur. Selain itu, daratan Indonesia juga luas dan iklimnya sangat bagus. Hal ini sangatlah mendukung untuk dikembangkannya usaha pertanian sehingga tidak jarang penduduk Indonesia memilih sektor pertanian sebagai mata pencaharian mereka. Tanah yang subur, daratan yang luas serta iklim yang sangat bagus, jika dikelola dengan baik bisa menjadi keunggulan kompetitif bagi Indonesia. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yangcukup besar yaitu sekitar 14,72% pada tahun 2011 atau merupakan urutan kedua setelah sektor industri pengolahan (Badan Pusat Statistik, 2011:15). Salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya adalah sub sektor perkebunan (Badan Pusat Statistik, 2011:15). Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan pada sub sektor perkebunan. Indonesia merupakan negara dengan model pertanian dan perkebunan yang tradisional. Peningkatan kelembagaan petani yang masih tradisional harus dapat dikembangkan menjadi kelembagaan yang lebih adaptif dan merespon perubahan (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2010:25). Agriculture is seen as the key to reducing the poverty that is so extensive in rural areas. Current Indonesian government policies emphasize the role of the plantation sector in regional development. Yet, if agriculture is to 1

2 assist the poor, appropriate governance arrangements are critical. One of the critical areas that governance measures must address in order to protect the poor is to ensure procedural justice in agricultural development projects utilising their land (Zen. dkk, 2008:1). Kaum penjajah dimasa penjajahan ingin sekali menguasai tanah Indonesia, sebab faktor tanah yang kaya dan tersedianya tenaga kerja akan memberikan keuntungan yang besar bagi mereka. Hampir setiap peraturan yang dibuat kaum penjajah terfokus pada tanah, yang memberi keuntungan dan kemudahan bagi pihak Belanda dalam mengembangkan kegiatan ekonominya di tanah jajahan, namun merugikan rakyat Indonesia. Dengan adanya UU tersebut pemerintah kolonial bisa memperluas tanah yang dikuasai terutama untuk dijadikan areal perkebunan. Cara yang dilakukan salah satunya adalah dengan mengalihkan fungsi tanah penduduk yang semula dijadikan lahan pertanian menjadi areal perkebunan, seperti tebu, kelapa sawit dan tembakau. Pada jaman penjajahan Belanda, perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikembangkan oleh pengusaha Belanda. Waktu itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat, sehingga pada tahun 1939 Indonesia telah menjadi produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia. Pada waktu itu telah ada puluhan ribu hektar tanaman kelapa sawit yang ditangani oleh pengusaha Belanda. Pada waktu itu minyak sawit banyak dimanfaatkan sebagai minyak pelumas. Khusus untuk sawit, Indonesia yang memiliki perkebunan sawit yang luas, di dalam sistem pemasaran skala internasional, harus mempunyai kekuatan di dalam sistem pemasaran (market leader), sehingga harga ekspor CPO dan lainlain tidak selalu dikendalikan oleh luar negeri (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2010:25).

3 Potensi areal perkebunan Indonesia masih terbuka luas untuk tanaman kelapa sawit. Pelaku perkebunan kelapa sawit terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR). Perkebunan rakyat terdiri dari sejumlah besar kebun dengan ukuran sangat kecil. Kebun-kebun tersebut umumnya diusahakan oleh petani sebagai pemilik serta keluarganya. Tingkat pendidikan petani yang pada umumnya sangat rendah sering menyulitkan pengembangan usaha yang dikelola oleh petani. Terbatasnya kemampuan untuk menyerap teknologi maju, sulitnya memahami dan memanfaatkan bantuan yang diberikan pemerintah, kurangnya keterampilan dan pengetahuan untuk memahami informasi pasar serta modal yang kecil membuat perkebunan rakyat mempunyai peluang yang lebih kecil daripada perkebunan besar, baik swasta maupun negara. Menurut Zen. dkk (2005:1) The nucleus estates have sometimes suffered from faulty management, bad community rapport, difficult land conversions, and the mistakes of government agencies and settler cooperatives. Perkebunan besar swasta memiliki banyak kemiripan dengan perkebunan besar negara. Perbedaannnya terletak pada status, dimana PBN merupakan negeri dan PBS adalah swasta. Diantara keduanya, PBN memiliki prestasi yang lebih baik dikarenakan memiliki sejumlah lembaga penelitian serta memiliki lembaga pendidikan dan latihan. Pembangunan kelapa sawit saat ini berkembang sangat pesat sebab kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan sub sektor perkebunan. Lebih dari itu, perkebunan kelapa sawit juga merupakan salah satu sektor unggulan bagi Indonesia, hal ini dikarenakan kondisi geografis wilayah Indonesia memang

4 sangat cocok untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2009, luas areal kelapa sawit di Indonesia mencapai 7,51 juta hektar dengan produksi sebesar 18,64 juta ton minyak sawit dan 3,47 juta ton inti sawit. Sementara bila dilihat dari luas areal kelapa sawit berdasarkan status pengusahaan rata-rata tahun 1998-2009 sebanyak 52,23% diusahakan oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS), 36,70% diusahakan oleh Perkebunan Rakyat (PR) dan 11,07% diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2010:5). Diperlukan political will yang serius dari pemerintah untuk memajukan sektor perkebunan dan industri perkebunan, baik sawit, karet, kakao (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2010:25). Secara umum pola perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia pada periode tahun 1970 2009 cenderung mengalami peningkatan dengan ratarata pertumbuhan sebesar 11,12%. Berdasarkan atas status pengusahaannya, maka luas areal kelapa sawit sangat berfluktuasi namun cenderung terus mengalami peningkatan untuk luas areal PR dan PBS masing-masing sebesar 34,53% dan 14,18%, sedangkan pola pertumbuhan luas areal kelapa sawit PBN hanya sebesar 4,75% (Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, 2010:6). Menurut Badan Pusat Statistik (2011:15), kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peranan cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Meskipun kontribusi sub sektor perkebunan terhadap pembentukan PDB belum terlalu besar, yaitu sekitar 2,07% pada tahun 2011 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan perikanan, akan tetapi sub sektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga kerja, dan penghasil devisa

5 (Badan Pusat Statistik, 2011:15). Kontribusi tanaman perkebunan terhadap Produk Domestik Bruto pada sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1. Persentase Produk Domestik Bruto Sektor PertanianAtas Dasar Harga Berlaku, 2002-2012 (Persen) t TBM TP P&H K P T 2007 6,71 2,07 1,55 0,92 2,47 13,72 2008 7,07 2,14 1,68 0,82 2,77 14,48 2009 7,48 1,99 1,87 0,81 3,15 15,30 2010** 7,53 2,11 1,85 0,75 3,10 15,34 2011*** 8,1 2,07 1,74 0,68 3,04 15,49 Keterangan : t = Tahun TBM = Tanaman Bahan Makanan TP = Tanaman Perkebunan P&H = Peternakan dan Hasil-hasilnya K = Kehutanan P = Perikanan T = Total ** = Angka Sementara *** = Angka Sangat Sementara Sub sektor perkebunan mencakup semua jenis kegiatan tanaman perkebunan yang diusahakan baik oleh rakyat maupun oleh perusahaan perkebunan. Komoditi yang dicakup antara lain: cokelat, cengkeh, karet, tebu, kelapa, kelapa sawit, kopi, tembakau, teh, jahe, jambu mete, jarak, kapas, kapok, kayu manis, kemiri, kina, lada, pala, panili, rami, serat karung serta tanaman perkebunan lainnya (Badan Pusat Statistik, 2011:54). Kelapa sawit juga salah satu komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting sebagai penghasil devisa negara sesudah minyak dan gas. Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar dunia (Badan

6 Pusat Statistik, 2011:15). Selain peluang ekspor yang semakin terbuka, pasar minyak sawit dan minyak inti sawit di dalam negeri masih cukup besar. Pasar potensial yang akan menyerap pemasaran minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) adalah industri fraksinasi/ranifasi (terutama industri minyak goreng), lemak khusus (cocoa butter substitute), margarine/shortening, oleochemical dan sabun mandi (Badan Pusat Statistuk, 2011:16). Selama sepuluh tahun terakhir (2001-2011), produksi minyak sawit dunia mengalami pertumbuhan 7,7% per tahun. Selama periode tersebut produksi minyak sawit meningkat 109% dan merupakan produk minyak nabati dengan pertumbuhan produksi paling tinggi. Sementara itu, produksi palm kernel oil (PKO) menunjukkan pertumbuhan rata-rata 6,7% per tahun selama periode 2001-2011 dengan peningkatan sebesar 93%. Produksi minyak sawit (CPO) memberikan kontribusi 32,9% dari total produksi minyak nabati (vegetable oil) dunia 2011, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2001 hanya 25,1%. Sedangkan kontribusi palm kernel oil (PKO) sebesar 3,6% pada tahun 2011, dibandingkan dengan tahun 1999 sebesar 3%. Pesatnya pertumbuhan produksi minyak sawit tersebut terutama didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit khususnya di Indonesia (Indama, 2012:10). Produksi minyak kelapa sawit Indonesia sebagian besar dipasarkan ke mancanegara (diekspor) dan sisanya dipasarkan di dalam negeri (Badan Pusat Statistik, 2011:22). Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia menjangkau lima benua, yakni Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa dengan pangsa utama di Asia (Badan Pusat Statistik, 2011:24). Indonesia menguasai sekitar 48% produksi dan 46% ekspor minyak sawit dunia (Indama, 2012:80). Indonesia menjadi

7 produsen minyak sawit terbesar di dunia, setelah menggeser posisi Malaysia sejak tahun 2006 (Indama, 2012:80) (Gambar 1.1). 30.000 (000 Ton) 25.000 20.000 15.000 10.000 Indonesia Malaysia 5.000-2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Others Thailand Ecuador Gambar 1.1. Negara Produsen Utama Minyak Sawit Dunia, 2005-2011 Perkembangan perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan produksi minyak sawit di Indonesia. Pertumbuhan produksi minyak sawit (CPO) paling pesat terjadi pada periode 1971-1990 yang mencapai 12,9% per tahun dan pada periode berikutnya (1991-2000) tumbuh 11,3% per tahun. Selama periode sembilan tahun terakhir (2001-2011) produksi CPO Indonesia mampu tumbuh sebesar 10,7% per tahun (Indama, 2012:80). Volume produksi minyak sawit dunia setiap tahun selalu mengalami peningkatan, namun jika dilihat dari segi pertumbuhannya, pertumbuhan produksi minyak sawit dunia masih fluktuatif. Pada masing-masing negara produsen utama, pertumbuhan produksi minyak sawit juga masih dalam kondisi kadang naik kadang turun. Indonesia memang menjadi produsen minyak sawit terbesar di

8 dunia sejak tahun 2006, namun jika dilihat dari pertumbuhannya, rata-rata pertumbuhan produksi minyak sawit paling pesat selama periode (2006-2011) justru terjadi di Thailand yaitu sebesar 18,54%, sementara Indonesia berada pada urutan kedua dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,3% pada periode yang sama. Pertumbuhan produksi minyak sawit dunia dari masing-masing negara produsen disajikan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Pertumbuhan Produksi Minyak Sawit Dunia, 2006-2011 Negara 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Indonesia P 16050 16800 19200 21000 22100 23900 G 14,07 4,67 14,29 9,38 5,24 8,14 Malaysia P 15881 15823 17735 17566 16993 18880 G 6,14 (0,37) 12,08 (0,95) (3,26) 11,10 Thailand P 860 1020 1300 1310 1380 1830 G 26,47 18,60 27,45 0,77 5,34 32,61 Nigeria P 815 835 830 870 885 900 G 1,88 2,45 (0,60) 4,82 1,72 1,69 Colombia P 713 780 778 802 753 765 G 7,87 9,40 (0,26) 3,08 (6,11) 1,59 Ecuador P 345 385 418 448 380 460 G 8,15 11,59 8,57 7,18 (15,18) 21,05 Others P 2478 2905 3045 3107 3367 4159 G (3,17) 17,23 4,82 2,04 8,37 23,52 Total P 37142 38163 43306 45102 45858 50129 G 61,41 63,57 66,35 26,32 (3,88) 99,7 Rata-Rata P 5306 5451,86 6186,57 6443,14 6551,14 7161,29 Dunia G 8,77 9,08 9,48 3,76 (0,55) 14,24 Sumber: Oil World Annual (2005-2011), Malaysia Palm Oil Board, diolah Keterangan: P = Volume produksi minyak sawit (000 Ton) G = Pertumbuhan produksi minyak sawit (%) Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu

9 pengembangan areal perkebunan kelapa sawit (Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, 2010:6). Until the current financial crisis, surging global demand for palm oil has led to an enormous increase in the planting of oil palm. Indonesian policy makers have also provided for expanding the cultivation of oil palm by more than seven million hectares. Although decision makers have seen oil palm related exports as a valuable source of foreign exchange and a means to improve farmers welfare and decrease rural poverty, there remain significant policy challenges (Zen. dkk, 2008:1). Pemerintah Indonesia berencana untuk memperluas wilayah perkebunan kelapa sawit menjadi 6 juta hektar di Propinsi Papua. Namun rencana pemerintah ini ditentang oleh sejumlah LSM pemerhati lingkungan, aktivis, akademisi dan masyarakat luas yang khawatir perluasan perkebunan kelapa sawit akan merusak hutan dan ekosistem di Papua (Indama, 2012:335). Rencana pemerintah untuk memperluas wilayah perkebunan kelapa sawit dikarenakan satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kelapa sawit adalah luas areal perkebunan kelapa sawit. Selama periode tahun 2002-2008 areal perkebunan kelapa sawit tersebar di 22 propinsi, yakni seluruh propinsi di Sumatera Utara dan Kalimantan, 2 propinsi di Jawa (Jawa Barat dan Banten), 4 propinsi di Sulawesi (Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat) serta Papua dan Papua Barat. Dari ke 22 propinsi, propinsi Riau merupakan propinsi dengan areal perkebunan sawit terluas di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2008:16). Sama halnya dengan luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi kelapa sawit yang terbesar berasal dari Riau (Badan Pusat Statistik, 2008:18). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (2010:9), bahwa sentra produksi minyak sawit

10 Indonesia terutama berasal dari 7 (tujuh) propinsi yang memberikan kontribusi sebesar 81,80% terhadap produksi minyak sawit Indonesia. Propinsi Riau dan Sumatera Utara merupakan propinsi sentra produksi terbesar yang berkontribusi masing-masing sebesar 28,52% dan 17,77%, disusul berturut-turut propinsi Sumsel, Kalteng, Jambi, Kalbar dan Sumbar masing-masing sebesar 10,19%, 7,92%, 7,04%, 5,44%, dan 4,94% (Gambar 1.2). 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Riau Sumut Sumsel Kalteng Jambi Kalbar Sumbar Gambar 1.2. Kontribusi Propinsi Terhadap Produksi Minyak Sawit Indonesia Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan di Indonesia. Perkebunan di Sumatera Utara telah dibuka sejak penjajahan Belanda. Komoditi hasil perkebunan yang paling penting dari Sumatera Utara saat ini antara lain kelapa sawit, karet, kopi, coklat dan tembakau (Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, 2010:137). Sumatera Utara dikenal sebagai sentra produksi minyak sawit, sehingga banyak kelompok perusahaan besar yang mengembangkan kebun sawit di kawasan ini, diantaranya Sinar Mas Group, Asian Agri/RGM Group, Indoagri Group, Wilmar Group, Bakrie Group, Socfin Group,

11 Sipef Group, Musim Mas Group, Monopoli Raya Group, MP Evans Group, KL Kepong Group dan Anglo-Eastern Group (Indama, 2012:60). Di Sumatera Utara terdapat perkebunan rakyat, tiga Perkebunan Besar BUMN dan ratusan perkebunan besar swasta. BUMN Perkebunan tersebut antara lain PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II), PTPN III dan PTPN IV yang paling luas dibandingkan dengan propinsi lain. Hal yang menarik yaitu perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat. Pada tahun 2000, pangsa perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara masih sekitar 19 persen dan meningkat cepat menjadi sekitar 39 persen tahun 2009. Sementara pangsa perusahaan besar swasta (domestik dan asing) pangsanya menurun yakni dari 39 persen tahun 2000 menjadi 33 persen tahun 2009. Demikian juga pangsa perusahaan negara, turun dari 41 persen tahun 2000 menjadi hanya sekitar 28 persen tahun 2009 (Tarigan, 2011:20). Luas tanaman kebun kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara pada tahun 2009 sebesar 400.712,65 Ha dengan produksi 4.775.060,52 ton Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Kabupaten Labuhan Batu Utara merupakan pusat perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara. Di daerah ini terdapat sebesar 63.730 Ha kebun sawit rakyat atau 15,90 persen dari seluruh perkebunan kelapa sawit rakyat Sumatera Utara. Sama seperti pada perkebunan rakyat, jenis tanaman perkebunan besar yang ada di Sumatera Utara diantaranya kelapa sawit, karet, coklat, teh, tembakau, dan tebu (Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, 2010:137). Luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Namun, menurut Indama (2012:59) dibandingkan

12 dengan propinsi lain, perkembangan luas kebun kelapa sawit di Sumatera Utara tergolong lambat. Lambatnya perkembangan kebun sawit di Sumatera Utara karena terbatasnya lahan untuk perluasan kebun. Dari total areal kebun kelapa sawit tersebut, seluas 879.804 hektar merupakan tanaman menghasilkan, yang meliputi perkebunan rakyat seluas 422.768 hektar (38,4%) yang melibatkan 175.665 kepala keluarga, perkebunan negara seluas 314.259 hektar (28,5%) dan perkebunan besar swasta seluas 363.793 hektar (33%). Produksi minyak sawit Sumatera Utara tahun 2009 mencapai 3,18 juta ton atau sekitar 17 persen dari total produksi CPO nasional. Pangsa produksi CPO yang lebih besar dari pangsa luas areal menggambarkan bahwa Sumatera Utara masih unggul dalam produktivitas minyak per hektar secara nasional (Tarigan, 2011:20). Pada Tabel 1.3 disajikan data produksi kelapa sawit dan luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara beserta harga CPO. Tabel 1.3. Produksi, Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Sumatera Utara, dan Harga CPO Domestik, 2005-2012 t Qt At Pt PR PN PS PR PN PS 2005 568.587 1.086.634 1.666.825 196.654 299.575 468.028 3.229 2006 987.026 1.156.136 1.101.760 363.097 300.550 315.894 3.357 2007 1.022.472 1.009.287 1.051.630 367.742 284.238 346.986 4.550 2008 1.151.777 981.750 1.067.146 399.290 280.368 346.986 4.800 2009 1.251.777 1.056.750 1.125.268 449.290 284.368 347.986 6.812 2010 1.150.399 948.452 1.014.155 397.136 310.627 347.086 7.804 2011 1.173.407 972.163 1.034.382 422.768 314.259 363.793 7.514 2012 1.194.528 984.315 1.092.146 424.962 316.455 380.862 6.380 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2012) Laporan BI Keterangan: t = Tahun Qt = Produksi CPO pada tahun ke-t (Ton/Tahun) At = Luas areal pada tahun ke-t (Ha) Pt = Harga nominal CPO di pasar domestik pada tahun ke-t (Rp/Kg)

13 Tabel 1.3 menunjukkan bahwa produksi CPO (Crude Palm Oil) pada perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara tahun 2006, 2007 dan 2010 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Sebagai komoditi perkebunan yang penting di Sumatera Utara diharapkan produksi kelapa sawit terus meningkat setiap tahunnya. Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kelapa sawit, diantaranya adalah luas areal perkebunan kelapa sawit, tenaga kerja dan harga CPO. Menurut Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (2010:7), seiring dengan peningkatan luas areal kelapa sawit, maka produksi kelapa sawit Indonesia dalam wujud produksi minyak sawit selama tahun 1970-2009 juga cenderung meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara, dimana ketika luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara pada tahun 2010 mengalami penurunan, produksi CPO juga menurun. Akan tetapi pada tahun 2006 dan 2007, ketika luas areal perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara mengalami peningkatan, produksi CPO pada tahun yang sama justru mengalami penurunan. Berarti, luas areal perkebunan kelapa sawit tidak selalu berpengaruh positif terhadap produksi minyak kelapa sawit. Untuk harga CPO, dalam Oktavianto (2009:88) dikatakan bahwa ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sebelumnya, maka petani akan meresponya dengan meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Data pada Tabel 1.3 menunjukkan bahwa petani tidak selalu meningkatkan produksinya ketika terjadi peningkatan harga CPO, hal tersebut terlihat pada tahun 2006 dan 2009, dimana ketika harga CPO naik justru produksi

14 CPO pada tahun 2007 dan 2010 menurun. Sebaliknya pada tahun 2011 ketika harga CPO turun, jumlah produksi CPO justru meningkat pada tahun 2012. Untuk itulah penulis merasa tertarik melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kelapa Sawit pada Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh faktor luas areal, tenaga kerja, dan harga CPO terhadap produksi kelapa sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera Utara dan elastisitas faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit tersebut. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh faktor luas areal, tenaga kerja, dan harga CPO terhadap produksi kelapa sawit pada perkebunan rakyat di Sumatera Utara dan elastisitas faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit tersebut. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini mampu memberikan manfaat yang antara lain adalah: 1. Sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam merumuskan dan merencanakan upaya peningkatan produksi kelapa sawit perkebunan rakyat Sumatera Utara.

15 2. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang faktor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit. 3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.