Keadaan tersebut menunjukkan perilaku membeli yang ditunjukkan remaja tidak lagi dilakukan karena suatu kebutuhan, melainkan karena alasan-

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meillyza Larassaty Nur Arimbi, 2013

HALBAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kelas dunia, kosmetik, aksesoris dan pernak-pernik lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan primer, sekunder dan tersier, kebutuhan yang pertama yang harus dipenuhi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Belanja merupakan salah satu kegiatan membeli barang atau jasa yang

BAB I PENDAHULUAN. elektronik, seperti televisi, internet dan alat-alat komunikasi yang

I. PENDAHULUAN. adil atau tidak adil, mengungkap perasaan dan sentimen-sentimen kolektif

BAB I PENDAHULUAN. tersebut tentu saja membawa dampak dalam kehidupan manusia, baik dampak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengganti barang tersebut. Akan tetapi, pada saat ini konsep belanja itu sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman saat ini telah banyak mempengaruhi seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan suatu kelompok masyarakat dapat diketahui dari tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Pokok

BAB I PENDAHULUAN. masa remaja pun kehidupan untuk berkumpul bersama teman-teman tidak lepas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muflihana Imanisa, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah seseorang yang berada pada rentang usia tahun dengan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. proses interaksi sosial. Soekanto (2009:55) menyatakan bahwa, Interaksi sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat

I. PENDAHULUAN. Pola hidup mengacu pada cara-cara bagaimana menjalani hidup dengan cara yang baik dan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI DI SMAN 2 NGAWI BAB I PENDAHULUAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Hubungan Interaksi Kelompok Teman

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengubah pola perilaku konsumsi masyarakat. Globalisasi merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Globalisasi adalah ketergantungan dan keterkaitan antar manusia dan antar bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. dilakukan oleh masyarakat. Belanja yang awalnya merupakan real need atau


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

PENDAHULUAN STUDI KASUS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sintia Dewi,2013

BAB I PENDAHULUAN. diakses dalam hitungan detik, tidak terkecuali dengan perkembangan dunia fashion yang

BAB II LANDASAN TEORI

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Sarlito (2013) batasan umum usia remaja adalah tahun

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu

BAB I. A. Latar Belakang Masalah. akademis dengan belajar, yang berguna bagi nusa dan bangsa di masa depan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam alat teknologi seperti televisi, koran, majalah, dan telepon.

Hubungan Antara Perilaku Konsumtif Pada Produk X Dengan Citra Diri Remaja Putri

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat dicermati dengan semakin banyaknya tempat-tempat per-belanjaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

BAB I PENDAHULUAN. perilaku membeli pada masyarakat termasuk remaja putri. Saat ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini sudah terjadi di seluruh bangsa tak terkecuali indonesia. Faktor pendukung

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Universitas Negeri Medan sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari konsumen dihadapkan dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. modern. Masyarakat dengan teknologi maju, tingkat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan ekonomi melibatkan produksi, distribusi, pertukaran dan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. besarnya tingkat konsumsi masyarakat sehingga menimbulkan penambahan dari sisi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun elektronik, maka telah menciptakan suatu gaya hidup bagi masyarakat. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. berlomba untuk merebut dan mempertahankan pangsa pasarnya. Berbagai jenis

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis diatas, diperoleh hasil yang menyatakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pedidikan

BAB I PENDAHULUAN. Ridwan, Penanganan Efektif Bimbingan Dan Konseling di Sekolah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.9.

BAB I PENDAHULUAN. materialime yang menjurus pada pola hidup konsumtif. Perilaku konsumtif erat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekaligus merugikan bagi semua orang. Akibat globalisasi tersebut diantaranya

BAB I PEMBUKAAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan globalisasi memberi pengaruh pada masyarakat Indonesia, salah satu

BAB II LANDASAN TEORI. (1994) sebagai orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan dan tinggal di kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Oleh Nandang Rusmana, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. C. Tujuan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari bahasa Latin adolescene

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. up, dan lainnya. Selain model dan warna yang menarik, harga produk fashion

BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Konsumtif. produk yang tidak tuntas artinya, belum habis sebuah produk yang dipakai

2014 PERILAKU KONSUMEN MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman yang modern memberi pengaruh terhadap perilaku membeli

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asstia Rachmawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia mode pakaian di Indonesia beberapa dekade ini mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG SINDROM TRAUMA DAN COGNITIVE-BEHAVIOR THERAPY

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia dan termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis,

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan sehari-hari, yang bisa disebut dengan kegiatan konsumtif. Konsumtif

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan. Masyarakat dituntut untuk

BAB V PENUTUP. 1. Proses pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam dengan cognitive

BAB I PENDAHULUAN. dengan strategi masing-masing dalam mendapatkan konsumen yang diharapkan akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik. 1. Pengertian Perilaku Konsumtif terhadap Produk Kosmetik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang yang menjadi titik tolak penelitian, identifikasi, tujuan penelitian, manfaat dan signifikansi penelitian serta sistematika penulisan. A. Latar Belakang Penelitian Era globalisasi telah memunculkan suatu gaya hidup baru yang dikenal sebagai gaya hidup modern. Hal ini terlihat dengan banyaknya restoran yang menyediakan menu khas mancanegara, gaya berpakaian yang dipengaruhi oleh perancang kelas dunia, kosmetik, aksesoris, pernak-pernik, dll. Kondisi ini dapat mengubah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat menuju kearah kehidupan mewah yang cenderung terlalu berlebihan, yang pada akhirnya akan menyebabkan pola hidup cenderung menjadi konsumtif. Menurut Lina & Rosyid (1997: 7) perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai kehidupan mewah yang cenderung berlebihan, penggunaan pada segala sesuatu yang dianggap mahal yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik semata. David Chaney (Novita, 2008:16) menjelaskan masyarakat konsumen tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan. Melalui majalah remaja, iklan, dan media yang mengeksploitasi gaya hidup mewah diseputar perkembangan trend busana, pacaran, shopping dan acara mengisi waktu senggang, semua itu perlahan tapi pasti akan ikut membentuk budaya gaya hidup fun. Remaja merasa perlu menyesuaikan diri terhadap perkembangan food, fashion, and fun, dan tanpa disadari terdapat ketentuan untuk memenuhi ketiga hal tersebut. Usaha untuk mengikuti perkembangan dan perubahan dari lingkungan sosial ini adalah karena remaja ingin diterima oleh teman-temannya dan lingkungan sosialnya (Tambunan, 2001, hlm 1). Keadaan tersebut menunjukkan perilaku membeli yang ditunjukkan remaja tidak lagi dilakukan karena suatu kebutuhan, melainkan karena alasan-

2 alasan lain seperti sekadar mengikuti arus mode, mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial, bahkan demi harga diri remaja. Hal ini sejalan dengan pendapat Sarwono (Farida, 2006, hlm 40) yang menjelaskan perilaku konsumtif biasanya lebih dipengaruhi oleh faktor emosi dari pada rasio, karena pertimbangan-pertimbangan dalam membuat keputusan untuk membeli suatu produk lebih menitik beratkan pada status sosial, mode,dan kemudahan dari pada pertimbangan ekonomis. Lubis (Sumartono, 2002, hlm 117) mengatakan perilaku konsumtif adalah suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang tidak rasional lagi. Pengertian ini sejalan dengan pandangan Lina & Rosyid (1997: 7) yang menyatakan perlaku konsumtif melekat pada seseorang bila orang tersebut membeli sesuatu di luar kebutuhan yang rasional, pembelian tidak lagi didasarkan pada faktor kebutuhan, tetapi sudah pada taraf keinginan yang berlebihan. Remaja merupakan kelompok yang berorientasi konsumtif karena kelompok ini suka mencoba-coba hal-hal yang dianggap baru (Sumartono, 2002: 204). Selain itu Lahmanindra (2006: 1) mengemukakan beberapa alasan mengapa perilaku konsumtif lebih mudah menjangkiti kalangan ramaja. Salah satunya karena secara psikologis remaja masih berada dalam proses mencari jati diri dan sangat sensitif terhadap pengaruh dari luar. Remaja menurut Piaget (Ali dan Asrori, 2004, hlm 268) adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Pada masa peralihan ini, status remaja dapat dikatakan tidak jelas dan terdapat peran yang harus dilakukan. Selain itu Santrock (2003, hlm 334) mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Perubahan biologis mencakup perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu. Perubahan kognitif meliputi perubahan dalam pikiran, inteligensi dan bahasa tubuh. Sedangkan perubahan sosial-emosional meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia 2

3 lain,dalam emosi, dalam kepribadian,dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Tambunan (2001, hlm 1) menjelaskan bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial, remaja menjadi pasar penting bukan hanya karena mereka menguntungkan, tetapi karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Disamping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Remaja cenderung memiliki keinginan untuk tampil menarik. Hal tersebut dilakukan remaja dengan menggunakan busana dan aksesoris, seperti sepatu, tas, jam tangan, dan sebagainya yang dapat menunjang penampilan mereka. Para remaja juga tidak segan-segan untuk membeli barang yang menarik dan mengikuti trend yang sedang berlaku, karena jika tidak mereka akan dianggap kuno, kurang gaul dan tidak trend. Akibatnya, para remaja tidak memperhatikan kebutuhannya ketika membeli barang. Hal tersebut senada dengan pendapat Sumartono (2002, hlm 110) secara kasat mata beberapa remaja yang larut dalam pembiusan keadaan hanya sekedar ingin memperoleh legimitasi modern atau setidaknya mereka senang apabila stempel kuno atau kuper (kurang pergaulan) tidak diberikan kepada mereka. Hal itulah yang membuat mereka cenderung membeli barang yang mereka inginkan bukan yang mereka butuhkan secara berlebihan dan tidak wajar. Sikap atau perilaku remaja yang mengkonsumsi barang secara berlebihan dan tidak wajar inilah yang disebut dengan perilaku konsumtif. Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat perilaku konsumtif dikalangan remaja merupakan salah satu fenomena yang sedang marak terjadi terutama peserta didik yang bersekolah dan tinggal di kota-kota besar yang sebenarnya belum memiliki kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar didalam gaya hidup sekelompok peserta didik, dan menjadi masalah ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar dilakukan secara berlebihan. Masalah ini juga dapat menimpa sebagian besar peserta didik dikota Bandar Lampung, khususnya para peserta 3

4 didik yang duduk di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas). Hal ini didukung oleh kondisi kota Bandar Lampung yang merupakan salah satu kota di Indonesia yang secara geografis berdekatan dengan ibukota Jakarta dan memiliki kecenderungan selalu mengikuti trend yag sedang marak di kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Di kota Bandar Lampung dapat dengan mudah ditemukan mall-mall yang berdiri dengan megah, factory outlet, atupun café, yang mana merupakan adaptasi dari trend di kota besar. Tempat-tempat itulah yang kemudian menjadi simbol pergaulan bagi para peserta didik di kota Bandar Lampung. Banyak peserta didik yang rela mengeluarkan uang untuk membelanjakan segala keperluannya dengan tidak memikirkan terlebih dahulu apa manfaat dari barang tersebut karena peserta didik membeli barang hanya karena keinginan semata bukan karena kebutuhan. Penelitian Nurasyiah (2007) kepada 100 peserta didik di beberapa sekolah SMA di Kota Bandung menyebutkan rata-rata pengeluaran peserta didik SMA dari uang saku yang diperoleh selama satu bulan yaitu 61,61% digunakan untuk jajan (makanan dan minuman), 21,26% digunakan untuk kebutuhan lainlain/bersifat kesenangan (isi pulsa untuk handphone, jalan-jalan, nonton di bioskop, membeli barang baru), 16,23% digunakan untuk kebutuhan belajar (ongkos transport, alat tulis, buku, mengerjakan tugas) sedangkan sisanya hanya 0,88% digunakan untuk menabung. Selain itu, dalam penelitiannya menemukan peserta didik SMA di Kota Bandung cenderung memiliki perilaku konsumtif dalam menggunakan uang saku yang diperolehnya dari orangtua. Hal ini diketahui mereka yang terbiasa makan direstoran-restoran fastfood (KFC, McD, Popeyes, dsb) dengan data 1-3 kali selama satu bulan sebanyak 53,4%, jalanjalan dan belanja di mall (BIP, BSM, IP, dsb) sebanyak 47,9%. Peserta didik yang menyatakan sering jalan-jalan dan belanja di mall lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan peserta didik yang menyatakan kadang-kadang.selain itu, jenis HP yang dimiliki peserta didik mayoritas 67% berkamera. Padahal perilaku peserta didik tersebut dianggap konsumtif karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang masih mengandalkan keuangan orangtua. 4

5 Dapat diketahui pengeluaran konsumsi peserta didik untuk kebutuhan yang sifatnya kesenangan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan pengeluaran peserta didik untuk kebutuhan belajar yang merupakan investasi bagi masa depan mereka. Selain itu kecenderungan peserta didik untuk menabung sangat rendah. Dalam mencapai tugas perkembangan yang optimal, remaja dengan berbagai karakteristiknya akan membutuhkan bimbingan dan bantuan untuk memfasilitasi remaja dengan cara yang tepat, sehingga remaja tidak mengalami penyimpangan dalam melakukan proses perkembangan dan pertumbuhannya untuk tidak berperilaku konsumtif (Nurasyiah, 2007). Bantuan dapat dilakukan melalui institusi pendidikan yaitu sekolah salah satunya dengan bimbingan dan konseling. Pendekatan yang dapat dilakukan yaitu melalui Konseling Kognitif untuk membantu siswa dalam mengatasi permasalahan terkait perilaku konsumtifnya. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) atau Konseling Kognitif Perilaku merupakan salah satu rumpun aliran konseling direktif yang dikemukakan oleh Williamson dengan modifikasi bersama teknik kognitif. Konseling Kognitif Perilaku merupakan salah satu bentuk konseling yang bertujuan membantu klien agar dapat menjadi lebih sehat, memperoleh pengalaman yang memuaskan, dan dapat memenuhi gaya hidup tertentu, dengan cara memodifikasi pola pikir dan perilaku tertentu. Pendekatan kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan suatu pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain (misalnya, hidup saya sengsara sehingga sulit untuk dapat menentukan tujuan hidup saya). Selain itu, terapi juga memfokuskan pada upaya membelajarkan klien agar dapat memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai peristiwa kehidupan dan tidak hanya sekedar berupaya mengatasi penyakit atau gangguan yang sedang dialaminya. Dengan kata lain, konseling kognitif memfokuskan pada kegiatan mengelola dan memonitor pola fikir klien sehingga dapat mengurangi pikiran negatif dan mengubah isi pikiran agar dapat diperoleh emosi yang lebih positif. Konseling Kognitif Perilaku memfokuskan pada kegiatan (tindakan) yang dilakukan klien, menentukan bentuk imbalan (rewards) yang dapat mendorong 5

6 klien untuk melakukan tindakan tertentu, pemberian konsekuensi yang tidak menyenangkan, guna mencegah klien melakukan tindakan yang tidak dikehendaki. Perencanaan diperlukan untuk mempermudah proses konseling. Pada umumnya konseli lebih merasa nyaman ketika mereka mengetahui apa yang akan didapatkan dari setiap sesi konseling, mengetahui dengan jelas apa yang dilakukan dari setiap sesi konseling, merasa sebagai tim dalam proses konseling, serta ketika konseli memiliki ide-ide konkrit mengenai proses konseling dan ketercapaian konseling. Perencanaan dari setiap sesi konseling tentunya harus didasarkan pada gejala-gejala yang ditunjukan oleh konseli, konseptualisasi konselor, kerjasama yang baik antara konselor dan konseli, serta evaluasi tugas rumah yang dilakukan oleh konseli. Menurut teori Cognitive Behavior, yang dikemukakan Aaron T Beck, Konseling Kognitif Perilaku memerlukan sedikitnya 12 sesi pertemuan. Setiap langkah disusun secara sistematis dan terencana. No. Proses Sesi 1. Assesmen dan Diagnosa 1-2 2. Pendekatan Kognitif 2-3 3. Formulasi Status 3-5 4. Fokus Konseling 4-10 5. Intervensi Tingkah Laku 5-7 6. Perubahan Core Beliefs 8-11 7. Pencegahan 11-12 Oemarjoedi (2003:12) Namun melihat kultur yang ada di Indonesia, penerapan sesi berjumlah 12 sesi pertemuan dirasakan sulit untuk dilakukan. Oemarjoedi (2003:12) mengungkapkan beberapa alasan tersebut berdasarkan pengalaman, diantaranya: a. Terlalu lama, sementara konseli mengharapkan hasil yang dapat segera dirasakan manfaatnya. 6

7 b. Terlalu rumit, dimana konseli yang mengalami gangguan umumnya datang dan berkonsultasi dalam pikiran yang sudah begitu berat, sehingga tidak mampu lagi mengikuti program konseling yang merepotkan, atau karena kapasitas intelegensi dan emosinya yang terbatas. c. Membosankan, karena kemajuan dan perkembangan konseling menjadi sedikit demi sedikit. d. Menurunnya keyakinan konseli akan kemampuan konselornya, antara lain karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, yang dapat berakibat pada kegagalan konseling. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, penerapan konseling kognitif behavior di Indonesia sering kali mendapatkan hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian yang lebih fleksibel. Jumlah pertemuan konseling yang tadinya memerlukan sedikitnya 12 sesi bisa saja menjadi kurang dari 12 sesi. Sebagai perbandingan berikut akan disajikan efisiensi konseling menjadi 6 sesi, dengan harapan dapat memberikan bayangan lebih jelas dan mengundang kreatifitas yang lebih tinggi. Proses konseling kognitif behavior yang telah disesuaikan dengan kultur di Indonesia sebagai berikut. No. Proses Sesi 1. Assesmen dan Diagnosa 1 2. Mencari akar permasalahan yang bersumber dari emosi negatif, 2 penyimpangan proses berfikir dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan 3. Konselor bersama konseli menyusun rencana intervensi dengan 3 memberikan konsekuensi positif-negatif kepada konseli 4. Menata kembali keyakinan yang menyimpang 4 5. Intervensi tingkah laku 5 6. Pencegahan dan Training Self Help 6 Self-management merupakan salah satu model dalam Konseling Kognitif Perilaku. Self-management atau pengelolaan diri adalah suatu strategi pengubahan perilaku yang dalam prosesnya konseli mengarahkan perubahan perilakunya 7

8 sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik teurapetik (Cormier & Cormier,1985, hlm 519). Self-management bertujuan untuk membantu peserta didik yang mengalami perilaku konsumtif untuk berpikir lebih rasional. Pikiran tersebut berpengaruh sangat kuat bagi perasaan dan tindakan peserta didik yang akhirnya dapat menurunkan perilaku konsumtif peserta didik lingkungannya, menata kembali lingkungan sebagai isyarat khusus (cues) atau antecedent atau respon tertentu, serta menghadirkan diri dan menentukan sendiri stimulus positif yang mengikuti respon yang diinginkan. Dalam menggunakan strategi selfmanagement untuk mengubah perilaku, konseli berusaha mengarahkan perubahan perilakunya dengan cara memodifikasi aspek-aspek lingkungan atau mengadministrasikan konsekuensi-konsekuensi (Jones, Nelson, & Kazdin,1977, hlm 151). Dalam menggunakan strategi self-management, disamping konseli dapat mencapai perubahan perilaku sasaran yang diinginkan juga dapat berkembang kemampuan self-managementnya (Karoly & Kanfer, l982). B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Secara umum tujuan penyelenggaraan bantuan pelayanan bimbingan dan konseling adalah berupaya membantu siswa menemukan pribadinya, dalam hal mengenai kekuatan dan kelemahan dirinya, serta menerima dirinya secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut. Penanggulangan kebiasaan berperilaku konsumtif pada siswa dapat dilakukan dengan pendekatan Konseling Kognitif Perilaku. Konseling Kognitif Perilaku memfokuskan pada kegiatan (tindakan) yang dilakukan klien, menentukan bentuk imbalan (rewards) yang dapat mendorong klien untuk melakukan tindakan tertentu, pemberian konsekuensi yang tidak menyenangkan, guna mencegah klien melakukan tindakan yang tidak dikehendaki. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik manajemen diri (selfmanagement) dalam upaya mengembangkan perilaku tidak konsumtif peserta didik. Berdasarkan latar belakang tersebut, diperlukan teknik self-management bagi peserta didik yakni merupakan sebuah prosedur dimana seseorang 8

9 mengarahkan atau mengatur perilakunya sendiri. Penggunaan pendekatan konseling menggunakan teknik self-management dalam menangani remaja yang berperilaku konsumtif menekankan pada modifikasi pola perilaku penyalahgunaan dan dependen, (Nevid, Rathus, dan Greene, 2005, hlm 36). Berdasarkan kajian fenomena-fenomena diatas mengenai perilaku konsumtif pada remaja, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pemberian teknik self-management dalam upaya mengembangkan perilaku tidak konsumtif peserta didik di SMAN 3 Bandar Lampung. Berdasarkan penelitian ini adalah. latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah 1) Bagaimana profil perilaku konsumtif peserta didik di SMAN 3 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2014/2015? 2) Bagaimana rancangan intervensi teknik self-management untuk mengembangkan perilaku tidak konsumtif peserta didik di SMAN 3 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2014/2015? 3) Apakah pendekatan Konseling Kognitif Perilaku dengan menggunakan teknik self-management efektif mengembangkan perilaku tidak konsumtif pada peserta didik di SMAN 3 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2014/2015? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengembangkan perilaku tidak konsumtif pada peserta didik melalui self-management. Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut. 1. Memberikan gambaran empirik tentang profil perilaku konsumtif peserta didik di SMAN 3 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2014/2015 2. Memberikan gambaran empirik tentang rancangan intervensi teknik selfmanagement untuk mengembangkan perilaku tidak konsumtif peserta didik di SMAN 3 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2014/2015 3. Memberikan gambaran empirik efektivitas teknik self-management untuk mengembangkan perilaku tidak konsumtif pada peserta didik di SMAN 3 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2014/2015. 9

10 D. Manfaat/Signifikansi Penelitian Signifikansi penelitian yang dimaksud dalam hal ini adalah manfaat atau kegunaan hasil penelitian baik secara teoritis dan praktis. 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah manfaat dari teknik selfmanagement di sekolah untuk mengembangkan perilaku tidak konsumtif pada peserta didik. Hal ini sangat penting dalam upaya mengoptimalkan pemberian layanan untuk membantu peserta didik dalam mengoptimalkan potensi dan mempersiapkan diri secara psikologis. 2. Manfaat Praktis a. Guru Bimbingan dan Konseling Guru bimbingan dan koseling di sekolah dapat memanfaatkan hasil studi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan terkait teknik selfmanagement untuk mengembangkan perilaku tidak konsumtif peserta didik, sehingga diharapkan menambah kemampuan teknik konseling dalam melaksanakan layanan responsif khususnya konseling individual. b. Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi yang berkaitan dengan perilaku konsumtif peserta didik dan teknik selfmanagement sebagai teknik untuk mengembangkan perilaku tidak konsumtif peserta didik. E. Struktur Organisasi Tesis Tesis ini terdiri dari lima bagian, yang terdiri dari sebagai berikut. Bab I: Pendahuluan: Bab ini berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan Bab II: Tinjauan Pustaka: Bab ini berisi dasar-dasar teori yang digunakan untuk mendukung penelitian yang dilakukan. Teori yang digunakan merupakan teori yang terkait dengan perilaku konsumtif, remaja, modifikasi kognitif perilaku, serta penerapan modifikasi kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi kognitif dan visualisasi untuk meningkatkan perilaku konsumtif peserta didik. 10

11 Bab III: Metode Penelitian: Bab ini berisi gambaran mengenai metode penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan intervensi. Bab ini terdiri dari penjelasan mengenai desain penelitian, partisipan, populasi dan sampel, instrumen penelitian, prosedur penelitian dan analisis data. Bab IV: Temuan dan Pembahasan: Bab ini menyampaikan dua hal utama, yakni (1) temuan penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data dengan berbagai kemungkinan bentuknya sesuai dengan urutan rumusan permasalahan penelitian, dan (2) pembahasan temuan penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. Bab V: Simpulan, Implikasi dan Rekomendasi: Bab ini berisi simpulan, implikasi, dan rekomendasi, yang menyajikan penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian sekaligus mengajukan hal-hal penting yang dapat dimanfaatkan dari hasil penelitian tersebut. Ada dua alternatif cara penulisan simpulan, yakni dengan cara butir demi butir atau dengan cara uraian padat. 11