BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam. Di atas keanekaragaman suku bangsa inilah, konstruksi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. di Kota Padang yaitu : Pertama, faktor perkawinan, seorang keturunan Tionghoa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. menjadikan Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Kemajemukan ini. yang tercakup di dalamnya, serta ditunjang dengan keadaan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Samosir dikenal masyarakat Indonesia karena kekayaan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku bangsa,

Bab 1. Pendahuluan. berasal dari nama tumbuhan perdu Gulinging Betawi, Cassia glace, kerabat

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Tionghoa adalah kelompok masyarakat yang sudah. berbudaya lebih lama dari rata-rata bangsa yang ada di dunia.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Latarbelakang Pengadaan Proyek

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

I. PENDAHULUAN. Sumarsono (2009) mengemukakan bahwa bahasa sebagai alat manusia untuk. apabila manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, manusia akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu Kotamadya dari 33 kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Sejak berdiri, wilayah Indonesia dihuni oleh berbagai kelompok etnik,

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sangat sedikit diperoleh bahan-bahan mengenai sejarah masuk dan

BAB I PENDAHULUAN. namun akhirnya menetap di Indonesia. Mereka berbaur dengan penduduk

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

TUGAS AKHIR PANCASILA BUKAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. ciri khas dari Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia termasuk dalam hal. konflik apabila tidak dikelola secara bijaksana.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. umum dikenal dengan masyarakat yang multikultural. Ini merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Tidak hanya menyebarkan di daerah-daerah yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan khususnya adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah merupakan semua peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seorang mualaf sebagai Muslim baru, mereka membutuhkan teman,

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki banyak pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu,

I. PENDAHULUAN. mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan ada di dalamnya. Hal

Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

BAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB V PENUTUP. Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat.kepercayaan ini menimbulkan perilaku tertentu seperti berdo a,

PERISTIWA MEI 1998 DAN IDENTITAS ORANG TIONGHOA DI JAKARTA. C.Dewi Hartati Program Studi Sastra Cina Fakultas Sastra

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

BAB VII RAGAM SIMPUL

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB III AGAMA ISLAM DAN PENERIMAAN: STUDI KASUS

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan ribuan pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki beranekaragam kebudayaan. Sebagaimana telah

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sosiokultural yang beragam dan geografis yang luas. Berikut adalah

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat majemuk. Ratusan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Hukum Waris di Lingkungan Keraton

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dibutuhkan untuk pengembangan bisnis agar lebih maju. Prinsip pelayanan merupakan

I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU

BAB V PENUTUP. keseluruhan penulisan skripsi ini yang mengangkat bahasan tentang Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. internalisasi nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam keluarga-keluarga ibu

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

Bab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung

INTERAKSI MASYARAKAT YANG BERBEDA ETNIS DI KECAMATAN MASAMA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Keterangan: 1 1 = Pengusa/Pejabat = Masyarakat/Rakyat 2

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Di tengah suasana kehidupan sekarang ini, manusia mengalami kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. heterogen, keberagaman suku, budaya dan agama menciptakan pluralisme

BAB I PENDAHULUAN. menyebar dari Sabang sampai Merauke. Termasuk daerah Sumatera Utara yang

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan budaya lokal, telah menampilkan budaya yang lebih elegan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. konflik antar kelompok maupun disintegrasi sosial. Sebetulnya kemajemukan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. pemerintahan Kecamatan Kampar TimurKabupaten Kampar. Adapun jarak desa Pulau

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB I. PENDAHULUAN. hakikat suku bangsa, agama, ras dan golongan dalam masyarakat juga memiliki latar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau

BAB I PENDAHULUAN. makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumatera Timur adalah wilayah yang ada di Pulau Sumatera. Kawasan ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan Wirausaha Pribumi dalam perspektif Ekonomi Islam (Studi di Pasar Kec.

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Identitas pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan dipakai oleh para

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masyarakat plural, terdiri dari berbagai suku bangsa yang beraneka ragam. Di atas keanekaragaman suku bangsa inilah, konstruksi kebangsaan Indonesia melahirkan sebuah bangsa yang bermacam macam suku, 1 diantaranya terdapat suku Tionghoa 2 yang eksistensinya dapat dirasakan di berbagai daerah Indonesia. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang mesti dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. 3 Salah satu suku bangsa yang hidup di Indonesia adalah Suku Tionghoa ini adalah suku pendatang. 4 Suku Tionghoa sebenarnya sudah hadir berabad-abad lalu. Mereka melebur menjadi warga setempat yang memiliki pasang-surut sejarah yang panjang, meski tak selalu mulus. Fakta sejarah yang tak terbantahkan bahwa orang Tionghoa adalah pendatang. Fakta sejarah ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai bagian integral dari kehidupan suku Tionghoa di Indonesia. 1 Parsudi Suparlan (ed.), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya, Jakarta: CV. Rajawali, 1984, hal. 74) 2 Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Lihat wikipedia.com/tionghoa/html (diunggah tanggal 1 Nopember 2012, pukul 23.01 WIB). 3 UUD 1945 Pasal 28 4 Secara historis, sejarah etnik Tionghoa di Nusantara ini telah dibahas secara baik oleh Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (terjemahan Asvi Warman Adam), Jakarta: Gramedia, 1999 (khususnya Bab tentang Pengaruh Cina di Nusantara ). Lihat juga, Leo Suryadinata, Kelompok Minoritas Tionghoa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1998; Melly G. Tan, Golongan Etnik Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1988 dan ZM. Hidayat, Masyarakat dan Kebudayaan Cina, Bandung: Transito, 1987 serta Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT. Temprint, 1994 untuk menyebut beberapa buku diantaranya. Lihat juga Leo Suryadinata, Kelompok Minoritas Tionghoa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1998

Dalam konteks sosiologis, Skinner dalam Tan 5 mengatakan bahwa sebagai etnik imigran, mereka datang dengan membawa ciri sosiokultural mereka yang berbeda dengan suku setempat. Setiap imigran Tionghoa yang datang selalu melekat ciri sosiokultural yang menunjukkan identitas sosial budayanya. Pada awalnya, kedatangan imigran suku Tionghoa tidak membawa konsekuensi tertentu seperti sekarang ini. Kedatangan mereka ke Indonesia ini langsung terintegrasi ke dalam struktur sosial budaya masyarakat setempat dengan mengawini wanita-wanita pribumi. Dalam konteks sosilogis-antropologis, dikenal dengan istilah asimilasi amalgamasi. Ciri identitas sosial budaya yang membedakannya, berintegrasi ke dalam struktur masyarakat pribumi secara alami. Hal ini menyebabkan batas-batas identitas kelompok suku menjadi kabur, bahkan cenderung hilang 6. Dalam perjalanan sejarahnya, suku Tionghoa selalu melakukan pembauran dengan komunitas setempat, dalam hal ini, masyarakat pribumi. Banyak yang menyangsikan apakah suku Tionghoa di Indonesia memiliki kemampuan untuk membaur dengan suku pribumi. Menurut Erniwati 7 bahwa suku Tionghoa di Indonesia, khususnya pada masa kolonial Belanda, dianggap sebagai pengkhianat bagi kalangan pribumi. Mereka dianggap suku yang dekat dan dimanfaatkan oleh kolonial Belanda. Keberadaan suku Tionghoa di berbagai daerah di nusantara yang hampir merata dan menunjukkan bahwa pada dasarnya mereka tidaklah 5 Melly G. Tan, Golongan Etnik Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1988, hal. 6 6 Melly G. Tan, hal. 11-12 7 Erniwati, Asap Hio di Minangkabau, Jakarta: Ombak Press, 2005

eksklusif, justru merupakan suku yang inklusif. Bahkan beberapa budaya daerah, dipengaruhi secara signifikan oleh budaya suku Tionghoa seperti budaya Betawi, Minangkabau dan budaya-budaya di daerah Kalimantan. 8 Pembauran ini terlihat dari pembauran yang berhubungan dengan identitas suku Tionghoa tersebut. Diantara beberapa simbol identitas itu, maka perubahan identitas sosial budaya, dalam hal ini identitas agama, menjadi bagian penyebab signifikan menjadi mudahnya suku Tionghoa berbaur dan menjadi bagian ingroup mayoritas, khususnya di daerah-daerah yang menggunakan simbol identitas agama tertentu yang dijadikan sebagai ukuran utama in-group atau out-group sebuah kelompok sosial. Di beberapa daerah yang memiliki keragaman suku, biasanya simbol ataupun identitas agama tidak menjadi ukuran in-group atau outgroup sebuah kelompok sosial. Suku Batak misalnya, menganggap bahwa agama tidak menjadi simbol atau ukuran utama sebuah identitas. Bagi mereka, fam atau marga yang menjadi ukuran utama tersebut. Sehingga tidaklah mengherankan apabila orang Batak berpindah agama dari Protestan ke Katholik, atau dari Protestan ke Islam, bahkan masih menganut kepercayaan nenek moyang (Parmalim), mereka tetap dianggap sebagai orang Batak. 9 Sedangkan pada suku Minangkabau, agama menjadi simbol dan identitas utama yang diperkuat dengan falsafahnya: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Agamo mangato, Adat mamakai. Identitas keminangkabau-annya akan hilang ketika pindah agama dari Islam ke agama 8 Erniwati, hal. 9 9 Tentang hal ini pernah dibahas oleh Kartini Syahrir, Etnik Batak dalam Relasi Sosial dan Ekonomi di Pulau Jawa, Prisma Edisi XVII Tahun 1993, hal. 47 56.

lain. 10 Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila, misalnya, suku Tionghoa di daerah Sumatera Utara lebih mudah berbaur tanpa menukar identitas agama mereka, dibandingkan dengan di Minangkabau ataupun daerah-daerah yang menjadikan ajaran Islam sebagai social value paling utama dalam relasi sosial mereka.. Suku Tionghoa pada umumnya beragama Konghuchu, ada juga beragama Budha, Kristen, atau Katolik. Mereka berprinsip, jangan sekali-kali mereka atau anggota keluarga mereka beragama Islam. Agama Islam dalam pandangan suku yang belum mengenal Islam adalah agama yang membuat orang menjadi miskin dan terbelakang. Seseorang suku Tionghoa dari keluarga non muslim yang menjadi muallaf (masuk Islam), ada keluarga yang mengucilkannya, diusir dari rumah, bahkan ada yang disiksa. 11 Setelah masuk Islam, seeorang yang bersal dari suku Tionghoa muallaf tersebut sering kali dihadapkan berbagai persoalan mulai dari dikucilkan keluarganya hingga persoalan ekonomi. Tak jarang, masalah terhadap muallaf dari sukuy Tionghoa ini berasal dari kalangan ummat Islam sendiri, yang seharusnya memberi dukungan pada muallaf. Di antara sikap yang kerap muncul adalah memperlakukan para muallaf itu seakan-akan telah mengenal Islam sejak lahir dan menuntut mereka langsung mengamalkan ajaran agama Islam secara sempurna. Padahal, tingkat keislaman mereka belum begitu tinggi karena baru memasuki pada tahap belajar atau tahap pengenalan. 10 Dr. Nusyirwan, M.PH., Manusia Minangkabau, Jakarta: GebuMinangPress (GMP), 1996, hal. iii 11 Djayadi, Mengapa Etnik Tionghoa Memilih Islam?, Yogyakarta: Lingkar Dakwah, 2006, hal. 11

Suku Tionghoa di Sumatera Barat, khususnya yang berdomisili di Kota Padang, juga melakukan perubahan identitas melalui identitas agama, dengan menjadi bagian dari sebuah komunitas agama in-group mayoritas. Dalam hal ini agama Islam membuat suku Tionghoa yang minoritas di Kota Padang menjadi lebih mudah diterima sebagai bagian dari in-group tersebut dibandingkan dengan kemampuan mereka menggunakan secara baik simbol identitas lainnya seperti penggunaan bahasa Minang sebagai bahasa utama dalam percakapan sehari-hari. Dalam konteks sosiologis, perubahan identitas agama ini harus dilihat dalam perspektif sosiologis, tidak dilihat dari perspektif teologis. Bila dilihat dari perspektif teologis, maka akan menimbulkan bias dan biasanya pertimbangan subjektif-individual akan lebih terlihat secara nyata, bukan pertimbangan sosiologis sebagai sebuah fakta sosial. Lebih lanjut diungkapkan oleh Soekanto, 12 faktor faktor yang mendorong adanya perubahan dalam suatu masyarakat adalah kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan yang maju, sikap menghargai hasil karya seseorang dan ada keinginan untuk maju, toleransi terhadap pembuatan yang menyimpang, sistem terbuka dalam lapisan masyarakat, pendudukan yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, disorganisasi dalam masyarakat, sikap mudah menerima, dan sikap modern. Orang Tionghoa yang pindah agama, pada dasarnya sebagai suatu strategi untuk dapat diterima dalam in-group dominan. 13 Dengan masuknya ke dalam group dominan itu, sehingga memudahkan mereka berinteraksi dan sekaligus 12 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rajawali Grafindo, 2000, hal. 49 13 Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa informan, diantaranya wawancara dengan Gope (Masdarinof), 16 Juli 2016

memudahkan untuk melakukan hubungan sosial dan ekonomi di Padang. Namun pada satu sisi, pindah agama itu bagi suku Tionghoa merupakan sebagai bentuk perubahan identitas, karena agama merupakan salah satu penunjuk identitas bagi seseorang atau kelompok orang, sebagaimana dikatakan oleh Erikson, 14 bahwa dalam struktur sosial terdapat penggolongan orang menurut negara, ras, kelas sosial, jenis kelamin, suku, agama dan sebagainya. Identitas merupakan hal yang fundamental pada setiap interaksi sosial dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan 15 mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Abdul Munir Mulkhan menyatakan bahwa manusia diletakkan dalam struktur dari banyak lembaga keagamaan. 16 Dalam konteks identitas yang perlu dilihat adalah dimensi atau faktor-faktor apakah yang mendorong seseorang atau kelompok orang untuk melakukan perubahan identitas itu, seperti halnya yang dilakukan oleh suku Tionghoa di Kota Padang. Di antara syarat menjadi orang Minangkabau, syarat genetik dan syarat agama Islam, maka, syarat agama menjadi syarat paling utama. Mungkin tidak ada dasar juridis yang menerangkan bahwa salah satu syarat orang tersebut 14 Erikson, Erick, H., Identitas dan Siklus Hidup Manusia; Bunga Rampai 1. Penerjemah : Agus Cremers. Jakarta : PT. Gramedia, 1989, hal. 91 15 Lan, T, J. Susahnya Jadi Orang Tionghoa. Ke-Tionghoa-an Sebagai Kon-struksi Sosial. Dalam Wibowo, I (editor). Harga Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnik Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Tionghoa, 2000, hal. 85 16 Abdul Munir Mulkhan, Agama Bagi Manusia atau Tuhan?, Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 11

dianggap sebagai orang Minangkabau adalah beragama Islam 17. Namun secara kultural, ketentuan tersebut hingga hari ini masih digunakan. Orang Minangkabau begitu ketat dengan ukuran agama ini untuk menjadi in-group Minangkabau tersebut. Seseorang akan mudah keluar menjadi in-group Minangkabau ketika ia murtad, daripada kawin dengan suku lain. Demikian juga, dari suku manapun juga, ketika mereka kawin dengan orang Minangkabau atau sudah lama tinggal di daerah Minangkabau, namun beragama Islam, maka tingkat penerimaan terhadap orang tersebut menjadi bagian dari ingroup sangat mudah. 18 Roland Roberston menyatakan bahwa pola-pola nilai tidak diinstitusionalisasi secara langsung, murni dan tanpa gangguan, melainkan terintegrasi ke dalam sistem sosial. 19 Fenomena ini juga terjadi pembauran etnik Tionghoa di Padang. Selanjutnya kehadiran wadah suku Tionghoa yang beragama Islam, yaitu PITI 20 cukup berperan sebagai penghubung antar suku. Secara sosiologis bisa diasumsikan sebagai strategi sosial untuk memudahkan mereka diterima dalam ingroup dominan, disamping tentunya pertimbangan normatif-teologis juga menjadi hal yang cukup menjadi faktor penentu. 17 Tentang hal ini, lihat A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta:PT. Grafiti Press, 1984 18 Pembahasan lebih detail, lihat Erniwati, Asap Hio di Minangkabau, Jakarta: Ombak Press, 2005, hal. 16-52 19 Roland Roberston (ed.), Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin, Jakarta: Rineka Cipta, 1988, hlm. 230. 20 Afrizal, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kota Padang : Tinjauan Historis, Tesis pada Konsentrasi Sejarah dan Kebudayaan Islam PPs IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2004

Diasumsikan juga, beberapa muslim Tionghoa di Kota Padang memiliki kemudahan dalam melakukan interaksi sosial secara horizontal dibandingkan dengan Tionghoa non-muslim. Beberapa suku Tionghoa Kota Padang yang masuk agama Islam dalam tahun-tahun belakang, secara sosiologis, bisa diterima oleh komunitas Tionghoa dimana selama ini mereka berasal. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, beralih kepada agama Islam adalah satu bentuk perlawanan terhadap identitas kultural suku Tionghoa. Untuk itu, fenomena ini perlu diteliti lebih jauh tentang perubahan-perubahan yang terjadi tersebut pada suku Tionghoa di Kota Padang. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka penelitian ini mengkaji permasalahan perubahan identitas agama etnik Tionghoa di Kota Padang dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Mengapa orang Tionghoa di Padang pindah agama dari non Islam ke Islam? 2. Bagaimana interaksi orang Tionghoa dalam komunitasnya di Kota Padang? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi penyebab orang Tionghoa masuk Islam.

2. Mendeskripsikan Interaksi komunitas Tionghoa muslim dalam komunitas Tionghoa non muslim di Kota Padang. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, yaitu : 1. Manfaat bagi akademik karena memberikan kontribusi ilmu terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan disiplin ilmu sosial, terutama perspektif keilmuan dalam khazanah sosiologis berkaitan dengan kajian etnik Tionghoa, dalam hal ini kajian sinologi (kajian Tionghoa) di Sumatera Barat. 2. Manfaat bagi peneliti lain khususnya bagi pihak-pihak yang tertarik untuk meneliti masalah ini lebih lanjut dan lebih dalam lagi, atau menjadikan penelitian ini sebagai penelitian terapan. 3. Memberikan kontribusi kebijakan terhadap organisasi Muslim Tionghoa, khususnya di Kota Padang, tentang kondisi sosiologis Tionghoa Muslim.