BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

B A B 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun baik stimulus suara,

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI (HALUSINASI) Mei Vita Cahya Ningsih. Pengertian

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI-SENSORI: HALUSINASI PENDENGARAN DI BANGSAL ABIMANYU RSJD SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu tindakan

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998).

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satunya adalah masalah tentang kesehatan jiwa yang sering luput dari

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

BAB I PENDAHULUAN. emosional serta hubungan interpersonal yang memuaskan (Videbeck, 2008).

Koping individu tidak efektif

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan

BAB I PENDAHULUAN. meliputi keadaan fisik, mental, dan sosial, dan bukan saja keadaan yang bebas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009).

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KOMUNITAS (CMHN)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. L DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG SRIKANDI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB 1 PENDAHULUAN. melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat. ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. ANA (American nurses

LAPORAN KASUS PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN PADA

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

PROSES TERJADINYA MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. sehat, maka mental (jiwa) dan sosial juga sehat, demikian pula sebaliknya,

BAB 1 PENDAHULUAN. serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease

BAB I PENDAHULUAN. dalam dirinya dan lingkungan luar baik keluarga, kelompok maupun. komunitas, dalam berhubungan dengan lingkungan manusia harus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB II TINJAUAN KONSEP

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI DI RUANG ARIMBI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Halusinasi 2.1.1. Pengertian Halusinasi Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal dan rangsangan eksternal. Klien memberi 5 pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata, misalnya klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati, 2010) Halusinasi ialah suatu pengalaman pada suatu kejadian sensoris tanpa ada input dari lingkungan sekitarnya. Mark Durrand dan David H. Barlow (2007), mendeskripsikan halusinasi adalah suatu penghayatan kepada kejadian-kejadian yang tidak mendasar pada kejadian eksternal (Pieter, Herri Zan, Bethsaida Janiwarti dan Marti Saragih, 2011) 2.1.2. Jenis Halusinasi Jenis halusinasi menurut Cancro dan Lehman dalam Videbeck (2008) yaitu halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, taktil, kinestetik atau gerakan. Stuart (2007) mengatakan bahwa halusinasi dapat terjadi pada salah satu dari 5 modalitas sensosi utama penglihatan, pendengaran, bau, rasa, dan perabaan persepsi terhadap stimulus eksternal dimana stimulus tersebut sebenarnya tidak ada. Halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang paling sering terjadi. Penelitian Sousa (2007) menyebutkan bahwa tipe halusinasi yang 7

8 sering muncul adalah halusinasi pendengaran sebanyak 69,23%, diikuti dengan halusinasi penglihatan sebesar 8,59 %, selanjutnya halusinasi taktil sebesar 5,72%, dan sisanya halusinasi tipe lain. Maka halusinasi dapat terjadi berupa stimuluspalsu terhadap seluruh panca indera, tetapi yang paling banyak terjadi adalah halusinasi pendengaran(yusnipah, 2012). Hoeksema (2004) mengemukakan adanya bermacam-macam halusinasi, pertama, halusinasi pendengaran, dimana orang mendengar suara-suara, musik dan lain-lain yang sebenrnya tidak ada. Ini merupakan yang paling sering muncul dan rata-rata lebih sering pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Halusinasi kedua yang sering muncul adalah halusinasi penglihatan, seringkali berbarengan dengan halusinasi pendengaran. Selanjutnya halusinasi perabaan, melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi diluar tubuh seseorang. Selanjutnya halusinasi somatis, melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi didalam diri seseorang, halusinasi ini seringkali sangat hebat dan menakutkan (Wiramihardja, 2007) 2.1.3. Tanda dan Gejala Klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi dapat memperlihatkan berbagai manifestasi klinis yang bisa kita amati dalam perilaku mereka seharihari. Menurut NANDA (2010), tanda dan gejala halusinasi meliputi: konsentrasi kurang, selalu berubah respon dari rangsangan, kegelisahan, perubahan sensori akut, mudah tersinggung, disorientasi waktu, tempat, dan orang, perubahan kemampuan pemecahan masalah, perubahan pola perilaku. Bicara dan tertawa sendiri, mengatakan melihat dan mendengar sesuatu padahal objek sebenarnya

9 tidak ada, menarik diri, mondar-mandir, dan mengganggu lingkungan juga sering ditemui pada pasien dengan halusinasi. Individu terkadang sulit untuk berpikir dan mengambil keputusan. Banyak dari mereka yang justru mengganggu lingkungan karena perilakunya itu. Pasien halusinasi biasanya dibawa ke rumah sakit dalam kondisi akut yang memperlihatkan gejala seperti bicara dan tertawa sendiri, berteriak-teriak, keluyuran, dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Hal tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila keluarga mengetahui tanda dan gejala awal dari halusinasi (Yusnipah, 2012). 2.1.4. Patofisiologi Halusinasi Patofiologi halusinasi yaitu menurut Maramis (2004), halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus, individu merasa ada stimulus yang sebetulnya tidak ada, pasien merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara, bisa juga berupa suara-suara bising dan mendengung, tetapi paling sering berupa kata- kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respon tertentu seperti bicara sendiri. Suara bisa berasal dari dalam diri individu atau dari luar dirinya. Isi suara tersebut dapat memerintahkan sesuatu pada klien atau seringnya tentang perilaku klien sendiri, klien merasa yakin bahwa suara itu dari Tuhan, sahabat dan musuh (Rahmawati, 2014). Terjadinya Halusinasi dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan faktor presipitasi.menurut Dermawan dan Rusdi (2013), faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah halusinasi yaitu; faktor biologis, faktor psikologis, faktor sosial budaya.menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan

10 halusinasi adalah faktor biologis, stress lingkungan, pemicu gejala dan sumber koping (Rahmawati, 2014). Menurut Stuart & Laraia (2005) dalam Suwardiman (2011), proses halusinasi terjadi melalui empat tahapan, antara lain : 1) Tahap dirasakan oleh klien sebagai pengalaman yang memberi rasa nyaman, dengan perilaku yang sering ditampilkan pada tahapan ini adalah tersenyum atau tertawa sendiri, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi. 2) Tahap menyalahkan, pada tahap ini dikarakteristikan sebagai pengalaman sensori dan isolasi diri. 3) Tahap mengontrol, perilaku yang ditampilkan pada tahap ini adalah perintah halusinasi dituruti, sulit berhubungan dengan orang lain, dan rentang perhatian hanya beberapa detik. 4) Tahap menguasai, perilaku yang sering dimunculkan pada tahap ini adalah perilaku panik, perilaku mencederai diri sendiri atau orang lain, dan potensial bunuh diri. 2.1.5. Tindakan Keperawatan Keluarga dengan Halusinasi Menurut Stuart (2007), strategi merawat pasien dengan halusinasi yaitu membina hubungan interpersonal dan saling percaya, mengkaji gejala halusinasi, memfokuskan pada gejala dan minta pasien menjelaskan apa yang sedang terjadi, mengkaji penggunaan alkohol atau obat terlarang, mengatakan bahwa perawat tidak mempunyai stimulus yang sama, membantu pasien mengidentifikasikan kebutuhan yang dapat memicu halusinasi, dan membantu menangani gejala yang

11 mempengaruhi aktifitas hidup sehari-hari. Keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi. Dukungan keluarga selama pasien dirawat di rumah sakit sangat dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien tidak lagi dirawat di rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal (Yusnipah, 2012). Menurut Keliat, dkk (2011) tindakan keperawatan yang dapat diberikan untuk keluarga pasien halusinasi adalah sebagai berikut. 1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien, 2) Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat pasien halusinasi, 3) Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat pasien dengan halusinasi langsung dihadapan pasien, 4) Memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang perawatan lanjutan pasien (Yusnipah, 2012). Merawat pasien berarti juga harus terlibat langsung dalam program pengobatan pasien. Peran keluarga dibutuhkan dalam mengawasi pasien minum obat. Oleh karena itu penting bagi keluarga untuk mengetahui tentang obat dan efek samping obat. Keluarga diharapkan mengetahui manfaat obat, jenis, dosis, waktu, cara pemberian, dan efek samping obat. Kondisi halusinasi dalam perawatan dan pengobatannya bisa dikontrol oleh obat (Videbeck, 2008 dalam Yusnipah, 2012).

12 Penatalaksanaan terpentingnya adalah bagaimana pasien dengan halusinasi tahu manfaat obat, kemudian mau minum obat dan patuh, sehingga mampu mengikuti dan mempertahankan terapinya untuk mengontrol halusinasinya (Suwardiman, 2011). Pemberian informasi yang Tingkat pengetahuan tepat tentang obat pada keluarga penting untuk keberhasilan perawatan pasien halusinasi. Faktor keluarga menempati hal vital penanganan pasien gangguan jiwa di rumah. Hal ini mengingat keluarga adalah support sistem terdekat dan 24 jam bersama-sama dengan pasien. Keluarga sangat menentukan apakah pasien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung secara optimal akan membuat pasien mampu survive dalam kondisi apapun. Jika keluarga tidak mampu merawat pasien maka pasien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi akan sangat sulit. Perawat dituntut harus melatih keluarga pasien agar mampu merawat pasien gangguan jiwa di rumah (Keliat, 1996 dalam Yusnipah, 2012). 2.2. Konsep Keluarga 2.2.1. Pengertian Keluarga Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga. Secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan sebagai anggota dari kelompok masyarakat yang paling dasar, tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan antar individu (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011).

13 Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota keluarganya dari adanya gangguan-gangguan mental dan ketidaksetabilan emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan mental (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005, dalam Kurniawan, 2014). 2.2.2. Tipe Keluarga Dalam Suprajitno (2004), Pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1) Keluarga Inti (Nuclear Family)adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. 2) Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakeknenek, paman-bibi).

14 2.2.3. Fungsi Keluarga Fungsi keluarga secara umum didefinisikan sebagai hasil akhir atau akibat dari struktur keluarga. sedangkan fungsi dasar keluarga adalah untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga itu sendiri dan masyarakat yang lebih luas. Tujuan terpenting yang perlu dipenuhi keluarga adalah menghasilkan anggota baru (fungsi reproduksi) dan melatih individu tersebut menjadi bagian dari anggota masyarakat (fungsi sosialisasi) (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011). Fungsi keluarga menjadi suatu perhatian ketika kita akan membahas bagaimana kebutuhan dukungan yang dipersepsikan oleh keluarga dengan beban keluarga yang mengalami halusinasi. Adapun fungsi keluarga meliputi : 1) Fungsi afektif, kebahagiaan keluarga diukur oleh kekuatan cinta keluarga (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011). Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih sayang anggota keluarganya karena respon kasih sayang satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya memberikan dasar penghargaan terhadap kehidupan keluarga. 2) Fungsi sosialisasi, sosialisasi anggota keluarga adalah fungsi yang universal dan lintas budaya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011). Sosialisasi merujuk pada banyaknya pengalaman belajar yang diberikan dalam keluarga yang ditujukan untuk mendidik klien halusinasi tentang cara menjalankan fungsi adaptif dalam lingkungan

15 masyarakat, sehingga klien yang mengalami halusinasi merasa diterima oleh lingkungan sosial. 3) Fungsi reproduksi, salah satu fungsi dasar keluarga adalah untuk menjamin kontinuitas antar generasi keluarga dan masyarakat, yaitu menyediakan anggota baru untuk masyarakat (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011). 4) Fungsi ekonomi, fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber daya yang cukup, ruang, dan materi serta alokasinya yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan. Termasuk ke dalam fungsi ekonomi yaitu : a. mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. b. pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. c. menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa yang akan datang (pendidikan, dan jaminan hari tua). d. Fungsi perawatan kesehatan, fungsi peningkatan status kesehatan pada klien dengan halusinasi dipenuhi oleh keluarga yang menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan kesehatan, dan perlindungan terhadap munculnya bahaya. Pelayanan dan praktik kesehatan adalah fungsi keluarga yang paling relevan bagi perawat keluarga (caregivers).

16 2.2.4. Tugas Keluarga Keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan (Friedman, 2010, dalam Nuraenah, 2012) yang meliputi : a. kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan keluarga klien dengan halusinasi, keluarga perlu mengetahui peneyebab tanda-tanda klien kambuh. b. kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi anggota keluarga dengan halusinasi, menanyakan kepada orang yang lebih tahu. c. kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan merawat anggota keluarga dengan riwayat halusinasi. d. kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di masyarakat. e. Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan. 2.2.5. Peran Keluarga Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit klien (Friedman, 1998, Ngadiran, 2010). Umumnya mereka tidak sanggup merawatnya, setelah sebelumnya keluarga mencoba menyelesaikan masalah dengan anggotanya yang sakit dengan menyangkal bahwa mereka mempunyai masalah yang serius, atau melakukan kontrol yang berlebihan atau menarik diri, sehingga klien gangguan halusinasi biasanya dibawa ke Rumah Sakit setelah mereka lama berada di rumah (Stuart & Sunden, 2001, dalam Ngadiran, 2010).

17 Keluarga yang menpunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan perimer), penanggulangan perilakumaladaptif (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku adaptif(pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Keliat, 1995, dalam Ngadiran, 2010). Maka peran keluarga sangatpenting dari berbagi faktor: 1) Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungan. Keluarga merupakan istitusi untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, perilaku (Clenent & Buchanan 1982, dalam Keliat 1995, dalam Ngadiran, 2010). Individu menguji perilakunya didalam keluarga dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tersebut, semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat. 2) Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan jiwa (halusinasi) yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem. Sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga. 3) Berbagai pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat klien untuk hidup, tetapihanya fasilitas yang membantu klien dan keluraga mengembangkan kemampuan dalam mencegah terjadinya masalah, memanggualngi berbagi masalah dan mempertahankan keadaan adaptif.

18 4) Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa salah satu faktor penyebab kekambuhan gangguan jiwa (halusinasi) adalah keluarga yang tidak tahu menangani perilaku di rumah. Ngadiran (2010), Peran keluarga dalam perawatan di rumah adalah : 1) Menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan menyenangkan sehingga membantu memulihkan kesehatan fisik, psikologis dan sosial yang memuaskan. 2) Mengatasi dan ikut bertanggung jawab atas terlaksananya pengobatan lanjutan difasilitas kesehatan yang ada dan pengawasan dalam pemberian obat di rumah. 3) Membantu pelaksanaan kegiatan sebelum dan setelah perawatan klien dan bertanggung jawab atas kemadirian klien. 4) Menjalankan kerja sama yang baik dengan petugas kesehatan dalam rangka partisipasi dalam proses pengobatan dan pemulihan di rumah. 5) Menciptakan hubungan yang baik dengan lingkungan keluarga dan tetangga dalam rangka pemberian pengertian kepada masyarakat terkait tentang keadaan, perilaku dan penyakit klien sehingga bersifat positif, suportif dan membantu meneteramkan apabila klien memperlihatkan perilaku negatif. 6) Membantu mencari tempat kerja di masyarakat sehingga kondisi klien yang baik tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan. 7) Berpartisipasi secara aktif dan konstruktif dalam proses terapi keluarga. Dengan demikian, jelas sekali bahwa keluarga berperan penting dalam

19 perawatan halusinasi dan peroses terjadinya penyesuaian kembali klien di rumah Oleh karena itu, peran keluarga dalam proses pemulihan, mencegah kekambuhan dan mengontrol halusinasi di rumah sangat diperlukan. 2.2.6. Kekuatan Keluarga Ketika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (halusinasi) hal tersebut akan memperburuk keadaan mental keluarga, tetapi itu lamakelamaan akan menjadi biasa. Bahkan pada beberapa anggota keluarga tanpadisadari terjadi perubahan dalam komunikasi dan pada keluarga lain tanpa disadari berkerja sama untuk memulihkan atau memperbaiki komunikasi mereka sehingga menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya (Barry, 1998, dalam Ngadiran, 2010). Belajar untuk mengatasi masalah yang terjadi merupakan kekuatan keluarga untuk berusaha mengontrol mereka (Stuart & Sunden, 1995,dalam Suwardiman, 2011). Menurut Friedman (1998) dalam Ngadiran (2010), kekuatan keluarga terdiri dari keterampilan komunikasi, kemampuan mendengar, kemampuan anggota keluarga berdiskusi dengan masalah, pengungkapan persepsi-persepsi tentang realitas yang sama dalam keluarga,keinginan keluarga untuk memiliki harapan dan apresiasi, bahwa perubahan mungkin saja terjadi, dukungan dari dalam keluarga, kemampuan memberikan penguatan satu sama lain,kemampuan anggota keluarga menciptakan suasana memiliki, kemampuan dalam merawat diri, kemampuan anggota keluarga bertanggung jawab terhadap masalah-masalah kesehatan, kemampuan anggota keluarga menjaga kesehatan mereka sendiri.

20 2.3. Konsep Beban Keluarga 2.3.1. Pengertian Beban Keluarga Beban keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya. Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya stres emosianal dan ekonomi keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya (Fontaine, 2009, dalam Nuraenah, 2012). Kondisi klien dengan halusinasi tersebut dapat menimbulkan efek psikologis bagi keluarganya. Keluarga sering merasa malu dan marah terhadap tingkah laku klien (misalnya, tertawa tawa sendiri, berperilaku aneh), dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Klien yang menderita seumur hidup menjadi beban bagi keluarga. Masalah yang sering dihadapi keluarga adalah klien susah jodoh, diasingkan oleh lingkungan dan sumber dana yang diperlukan. Masalah yang dihadapi keluarga tidak dapat dihindarkan, karena klien dengan skizofrenia dengan halusinasi kronis memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit (Walton &Moss, 2005, dalam Ngadiran, 2010). Pada keluarga dengan gangguan jiwa, stressor yang dihadapi berbeda dengan keluarga dengan dengan masalah kesehatan lain. Selain berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan, ketidakmampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga pada stigma masyarakat pada klien gangguan jiwa. Stressor yang dialami oleh keluarga dengan gangguan jiwa sering dikenal dengan beban keluarga (family burden) (Ngadiran, 2010).

21 Gangguan jiwa dapat berdampak negatif pada keluarga. (Stuart & Laraia, 2001, dalam Suwardiman, 2011) dampak yang terjadi meliputi ; meningkatnya konflik dan stress keluarga, saling menyalahkan satu sama lain, kesulitan untuk mengerti dan menerima keluarganya yang sakit, meningkatnya emosi ketika berkumpul dan kehilangan energi, waktu, uang untuk merawat anggota keluarganya. 2.3.2. Pembagian Beban Keluarga Pembagian beban keluarga juga disampaikan oleh Mohr (2006) dalam Ngadiran (2010) yaitu bahwa beban keluarga terbagi atas tiga jenis : 1) Beban Obyektif Beban obyektif adalah masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan perawatan klien, yang meliputi; tempat tinggal, makanan, transportasi, pengobatan, keuangan, intervensi krisis. Keluarga memerlukan biaya untuk klien di rumah sakit, mengantarkannya berobat. Hal ini akan semakin meningkat jika berlangsung lama. 2) Beban Subyektif Beban subyektif adalah masalah yang berhubungan dengan kehilangan, takut, merasa bersalah, marah dan perasaan negatif lainnya yang dialami oleh keluarga sebagai respon terhadap anggota keluarga yang gangguan jiwa. Perasaan kehilangan timbul karena menganggap bahwa masa depan keluarga dan klien seolah telah berakhir (Mohr, 2006, dalam Ngadiran, 2010). Perasaan takut, meliputi takut akan kehilangan hartanya untuk mengobati anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Perasaan lain adalah perasaan marah terhadap diri

22 sendiri, marah terhadap keluarga, bahkan terhadap Tuhan (Mohr, 2006, dalam Ngadiran, 2010) 3) Beban Iatrogenik Beban yang tidak kalah pentingnya adalah beban iatrogenik yaitu beban yang disebabkan karena tidak berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tidak mengetahui teori keluarga. Beban iatrogenik itu meliputi tentang pelayanan yang di berikan oleh tenaga kesehatan : dokter, perawat, farmasi, gizi, pelayanan dari tenaga penunjang lainya: sosial worker, analasis, administrasi, informasi.hal ini mengakibatkan proses pengobatan dan pemulihan tidak berjalan sesuai yang di harapkan. Sedangkan menurut WHO (2008) dalam Suwardiman (2011), mengkategorikan beban keluarga dengan klien halusinasi dibagi kedalam dua jenis yaitu: 1. Beban obyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan masalah dan pengalaman anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik anggota keluarga. 2. Beban subyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan, kecemasan dan malu dalam situasi sosial, koping, stress terhadap gangguan perilaku dan frustasi yang disebabkan karena perubahan hubungan.

23 2.3.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi beban keluarga Faktor-Faktor yang mempengaruhi beban keluarga penderita skizofrenia merupakan beban bagi keluarga. Beban keluarga ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi beban keluarga antara lain: 1) Perjalanan penyakit Penderita skizofrenia sering mangalami ketidakmampuan seperti merawat diri, berinteraksi sosial, sehingga sangat bergantung kepada keluarga yang akan menjadi beban baik subyektif maupun obyektif (Kaplan & Sadock, 2000 dalam Nuraenah, 2012). Siregar, Arijanto dan Wati (2008) dalam Nuraenah (2012) menemukan bahwa gejala positif dan negatif klien skizofrenia berperan dalam beratnya beban caregiver, semakin tinggi skor sindrom positif dan negatif skizofrenia maka semakin berat beban yang dirasakan. 2) Stigma Pada kehidupan masyarakat, skizofrenia masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan dan merupakan aib bagi keluarga, dan sering dianggap sebagai ancaman yang mengganggu keamanan sekitarnya. Keadaan ini menyebabkan keluarga dikucilkan dan mengalami isolasi sosial dari masyarakat. Hal ini menjadi beban bagi keluarga baik beban subyektif maupun beban obyektif. Menurut Sane Research (2009) dalam Nuraenah (2012), stigma adalah suatu usaha untuk label tertentu sebagai kelompok yang kurang patut dihormati dari pada yang lain. Stigma masih tersebar luas di Australia. Australia menghabiskan sekitar 8% dari anggaran kesehatan padapelayanan kesehatan mental, di Negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) sebanding, proporsi

24 adalah 12% atau lebih, kekurangan ini memiliki efek drastis pada kapasitas layanan. Keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan di Australia. Orang yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan dengan cara yang tidak pantas. Kalau kita melihat pelayanan kesehatan di Indonesia, bahwa bangsal-bangsal yang ada di rumah sakitumum banyak yang belum ada bangsal jiwanya hal ini menunjukkan bukan hanya masyarakat awam saja yang melakukan diskriminatif, tetapi para profesionalpun secara tidak sadar melakukan stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa. Menurut Hawari (2009) dalam Nuraenah (2012), stigma merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang menggangap bahwa bila salah seorang anggota keluarga menderita skizofrenia merupakan aib bagi anggota keluarganya. Selama bertahun-tahun banyak bentuk diskriminasi di dalam masyarakat. Penyakit mental masih menganggap kesalahpahaman, prasangka, kebingungan, ketakutan di tengah-tengah masyarakat. 3) Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan khususnya kesehatan mental merupakan sarana yang penting dalam melakukan perawatan terhadap skizofren. Kemudahan keluarga untuk membawa klien kepelayanan kesehatan akan mengurangi beban keluarga dalam merawat, begitu juga sebaliknya, jika pelayanan kesehatan khususnya mental tidak tersedia atau sulit dijangkau akan menyebabkan keadaan klien lebih buruk yang akan menjadi beban bagi keluarga yang merawat (Thonicraft & Samukler, 2001 dalam Nuraenah, 2012).

25 4) Pengetahuan terhadap penyakit Pengetahuan keluarga tentang skizofrenia dan cara perawatannya sangat mempengaruhi proses fikir keluarga. 5) Ekspresi emosi Ekspresi emosi adalah keadaan individu yang terbuka dan sadarakan perasaannya dan dapat berpartisipasi dengan dunia eksternal dan internal (Keliat, 2000, dalam Nuraenah, 2012). Beberapa penelitian menemukan bahwa ekspresi emosi keluarga yang tinggi rata-rata memiliki beban yang tinggi jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang rendah. Angiananda (2006) dalam Nuraenah (2012), menemukan bahwa emosi keluarga berkaitan dengan pengetahuan menyebabkan emosi tinggi karena merasa terbebani dengan perilaku klien. Tingginya angka kekambuhan tersebutkan meningkatkan ketidakmampuan penderita yang menyebabkan beban bagi keluarga. 6) Ekonomi Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam penilaian beban keluarga. Perawatan klien skizofrenia membutuhkan waktu yang lama sehingga membutuhkan biaya yang banyak. Penelitian Gururaj, Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor finansial memiliki rata-rata yang paling tinggi. Oleh karena itu, apabila keluarga tidak memiliki sumber dana yang cukup atau jaminan kesehatan, maka hal ini akan menjadi beban yang berat bagi keluarga (Nuraenah, 2012).

26 2.3.4. Beban Keluarga Merawat Pasien Halusinasi. Menurut WHO (2003), secara umum dampak yang dirasakan oleh keluarga dengan adanya anggota keluarga mengalami halusinasi adalah tingginya beban ekonomi, beban emosi keluarga, stress terhadap perilaku pasien yang terganggu, gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga sehari-haridan keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Selain itu juga muncul beban keluarga karena stigma social terhadap penderita halusinasi tersebut, beban yang muncul bisa berupa psikologis. Prilaku halusinasi adalah akibat kesalahan persepsi sensori dari kelima pancaindra, penyimpangan prilaku klien sangat bervariasi tergantung dari tingkat terjadinya halusinasi. Penimpangan prilaku yang terjadi meliputi; terseyum lebar, menggerakkan bibir tanpa membuat suara, perhatian menyempit, kesulitan berhubungan dengan orang lain, tampak cemas, tidak mampu mengikuti perintah, prilaku klien seperti di hantui teror, potensi kuat untuk bunuh diri atau membunuh orang lain, menarik diri, tidak bisa pada lebih dari satu orang. Prilaku klien dengan halusinasi di atas menimbulkan beban bagi keluarganya, karena keluarga harus lebih sabar, perhatian, menyediakan waktu yang khusus, klien tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, selain itu masih banyak keluarga yang merasakan beban atau kesulitan dalam merawat anggota keluarganya dengan halusinasi, keluarga sangat membutuhkan sumber-sumber dukungan seperti apa yang dapat mendukung keluarga tersebut dalam merawat anggota keluarganya yang mengalami halusinasi (Ngadiran, 2010).