KARAKTERISTIK SEMEN DAN TINGKAT LIBIDO DOMBA PERSILANGAN

dokumen-dokumen yang mirip
UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

PERTUMBUHAN PRA-SAPIH KAMBING PERANAKAN ETAWAH ANAK YANG DIBERI SUSU PENGGANTI

KARAKTERISTIK SEMEN SEGAR TIGA GENOTIPE DOMBA PERSILANGAN

EVALUASI PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI DOMBA JANTAN ST. CROIX

PENGARUH UMUR TERHADAP KINERJA S-EKSUAL PADA KAMBING JANTAN PERANAKAN ETAWAH

PERBANDINGAN KUALITAS SEMEN KAMBING KEJOBONG DAN KAMBING KACANG DI JAWA TENGAH ABSTRACT

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

HUBUNGAN BOBOT BADAN DENGAN LINGKAR SKROTUM, JUMLAH NAIK, DAN JUMLAH EJAKULASI DOMBA GARUT. Oleh : Hastono 1 dan Johar Arifin 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

KUALITAS SEMEN DOMBA LOKAL PADA BERBAGAI KELOMPOK UMUR SEMEN QUALITY OF RAM AT DIFFERENT AGE-GROUP

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

PENGARUH WAKTU PENAMPUNGAN SEMEN TERHADAP GERAKAN MASSA SPERMATOZOA DAN TINGKAH LAKU KOPULASI PEJANTAN DOMBA GARUT

PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA LOKAL PALU. The Effect of Mating Method on Successful Pregnancy of Palu Local Sheep

PENGARUH LINGKAR SCROTUM DAN VOLUME TESTIS TERHADAP VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA PEJANTAN SIMMENTAL, LIMOUSINE DAN BRAHMAN

UJI KU <klitas SPERMA DAN PENGHITUNGAN JUMLAH PENGENCER DALAM UPAYA MENENTUKAN KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan metode artificial vagaina (AV). Semen yang didapatkan kemudian

Kualitas Semen Kambing Peranakan Boer. Quality of Semen Crossbreed Boer Goat. M. Hartono PENDAHULUAN. Universitas Lampung ABSTRACT

Pengaruh Bobot Badan Terhadap Kualitas dan Kuantitas Semen Sapi Simmental

PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

PENGARUH LAMA SIMPAN SEMEN DENGAN PENGENCER TRIS AMINOMETHAN KUNING TELUR PADA SUHU RUANG TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING BOER

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna,

PERBEDAAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SEMEN SEGAR PADA BERBAGAI BANGSA SAPI POTONG. Candra Aerens D.C, M. nur ihsan, Nurul Isnaini ABSTRACT

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

EFISIENSI REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIPELIHARA DI PEDESAAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENYERENTAKAN'BIRARI DADA DOMBA BETINA - St. CROIX

BAB III MATERI DAN METODE. Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal

PENGARUH BOBOT BADAN TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS SEMEN SAPI SIMMENTAL THE EFFECT OF WEIGHT ON SIMMENTAL CATTLE SEMEN QUALITY AND QUANTITY

REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO

PEMBERIAN KONSENTRAT DENGAN LEVEL PROTEIN YANG BERBEDA PADA INDUK KAMBING PE SELAMA BUNTING TUA DAN LAKTASI

F.K. Mentari, Y. Soepri Ondho dan Sutiyono* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

Kualitas semen sapi Madura setelah pengenceran dengan tris aminomethane kuning telur yang disuplementasi α-tocopherol pada penyimpanan suhu ruang

PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

PENGARUH BERBAGAI METODE THAWING TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU SAPI

ANALISIS POTENSI REPRODUKSI KAMBING KACANG DI WILAYAH PESISIR KEPULAUAN WANGI-WANGI, KABUPATEN WAKATOBI

Semen beku Bagian 3 : Kambing dan domba

KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

PENYERENTAKAN BERAHI DENGAN PROGESTERON DALAM SPONS PADA TERNAK DOMBA DI KABUPATEN CIANJUR

HASIL DAN PEMBAHASAN

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

HASIL DAN PEMBAHASAN. domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara makroskopis

PENYEREMPAKAN BERAHI DENGAN MENGGUNAKAN CIDR PADA DOMBA RAKYAT DI KECAMATAN NAGRAG

APLIKASI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN MELALUI TRANSCERVICAL (TAI) MENGGUNAKAN SEMEN CAIR PADA DOMBA RAMBUT ST. CROIX

MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA

APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

Perbedaan Kualitas Semen Segar Domba Batur dalam Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis

PERBEDAAN VOLUME SEMEN, KONSENTRASI, DAN MOTILITAS SPERMATOZOA PEJANTAN SAPI FH DI BIB LEMBANG DENGAN INTERVAL PENAMPUNGAN 72 JAM DAN 96 JAM

KEJADIAN DAN POLA BERANAK KAMBING KACANG DAN BOER PADA STASIUN PERCOBAAN LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

HASIL DAN PEMBAHASAN

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

Jurnal Pertanian ISSN Volume 2 Nomor 1, April PENGARUH VITAMIN B 2 (Riboflavin) TERHADAP DAYA TAHAN SPERMATOZOA DOMBA PADA SUHU KAMAR

PRODUKTIVITAS KAMBING KACANG PADA KONDISI DI KANDANGKAN: 1. BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH, JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN DAYA HIDUP ANAK PRASAPIH

PENETAPAN INTERVAL INSEMINASI BUATAN (IB) PADA AYAM BURAS

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENGARUH LINGKAR SKROTUM TERHADAP KANDUNGAN TESTOSTERON, VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA DOMBA GARUT. Oleh : Hastono 1 dan Johar Arifin 2.

lebih dari 219 juta ekor (1992) dan merupakan 63,79% dari jumlah semua unggas yang dibudidayakan di Indonesia secara nasional dengan kontribusi daging

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh kadar ekstrak daun Binahong (Anredera

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p Online at :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada (Mulyono dan Sarwono, 2004). K isaran volume semen per ejakulat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

PENGARUH JENIS PENGENCER DAN WAKTU EKUILIBRASI TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU KAMBING PERANAKAN ETAWAH

Pengaruh Level Gliserol dalam Pengencer Sitrat... Ayunda Melisa

PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK DOMBA EKOR GEMUK

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

Jurnal Nukleus Peternakan (Juni 2014), Volume 1, No. 1: ISSN :

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan

EFISIENSI PENGGUNAAN JANTAN PEMACEK DOMBA EKOR GEMUK SEBAGAI SUMBER BIBIT

MOTILITAS DAN VIABILITAS SPERMATOZOA SEMEN SEXING MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI PUTIH TELUR DENGAN PENGENCER YANG BERBEDA

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL YANG DISINKRONISASI DENGAN MEDROXY PROGESTERON ACETAT PADA KONDISI PETERNAK DI KELURAHAN JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

PENGARUH UMUR PEJANTAN DAN FREKUENSI PENAMPUNGAN TERHADAP VOLUME DAN MOTILITAS SEMEN SEGAR SAPI SIMMENTAL DI BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

MATERI DAN METODE. Materi

Pengaruh Penambahan Streptomycin dalam Skim Kuning Telur Sebagai Pengencer terhadap Kualitas Semen Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.)

Transkripsi:

KARAKTERISTIK SEMEN DAN TINGKAT LIBIDO DOMBA PERSILANGAN (Semen Characteristics and Libido Rate of Crossed Rams) HASTONO, I. INOUNU dan N. HIDAYATI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT An experiment was conducted to evaluate semen characteristics and libido rate of Crossed Rams at the Research Institute of Animal Production, Bogor in February 2000. Twelve crossed rams were divided into three groups based on genotype. Group: I (HG = 50% Hairsheep, 50% Garut), II (MG=50% Mutton Charollais, 50% Garut) and III (MHG=25% Mutton Charollais, 25% Hairsheep, 25% Garut). Respons of rams to oestrous ewe, first time of ejaculation, ejaculate volume of ram, semen colours, cosistency, ph, wave motion, motility and consentration of spematozoa were recorded. Data were anlysed by description. Results showed that in three genotypes were colour, consistency, ph of ram semen were same.the microscopic semen quality in three genotypes were: (i) volume of semen: 0.875 vs 0.75 vs 0.54 cc, (ii) mass movement: 3.25 vs 3.504 vs 3.00-4, (iii) motility: 75 vs 72.5 vs 66.25% and (iv) consentrate: 2825.5 vs 3640 vs 2240 milion/ml. End the libido rate of crossed ram in three genotypes were: (i) respons of ram to oestrous ewe: 31.25±18,06 vs 50.25±29,42 vs 13.25±2,38 sec, (ii) first ejaculation: 70.5±39,55 vs 143.5±103,03 vs 45.5±9,12 sec. It was concluded that semen quality of three genotypes of crossed ram still normal and libido rate is good. Key words: Ram, semen quality and libido ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai karakteristik semen dan tingkat libido domba persilangan di Stasiun Percobaan Balitnak Bogor pada bulan Februari 2000. Jumlah domba yang digunakan sebanyak 12 ekor yang dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan genotipe domba yaitu kelompok I (HG=50% Hairsheep, 50% Garut), II (MG=50% Mutton Charollais, 50% Garut)), dan III (MHG= 25% Mutton Charollais, 25% Hairsheep, 50% Garut)). Parameter yang diamati meliputi waktu pertama kali melihat betina berahi, jumlah menaiki, waktu pertama kali ejakulasi, volume, warna, kekentalan, ph, motilitas dan konsentrasi sepermatozoa. Data yang diperoleh dianalisa secara diskriptif. Hasil analisa menunjukkan bahwa warna, tingkat kekentalan dan ph semen domba dari ketiga bangsa hampir sama yaitu semen berwarna krem-putih dengan tingkat kekentalan sedang sampai kental dan ph nya 7. Sedangkan kualitas semen lainnya antara ketiga bangsa domba (HG, MG, dan MHG) adalah sebagai berikut: volume semen berturut-turut 0,875±0,21; 0,75±0,28; dan 0,54±0,18 cc, gerakan massa 3,25±0,43; 3,5±0,5; dan 3±0,71; motilitas 75±7,90; 72,5±2,50; dan 66,25±8,19%., konsentrasi 2825,5±685,72; 3640±477,54; dan 2.240±1.086,16 juta/ml. Kemudian penelitan mengenai nafsu kawin dari ketiga bangsa domba (HG,MG, dan MHG) menunjukkan hasil sebagai berikut: respon pejantan terhadap betina berahi berturut-turut adalah 31,25±18,06; 50,25±29,42; dan 13,25±2,38 detik., waktu pertama kali ejakulasi 70,5±39,55; 143,5±103,03; dan 45,5±9,12 detik. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kualitas semen dari ke tiga bangsa domba persilangan masih dalam batas-batas normal dan memiliki tingkat libido atau nafsu kawin yang cukup baik. Kata kunci: Domba, kualitas semen dan tingkat libido PENDAHULUAN Diketahui bahwa ternak domba telah dipelihara secara luas oleh petani dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usahatani petani. Akan tetapi hingga saat ini belum ada program yang jelas untuk memperbaiki produktivitas ternak domba di pedesaan. Namun demikian para petani secara tidak langsung telah melakukan seleksi untuk memperbaiki kualitas ternak yang dipeliharanya. Seleksi dimaksud adalah memilih ternak (domba) dari bentuk luarnya saja, dan dipilih dari domba-domba yang dimiliki petani itu 106

sendiri, sehingga perkawinan antar keluarga tidak terhindarkan. Selain itu kebanyakan petani lebih suka memelihara domba induk, sedangkan pejantannya dipinjam dari tetangga. Keadaan seperti ini tentunya sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak domba, baik yang dipelihara petani maupun yang ada di pedesaan pada umumnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak domba baik secara kualitas maupun kuantitas adalah melalui kawin silang antara ternak lokal dengan bibit unggul dengan tujuan untuk memperbaiki generasi berikutnya, sedangkan untuk meningkatkan kuantitas ternak dapat dicapai melalui efisiensi rteproduksi. Dengan diperbaikinya efisiensi reproduksi diharapkan dapat meningkatkan populasi ternak domba yang saat ini telah terjadi penurunan populasi domba dari 7,5 juta ekor pada tahun 1999 menjadi 7,4 juta ekor pada tahun berikutnya (DITJENAK, 2000). Diketahui bahwa ternak domba Indonesia mempunyai kemampuan beranak sepanjang tahun dengan jumlah anak yang banyak (prolifik). Namun demikian kemampuan reproduksi ternak domba tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kualitas pejantan yang meliputi nafsu kawin dan kualitas semennya. Sedangkan kuantitas dan kualitas semen domba dipengaruhi oleh banyak hal, seperti nafsu kawin (faktor dalam) dan musim (faktor luar). TOELIHERE (1981a) menerangkan bahwa domba ekor gemuk di Negeri tropis dan subtropis dan domba Merino di Australia menghasilkan semen berkualitas baik sepanjang tahun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik semen dan tingkat libido (nafsu kawin) domba hasil persilangan. MATERI DAN METODA Penelitian mengenai karakteristik semen dan tingkat libido domba persilangan dilaksanakan pada bulan Februari 2000 di Stasiun Percobaan Balitnak Bogor. Jumlah ternak yang digunakan sebanyak 12 ekor dengan umur dan bobot hidup bervariasi. Ternak dikelompokkan berdasarkan genotipe, umur dan bobot hidup yaitu HG berumur 3,5 tahun dengan bobot hidup 55,75±7,32 kg, MG berumiur 5 tahun dengan bobot hidup 58±1 kg dan MHG berumur tiga tahun dengan bobot hidup 48,5±2,87 kg. Masing-masing genotipe digunakan empat ekor yang mempunyai kemampuan untuk mengawini betina berahi. Ke 12 ekor pejantan tersebut ditempatkan dalam kandang individu yang mempunyai ukuran yang sama yaitu 1,5 m persegi serta lingkungan (tatalaksana pemeliharaan dan pemberian pakan) pada domba pengamatan adalah sama yaitu konsentrat sebanyak 500 g/ekor/hari dan rumput sebanyak 5 kg/ekor/hari. Penampungan semen dari ketiga bangsa domba (HG, MG dan MHG) dilakukan dengan menggunakan vagina buatan, dan agar pejantan mau ereksi digunakan seekor betina berahi sebagai pemancing. Pada waktu penampungan pejantan dibiarkan untuk mengawini betiana berahi dan hanya diberi satu kali kesempatan untuk ejakulasi yang kemudian ditampung dalam tabung melalui vagina buatan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ketika pejantan dipertemukan dengan betina berahi tersebut dicatat waktu (dalam detik) pertama kali menaiki dan waktu (dalam detik) pertama kali ejakulasi. Setelah semen diperoleh, kemudian dilakukan pemeriksaan secara makroskopis yang meliputi volume, ph, warna dan kosistensi semen; sedangkan pemeriksaan mikroskopis meliputi gerakan masa, motilitas dan dan konsentrasi spermatozoa. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif. Karakteristik semen HASIL PENELITIAN Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa konsistensi semen domba dari ke tiga genotipe adalah sedang sampai kental. Kemudian pula volume, gerakan massa, motilitas dan konsentrasi spermatozoa antar ketiga genotipe menunjukkan adanya nilai yang berbeda satu sama lain, sedangkan warna semen krem sampai putih dengan ph 7. Tabel 1. Karakteristik semen domba persilangan Parameter Genotipe HG MG MHG Jumlah ternak (ekor) 4 4 4 107

Warna Krem-Krem putih Krem-Krem putih Krem-Krem putih Kekentalan Sedang-kental sedang-kental sedang PH 7 7 7 Volume (cc) 0,875 ± 0,21 0,75 ± 0,28 0,54 ± 0,18 Gerakan massa 3,25 ± 0,43 (3-4) 3,5 ± 0,5 (3-4) 3 ± 0,71 (2-4) Motilitas (%) 75 ± 7,90 72,5 ± 2,5 66,25± 8,19 Konsentrasi (juta/ml) 2.827,5± 685,27 3.640 ± 477,54 2.240 ± 1086,16 Tingkat libido Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat libido pada ke tiga bangsa berbeda (Tabel 2), dimana domba MHG (Komposit) paling responsif dengan ditandai waktu pertama kali menaiki (13,25±2,38 detik) lebih cepat bila dibandingkan dengan domba HG (31,25±18,06 detik) dan yang terlama domba MG (50,25±29,42 detik). Demikian pula naluri kawin domba MHG (Komposit) cenderung lebih baik, dimana waktu pertama kali ejakulasi (45,59,12 detik) juga paling cepat bila dibandingkan dengan domba HG (70,5±39,55 detik) dan domba MG (143,5±103,03 detik). 108

Tabel 2. Nafsu kawin domba persilangan (HG, MG dan MHG) Parameter Genotipe domba HG MG MHG Jumlah ternak (ekor) 4 4 4 Respon pejantan (detik) 31,25 ± 18,06 50,25 ± 29,42 13,25 ± 2,38 Waktu ejakulasi pertama (detik) 70,5 ± 39,55 143,5 ± 103,03 45,5 ± 9,12 PEMBAHASAN Pada penelitian ini yang pertama kali diamati setelah semen ditampung adalah warna kemudian diikuti oleh parameter lainnya yaitu berturut-turut kekentalan, volume, ph, motilitas, gerakan massa dan konsentrasi. Menurut EVANS dan MAXWELL (1987) bahwa semen domba yang normal berwarna putih susu atau krem. Hasil pengamatan menunjukkan sebagian besar semen domba dari ke tiga bangsa persilangan (HG, MG dan MHG) berwarna krem susu (75%), sedangkan sisanya berwarna krem (25%). Warna semen berhubungan erat dengan kekentalan dan konsentrasi spermatozoa. Semen yang berwarna terang menunjukkan tingkat kekentalannya encer disertai dengan rendahnya konsentrasi spermatozoa. TOELIHERE (1981) menerangkan bahwa semen domba berwarna krem dan kental menunujukkan tingginya konsentrasi spermatozoa, sedangkan konsentrasi yang rendah ditandai dengan warna semen seperti air susu atau lebih encer lagi. Selanjutnya tingkat kekentalan semen domba dalam penelitian ini pada umumnya menunjukkan nilai sedang sampai kental dengan prosentase masing-masing bangsa adalah 50% untuk semen domba HG dan MG. Sedangkan semen domba MHG (Komposit) tingkat kekentalannya seluruhnya (100%) sedang, demikian juga konsentrasi spermatozoa domba MHG (2240±1086,16 juta/ml) paling sedikit bila dibandingkan dengan domba HG (2827,5±685,27 juta/ml) dan yang terbanyak adalah domba MG (3640±477,54 juta/ml). Keadaan semen ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh WIJONO (1997) dan FERADIS (1999) yang mendapatkan bahwa semen berwarna krem dengan konsistensi kental. Sedangkan konsentrasi spermatozoa dari hasil penelitian ini (Tabel 1) lebih rendah bila dibanding dengan hasil penelitian yang diperoleh Feradis (1999) terhadap konsentrasi spermatozoa domba St. Croix yaitu sebesar 3785,00±343,79 juta/ml. Terdapatnya kecenderungan perbedaan konsentrasi spermatozoa baik antara ketiga genotipe pada penelitian ini, ataupun pada domba St. Croix, kemungkinan disebabkan karena adanya variasi genetik, bobot badan dan umur, disamping faktor lingkungan. Faktor lingkungan dimaksud adalah managemen pemeliharaan diantaranya pemberian pakan yang pada gilirannya akan berpengaruh kepada konsistensi semen. Namun demikian kisaran konsentrasi sperma pada penelitian ini berada pada kisaran yang dilaporkan TOELIHERE (1981), bahwa konsentrasi spermatozoa domba antara 2.000-3.000 juta/ml. Kemudian hasil pengamatan berikutnya, yaitu mengenai ph semen domba menunjukkan bahwa ph semen domba persilangan seluruhnya mempunyai nilai 7. ph ini berpengaruh terhadap daya hidup spermatozoa. TOELIHERE (1981b) menerangkan bahwa semen domba yang netral adalah 6,8. Hasil penelitian PINTO et al. (1984) menunjukkan bahwa peningkatan ph semen menyebabkan penurunan fertilitas. Dikatakan lebih lanjut, semen dengan ph 6,8 menunjukkan fertilitas lebih baik bila dibandingkan dengan ph 7,3 dan 7,8. Jadi ph semen domba persilangan yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam katagori baik. Volume semen domba persilangan dalam penelitian ini hasilnya bervariasi sebagai tertetra pada Tabel 1. Volume semen yang paling sedikit adalah domba MHG (Komposit) yaitu 0,54±0,18 cc dan yang paling banyak adalah domba HG (0,875±0,21 cc), sedangkan domba MG sebanyak 0,75±0,28 cc. Hasil ini lebih banyak bila dibanding dengan hasil yang dilaporkan oleh WIJONO (1997) bahwa volume semen domba Ekor Gemuk (DEG) mencapai 0,1-0,4 ml, akan tetapi hasil ini juga lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh FERADIS (1999) bahwa volume semen domba St Croix sebanyak 1,66±0,26 ml. TOELIHERE (1981), menyatakan bahwa volume semen domba berkisar antara 0,5-2,5 ml. Sedangkan menurut Havez dalam WIJONO (1999), volume semen domba antara 0,8-1,2 ml. Terdapatnya nilai yang berbeda pada penelitian ini dengan hasil sebelumnya, kemungkinan disebabkan karena faktor genotipe 109

yang berbeda, sebagaimana diutrakan oleh TOELIHERE (1981) bahwa volume semen per-ejakulat berbedabeda menurut bangsa, umur, ukuran tubuh, makanan, frekuensi penampungan dan berbagai faktor lain. Gerakan massa merupakan gerakan spermatozoa secara bersama-sama kesatu arah membentuk gelombang yang tebal atau tipis. Cepat lambatnya gerakan tersebut tergantung kepada konsentrasi sprma hidup yang ada di dalamnya, sedangkan motilitas atau daya gerak spematozoa dapat digunakan sebagai ukuran kesanggupan spermatozoa untuk membuahi. (TOELIHERE, 1981). Pada penelitian ini (Tabel 1) diperoleh hasil bahwa gerakan massa, motilitas spermatozoa pada ke tiga genotipe mempunyai nilai yang hampir sama terutama HG dan MG, sedangkan MHG nilainya sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan HG maupun MG. Namun demikian gerakan masa (3,00) dan motilitas (66,25±8,19%) semen domba MHG (Komposit) cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan gerakan masa dan motilitas semen domba HG (3,25, 725±2,5%) dan MG (3,50, 75±7,90 %). Namun demikian tingkat motilitas spermatozoa dari ke tiga genotipe domba tersebut masih dalam batas-batas normal sebagai diutarakan oleh PERKINS et al (1992) bahwa semen domba dikatakan normal apabila motilitasnya lebih dari 50%. Motilitas spermatozoa pada penelitian ini (Tabel 1) lebih rendah bila dibanding dengan hasil penelitian yang diperoleh FERADIS (1999) pada domba St. Croix, yakni sebesar 81,67±2,58%. Perbedaan hasil penelitian ini diduga disebabkan oleh perbedaan genotipe. Tingkat libido Tingkat libido atau nafsu kawin dapat dijadikan salah satu tolok ukur untuk menentukan bahwa pejantan tersebut dapat atau tidak dapat digunakan sebagai pemacak. Menurut CHEMINEAU et al. (1991) menyatakan bahwa hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah menaiki tergantung kepada preferensi dan ukuran tubuh pejantan ABDULLAH dan ABDULLAH et al. (1991) mengklasifikasikan tingkat libido kedalam enam tingkatan, yaitu sangat agresif, agresif, moderatly agresif, kurang agresif, sedikit agresif dan tidak agresif. Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu ciri pejantan dikatakan moderat agresif adalah bila setelah ejakulasi diikuti dengan beberapa kali mencoba menaiki betina. Sebagaimana dalam penelitian ini bahwa tingkat libido domba penelitian berdasarkan kriteria tersebut, maka rata-rata termasuk pejantan dengan moderat agresif dan salah satu diantaranya adalah sedikit agresif. Nafsu kawin dapat ditandai dengan respon pejantan pertama kali melihat betina berahi. Hasil penelitian (Tabel 2) menunujukkan bahwa Waktu pertama kali menaiki betina berahi pada domba MHG (Komposit) paling cepat (13,25±2,38 detik) bila dibandingkan dengan HG (31,25±18,06 detik) dan MG (50,25±29,42 detik), demikian pula waktu pertama kali ejakulasi pada domba MHG (Komposit) paling cepat (45,5±9,12 detik) bila dibandingkan dengan HG (70,5±39,55 detik) dan MG (143,5±103,03 detik). Hal ini menunjukkan bahwa domba MHG (Komposit) mempunyai nafsu kawin yang lebih baik bila dibandingkan dengan HG dan MG. Dengan melihat fenomena ini, maka dapat dikatakan bahwa adanya kecenderungan perbedaan waktu pada ketiga genotipe domba jantan (HG, MG, dan MHG) untuk menaiki domba betina, disebabkan karena domba jantan tersebut berusaha mengidentifikasi apakah domba betina dalam keadaan berahi, hal ini menunjukkan bahwa domba jantan hanya mau mengawini domba betina yang sedang birahi saja. Hasil ini, khususnya pada domba MHG (Komposit) lebih cepat bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh HASTONO et al. (1998) bahwa pada domba jantan St. Croix, respon untuk menaiki domba betina berahi rata-rata 0,46±0,16 menit. Beragamnya nafsu kawin dapat dipengaruhi oleh beragamnya umur ternak, kesehatan dan tingkat kegemukan (SETIADI, 1990). Di samping itu faktor-faktor seperti rangsangan penciuman yang dikeluarkan oleh ternak betina berahi yang barasal dari air kencing atau dari berbagai bagian tubuh yakni alat kelamin luar, moncong dan sebagainya dapat merangsang pejantan untuk mengawini betina (TOELIHERE, 1981). Hasil pengamatan HASTONO et al. (1997) menunjukkan bahwa dengan meningkatnya umur pada kambing Peranakan Etawah (PE) jantan respon untuk menaiki betina berahi semakin cepat. Kelompok umur 22-24 bulan menunjukkan respon yang paling lama (2,66±1,31 menit) dengan jumlah menaiki sebanyak 26,0±9,45 kali, kemudian diikuti kelompok umur 33-48 bln (0,33±0,14 menit) dengan jumlah menaiki 42,83±13,17 kali dan kelompok umur 54 bln (0,33±0,13 menit) dengan jumlah menaiki sebanyak 34,62±22,5 kali. Banyak sedikitnya jumlah menaiki dipengaruhi beberapa hal, salah satu diantaranya adalah ukuran tubuh pejantan yang terlalu besar bila dibanding dengan betina berahi yang dikawininya, sehingga pejantan mengalami kesulitan untuk melakukan perkawinan (SETIADI, 1990). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan HASTONO et al. (1997) melaporkan bahwa semakin banyak jumlah kambing PE betina berahi dalam satu kelompok, maka respon kambing PE jantan 110

untuk menaiki kambing betina berahi semakin tinggi yaitu mencapai 0,26±0,17 menit. Sedangkan bila hanya satu ekor betina berahi yang dikawini, ini akan menurunkan napsu kawin pada ternak jantan, sebagaimana dalam penelitian ini dengan menggunakan satu ekor betina berahi menunjukkan hasil bahwa pada domba HG dan MG respon yang lebih lama yaitu masing-masing 31,25±18,06 detik atau 0,52±0,30 menit dan 50,25±29,42 detik atau 0,83±0,49 menit bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada domba St Coix respon pejantan menaiki domba betina berahi mencapai 0,46±0,16 menit. TOELIHERE (1981) yang menyatakan bahwa apabila domba jantan dikawinkan secara terus menerus dengan betina yang sama akan mengalami kepuasan seksual. Sedangkan hasil penelitian RIVAL dan CHENOWETH (1982) menunjukkan bahwa napsu kawin tidak dipengaruhi oleh waktu yaitu pagi hari dari jam 06.30-10.00 dan sore hari dari jam 14.30-18.00. KESIMPULAN Dari data yang diperoleh untuk sementara dapat disimpulkan bahwa nafsu kawin dari ketiga genotipe domba (HG, MG, dan MHG) memberikan nilai yang berbeda, dan kualitas semen dari kedua bangsa domba tersebut masih dalam batas-batas normal, sedangkan tingkat libidonya termasuk ke dalam agak agresif sampai moderat agresif. 111

DAFTAR PUSTAKA ABDULLAH, R. B. and A. M. N. K. NOR. 1991.Semen Handling in Goats. Department of Zoology. University of Malaya. Kuala Lumpur, Malaysia. CHEMINEAU, P., Y. CAGNIE, Y. GUTERIN, P. ORGEUR dan J. C. VALLET. 1991. Training Manual Insemination in Sheep and goats. Reproductive Physiology Station. Intitute National De La Recherche Agronomicue (INRA). p. 11-37 DEVENDRA, C. dan M. BURN. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan Harya Putra. Penerbit ITB Bandung. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2000. Buku Statistik Peternakan 2000. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. EVANS, G. and M. W. C. MAXWELL. 1987. Salamon s Artificial Insemination of Sheep and Goats. Butterworths. Australia. FERADIS. 1999. Penggunaan Antioksidan dalam Pengencer Semen Beku dan Metode Sinkronisasi Estrus Pada Program Inseminasi Buatan Domba St. Croix. Master thesis. Program Pasca Sarjana Intitut Pertanian Bogor. HASTONO, I.G.M. BUDI ARSANA, RSG. SIANTURI, UMI ADIATI dan I-KETUT SUTAMA. 1997. Pengaruh umur terhadap kinerja seksual pada kambing jantan Peranakan Etawah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, Jilid II. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Hal. 385-390. HASTONO, I. INOUNU dan N. HIDAYATI. 1998. Kinerja seksual domba jantan St. Croix. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, Jilid II. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Hal. 338-342. PERKINS, A., J. A. FITZGERALD and E. O. PRICE. 1992. Sexual performance of rams in serving capasity test predicts success in pen breeding. J. Anim. Sci. 1992. p: 2722-2725. PINTO, O., D. AMIR, H. SCHINDLER and S. HURWITZ. 1984. Effect of ph on the metobolism and fertility of turkeyspermatozoa. J. Reprod. and Fert. 70 : 437-442. RIVAL, M. D. and P. J. CHENOWETH. 1982. Libido testing of ram. Animal Production in Australia. Proceeding of The Australian Society of AnimalProduction. Volume 143. Four teenth Biennial Conference. Brisbane, Quennsland, May 1982. p: 174-175. SETIADI, B. 1990. Penampilan Reproduksi Ternak Jantan dan Peranannya dalam Suatu Usaha Ternak Ruminansia Kecil. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. TOELIHERE, M. R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung. Hal 228-245. TOELIHERE, M. R. 1981. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung. Hal 64-72. WIJONO, B. B. 1997. Efisiensi penggunaan jantan pemacek domba Ekor Gemuk sebagai sumber bibit. Pros. Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner. Bogor, Jilid II. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Hal. 463-468. 112