BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS MENGENAI PERBANDINGAN BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS ANTARA NEGARA INDONESIA BELANDA DAN INDONESIA HONG KONG)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

PERPAJAKAN INTERNASIONAL KASUS TAX TREATY

BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA)

Beneficial Owner Certificate of Domicile Limitation on Benefit Article YOHANES DWIKI R. D. FIDIRA MAHARANI YUH MELIALA

KELOMPOK 3. Ani Rahmatika Dian Safitri Maria Meliana Yudha Adi Prasetyo TAX TREATY PROVISION

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA

PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN

KETENTUAN PENERAPAN P3B DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN P3B PERDIRJEN SEBELUMNYA

PAJAK INTERNASIONAL. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAHAN AJAR PAJAK INTERNASIONAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok,

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-10/PJ/2017 TENTANG : TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

UN Model, OECD Model & Indonesian Model. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan Internasional Jurnal Perpajakan KUP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

(WITHHOLDING) TAX DAN KREDIT PAJAK (TAX CREDIT)

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Metode penhindaran pajak berganda berdasarkan Perjanjian internasional dan ketentuan UU PPh. Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERTEMUAN 7 By Ely Suhayati SE MSi Ak PENGKREDITAN PPH PASAL 24 DAN ANGSURAN PPH PASAL 25

FORMULIR PERMOHONAN SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA (FORM-DGT 6)

CONTOH FORMAT SURAT PERNYATAAN PENGHASILAN

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti.

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26. Tahun Pajak : 2010

Perpajakan internasional

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA

PESUIIT ANDI. Pajak 8erganda? Pedoman Mudah. dan. Praktis Memahami Tax Treaty. Djoko Muljono

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV. 4.1 Sengketa Pajak Internasional

CLAIM FOR RELIEF FROM INDONESIAN INCOME TAX UNDER AVOIDANCE OF DOUBLE TAXATION AGREEMENT

Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Otoritas Pajak Pertegas Aturan Pemanfaatan Tax Treaty

Landasan Hukum: Pasal 24 UU PPh, KMK No. 164/ KMK.03/ 2002

PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Tax Treaty Provision (Part I)

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah N

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch

KEDUDUKAN HUKUM P3B, METODE PENERAPAN, DAN STRUKTUR P3B

BAB 2 LANDASAN TEORI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK

PER - 35/PJ/2010 SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP WAJIB PAJAK ORANG ASING SEBAGAI UPAYA PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Adjusment-Final Tree Up 2006 yang dicatat pada GL 2007 (Rp ,00) Adjusment-Final Tree Up 2007 yang dicatat pada GL 2008 Rp

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

PENYUSUNAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA [TAX TREATY]

BAB IV. yang tidak terikat dan didasarkan pada keahlian professional yang dimilikinya. 1

Bab 8 BENTUK USAHA TETAP (BUT)

PERTEMUAN KE 4 DOSEN KEDUA PAJAK INTERNASIONAL

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PER - 62/PJ./2009 PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

S-517/PJ.343/2005 PERMOHONAN PENJELASAN DAN KONFIRMASI ATAS TRANSAKSI DENGAN HUBUNGAN ISTIMEWA

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-54/PJ/2015 TENTANG

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GAMBARAN PERMASALAHAN TREATY SHOPPING di INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Santi Wijaya ; Maya Safira Dewi. Binus University, Jl.Kebun Jeruk Raya no.27, ABSTRACTS

Transkripsi:

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 4.1 Tahap Tahap Terbentuknya Tax Treaty Di dalam era globalisasi yang terus tumbuh dan berkembang, hubungan antar negara yang satu dan dengan negara lainnya tidak dapat dipungkiri akan terus terbuka dan semakin meningkat dari waktu kewaktu. Arus investasi, perdagangan, sumber daya alam, sumber daya manusia sudah tidak lagi mengenal batas-batas antar negara. Tax treaty merupakan suatu alat untuk membuat kesepakatan mengenai perjanjian penghindaran pajak berganda antar negara-negara yang ingin mengadakan perjanjian, baik untuk menghindari pengenaan pajak berganda maupun untuk menigkatkan pertumbuhan ekonomi antar negara tersebut. Tujuan perjanjian penghindaran pajak berganda itu sendiri untuk menjaga persaingan yang adil antar subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri dengan cara mengenakan beban pajak yang sama terhadap penghasilan yang sama berdasarkan tingkat kemampuan membayar pajak yang sama tanpa memperhatikan di negara mana sumber penghasilan tersebut berasal, meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal, membagi hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber secara adil atas penghasilan yang berasal dari transaksi lintas batas negara, dan menjamin adanya netralitas dalam perpajakan internasional baik yang bersifat netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang masuk ke suatu negara maupun netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang keluar dari suatu negara. Pemajakan berganda dibagi menjadi dua yaitu pemajakan berganda secara yuridis dan pemajakan berganda secara ekonomis. Pemajakan berganda secara yuridis merupakan pemajakan atas penghasilan yang sama oleh dua negara yang berbeda pada suatu periode tertentu. Sedangkan pemajakan berganda secara ekonomis merupakan pemajakan atas penghasilan yang sama yang diperoleh oleh dua subjek pajak yang berbeda dalam periode yang sama. 51

52 Asas yang dipakai juga dibagi menjadi dua yaitu asas domisili dan asas sumber. Asas domisili mengenakan pajak kepada subjek pajak atas seluruh penghasilan baik dari dalam maupun luar negeri. Asas sumber mengenakan pajak kepada siapapun atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri. Terdapat beberapa pendekatan untuk memperingan atau mengeleminasi pajak berganda internasional, metode tersebut adalah: 1. Metode Pemajakan Unilateral Metode ini mengatur bahwa negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan hukum didalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional dan ditetapkan sepihak oleh negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur negara kita karena hal itu merupakan kewibawaan dan kedaulatan negara kita. 2. Metode Pemajakan Bilateral Metode ini dalam penghitungan pengenaan pajaknya harus mempertimbangkan perjanjian kedua negara (Tax Treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah mengadakan perjanjian. Justru peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku bila terdapat Tax Treaty. 3. Metode Pemajakan Multilateral Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina. Sebelum Indonesia dapat memiliki kurang lebih sekitar 65 (enam puluh lima) tax treaty dengan negara-negara mitra yang ada, Indonesia akan melakukan proses penyusunan perjanjian penghindaran pajak berganda sehingga akhirnya menjadi perjanjian yang baik dan tidak merugikan baik pihak Indonesia maupun pihak negara mitra yang terlibat dalam pembuatan perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut.

53 Syarat dalam pemberlakuan tahap-tahap yang biasanya dijalankan dalam proses pembuatan perjanjian penghindaran pajak berganda dan proses penghentian perjanjian penghindaran pajak berganda adalah sebagai berikut: 1. Tahap Komunikasi Awal (Initial Contact) Perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya didahului dengan komunikasi awal yang dilakukan antara pemerintah kedua negara yang ingin mengadakan perjanjian, dalam hal ini biasanya dilakukan oleh Menteri Keuangan melalui Menteri Luar Negeri. Apabila kedua negara setuju untuk mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda maka hal-hal sebagai berikut ini harus disiapkan terlebih dahulu: a. Prioritas materi yang hendak dibahas; b. Penentuan tanggal dan lokasi untuk negosiasi; c. Bahasa yang akan digunakan saat negosiasi dan kemungkinan diperlukannya penerjemah atau tidak; d. Pertukaran dokumen (draft model perjanjian penghindaran pajak berganda, dan peraturan pajak domestik) sebelum dimulainya negosiasi; e. Serta penetapan anggota delegasi yang akan mewakili dalam proses negosiasi perjanjian penghindaran pajak berganda. 2. Tahap Negosiasi (Negotiation) Anggota delegasi dari masing-masing negara yang akan mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda melakukan diskusi untuk merumuskan perjanjian. Pada umumnya, dalam proses negosiasi ini dilakukan dalam beberapa kali perundingan yang tempatnya saling bergantian di antara dua negara yang mengadakan perjanjian.

54 3. Tahap Pemarafan (Initialling) Setelah draf perjanjian penghindaran pajak berganda telah disetujui oleh delegasi dari masing-masing negara untuk dimintai persetujuannya oleh pihak yang berkompeten yang biasanya dilakukan oleh Menteri Keuangan. 4. Tahap Penandatanganan (Signature) Setelah perjanjian penghindaran pajak berganda diterima oleh masing-masing negara, dan jika disetujui maka ditandatangani secara formal oleh pihak yang berkompeten di masing-masing negara yang biasanya dilakukan oleh Menteri Keuangan. Tanggal penandatanganan ini menunjukkan date of conclusion. 5. Tahap pengesahan (Ratification) Proses ratifikasi atau pengesahan ini merupakan proses tahapan yang penting dalam proses persetujuan perjanjian penghindaran pajak berganda. Proses ratifikasi ini dilakukan atas dasar ketentuan hukum perjanjian internasional di masing-masing negara yang mengadakan perjanjian. Di banyak negara proses ratifikasi perjanjian penghindaran pajak berganda harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketika perjanjian penghindaran pajak berganda sudah diratifikasi oleh suatu negara maka harus diberitahukan kepada negara mitranya. Pada umumnya ratifikasi perjanjian penghindaran pajak berganda di banyak negara dilakukan melalui persetujuan lembaga perwakilan rakyat seperti yang dilakukan oleh negara Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Belgia, Luxemburg, Jerman, Austria, Meksiko, Belanda, Finlandia, Yunani, Spanyol, Swedia, dan Norwegia. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, proses ratifikasi perjanjian penghindaran pajak berganda tidak melalui persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi cukup dilakukan dengan penerbitan Keputusan Presiden yang

55 kemudian diberitahukan kepada DPR. Pengesahan perjanjian penghindaran pajak berganda yang tidak melalui persetujuan DPR ini sebenarnya bertentangan dengan Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. 6. Tahap pemberlakuan (Entry into Force) Suatu perjanjian penghindaran pajak berganda dikatakan berlaku (entry into force) yaitu pada saat di mana perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut menjadi kewajiban formal yang mengikat masing-masing negara untuk melaksanakannya. Saat berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda selalu dinyatakan secara eksplisit dalam perjanjian penghindaran pajak berganda segera dapat diberlakukan (entry into force). Saat berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda, dalam konteks perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia, pada dasarnya adalah sebagai berikut: a. Pada saat pertukaran nota ratifikasi (exchange of instrument of ratification). Contohnya yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dengan Australia yang diberlakukan pada saat nota pertukaran ratifikasi seperti dinyatakan dalam Pasal 29 sebagai berikut: This Aggrement shall enter into force on the date on which the Contracting State exchange notes through diplomatic channel notifying each other that the last of such things has been done as is necessary to give this aggrement the force of law in Australia and in Indonesia b. Pada tanggal tertentu setelah pertukaran nota ratifiasi. Contohnya yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dengan Jepang yang diberlakukan pada hari ketiga puluh setelah pertukaran nota ratifikasi seperti dinyatakan dalam pasal 29 ayat (2) sebagai berikut ini:

56 This Aggrement shall enter into force on the thirtieth day after the date of the exchange of instruments of ratification c. Pada tanggal pemberitahuan nota ratifikasi yang terakhir diterima. Contohnya yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dan India yang diberlakukan pada saat tanggal penyerahan nota ratifikasi yang terakhir yang diterima seperti dinyatakan dalam Pasal 28 sebagai berikut ini: Each of the Contracting State shall notify to the other the completion of the procedures required by its law for the bringing into force of this Agreement. This Agreement shall enter into force on the date of the later of these notifications d. Pada tanggal tertentu setelah pemberitahuan nota ratifikasi yang terakhir diterima. Contohnya yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dengan Finlandia yang diberlakukan pada hari ketiga puluh setelah pemberitahuan nota ratifikasi yang terakhir diterima seperti dinyatakan dalam Pasal 29 sebagai berikut ini: 1) The Governments of the Contracting States shall notify each other that the constitutional requirements for the entry into force of this Agreement have been complied with; 2) The Agreement shall enter into force thirty days after the date of the later of the notifications referred to in paragraph 1. 7. Tahap Berlakunya Ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Effective Date) Effective date adalah saat di mana ketentuan-ketentuan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda berlaku efektif untuk dapat dipergunakan oleh subjek pajak. Effective date ini selalu dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian penghindaran pajak berganda. Adapun pengaturan effective date dalam perjanjian penghindaran pajak berganda adalah sebagai berikut:

57 a. Menyebut tanggal tertentu yang dinyatakan secara eksplisit dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (tidak dihubungkan dengan saat ratifikasi maupun dengan saat berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda). Contohnya yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dengan Malaysia sebagai berikut ini:. and shall have effect for the year of assessment or taxation year beginning on the first day of January 1987 and subsequent years of assessment or taxation years. b. Dihubungkan dengan saat berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda (entry into force). Contohnya yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dan Jepang sebagai berikut:. and shall have effect, in both Contracting States, as respects income derived during any taxable year beginning on or after the first day of January of the calendar year next following that in which this Agreement enters into force. c. Dihubungkan dengan saat-saat pemberitahuan nota ratifikasi (notification is given). Contohnya yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dan India sebagai berikut:. and shall there upon have effect: in Indonesia, in respect of income arising in any year of income beginning on or after the first day of January next following the calendar year in which the latter of the notifications is given; in India, in respect of income arising in any previous year beginning on or after the first day of April next following the calendar year in which the later of the notifications is given. d. Dihubungkan dengan saat pertukaran nota ratifikasi (exchange of instruments of ratification). Contohnya yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dan Singapura sebagai berikut:

58. and shall have effect: in Singapore, in respect of Singapore tax for the year of assessment beginning on or after 1 January in the second calendar year following the year in which the exchange of instrumens of ratification has taken place and subsequent years of assessment; in Indonesia, in respect of Indonesia tax for the tax year beginning one or after 1 January in the second calendar year next following the year in which the exchange of instrumens of ratification has taken place and subsequent tax years 8. Tahap Penghentian (Termination) Suatu perjanjian penghindaran pajak berganda juga mempunyai ketentuan yang mengatur tentang berakhirnya perjanjian. Ketentuan tentang berakhirnya perjanjian penghindaran pajak berganda yang terdapat dalam pasal perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan ketentuan formal di mana salah satu atau dua negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda memutuskan untuk menghentikan atau mengakhiri perjanjian penghindaran pajak berganda yang sedang berlaku. Pada dasarnya perjanjian penghindaran pajak berganda berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentukan sampai dihetikan oleh salah satu negara yang terikat atas perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut. OECD Model menyarankan agar ketika suatu negara yang terikat atas perjanjian penghindaran pajak berganda ingin mangakhirinya, sebaiknya diberitahukan kepada negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya suatu tahun pajak atau tahun kalender yang dilakukan melalui saluran diplomatik. Hal ini tertuang dalam Pasal 31 dari OECD Model sebagai berikut ini:

59 This Convention shall remain in force until terminated by a Contracting state. Either Contracting State may terminate the Convention, through diplomatic channels, by giving notice of termination at least six months before the end of any calendar year after the year In such event, the Convention shall cease to have effect. Berikut ini merupakan contoh ketentuan tentang pemberhentian perjanjian penghindaran pajak berganda yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dengan Amerika Serikat sebagai berikut ini: This Convention shall remain in force until terminated by one of the Contracting state. Either Contracting State may terminate the Convention at any time after 5 years from the date on which the Convention enters into force provided that at lease 6 months prior notice of termination has been given through diplomatic channels. In such event, the Convention shall case to have force and effect as respects income of calendar years or taxable years beginning (or, in the case of taxes payable at the source, payment made on or after January 1 next following the expiration of the 6- month period). Maksud dari pasal tersebut diatas adalah: 1. Salah satu negara (Indonesia atau Amerika Serikat) dapat menghentikan perjanjian penghindaran pajak berganda melalui saluran diplomatik; 2. Negara yang berkeinginan untuk menghentikan berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda, diharuskan untuk memberikan pemberitahuan tertulis kepada negara mitra perjanjian; 3. Penghentian berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dan Amerika Serikat dapat dilakukan setelah 5 (lima) tahun sejak berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dan Amerika Serikat;

60 4. Pemberitahuan penghentian berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda disampaikan sekurang-kurangnya dalam 6 (enam) bulan sebelum tahun pajak atau kalender berakhir. Dalam praktiknya Indonesia pernah menghentikan berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda, contohnya dengan Mauritius. 4.1.1 Syarat untuk Menentukan Penerapan Tax Treaty Secara umum ketentuan dan peraturan yang ditetapkan oleh menteri keuangan dan dirjen pajak jika pihak yang akan dipungut pajak merupakan wajib pajak luar negeri (orang pribadi maupun badan) yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka orang pribadi maupun badan tersebut akan dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%. Untuk deviden, bunga dan royalti juga dikenakan tarif sebesar 20% jika terbukti mendapat penghasilan di Indonesia dan dikenakan PPh Pasal 26. Akan tetapi jika wajib pajak luar negeri penerima penghasilan tersebut ternyata berasal dari negara yang telah menandatangani perjanjian penghindaran pajak berganda / tax treaty dengan Indonesia, maka kita harus melihat dan memperhatikan ketentuan yang telah disusun dalam tax treaty tersebut. Hal ini disebabkan karena ketentuan didalam PPh Pasal 26 akan berbeda dengan ketentuan tax treaty yang telah dibuat negara-negara mitra tersebut dengan Indonesia. Namun tax treaty hanya dapat diterapkan jika wajib pajak luar negeri tersebut mempunyai dan menyerahkan Cerfiticate of Domisili (COD) atau Certificate of Residence Taxpayer (CRT) atau Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak pemotong pajak di Indonesia. Jika wajib pajak luar negeri tidak dapat memperlihatkan dan menyerahkan COD / CRT / SKD, maka mereka akan diperlakukan sama seperti wajib pajak luar negeri yang berasal dari negara mitra yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Berikut ini akan ditampilkan gambar cara untuk menentukan pemakaian PPh Pasal 26 atau tax treaty yang akan diberlakukan.

61 Penghasilan kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Objek termaksud PPh Pasal 26? Tidak Tidak memotong PPh Pasal 26. Ya Wajib Pajak Luar Negeri berasal dari negara Treaty Partner? Tidak Potong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU PPh dan PMK / KMK / Per Dirjen Pajak terkait. Ya Ada COD / CRT / SKD? Tidak Tax Treaty tidak dapat diterapkan. Potong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU PPh dan PMK / KMK / Per Dirjen Pajak terkait. Ya Potong sesuai dengan ketentuan Tax Treaty. Gambar 4.1 Gambar Cara Menentukan Penggunaan PPh 26 atau Tax Treaty (Sumber: www.pembayarpajak.com)

62 Penjelasan gambar: 1. Terdapat penghasilan kepada wajib pajak luar negeri. 2. Tentukan apakah objek termaksud PPh Pasal 26, jika tidak maka tidak memotong PPh Pasal 26. 3. Bila objek termaksud PPh Pasal 26 teliti lagi apakah wajib pajak luar negeri berasal dari negara treaty partner? Jika tidak maka potong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU PPh dan PMK / KMK / Per Dirjen Pajak terkait. 4. Bila wajib pajak luar negeri berasal dari treaty partner kemudian harus memenuhi persyaratan selanjutnya yaitu memberikan COD / CRT / SKD, jika tidak memiliki syarat tersebut maka tax treaty tidak dapat diterapkan maka potong PPh Pasal 26 sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UU PPh dan PMK / KMK / Per Dirjen Pajak terkait. 5. Bila wajib pajak luar negeri memenuhi syarat memiliki COD / CRT / SKD maka pajak dapat dipotong sesuai dengan ketentuan tax treaty yang berlaku. Surat Keterangan Domisili Untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda / P3B (treaty abuse) oleh wajib pajak luar negeri yang tidak berhak maka Indonesia memberlakukan sistem surat keterangan domisili (certificate of domicile). Di samping itu, SKD digunakan untuk menentukan perjanjian penghindaran pajak berganda / P3B mana yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan perlakuan PPh atas transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak luar negeri di Indonesia. Kasus, Mr. Bong merupakan warga negara Hong Kong yang melakukan jasa konsultasi di Indonesia dan sesuai dengan SKD yang dimilikinya dinyatakan bahwa yang bersangkutan adalah penduduk dari Belanda. Karena Mr. Bong merupakan penduduk dari Belanda maka perlakuan PPh atas penghasilan dari jasa konsultasi yang dilakukan di Indonesia tunduk pada ketentuan P3B Indonesia Belanda.

63 SKD adalah surat ketereangan yang diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah dari suatu negara pihak pada persetujuan yang menyatakan bahwa wajib pajak yang bersangkutan adalah penduduk dari negara tersebut. Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan oleh pejabat dari Kantor Pajak tempat ia terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan SKD yang dibuat oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah. Sehubungan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD), diatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut dibawah ini: 1. Wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia (beneficial owner) wajib menyerahkan SKD yang asli kepada yang melakukan pembayaran atas penghasilan tersebut dan fotokopi-nya diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat yang melakukan pembayaran itu terdaftar. 2. Apabila SKD itu digunakan untuk lebih dari satu pembayar maka wajib pajak luar negeri itu dapat menyampaikan fotokopi dari SKD yang telah dilegalisir oleh kepala KPP tempat salah satu pembayar terdaftar. Sedangkan SKD yang asli disimpan oleh kepala KPP yang melakukan legalisasi. 3. Jangka waktu Surat Keterangan Domisili (SKD) adalah 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan. Pengecualian diberlakukan atas wajib pajak bank dan sepanjang alamat yang tercantum pada Surat Keterangan Domisili (SKD) itu tidak berubah. Bentuk Surat Keterangan Domisili (SKD) disesuaikan dengan kelaziman di negara tempat wajib pajak luar negeri terdaftar sebagai penduduk. Dalam PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan pembaharuan di dalam PER-24/PJ/2010. Peraturan tersebut mengatur tentang beneficial owner dan syarat untuk menjadi beneficial owner adalah dengan dimilikinya Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (COD) yang berupa Form DGT 1 dan / atau Form DGT-2. Surat Keterangan Domisili (SKD) dimaksudkan untuk memastikan bahwa penerima hasil di luar negeri adalah penduduk negara mitra perjanjian (treaty partner). Hal ini sesuai dengan

64 ketentuan pasal 1 tax treaty bahwa tax treaty tersebut hanya berlaku bagi penduduk (resident) negara yang mengikat perjanjian pajak (beneficial owner). Selain itu pemahaman mengenai beneficial owner juga disebutkan di PER- 62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan pembaharuan di dalam PER-25/PJ/2010. Dalam peraturan tersebut tepatnya di Pasal 3 huruf c, beneficial owner didefinisikan sebagai penerima penghasilan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan. Dengan penjelasan diatas maka kita dapat mengetahui secara pasti pengertian dari beneficial owner dan juga syarat utama yang harus dipenuhi untuk membuktikan bahwa wajib pajak tersebut memang benar merupakan pemilik manfaat yang sebenarnya. 4.2 Hubungan Dengan Negara Mitra Berdasarkan Tax Treaty Sebelumnya kita telah membahas tahap-tahap pembentukan perjanjian penghindaran pajak berganda, setelah proses pembentukan perjanjian telah berhasil maka tax treaty tersebut akan digunakan oleh Indonesia dan negara mitra yang melakukan perjanjian untuk mengatur mengenai pajak yang ada dan yang akan dikenakan. Tahap-tahap penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda yang dilakukan Indonesia dan negara-negara mitra tersebut biasanya tidak akan jauh berbeda dengan penerapan dasar yang telah diatur. Sekarang akan dibahas tahap-tahap penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda untuk Indonesia secara umum sesuai dengan aturan yang ada:

65 Tahap I Tahap II Tahap III Shall be Taxable only May be taxed Tahap IV Tahap V Dibatasi Tidak Dibatasi Gambar 4.2 Gambar Tahapan Prosedur Penerapan Tax Treaty (Sumber: Buku Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional, Darussalam) Tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui, apakah subjek pajak, objek pajak, dan negara yang diperdebatkan termaksud dalam cakupan atau ruang lingkup dari perjanjian penghindaran pajak yang bersangkutan. Untuk mengetahui apakah subjek pajak, objek pajak, dan negara tersebut termasuk dalam ruang lingkup perjanjian, dapat dilihat dalam pasal-pasal perjanjian penghindaran pajak berganda yang mengatur tentang definisi. Untuk itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan apakah subjek pajak yang ingin menerapkan suatu perjanjian penghindaran pajak termasuk dalam subjek pajak yang dicakup dalam perjanjian tersebut atau tidak, menentukan apakah objek pajak yang dipersengketakan termasuk dalam pengertian objek pajak yang dicakup dalam perjanjian penghindaran pajak tersebut atau tidak, menentukan apakah suatu negara yang diperdebatkan termasuk dalam pengertian negara yang dicakup dalam perjanjian penghindaran pajak tersebut atau tidak, dan menentukan apakah ketentuan-ketentuan dalam perjanjian penghindaran pajak yang dimaksud sudah diberlakukan atau mungkin sudah tidak berlaku lagi.

66 Tahap kedua dilanjutkan setelah kita yakin bahwa subjek pajak, objek pajak dan negara yang diperdebatkan termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup perjanjian penghindaran pajak berganda yang dimaksud dan bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda yang dimaksud masih berlaku. Tahap selanjutnya adalah memastikan definisi penghasilan yang diperdebatkan. Hal ini dilakukan untuk memastikan penghasilan tersebut akan masuk dalam ketentuan atau pasal substantif yang mana. Tahap ketiga menentukan pasal substantif mana yang berlaku. Penentuan ini sangat penting karena akan menentukan negara mana yang akan diberi hak pemajakan. Dalam pasal-pasal substantif, pembagian hak pemajakan diatur sebagai berikut: Hak pemajakan hanya diberikan kepada satu negara. Untuk menyatakan bahwa hak pemajakan hanya diberikan kepada satu negara saja, istilah yang dipergunakan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda adalah shall be taxable only. Biasanya hak pemajakan diberikan kepada negara domisili, ketika hanya satu negara saja yang diberikan hak pemajakan maka seharusnya tidak akan timbul isu pajak berganda. Selain negara domisili, negara sumber juga diberi hak pemajakan. Untuk menyatakan bahwa hak pemajakan dibagi antara negara domisili dan negara sumber, istilah yang diberikan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda adalah may be taxed. Ketika masing-masing negara diberi hak pemajakan maka akan timbul isu pemajakan berganda. Tahap keempat dilakukan untuk menghilangkan dampak pemajakan berganda seandainya dalam pasal-pasal substantif yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, masing-masing negara diberikan hak pemajakan. Untuk menghilangkan pemajakan berganda tersebut dilakukan dengan cara mewajibkan negara domisili untuk memberikan keringanan pajak melalui metode pembebasan (exemption method) atau metode kredit pajak (credit method). Tahap kelima bila dalam penerapan tahap pertama, kedua, ketiga dan keempat tersebut masih terdapat persengketaan antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, maka masalah pemajakan berganda dapat diselesaikan melalui Mutual Agreement Procedure (MAP).

67 4.3 Penerapan Beneficial Owner Beneficial Owner merupakan ketentuan yang penting dalam menentukan apakah suatu subjek pajak memenuhi persyaratan-persyaratan untuk mendapatkan fasilitas penurunanan pajak atas penghasilan dividen (dividends), bunga (interest) dan royalti (royalty). Konsep Beneficial Owner pertama kali digunakan di tahun 1966 dalam protokol perjanjian penghindaran pajak berganda antara UK dan USA. Sedangkan dalam OECD Model, konsep beneficial owner pertama kali dinyatakan dalam OECD Model tahun 1977 berkaitan dengan Pasal 10 (dividen), Pasal 11 (bunga), dan Pasal 12 (royalti). Tabel 4.1 Tabel Perbandingan Tarif WPLN Indonesia dan Tarif Beneficial Owner di Belanda Serta Hong Kong Negara Indonesia WPLN Belanda Hong Kong Dividen 20% 10% 10% Bunga 20% 10% 10% Royalti 20% 10% 5% (Sumber: Undang-Undang Pajak Penghasilan, Tax Treaty Indonesia-Belanda dan Tax Treaty Indonesia-Hong Kong) Beneficial owner yang akan dibahas merupakan pemilik manfaat sebenarnya atas penghasilan dividen, bunga dan royalti difokuskan khusus untuk penggunaan di wilayah Indonesia yaitu Beneficial Owner merupakan negara Belanda dan Hong Kong. Tarif yang digunakan secara umum telah disajikan pada tabel 4.1 diatas sebagai acuan ringkasan perbandingan antar negara.

68 4.3.1 Beneficial Owner antara Indonesia - Belanda Tax treaty antara Indonesia dan Belanda di tanda tangani pada tanggal 29 Januari 2002 dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2004, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai bagian beneficial owner yang mencakup Pasal 10 tentang dividen, Pasal 11 tentang bunga, dan Pasal 12 tentang royalti. Berdasarkan peraturan perpajakan Indonesia dividen untuk wajib pajak orang pribadi dikenakan tarif sebesar 10% dan bersifat final, sedangkan tarif dividen untuk wajib pajak badan yang memiliki kepemilikan saham kurang dari 25% akan dikenakan tarif 15 % dan untuk wajib pajak badan yang memiliki kepemilikan saham lebih dari 25% makan akan dibebaskan dari pengenaan pajak. Berdasarkan peraturan perpajakan Belanda bagi penerima dividen yang bukan merupakan penduduk akan dikenakan tarif 10% dan bersifat final. Tabel 4.2 Tabel Perbandingan Tarif antara Indonesia dan Belanda Negara Indonesia Belanda Wajib Pajak Orang Pribadi 10% final - Badan Kurang Dari 25% 15% - Badan Lebih Dari 25% Bebas Pajak - Bukan Penduduk Belanda - 10% final (Sumber: Undang- Undang Pajak Penghasilan dan 2013-2014 Worldwide Corporate Tax Guide) Berdasarkan perpajakan Indonesia pendapatan yang berasal dari bunga akan dikenakan tarif sebesar 15%. Sedangkan berdasarkan perpajakan Belanda pendapatan yang berasal dari bunga untuk orang yang bukan penduduk adalah 0%. Berdasarkan perpajakan Indonesia pendapatan yang berasal dari royalti akan dikenakan tarif 15%. Dalam peraturan perpajakan Belanda pendapatan yang berasal dari royalti untuk orang yang bukan penduduk akan dikenakan tarif sebesar 0%.

69 Dalam perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty Indonesia Belanda mengatur mengenai beneficial owner. Pengertian beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari suatu penghasilan yang berupa dividen, bunga dan royalti, baik itu wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat atas penghasilan tersebut. Seperti yang telah disebutkan diatas, wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan dapat menjadi beneficial owner. Saat beneficial owner adalah wajib pajak orang pribadi maka yang menjadi negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal, sedangkan saat beneficial owner adalah wajib pajak badan maka negara domisilinya adalah negara tempat pemilik 50% atau lebih atas kepemilikan saham. Tabel berikut adalah contoh beneficial owner bagi wajib pajak badan: Tabel 4.3 Tabel Contoh Beneficial Owner atas Perusahaan Astra Indonesia Negara Kepemilikan Saham atas Perusahaan Indonesia Australia 30% Belanda 55% Thailand 15% Yang menjadi Beneficial Owner adalah Belanda Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 seluruh penghasilan yang didapatkan dari Indonesia dan dibayar oleh Indonesia yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri akan dikenakan tarif sebesar 20% final jika wajib pajak luar negeri tersebut bukan merupakan negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda. Kasus Indonesia Belanda telah memiliki tax treaty akan tetapi saat wajib pajak luar negeri tersebut mendapatkan penghasilan, ia tidak dapat menunjukkan bukti bahwa ia benar merupakan warga negara Belanda maka tax treaty yang ada tidak dapat diterapkan dan akan diberlakukan tarif berdasrkan Pasal 26.

70 Contoh Kasus yang akan diberikan mengenai beneficial owner Indonesia Belanda: Dividen Dalam tax treaty Indonesia Belanda dividen yang dikenakan dapat dikenakan pajak baik oleh negara domisili maupun negara sumber penghasilan tersebut berasal. Dalam tabel 4.3 telah dijabarkan Belanda memiliki kepemilikan saham sebesar 55% atas Perusahaan Astra Indonesia dan menjadikan Belanda sebagai pemegang saham tertinggi. Jumlah saham keseluruhan Perusahaan Astra Indonesia adalah 40.483.553.140 dan 55% dari saham tersebut berjumlah 22.265.954.227, dividen yang dibayarkan sebesar Rp 216 per lembar saham. Jumlah dividen yang diterima oleh wajib pajak tersebut sebesar Rp 216 x 22.265.954.227 = Rp 4.809.446.113.032. Wajib pajak luar negeri tersebut menerima dividen sebesar Rp 4.809.446.113.032,- atas kepemilikan saham tersebut. Jika tidak dapat dibuktikan merupakan beneficial owner maka dikenakan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarif 20% final. Maka Indonesia akan memungut pajak sebesar Rp 4.809.446.113.032,- x 20% = Rp 961.889.222.606,- Jika dapat dibuktikan merupakan beneficial owner maka akan dikenakan tarif sesuai yang telah tercantum dalam tax treaty yaitu sebesar 10%. Maka pengenaan pajak adalah sebagai berikut: Negara Sumber (Indonesia) Rp 4.809.446.113.032,- x 10% = Rp 480.944.611.303,- Negara Domisili (Belanda) Rp 4.809.446.113.032,- x 0% = Rp 0,- Setelah melakukan perhitungan pajak diketahui pajak yang akan dipungut oleh negara sumber (Indonesia) atas dividen tersebut adalah sebesar Rp 480.944.611.303,- Bunga Dalam tax treaty Indonesia Belanda bunga yang dibayarkan dapat dikenakan pajak baik dinegara domisili maupun negara sumber. Tarif bunga yang dikenakan adalah sebesar 10%, akan tetapi bisa mendapat pengurangan sampai dengan tarif 0% jika

71 merupakan pemerintah atau merupakan hutang dengan jangka waktu lebih dari dua tahun. Contoh kasus orang pribadi yang merupakan beneficial owner dan berdomisili di Belanda menerima penghasilan bunga dari perusahaan Astra dan berdomisili di Indonesia atas suatu jenis piutang sebesar Rp 800.000.000,-. Jika beneficial owner tersebut tidak dapat membuktikan ia merupakan pemilik manfaat yang sebenarnya maka akan dikenakan tarif berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarif 20% final atas penghasilan bunga ini dikenakan pajak sebagai berikut Rp 800.000.000,- 20% = Rp 160.000.000,-. Jika beneficial owner tersbut dapat membuktikan bahwa ia pemilik manfaat yang sebenarnya maka akan digunakan tax treaty Indonesia Belanda. Perhitungan pajak yang akan dipungut adalah sebagai berikut : Negara sumber (Indonesia) Rp 800.000.000,- 10% = Rp 80.000.000,- Negara domisili (Belanda) Rp 800.000.000,- 0% = Rp 0,- Pajak yang akan dipotong oleh Indonesia atas penghasilan bunga yang diterima oleh orang pribadi yang berdomisili di Belanda adalah sebesar Rp 80.000.000,-. Kita asumsikan contoh kasus sama seperti contoh sebelumnya akan tetapi pemilik manfaat yang ada merupakan pemerintah atau hutang melebihi jangka waktu dua tahun. Perhitungan pajak yang dilakukan sebagai berikut : Negara sumber (Indonesia) Rp 800.000.000,- 0% = Rp 0,- Negara domisili (Belanda) Rp 800.000.000,- 0% = Rp 0,- Pajak yang akan dipotong oleh Indonesia atas penghasilan bunga yang diterima oleh pemerintah atau hutang melebihi jangka waktu dua tahun adalah sebesar Rp 0,-.

72 Royalti Dalam tax treaty Indonesia Belanda royalti yang dibayarkan dapat dikenakan pajak baik dinegara domisili maupun negara sumber. Tarif yang akan dikenakan jika mengikuti tax treaty yang ada adalah 10%. Contoh kasus badan subjek pajak dalam negeri perusahaan Astra membayarkan royalti sebesar Rp 500.000.000 kepada wajib pajak luar negeri, jika wajib pajak luar negeri tersbut tidak bisa membuktikan dirinya merupakan beneficial owner maka subjek pajak dalam negeri tersebut akan memotong pajak sesuai dengan Undang- Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% final. Perhitungan pemotongan pajak atas royalti tersebut adalah Rp 500.000.000,- 20% = Rp 100.000.000,-. Apabila wajib pajak dalam negeri tersebut adalah orang pribadi yang berdomisili di Belanda dan menerima royalti Rp 500.000.000,- maka perhitungan pemajakan atas penghasilan tersebut akan dihitung berdasarkan Tax Treaty Indonesia Belanda. Perhitungan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: Negara sumber (Indonesia) Rp 500.000.000,- 10% = Rp 50.000.000,- Negara domisili (Belanda) Rp 500.000.000,- 0% = Rp 0,- Pajak yang di potong oleh Indonesia sebagai negara sumber atas royalti yang diperoleh oleh orang pribadi yang berdomisili di Belanda adalah sebesar Rp 50.000.000,-. 4.3.2 Beneficial Owner antara Indonesia Hong kong Tax treaty antara Indonesia dan Hong Kong di tanda tangani pada tanggal 23 Maret 2010 dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2013, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai bagian beneficial owner yang mencakup Pasal 10 tentang dividen, Pasal 11 tentang bunga, dan Pasal 12 tentang royalti. Berdasarkan peraturan perpajakan Indonesia dividen untuk wajib pajak orang pribadi dikenakan tarif sebesar 10% dan bersifat final, sedangkan tarif dividen untuk wajib pajak badan yang memiliki kepemilikan saham kurang dari 25% akan

73 dikenakan tarif 15 % dan untuk wajib pajak badan yang memiliki kepemilikan saham lebih dari 25% makan akan dibebaskan dari pengenaan pajak. Berdasarkan peraturan perpajakan Hong Kong bagi penerima dividen yang bukan merupakan penduduk akan dikenakan tarif 0%. Tabel 4.4 Tabel Perbandingan Tarif antara Indonesia dan Hong Kong. Negara Indonesia Hong Kong Wajib Pajak Orang Pribadi 10% final - Badan Kurang Dari 25% 15% - Badan Lebih Dari 25% Bebas Pajak - Bukan Penduduk Hong Kong - 0% (Sumber: Undang- Undang Pajak Penghasilan dan 2013-2014 Worldwide Corporate Tax Guide) Berdasarkan perpajakan Indonesia pendapatan yang berasal dari bunga akan dikenakan tarif sebesar 15%. Sedangkan berdasarkan perpajakan Hong Kong pendapatan yang berasal dari bunga untuk orang yang bukan penduduk adalah 0%. Berdasarkan perpajakan Indonesia pendapatan yang berasal dari royalti akan dikenakan tarif 15%. Dalam peraturan perpajakan Hong Kong pendapatan yang berasal dari royalti untuk orang yang bukan penduduk akan ditampilkan dalam table berikut ini: Tabel 4.5 Tabel Pengenaan Tarif Royalti bagi Witholding Tax Kondisi Tarif Tarif Dibayarkan kepada Badan 4,95% 16,5% Dibayarkan kepada Orang Pribadi 4,5% 15% (Sumber: 2013-2014 Worldwide Corporate Tax Guide)

74 Untuk tarif 4,95% dan 4,5% adalah tarif final yang berlaku untuk orang-orang yang tidak menjalankan bisnis di Hong Kong, sedangkan tarif 16,5% dan 15% adalah tarif final yang berlaku untuk asosiasi pembayar dan jika hak kekayaan intelektual yang sebelumnya dimiliki oleh wajib pajak Hong Kong. Dalam perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty Indonesia Hong Kong mengatur mengenai beneficial owner. Pengertian beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari suatu penghasilan yang berupa dividen, bunga dan royalti, baik itu wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat atas penghasilan tersebut. Seperti yang telah disebutkan diatas, wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan dapat menjadi beneficial owner. Saat beneficial owner adalah wajib pajak orang pribadi maka yang menjadi negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal, sedangkan saat beneficial owner adalah wajib pajak badan maka negara domisilinya adalah negara tempat pemilik 50% atau lebih atas kepemilikan saham. Table berikut adalah contoh beneficial owner bagi wajib pajak badan: Tabel 4.6 Tabel Contoh Beneficial Owner atas Perusahaan Indonesia Negara Kepemilikan Saham atas Perusahaan Indonesia Australia 25% Hong Kong 52% Inggris 23% Yang menjadi Beneficial Owner adalah Hong Kong Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 seluruh penghasilan yang didapatkan dari Indonesia dan dibayar oleh Indonesia yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri akan dikenakan tarif sebesar 20% final jika wajib pajak luar negeri tersebut bukan merupakan negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda. Kasus Indonesia Hong Kong telah memiliki tax

75 treaty akan tetapi saat wajib pajak luar negeri tersebut mendapatkan penghasilan, ia tidak dapat menunjukkan bukti bahwa ia benar merupakan warga negara Hong Kong maka tax treaty yang ada tidak dapat diterapkan dan akan diberlakukan tarif berdasrkan Pasal 26. Contoh Kasus yang akan diberikan mengenai beneficial owner Indonesia Hong Kong: Dividen Dalam tax treaty Indonesia Hong Kong dividen yang dikenakan dapat dikenakan pajak baik oleh negara domisili maupun negara sumber penghasilan tersebut berasal. Dalam tabel 4.6 telah dijabarkan Hong Kong memiliki kepemilikan saham sebesar 52% atas Perusahaan Indonesia dan menjadikan Hong Kong sebagai pemegang saham tertinggi. Jumlah saham keseluruhan Perusahaan Astra Indonesia adalah 40.483.553.140 dan 52% dari saham tersebut berjumlah 21.051.447.633, dividen yang dibayarkan sebesar Rp 216 per lembar saham. Jumlah dividen yang diterima oleh wajib pajak tersebut sebesar Rp 216 x 21.051.447.633 = Rp 4.547.112.688.728. Wajib pajak luar negeri tersebut menerima dividen sebesar Rp 4.547.112.688.728,- atas kepemilikan saham tersebut. Jika tidak dapat dibuktikan merupakan beneficial owner maka dikenakan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarif 20% final. Maka Indonesia akan memungut pajak sebesar Rp 4.547.112.688.728,- x 20% = Rp 909.422.537.745,- Jika dapat dibuktikan merupakan beneficial owner maka akan dikenakan tarif sesuai yang telah tercantum dalam tax treaty yaitu sebesar 5% karena memiliki kepemilikan saham lebih dari 25%. Maka pengenaan pajak adalah sebagai berikut : Negara Sumber (Indonesia) Rp 4.547.112.688.728,- x 5% = Rp 227.355.634.436,- Negara Domisili (Hong Kong) Rp 4.547.112.688.728,- x 0% = Rp 0,- Setelah melakukan perhitungan pajak diketahui pajak yang akan dipungut oleh negara sumber (Indonesia) atas dividen tersebut adalah sebesar Rp 227.355.634.436,-

76 Contoh kasus sama seperti diatas akan tetapi saham yang dimiliki hanya sebesar 20% maka jumlah saham 20% x 40.483.553.140 = 8.096.710.628 dan mendapatakan dividen sebesar Rp 216 x 40.483.553.140 = Rp 8.744.447.478.240,- Maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Jika tidak dapat dibuktikan merupakan beneficial owner maka dikenakan Undang- Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarif 20% final. Maka Indonesia akan memungut pajak sebesar Rp 8.744.447.478.240,- x 20% = Rp 1.748.889.495.648,- Jika dapat dibuktikan merupakan beneficial owner maka akan dikenakan tarif sesuai yang telah tercantum dalam tax treaty yaitu sebesar 10% karena memiliki kepemilikan saham kurang dari 25%. Maka pengenaan pajak adalah sebagai berikut : Negara Sumber (Indonesia) Rp8.744.447.478.240,- x 10% = Rp874.444.747.824,- Negara Domisili (Hong Kong) Rp8.744.447.478.240,- x 0% = Rp0,- Setelah melakukan perhitungan pajak diketahui pajak yang akan dipungut oleh negara sumber (Indonesia) atas dividen tersebut adalah sebesar Rp 50.000.000,- Bunga Dalam tax treaty Indonesia Hong Kong bunga yang dibayarkan dapat dikenakan pajak baik dinegara domisili maupun negara sumber. Tarif bunga yang dikenakan adalah sebesar 10%, akan tetapi bisa mendapat pengurangan sampai dengan tarif 0% jika merupakan pemerintah. Contoh kasus orang pribadi yang merupakan beneficial owner dan berdomisili di Hong Kong menerima penghasilan bunga dari perusahaan Astra yang berkedudukan dan berdomisili di Indonesia atas suatu jenis piutang sebesar Rp 200.000.000,-. Jika beneficial owner tersebut tidak dapat membuktikan ia merupakan pemilik manfaat yang sebenarnya maka akan dikenakan tarif berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarif 20% final atas penghasilan bunga ini dikenakan pajak sebagai berikut Rp 200.000.000,- 20% = Rp 40.000.000,-.

77 Jika beneficial owner tersbut dapat membuktikan bahwa ia pemilik manfaat yang sebenarnya maka akan digunakan tax treaty Indonesia Hong Kong. Perhitungan pajak yang akan dipungut adalah sebagai berikut: Negara sumber (Indonesia) Rp 200.000.000,- 10% = Rp 20.000.000,- Negara domisili (Hong Kong) Rp 200.000.000,- 0% = Rp 0,- Pajak yang akan dipotong oleh Indonesia atas penghasilan bunga yang diterima oleh orang pribadi yang berdomisili di Hong Kong adalah sebesar Rp 20.000.000,-. Contoh kasus sama seperti contoh sebelumnya akan tetapi pemilik manfaat yang ada merupakan pemerintah. Perhitungan pajak yang dilakukan sebagai berikut: Negara sumber (Indonesia) Rp 200.000.000,- 0% = Rp 0,- Negara domisili (Hong Kong) Rp 200.000.000,- 0% = Rp 0,- Pajak yang akan dipotong oleh Indonesia atas penghasilan bunga yang diterima oleh pemerintah atau hutang melebihi jangka waktu dua tahun adalah sebesar Rp 0,-. Royalti Dalam tax treaty Indonesia Hong Kong royalti yang dibayarkan dapat dikenakan pajak baik dinegara domisili maupun negara sumber. Tarif yang akan dikenakan jika mengikuti tax treaty yang ada adalah 5%. Contoh kasus badan subjek pajak dalam negeri perusahaan Astra membayarkan royalti sebesar Rp 900.000.000 kepada wajib pajak luar negeri, jika wajib pajak luar negeri tersbut tidak bisa membuktikan dirinya merupakan beneficial owner maka subjek pajak dalam negeri tersebut akan memotong pajak sesuai dengan Undang- Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% final. Perhitungan pemotongan pajak atas royalti tersebut adalah Rp 900.000.000,- 20% = Rp 180.000.000,-. Apabila wajib pajak dalam negeri tersebut adalah orang pribadi yang berdomisili di Hong Kong dan menerima royalti Rp 900.000.000,- maka perhitungan pemajakan

78 atas penghasilan tersebut akan dihitung berdasarkan Tax Treaty Indonesia Hong Kong. Perhitungan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: Negara sumber (Indonesia) Rp 900.000.000,- 5% = Rp 45.000.000,- Negara domisili (Hong Kong) Rp 900.000.000,- 0% = Rp 0,- Pajak yang di potong oleh Indonesia sebagai negara sumber atas royalti yang diperoleh oleh orang pribadi yang berdomisili di Hong Kong adalah sebesar Rp 45.000.000,-. 4.4 Investasi Belanda Dan Hong Kong Di Indonesia Belanda dan Hong Kong merupakan salah satu negara di eropa dan asia yang melakukan investasi di Indonesia. Belanda menempati urutan kedua berada tepat dibawah inggris yang jumlah investasinya lebih besar untuk kawasan Eropa. Sedangkan Hong Kong menempati urutan ke lima setelah negara Korea Selatan, Jepang, Republik Rakyat China, dan Taiwan untuk kawasan Asia di luar Asean. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BKPM setiap tahun Proyek yang dilakukan oleh Belanda dan Hong Kong terus meningkat dalam jangka waktu tahun 2010-2013, hal ini tentunya akan membawa dampak baik bagi perekonomian Indonesia. Tabel 4.7 Tabel Jumlah Proyek Serta Investasi Belanda Dan Hong Kong Di Indonesia Negara 2010 2011 2012 2013 P I P I P I P I Belanda 106 608,3 118 1.354,4 131 966,5 233 927,8 Hong Kong 62 566,1 104 135,0 105 309,6 233 376,2 *Nilai Investasi dalam US$. Juta (Sumber: www.bkpm.go.id)

79 Dapat kita lihat informasi pada tabel 4.7 negara Belanda Dan Hong Kong melakukan investasi di Indonesia: 1. Tahun 2010 proyek Belanda di Indonesia berjumlah 106 proyek dan jumlah investasi US$ 608.300.000, proyek Hong Kong di Indonesia 62 proyek dan jumlah investasi US$ 566.100.000. 2. Tahun 2011 proyek Belanda di Indonesia berjumlah 118 proyek dan jumlah investasi US$ 1.354.400.000, proyek Hong Kong di Indonesia 104 proyek dan jumlah investasi US$ 135.000.000. 3. Tahun 2012 proyek Belanda di Indonesia berjumlah 131 proyek dan jumlah investasi US$ 966.500.000, proyek Hong Kong di Indonesia 105 proyek dan jumlah investasi US$ 309.600.000. 4. Tahun 2013 proyek Belanda di Indonesia berjumlah 233 proyek dan jumlah investasi US$ 927.800.000, proyek Hong Kong di Indonesia 233 proyek dan jumlah investasi US$ 376.200.000. Dalam tabel dan penjelasan diatas jumlah proyek yang Belanda dan Hong Kong lakukan di Indonesia tiap tahun terus meningkat, akan tetapi jumlah Investasi yang ada belum tentu juga meningkat sesuai dengan besar proyek yang ada. Hal ini dapat disebabkan karena adanya upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Kita telah mengetahui adanya kemungkinan penghindaran pajak yang disengaja oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara memanfaatkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) / tax treaty yang seharusnya tidak dapat diterima oleh orang tersebut, salah satu caranya dengan melakukan treaty shopping. Treaty shopping itu sendiri memiliki pengertian sebagai suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tertentu.

80 Maka dari itu kita harus menerapkan pencegahan dengan cara sebagai berikut: penghindaran pajak tersebut 1. Kedudukan Surat Keterangan Domisili (SKD) dalam Pencegahan Treaty Shopping. Sehubungan dengan masalah subjek pajak yang berhak mendapatkan fasilitas yang ada dalam suatu perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya negara sumber penghasilan meminta Certificate of Residence (Surat Keterangan Domisili atau SKD), sebagai bukti bahwa subjek pajak tersebut memang benar subjek pajak dalam negeri dari negara lainnya yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda. 2. Beneficial owner dan Treaty Shopping. Khusus untuk penghasilan atas Pasal 10 tentang dividen, Pasal 11 tentang bunga, dan Pasal 12 tentang royalti perjanjian pajak berganda menambahkan satu persyaratan lagi selain menjadi resident atau penduduk negara mitra untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif yang disediakan harus beneficial owner. 3. Limitation on Benefits sebagai anti Treaty Shopping. Maksud diadakannya limitation on benefits adalah dalam rangka untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda oleh subjek pajak yang tidak berwenang dan dalam rangka untuk kepastian hukum bagi subjek pajak. 4. SAAR sebagai anti Treaty Shopping. Umumnya banyak negara yang telah memiliki ketentuan khusus anti penghindaran pajak (Specific Anti Avoidance Rule atau SAAR) untuk mencegah praktik treaty shopping dalam undang-undang pajak domestik. Ketentuan khusus anti penghindaran ajak (SAAR) tidak cukup efektif untuk menangkal praktik treaty shopping sehingga lebih baik jika dikombinasikan dengan ketentuan umum anti penghindaran pajak (General Anti Avoidance Rule / GAAR) dan ketentuan khusus anti penghindaran pajak.

81 5. GAAR sebagai anti Treaty Shopping. Ketentuan umum anti penghindaran pajak (General Anti Avoidance Rule / GAAR) tidak bertentangan dengan penghindaran pajak berganda, tetapi penerapannya tetap harus dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai terjadi pemajakan berganda. Penerapan ketentuan GAAR hanya bisa dilakukan jika sudah terdapat bukti yang sangat jelas dan nyata bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda disalahgunakan.