BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menjadi orang tua dari anak-anak mereka. Orang tua merupakan individu yang

Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat dan dapat. melakukan pengasuhan untuk keberlangsungan dan pengembangan anak

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebuah keluarga dapat menjadi tidak utuh, baik diakibatkan karena

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

COPING STRESS PADA WANITA YANG MENGALAMI KEMATIAN PASANGAN HIDUP. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. karena keluarga adalah tempat belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk belajar bagi setiap individu dengan mengembangkan dan mengasah keterampilan

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang tidak dapat diperkirakan waktu terjadinya. Sehingga kematian

BAB I PENDAHULUAN. yang masih lengkap keduanya sedangkan keluarga tidak utuh atau yang sering

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

BAB I PENDAHULUAN. bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Tahap yang paling panjang

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA GURU WANITA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEBONARUM KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang tidak pasti dari kematian adalah waktu datang dan proses menjelangnya.

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting menuntut pula tanggung jawab untuk dapat memberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Kanker Dharmais ini berlangsung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin,

BAB I PENDAHULUAN. bagi masyarakat, karena banyakdari kaum laki-laki maupun perempuan, tua

BAB I PENDAHULUAN. membangun kehidupan sosial dan kehidupan bermasyarakat secara luas bagi seorang anak.

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Umumnya suatu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Dalam kehidupan keluarga, ayah dan ibu memiliki peran sebagai orangtua dari anak-anak. Nugraha (2014: 2) menjelaskan bahwa orangtua merupakan pimpinan keluarga. Oleh sebab itu orangtua berperan sebagai pendidik, pemelihara, pengasuh, pembimbing, pembina maupun guru bagi anaknya. Pada kenyataannya banyak ditemui keluarga yang salah satu orangtua tidak ada, entah karena perceraian, perpisahan atau meninggal dunia. Menurut Anna (2015), kasus perceraian dalam lima tahun terakhir, 2010-2014, meningkat sebanyak 52 persen. Sebanyak 70 persen perceraian diajukan oleh istri. Pada 2010-2014, sekitar 2 juta pasangan menikah, 15 persen di antaranya bercerai. Angka perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia tahun 2014 mencapai 382.231, naik sekitar 100.000 kasus dibandingkan dengan pada 2010 sebanyak 251.208 kasus (Anna, 2015, para. 1-2). Menurut Soetikno (2011) bila perceraian terjadi maka anak akan kehilangan salah satu dari kedua orangtuanya yang selama ini dilihatnya bersama. Kondisi ini tidak jarang dapat mempengaruhi rasa percaya diri anak karena keluarganya tidak lengkap lagi. Hal ini anak dapat menimbulkan rasa iri terhadap teman atau saudara dengan keluarga utuh. Anak juga akan merasa sedih dan kecewa, yang berdampak pada kesulitan dalam berkonsentrasi belajar serta menghambat kelincahannya dalam bersosialisasi (Soetikno, 2015, para. 2). 1

2 Selain hal tersebut, kebutuhan akan perekonomian dalam berkeluarga juga semakin tinggi sehingga kedua orangtua harus bekerja. Kadang tugas dalam menjaga anak terlalaikan karena bekerja menjadi prioritas. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara mental, pendidikan, maupun 1 iman (Herbert, 2007, para. 1). Sependapat dengan pernyataan tersebut, Widodo (2015) menyatakan bahwa kebutuhan sosial ekonomi semakin tinggi sehingga mendorong bertambahnya waktu kerja. Berbeda dengan dahulu, sekarang ini tidak hanya salah orangtua yang bekerja namun kedua orangtua bekerja. Hal tersebut mengancam penyediaan waktu untuk anak-anak mereka (Widodo, 2015, para. 3). Sepanjang sejarah, pada sebagian masyarakat dunia, seorang pria bertanggung jawab untuk menafkahi anak dan istrinya, sedangkan seorang perempuan diharapkan untuk menjaga rumah, menyiapkan makanan secara rutin dan mengasuh anaknya. Dengan kata lain, seorang perempuan lebih banyak menghabiskan waktu bersama anaknya dibanding seorang pria (Duvall, 1977: 65). Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Urie Bronfenbrenner (1974) dalam artikel yang berjudul The Origins Of Alienation dalam Scientific American edisi Agustus 1974. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa rata-rata para ayah menghabiskan waktu 15 hingga 20 menit seharinya untuk berkomunikasi dengan anaknya. Lebih jauh dijelaskan juga bahwa waktu yang digunakan oleh para ayah untuk berinteraksi dengan anaknya hanya sekitar 37 detik setiap hari. Interaksi ayah dengan anaknya secara langsung adalah sebanyak 2-7 kali. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya memang intensitas pertemuan dan interaksi yang terjadi antara ayah dengan anaknya sangat terbatas dan sedikit intensitasnya.

3 Meskipun ayah sebagai kepala keluarga memiliki peran untuk mencari nafkah bagi keluarganya, tapi peran ayah dalam hal mendidik, mengayomi, dan memberikan perhatiannya kepada keluarga terutama pada anak juga penting. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Abdullah (2012: 1), keterlibatan ayah dalam hal pengasuhan lebih dari sekedar melakukan interaksi yang positif dengan anaknya, tetapi juga memberikan perhatian serta memantau perkembangan anaknya. Namun kenyataannya, peran dari figur ayah hanya pada pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan mencari nafkah. Kegiatan mencari nafkah pada umumnya dilakukan di luar rumah, sehingga peranperan penting tersebut tetap tidak terpenuhi dengan baik oleh ayah pada anaknya. Sebuah studi di 33 provinsi di Indonesia antara tahun 2008 dan 2010 menobatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling "yatim" di dunia, bukan karena jumlah anak yatim yang tinggi namun karena ketidaktahuan orang tentang membesarkan anak-anak. Ahli Parenting Elly Rusman Musa, yang terlibat dalam penelitian, mengatakan bahwa menurut hasil wawancara dengan seorang ayah hasilnya mereka tidak terlibat dalam pengasuhan anak. Pasangan percaya bahwa tugas seorang ayah adalah bekerja dan mendapatkan uang, sementara seorang ibu merawat anak-anak (Krismantari, I., 2012, para. 2-4). Menurut penggiat peran ayah, Irwan Rinaldi, sudah hampir empat hingga lima kali tidak ada perwakilan dari Indonesia dalam Konferensi Ayah Sedunia. Menurut Irwan, dari data tersebut dapat diketahui bahwa Indonesia termasuk ke dalam fatherless country yaitu negara yang kekurangan ayah. Irwan mengatakan, kurangnya ayah di Indonesia bukan secara fisik melainkan dari sisi psikologis dan anak-anak di Indonesia terjerembab dalam kasus father hungry (Hizbullah, 2015, para. 1-3).

4 Menurut Connor dan White (2006: 39), kondisi yang demikian ini pada umumnya disebut dengan kondisi fatherless. Fatherless atau yang biasa dikenal dengan father absence, fatherloss, father deficit, dan fatherlessness merupakan keadaan tanpa kehadiran seorang ayah yang dapat menyebabkan turunnya kesejahteraan anak dalam lingkup masyarakat (Weiten, Wayne, 2007: 372). Hilangnya figur ayah secara fisik maupun psikis yang dirasakan oleh individu akan memberi dampak yang luas. Sundari dan Herdajani (2013: 1), menyatakan bahwa kondisi fatherless yang dialami oleh individu berdampak pada rendahnya harga diri (self-esteem) ketika individu telah dewasa, rasa marah (anger), dan malu (shame) karena berbeda dengan anak lain dan juga tidak memiliki pengalaman keberesamaan dengan seorang ayah seperti yang dirasakan individu lain. Fatherless juga dapat menyebabkan individu akan merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), kedukaan (grief) serta rasa kehilangan yang amat sangat, dan rendahnya kontrol diri (self-control), inisiatif, keberanian mengambil risiko (risk taking), juga kecenderungan neurotik yang terutama terjadi pada anak perempuan. Akibat-akibat secara psikologis yang dirasakan oleh individu akan berdampak pada penyimpangan dalam perilaku dan merasakan ketidakbermaknaan hidup. Fatherless dalam penelitian ini berupa ketidakhadiran ayah secara fisik yang akhirnya berdampak pada kedekatan emosional dan berpengaruh terhadap perkembangan psikologi dari anak tersebut. Kondisi fatherless dalam penelitian ini berbeda dengan yatim, yang merupakan ketidakhadiran ayah secara fisik (karena meninggal). Wawancara awal dan observasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap remaja yang mengalami fatherless, menunjukkan bahwa komunikasi para remaja dengan ayah mereka tidak berjalan baik, bahkan para informan hampir

tidak pernah berkomunikasi dengan ayahnya meskipun tinggal dalam satu rumah. Menurut mereka, hal itu diakibatkan karena pengalaman traumatik pada masa lalu mereka yang sering diperlakukan kasar atau kurangnya perhatian ayah. Berikut adalah cuplikan wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti : Aku sama sekali nggak deket sama papaku, dari dulu orangnya diem. Di rumah nggak pernah ngajak ngobrol sama sekali, malah aku lebih nyaman sama papa-papanya temen-temenku. Aku lupa tapi dulu waktu kecil seingetku sering dipecut pake sabuk gitu (c, 22, p, Surabaya) 5 Dari kecil papaku sering pergi, jadi aku sudah jarang serumah sama dee. Aku juga nggak terlalu paham sih masalahe sama mamaku apa, tapi ya dee itu kaya ninggal kita gitu. Meskipun sekarang ketemu pun aku ya males toh mau ngomong apa, uda gak bakal nyambung pasti awkward (r, 22, l, Surabaya) Hasil wawancara awal di atas, terlihat bahwa ketidakhadiran seorang ayah atau figur ayah dapat mempengaruhi psikologi mereka terhadap seorang ayah. Keadaan tersebut dapat menjadikan anak menjadi stres. Folkman dan Lazarus (1984: 19) mengemukakan bahwa stres merupakan keadaan seseorang yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Fenomena ini didukung oleh Yusuf (2015) yang dimuat dalam republika.com yang menyebutkan bahwa Indonesia dikategorikan dalam Fatherless Country. Hal ini dikarenakan Indonesia menjadi peringkat ketiga setelah Amerika, berdasarkan perhitungan yang dilakukan di kota-kota besar, Indonesia kira-kira 65 menit waktu efektif ayah berjumpa dengan anak,

6 sedangkan Amerika 17 menit waktu efektif ayah bertemu dengan anak. Faktor inilah yang menjadi permasalahan semakin banyaknya kenakalan anak dan remaja. Selain itu fenomana bully pada anak SD yang melihat temannya tidak mempunyai sosok ayah, menjadikan anak tersebut mengalami tekanan batin dan emosional (Yusuf, 2015, para.7-8). Oleh karena itu, individu perlu memiliki strategi coping yang sesuai untuk mengatasi stres karena kondisi fatherless tersebut. Strategi coping merupakan cara atau metode yang digunakan individu dalam mengatasi dan mengendalikan masalah yang sedang dihadapi serta dianggap sebagai hambatan dan tantangan (Miranda, 2013: 136-137). Masalah yang dialami dianggap sebagai suatu hambatan dan tantangan bagi individu dalam pencapaian suatu tujuan. Diperlukan cara atau metode untuk mengatasi dan mengendalikan masalah yang sedang dihadapi agar individu terbebas dari situasi yang menekan. Pada kondisi di mana individu mengalami stres, maka individu akan menggunakan strategi coping stres. Strategi coping stres merupakan usaha secara kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengurangi, mengatasi, atau melakukan toleransi terhadap tuntutan internal dan eksternal karena adanya transaksi dengan lingkungan yang penuh stres (Mariana, 2013: 7). Sulistiadi, Kurnia, Chatimah, dan Fakhrurrozi (2007: 72), menyebutkan bahwa coping stres merupakan suatu usaha yang dilakukan individu untuk menangani beban emosional atau tuntutan yang menimbulkan stres. Setiap individu memiliki respons coping yang berbeda-beda terhadap stres yang dihadapi. Umumnya coping stres terjadi secara otomatis begitu individu merasakan adanya situasi yang mengancam, yang menyebabkan individu dituntut untuk sesegera mungkin mengatasi ketegangan tersebut. Individu

7 akan melakukan evaluasi untuk memutuskan perilaku coping stres apa yang dilakukan seterusnya. Lazarus dan Folkman (1984: 142) menyebutkan tiga pendekatan proses dalam coping, yaitu: (1) pengamatan dan penilaian yang sesuai dengan pemikiran sebenarnya dan berbeda dengan apa yang biasanya orang lakukan, (2) pemeriksaan dengan pemikiran orang yang sebenarnya dalam konteks tertentu, dan (3) berbicara tentang perubahan dalam menghadapi pikiran dan bertindak pertemuan stres. Berbeda dengan coping stres, strategi coping dapat dikategorikan dalam banyak cara. Lazarus dan Folkman (1980) sebagaimana yang dikutip oleh Brannon, Feist, dan Updegraff (2013: 121) menyebutkan bahwa secara umum terdapat dua aspek yang membedakan bentuk fungsi coping yaitu: problem-focused coping (berorientasi pada permasalahan) dan emotion focused coping (berorientaasi pada emosi). Penelitian ini berfokus pada strategi coping di mana dalam mengatasi masalah stres dengan pendekatan secara permasalahan dan emosional. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dengan adanya strategi coping stres yang dipilih oleh individu diharapkan dapat menjadi jalan keluar sebagai solusi mengatasi rasa stresnya karena adanya rasa kehilangan figur ayah dalam kehidupannya. Melihat kondisi di atas menjadikan peneliti tertarik untuk melakukan penelaahan lebih lanjut melalui penelitian ini dengan mengangkat tema mengenai coping stres dan kondisi fatherless. Ketertarikan peneliti ini didukung dengan adanya fakta bahwa penelitian mengenai coping stres terhadap orang yang mengalami fatherless ini masih sangat jarang dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Rahmayati (2009: 1), merupakan kajian mengenai stres dan coping pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja

8 yang memiliki orangtua yang sudah bercerai mengalami stres akibat perceraian tersebut. Dalam menghadapi permasalahan tersebut informan lebih condong menggunakan strategi coping yang lebih memfokuskan pada masalah emosi informan yaitu emotion focused coping. Tidak adanya kehadiran sosok ayah yang dibutuhkan oleh seorang anak sebagai pelindung akan berpengaruh terhadap perkembangan psikologi anak. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Lamb dan Lerner (2015: 451) yang menyebutkan bahwa adanya fatherless berpengaruh terhadap stres pada anak dan dapat diatasi dengan strategi coping stres. Penelitian yang dilakukan oleh Sundi dan Herdajani (2013: 1) mengenai pengaruh fatherless terhadap perkembangan psikologi anak menghasilkan temuan rendahnya harga diri, malu, dan dampak negatif psikologis lain yang dialami anak yang mengalami fatherless. Kondisi fatherless yang dialami oleh individu berdampak pada rendahnya harga diri (self-esteem) ketika individu telah dewasa, rasa marah (anger), dan malu (shame) karena berbeda dengan anak lain dan juga tidak memiliki pengalaman keberesamaan dengan seorang ayah seperti yang dirasakan individu lain. Fatherless juga dapat menyebabkan individu akan merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), kedukaan (grief) serta rasa kehilangan yang amat sangat, dan rendahnya kontrol diri (self-control), inisiatif, keberanian mengambil risiko (risk taking), juga kecenderungan neurotik yang terutama terjadi pada anak perempuan. Akibat-akibat secara psikologis yang dirasakan oleh individu akan berdampak pada penyimpangan dalam perilaku dan merasakan ketidak bermaknaan hidup. Dari penelitian yang sudah ada sebelumnya mengenai fatherless, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam lagi yaitu mengenai strategi coping stres yang efektif bagi remaja dalam menghadapi kondisi fatherless.

9 Masih terbatasnya penelitian yang melakukan penelitian terhadap coping stres pada individu yang mengalami fatherless ini menjadikan peneliti tertarik untuk mendalami dan melakukan penelitian ini. Informan yang dipilih dalam penelitian ini merupakan remaja dengan usia 16 tahun atau 17 tahun hingga usia 18 tahun. Hal ini dikarenakan usia tersebut termasuk dalam golongan remaja usia akhir yang rentan terhadap lingkungan yang mempengaruhi psikologinya (Hurlock, 1996: 205). Pada masa remaja akhir ini seseorang akan mulai melakukan penyesuaian diri dengan tugas perkembangan yang baru. Hal ini akan terasa sulit ketika tidak ada orang yang mampu mendampingi. Sejauh ini, dinyatakan orang yang biasa mampu membantu seseorang untuk melakukan penyesuaian diri dengan tugas perkembangan yang baru adalah orang-orang terdekat, seperti orangtua. Ketika orangtua tidak lengkap maka akan dapat menganggu pendampingan tersebut. Oleh karena itu, informan yang dipilih adalah informan yang berada pada usia 16 tahun atau 17 tahun hingga usia 18 tahun yang juga disesuaikan dengan kondisi yang diangkat yaitu mengenai fatherless. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian yang akan dilakukan ini mengambil judul Strategi Coping Stres Remaja yang Mengalami Fatherless. 1.2. Fokus Penelitian Luasnya cakupan penelitian yang hendak ditelaah, maka penelitian ini memberikan batasan-batasan masalah, di antaranya: 1. Informan yang diteliti adalah remaja yang mengalami kondisi fatherless. Kondisi fatherless yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketidak hadiran ayah secara psikologis dalam hidup remaja.

10 2. Strategi yang digunakan untuk mengatasi kondisi fatherless pada remaja adalah strategi coping stres, yakni dimulai dengan menyelesaikan masalah remaja, usaha menerima, merencanakan dan bersikap aktif dalam menguasai, mengurangi, atau meminimalisasikan keadaan tertekan (situasi stres). 1.3. Tujuan Penelitian Berpijak atas perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Tujuan umum yaitu untuk mengeksplorasi permasalahan yang terjadi dalam hal strategi coping stres remaja yang mengalami fatherless. 2. Tujuan khusus yaitu untuk mengetahui aspek dari strategi coping, komponen yang terlibat dalam strategi coping, serta pengklasifikasian strategi coping. 1.4. Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini mampu memberikan bukti empiris yang bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, dimana: 1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini mampu memberikan sumbangan keilmuan khususnya bagi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widaya Mandala Surabaya terkait penggunaan strategi coping terhadap stres pada remaja sebagai salah satu strategi dalam penanganan atau yang mengalami fatherless.

11 2. Manfaat Praktis Penelitian ini setidaknya mampu memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait: a. Bagi remaja, yakni dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai strategi coping stres yang mengalami fatherless, sehingga remaja dapat mempergunakan telaah dan hasil studi ini sebagai pertimbangan terhadap tindakan yang hendak diambil selanjutnya. b. Bagi orangtua, yakni dapat memberikan informasi terkait coping stres terhadap remaja yang mengalami fatherless sebagai dukungan sosial untuk tetap termotivasi atau untuk membantu meningkatkan motivasi belajar pada remaja. c. Bagi lingkungan masyarakat, yakni dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan remaja, khusunya bagi remaja yang mengalami fatherless guna mendapatkan dukungan dari lingkungan sosial masyarakat setempat dimana individu tersebut tinggal.