BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Palang Merah Indonesia, menyatakan bahwa kebutuhan darah di. Indonesia semakin meningkat sehingga semakin banyaklah pasokan darah

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan besarnya jumlah penderita kehilangan darah akibat

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan. Terdapat sebanyak 3-5 gram besi dalam tubuh manusia dewasa

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi dari organ tempat sel tersebut tumbuh. 1 Empat belas juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian ilmu penyakit dalam yang menitikberatkan pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan pemusatan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur hemoglobin pada sejumlah volume darah. Kadar normal hemoglobin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem golongan darah ABO ditemukan oleh ilmuwan. Austria bernama Karl Landsteiner, menemukan tiga tipe

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengukuran Komponen Zat Besi pada Laki-Laki Pendonor Darah Rutin di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. D DENGAN GANGGUAN SISTEM HEMATOLOGI : ANEMIA DEFISIENSI BESI DI RUANG MELATI I RSUD dr. MOEWARDI SURAKARTA

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Proposal

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Anak sekolah merupakan Sumber Daya Manusia (SDM) generasi. penerus bangsa yang potensinya perlu terus dibina dan dikembangkan.

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan dan merupakan masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. metode case control dilakukan terlebih dahulu kemudian pengambilan data

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. Ketidak cukupan asupan makanan, misalnya karena mual dan muntah atau kurang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin

Ruswantriani, Pembimbing : Penny Setyawati, dr, SpPK, M. Kes

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB I PENDAHULUAN. orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Talasemia terjadi akibat

Kata kunci: Prevalensi,Anemia, Anemia defisiensi besi, bayi berat lahir rendah, Hb.

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat

CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI

BAB I PENDAHULUAN. sedang berkembang. Masalah kesehatan yang dihadapi negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. besinya lebih besar daripada orang dewasa normal di dunia, terutama di

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Donasi darah merupakan praktik klinis yang umum. dilakukan. Pada tahun 2012 World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB V PEMBAHASAN. apakah ada hubungan antara lama menstruasi dengan kejadian anemia pada

BAB V HASIL PENELITIAN. Telah dilakukan penelitian observasional dengan disain cross sectional pada Ibu

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

BAB I PENDAHULUAN. mengkonsumsi suplemen secara teratur 2. Sementara itu, lebih dari setengah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

BAB 1 PENDAHULUAN. ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan (WHO,2009). Terapi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. dan periode ini penting dalam hal reproduksi. Pada wanita, menstruasi terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Menurut data World

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Transfusi darah merupakan bagian penting dalam. pelayanan kesehatan modern. Jika digunakan secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1.Perumusan masalah Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada perawatan pasien di rumah sakit. Banyak orang mendonorkan darahnya untuk alasan religius, kemanusiaan, etik dan alasan medis. Diantaranya banyak yang mendonorkan darahnya lebih dari satu kali pertahun. Sehingga timbul masalah defisiensi besi pada pendonor darah yang teratur mendonorkan darahnya, kira-kira 0,5 mg besi hilang tiap mililiter darah yang didonorkan. Jika tidak dikompensasi dengan efisien, kehilangan besi akan menyebabkan anemia, defisiensi besi non anemia juga bisa menjadi masalah (Djalali et al., 2006). Defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi paling umum di seluruh dunia dan dikaitkan dengan lambatnya perkembangan, gangguan perilaku, berkurangnya kinerja intelektual dan turunnya daya tahan terhadap infeksi (Trost et al., 2006). Menurut WHO diperkirakan ada 4-5 milyar orang dengan defisiensi besi. Dua milyar orang dengan anemia disebabkan oleh defisiensi besi yang terdapat di negara yang berkembang, banyak disebabkan oleh infeksi cacing dan malaria, sering dianggap sebagai penyakit yang hanya terjadi di negara yang berkembang, ternyata juga terjadi pada negara industri karena defisiensi nutrisi (Hinzmann, 2003) Pada pendonor darah didapatkan banyak sekali kehilangan besi setiap kali prosedur pengambilannya 425 475 ml, pendonor darah laki-laki kehilangan besi 1

242 ± 17 mg dan perempuan 217 ± 11 mg. Kehilangan ini dapat digantikan oleh besi dalam bentuk feritin untuk menambah cadangan besi jika diet adekwat. Cadangan besi menurun, absorbsi besi meningkat ( Mahida et al., 2008; Mittal et al., 2006; Jeremiah dan Koate, 2010). Kadar hemoglobin (Hb) normal tidak dapat mengekslusi defisiensi besi, karena orang dengan cadangan besi normal harus kehilangan sebagian besar dari besi tubuh sebelum Hb turun (Hb < 12 g/dl untuk wanita dan Hb < 13 g/dl untuk pria). Pada pasien yang tidak anemia manifestasi klinis yang penting dari defisiensi besi adalah gejala fatik kronis (besi dibutuhkan untuk enzim yang terlibat dalam metabolisme oksidasi). Namun sedikit yang melakukan skrining karena jarang mempertimbangkan adanya defisiensi besi pada pasien yang tidak anemia (Cook, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Mittal et al., menunjukkan bahwa terjadi defisiensi besi pada pendonor darah yang sehat, 50 % dari wanita sehat yang mendonorkan darah telah defisiensi besi sebelum donor. Pada pendonor darah pria defisiensi besi jadi progresif (feritin serum < 15 ng/l), 49 % defisiensi besi terjadi pada pendonor yang mendonorkan darahnya lebih dari 3 kali pertahun. Begitu juga dengan 3 penelitian lainnya juga menunjukkan prevalensi yang tinggi terjadinya defisiensi besi pada pendonor darah (Nadarajan, 2002; Mozaheb et al., 2011). 2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah : Apakah ada hubungan antara status besi dengan frekuensi donasi pada pendonor darah reguler di Yogyakarta? 2

B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara status besi dengan frekuensi donasi pada pendonor darah reguler di Yogyakarta. C. Manfaat Penelitian 1. Bagi pendonor darah : memberikan informasi tentang defisiensi besi yang sering menjadi masalah bagi pendonor darah. 2. Bagi klinisi : mengetahui hubungan antara status besi dengan frekuensi donasi pada pendonor darah reguler sehingga dapat membantu dalam pemilihan keputusan klinis yang diambil terkait pencegahan perburukan lebih lanjut. 3. Bagi ilmu pengetahuan : memberikan data tentang faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap status besi pada pendonor darah, sehingga dapat dijadikan acuan dan menambah wawasan untuk penelitian selanjutnya. D. Keaslian Penelitian Penelusuran pada database PubMed dengan menggunakan kata kunci iron status AND blood donors mendapatkan beberapa penelitian di bawah ini : 1. Penelitian Norshikin et al. (2006) terhadap 211 orang pendonor darah yang berjudul A study of serum ferritin levels among male blood donors in hostital universiti sains Malaysia, menilai cadangan besi dengan mengukur kadar feritin serum pada laki-laki pendonor darah pertama dan pendonor darah yang teratur mendonasikan darahnya, dan menguji hubungan kadar feritin serum dengan jumlah donor dan kadar hemoglobin. Penelitian ini menunjukkan kadar feritin serum signifikan lebih rendah pada pendonor darah yang teratur mendonasikan 3

darahnya (62,0±39,78 ng/ml) dibandingkan dengan pendonor darah pertama (90,7±66,63). Kadar feritin serum menurun secara bertahap berdasarkan jumlah donasi darah dan ada korelasi yang signifikan antara frekuensi mendonorkan darah dengan kadar feritin serum (r 2 = 0,082), juga ada korelasi yang signifikan antara jumlah donasi dan hemoglobin (r 2 = 0,061). Namun tidak ada korelasi yang signifikan antara hemoglobin dan kadar feritin (r 2 = 0,015). Sebelas persen dari pendonor darah mengalami deplesi cadangan besi. 2. Mittal et al. (2006) dalam penelitiannya dengan judul Evaluation of iron stores in blood donors by serum ferritin, yang mengukur feritin serum 400 orang pendonor darah yang dibagi empat kelompok berdasarkan frekuensi mendonorkan darahnya, didapatkan jumlah pendonor darah wanita dengan defisiensi besi lebih banyak daripada pendonor pria. Kadar feritin serum pendonor darah pertama lebih tinggi daripada pendonor darah berulang. Frekuensi donor yang lebih tinggi signifikan menurunkan feritin serum. 3. Djalali et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul The effect of Repeated Blood donations on the Iron Status of Iranian Blood donors attending the Iranian Blood Transfusion Organization,sebanyak 91 orang pendonor darah yang dibagi dalam 4 kelompok berdasarkan frekuensi mendonorkan darah pertahun dan 63 orang sehat sebagai kontrol. Pada penelitian tersebut didapatkan kadar hemoglobin, hematokrit dan status besi yang signifikan lebih rendah pada donor daripada kontrol dan penurunan signifikan pada status besi setiap kali donor darah. Frekuensi donor darah pertahun berhubungan terbalik dengn Hb (r= -0,67, p< 4

0,001), Hmt (r= -0,65, p< 0,001), MCHC (r= -0,56, p< 0,001), feritin serum (r= - 0,38, p< 0,001), besi serum (r= -0,62, p< 0,001) dan saturasi tansferin (r= -0,61, p< 0,001) dan berhubungan langsung dengan TIBC (r= 0,56, p< 0,001). 4. Mahida et al. (2008) dalam penelitiannya dengan judul Iron status of regular voluntary blood donors yang mengukur status besi 250 orang donor, didapatkan Hb, MCV dan MCH secara bertahap menurun sesuai peningkatan jumlah mendonorkan darah. Ada hubungan yang signifikan pada kategori mendonorkan darah 21-50 kali dan > 50 kali (P< 0,001). Anemia, defisiensi besi dan deplesi cadangan besi prevalensinya lebih sering pada kategori > 20 kali mendonorkan darah (P< 0,001). Pendonor darah wanita lebih sering defisiensi besi dan terjadi penurunan cadangan besi dibandingkan pendonor darah pria (P< 0,05). Sepengetahuan peneliti saat ini belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia khususnya di DIY yang melihat korelasi antara defisiensi besi dengan jumlah mendonorkan darah pada pendonor darah reguler. 5

Tabel 1. Daftar penelitian-penelitian sebelumnya Judul penelitian Peneliti Hasil Penelitian Mittal et al., 2006 N = 400 Evaluation of iron stores in blood donors by serum ferritin A study of serum ferritin levels among male blood donors in hospital universiti sains Malaysia The effect of repeated blood donations on the iron sttus of iranian blood donors attending the iranian blood transfusion orgnization Iron status of regular voluntary blood donors Norashikin et al., 2006 N = 211 Djalali et al., 2006 N = 154 Mahida et al., 2008 N = 250 Kadar feritin serum pendonor darah pertama lebih tinggi daripada pendonor darah berulang. Frekuensi donor yang lebih tinggi signifikan menurunkan feritin serum. kadar feritin serum signifikan lebih rendah pada pendonor darah reguler (62,0±39,78 ng/ml) dibandingkan dengan pendonor darah pertama (90,7±66,63). kadar hemoglobin, hematokrit dan status besi yang signifikan lebih rendah pada donor daripada kontrol dan penurunan signifikan pada status besi setiap kali donor darah didapatkan Hb, MCV dan MCH secara bertahap menurun sesuai peningkatan jumlah mendonorkan darah. Ada hubungan yang signifikan pada kategori mendonorkan darah 21-50 kali dan > 50 kali (P< 0,001) 6