BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dunia. Pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian diakibatkan oleh kanker. Kanker

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membuat protein, dan mengatur sensitivitas tubuh terhadap hormon

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. umum adalah 4-8 %, nodul yang ditemukan pada saat palpasi adalah %,

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. merupakan jenis kanker yang paling sering terdiagnosis pada wanita (Dizon et al.,

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian. Apendisitis akut adalah penyebab paling sering dari nyeri abdomen akut yang

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau Non-alcoholic Fatty Liver

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit membran hialin (PMH) atau dikenal juga dengan hyaline

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. banyak pada wanita dan frekuensi paling sering kedua yang menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbesar penyebab kematian antara lain kanker paru, payudara, kolorektal, prostat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker payudara merupakan diagnosis kanker yang paling sering terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan dalam masyarakat, terutama pada wanita dan usia lanjut. Walaupun penyakit ini

TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. umum disebabkan peningkatan enzim liver. Penyebab yang mendasari fatty liver

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan tugas sebagai seorang dokter, satu hal yang rutin dilakukan adalah menegakkan

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. tiroid ditemukan pada 4-8% dari populasi umum dengan pemeriksaan palpasi, 10-

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan

PERBEDAAN CARDIOTHORACIC RATIO

Aulia Rahman, S. Ked Endang Sri Wahyuni, S. Ked Nova Faradilla, S. Ked

LEMBAR PENJELASAN KUESIONER GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah kronik (Asdi, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit tromboemboli vena (TEV) termasuk didalamnya trombosis vena dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. maupun ganas atau disebut dengan kanker paru. Tumor paru dapat bersifat primer

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. penuaan (Madjid dan Suharyanto, 2009). tindakan untuk mengatasi BPH yang paling sering yaitu Transurethral

III. METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional yakni meneliti kasus BPH yang. Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012 Juli 2014.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah cross sectional

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. macam, mulai dari virus, bakteri, jamur, parasit sampai dengan obat-obatan,

BAB I PENDAHULUAN. (ureteritis), jaringan ginjal (pyelonefritis). 1. memiliki nilai kejadian yang tinggi di masyarakat, menurut laporan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut World Health Organization (WHO), obesitas adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manifestasinya dapat sangat bervariasi, mulai dari yang ringan tanpa gejala,

BAB I PENDAHULUAN. sepsis terbanyak setelah infeksi saluran nafas (Mangatas, 2004). Sedangkan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006

RINGKASAN. Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif

BAB 1 PENDAHULUAN. tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1988). bergantung sepenuhnya kepada orang lain (WHO, 2002).

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN. dari 12% pasien yang ada di rumah sakit akan terpasang kateter (Rahmawati,

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

a. Cedera akibat terbakar dan benturan b. Reaksi transfusi yang parah c. Agen nefrotoksik d. Antibiotik aminoglikosida

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi saluran kemih adalah keadaan adanya infeksi (ada pertumbuhan dan

disampaikan oleh : nurul aini

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai dimana stroke merupakan penyebab kematian ketiga yang paling

BAB 1 PENDAHULUAN. 5 15% wanita usia reproduktif pada populasi umum. rumah sakit pemerintah adalah sebagai berikut : di RSUD dr.

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Hipertensi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kondisi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat jinak (BP H) merupakan penyakit jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan pembesaran prostat jinak (BPE), keluhan traktus urinarius bawah (LUTS), dan atau obstruksi outlet kandung kemih (BOO) (Oelke et al., 2007; Briganti et al., 2009). Pembesaran prostat jinak (BPE) merupakan pembesaran prostat akibat BPH tanpa adanya karsinoma prostat. BOO merupakan obstruksi outlet kandung kemih tanpa adanya penyebab spesifik. Obstruksi prostat jinak (BPO) merupakan BOO akibat BPH. BPO biasanya berhubungan, namun tidak selalu berhubungan dengan BPE. LUTS merupakan keluhan akibat perubahan fungsi kandung kemih yang sering, namun tidak selalu mengganggu pasien sehingga memerlukan konsultasi medis. Semua kondisi tersebut, BPE, BPO, dan LUTS sering berkaitan dengan BPH (Maruschke et al., 2009). Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor tersebut berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, dengan skor 0-7 digolongkan sebagai bergejala ringan, skor 8-19 1

2 bergejala sedang, dan skor 20-35 bergejala berat (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2007; Kuo, 2008). Dari keseluruhan pasien dengan tanda-tanda histologik hiperplasia prostat jinak, sepertiga hingga separuhnya memiliki volume prostat >25ml, dan hingga 28%-nya mengalami LUTS sedang hingga berat. BOO terdeteksi pada sekitar 60% penderita BPH yang simtomatik dan pada 52% penderita asimtomatik (Oelke et al., 2007). Perubahan histologi BPH berkembang pada zone transisi dan atau pada periuretra sfinkter preprostatika. Pertumbuhan dan pembesaran noduler dapat mengakibatkan BPE, LUTS, BOO, perubahan fungsi kandung kemih, dan retensi akut atau kronik (Maruschke et al., 2009; McVary et al., 2010). Pada kasus yang berat, disfungsi kandung kemih akibat pembesaran protat dapat mengakibatkan perubahan fungsi ginjal (Maruschke et al., 2009). Keseluruhan efek sekunder BPE secara predominan mempengaruhi kandung kemih. Adanya BOO dikompensasi oleh kandung kemih dengan meningkatkan kerja otot detrusor. BOO yang menetap mengakibatkan terjadinya hipertrofi otot detrusor yang dapat terlihat dengan ultrasonografi. Obstruksi yang progresif dan dalam waktu lama dapat mengakibatkan kegagalan kandung kemih untuk mengkompensasi secara penuh obstruksi tersebut, yang mengakibatkan tidak sempurnanya pengosongan kandung kemih dan penurunan aliran urin (Mirone et al., 2007). Proses berkemih melibatkan suatu rangkaian neural yang kompleks di dalam otak dan medulla spinalis yang mengkoordinasi aktivitas otot polos

3 kandung kemih dan uretra. Pengisian kandung kemih dan penimbunan urin normal membutuhkan akomodasi terhadap peningkatan volume urin dengan tekanan intravesika yang rendah. Pengosongan kandung kemih memerlukan kontraksi otot polos kandung kemih yang terkoordinasi dengan kekuatan yang cukup (Kuei et al., 2011). Disfungsi berkemih merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu kegagalan absolut atau relatif untuk mengosongkan kandung kemih yang diakibatkan penurunan kontraktilitas kandung kemih, peningkatan tahanan outlet, atau keduanya (Wein, 2012). Pemeriksaan standar untuk menilai disfungsi berkemih meliputi uroflometri, pengukuran volume residu urin pascamiksi (PVR), serta pressure flow studies (Kuei et al., 2011). Evaluasi yang dapat menentukan BOO dengan akurat hingga saat ini hanyalah pressure flow studies. Pemeriksaan tersebut bersifat invasif, mahal, dan lama. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi kontribusi ultrasonografi dalam identifikasi pasien dengan BOO. Metode yang dilakukan meliputi pengukuran ketebalan dinding kandung kemih (BWT) dan otot detrusor (DWT), protrusi prostat intravesika (IPP), dan perkiraan berat kandung kemih dengan ultrasonografi (UEBW) ( Foo, 2010; Arnolds et al., 2009 cit. Kuei et al., 2011; dan D Ancona et al., 2012). Pengukuran DWT lebih dipilih dibandingkan BWT total karena 2 alasan, yaitu penelitian pada hewan coba memperlihatkan bahwa lapisan otot paling terpengaruh oleh perubahan tekanan dan mukosa dapat dipengaruhi oleh patologi kandung kemih lainnya sperti karsinoma atau infeksi (Bright et al., 2010). Pada

4 pemeriksaan klinis rutin, pengukuran free uroflowmetry, PVR, dan volume prostat digunakan untuk memperkirakan adanya BOO pada pasien dengan BPH (Oelke et al., 2007). Hasil penelitian Tokgöz et al. (2012) memperlihatkan bahwa PVR, DWT, volume prostat dan kandung kemih teridentifikasi sebagai faktor prediktif yang signifikan adanya BOO/LUTS. Chen et al. (2006) menyatakan bahwa derajat BOO pada laki-laki berusia lanjut dengan BPH dan LUTS berkorelasi sangat signifikan dengan volume prostat. Penelitian yang dilakukan pada hewan coba yang kandung kemihnya dilakukan obstruksi secara buatan memperlihatkan pembesaran dinding kandung kemih yang berkaitan dengan hipertrofi sel-sel otot polos, hiperplasia fibrosit, dan deposisi kolagen di dalam otot detrusor. Temuan-temuan eksperimental tersebut telah ditegaskan terjadi pula pada manusia dengan BOO ( Levin et al., 2000 cit. Oelke et al., 2007). Dinding otot detrusor dapat terlihat jelas dengan menggunakan teknologi ultrasonografi. Sebagai konsekuensinya, pengukuran DWT akhir-akhir ini telah digunakan untuk mediagnosis BOO pada penderita BPH (Kessler et al., 2006; Manieri et al., 1998). Pengukuran DWT dengan ultrasonografi merupakan metode baru untuk mendiagnosis BOO. Hipertrofi dinding kandung kemih pada binatang dan manusia dapat divisualisasikan dan diukur dengan pemeriksaan ultrasonografi (Manieri et al., 1998; Oelke et al., 2002).

5 Pengukuran DWT secara tepat memerlukan alat ultrasonografi frekuensi tinggi (7,5 MHz atau lebih) dan memiliki fitur fungsi perbesaran pada pencitraannya (Oelke et al., 2007). Perbedaan kecil DWT dapat dievaluasi dengan menggunakan alat ultrasonografi tersebut sehingga memungkinkan untuk pengklasifikasian pasien dengan tepat (Oelke et al., 2006). Penelitian yang dilakukan Oelke et al. (2002) menetapkan DWT >2mm merupakan nilai cut off untuk mendeteksi BOO. Teknik noninvasif untuk mendeteksi adanya BOO dengan menggunakan ultrasonografi berupa pengukuran BWT dan DWT memiliki beberapa keuntungan karena merupakan teknik yang benar-benar noninvasif, mudah dilakukan oleh pemeriksa, dapat dikerjakan dalam waktu singkat, dan murah (Valentini et al.,2011). Pada kenyataannya aspek teknis memainkan peran utama dalam pengukuran BWT dan DWT secara akurat karena fungsi perbesaran pencitraan USG sebagai salah satu persyaratan pengukuran tidak tersedia pada kebanyakan peralatan USG yang ada (Gratzke dan Reich, 2007). Pengukuran DWT menggunakan ultrasonografi bersifat operator dependent, namun telah diperlihatkan pengukuran tersebut akurat, dapat dipercaya, cepat, dan sederhana. Pengukuran tebal dinding kandung kemih atau DWT biasanya dikerjakan dalam waktu kurang dari dua menit dengan variabilitas intrapengamat 5,1% dan variabilitas interpengamat 4-12,3% (Manieri et al., 1998; Kessler et al., 2006). Oelke et al. (2007) meneliti akurasi diagnostik pemeriksaan noninvasif untuk mengevaluasi BOO pada laki-laki, meliputi pengukuran DWT, uroflometri,

6 PVR, dan volume prostat. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa akurasi diagnostik penilaian BOO dengan pengukuran DWT lebih baik dibandingkan dengan pengukuran Qmax dan Qave pada urofometri, PVR, atau volume prostat. Deteksi BOO dengan pengukuran DWT hampir seakurat pressure flow studies yang merupakan pemeriksaan baku emas. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa akurasi DWT dalam mendeteksi BOO 89%, sedangkan akurasi PVR dalam mendeteksi BOO sebesar 56%. Keadaan residu urin yang menetap menunjukkan adanya kelemahan kontraksi otot detrusor relatif terhadap outlet kandung kemih. Pada laki-laki dengan BPE, keadaan tersebut biasanya menunjukkan bahwa otot detrusor tidak lagi dapat menghasilkan peningkatan tekanan berkemih yang cukup untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya akibat BOO (Maruschke et al., 2009). Proses berkemih normal membutuhkan relaksasi otot detrusor pada saat penimbunan urin, serta kontraksi selama proses berkemih untuk mengatasi tahanan outlet kandung kemih, yang dalam hal ini prostat dan leher kandung kemih (Andersson dan Arner, 2004). Hiperplasia prostat jinak yang diikuti BPE secara anatomi dapat mengakibatkan BOO statis (Sarma dan Wei, 2012). Residu urin pascamiksi pada laki-laki merupakan suatu masalah urologi yang kompleks dan merupakan komplikasi BOO yang sering terjadi akibat BPH (May et al., 2009). Pemeriksaan uroflometri dan PVR merupakan pemeriksaan sederhana yang digunakan untuk mendeteksi adanya BOO, walaupun keduanya tidak dapat memberikan diagnosis definitif (Nitti, 2005). Berbagai asosiasi ahli urologi

7 termasuk Asosiasi Urologi Kanada dalam panduan penatalaksanaan BPH tahun 2010 merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai salah satu metode evaluasi pasien dengan BPH (Nickel et al., 2010). PVR yang signifikan merupakan manifestasi BPH yang sering dijumpai (Amole et al., 2004). Penentuan PVR merupakan faktor penting untuk mendiagnosis disfungsi berkemih dan untuk membuat keputusan terkait pilihan penatalaksanaan pasien BPH. Kateterisasi uretra merupakan baku emas untuk mengukur PVR, namun pengukuran dengan ultrasonografi lebih mudah dilakukan, serta telah dilaporkan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam memperkirakan PVR (Özden, 2006). B. Perumusan Masalah 1. BPH dapat mengakibatkan keadaan BPE, LUTS, dan atau BOO. 2. Ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai beberapa parameter yang digunakan untuk menentukan adanya BOO, meliputi pengukuran volume prostat, DWT, BWT, IPP, dan PVR. 3. Deteksi BOO dengan pengukuran DWT hampir seakurat pressure flow studies yang merupakan pemeriksaan baku emas. 4. Fungsi perbesaran pencitraan USG sebagai salah satu persyaratan pengukuran DWT tidak tersedia pada kebanyakan peralatan USG yang tersedia. 5. Panduan penatalaksanaan BPH yang dikeluarkan berbagai asosiasi ahli urologi masih merekomendasikan pengukuran PVR sebagai salah satu metode evaluasi untuk mengarahkan dan menentukan adanya obstruksi.

8 C. Pertanyaan Penelitian Adakah korelasi antara ketebalan otot detrusor dan volume residu urin pascamiksi pada penderita pembesaran prostat jinak? D. Keaslian Penelitian Penelitian untuk mengetahui korelasi antara ketebalan otot detrusor dan volume residu urin pascamiksi pada penderita pembesaran prostat jinak sejauh pengetahuan dan penelusuran peneliti belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUP Dr. Sardjito. Beberapa penelitian terkait pembesaran prostat jinak, BOO, DWT, dan PVR yang dijadikan acuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti (Tahun) Ʃ Subyek Desain Topik Hasil Oelke et al. (2007) 160 Penelitian prospektif Ko et al. (2010) 309 Tidak disebutkan dengan jelas Tokgöz et al. (2012) 243 Penelitian prospektif, terkontrol Perbandingan akurasi diagnostik DWT, uroflometri, PVR, dan volume prostat dengan pressure flow studies untuk mendeteksi BOO pada laki-laki Penelitian nilai prediktif PVR terhadap kejadian klinis terkait BPH Pengukuran nilai diagnostik DWT, PVR, dan volume prostat pada laki-laki dengan LUTS Pengukuran DWT dapat mendeteksi BOO secara lebih baik dibandingkan uroflometri, PVR, atau volume prostat. Pengukuran DWT dapat digunakan untuk menentukan adanya BOO secara noninvasif pada klinis rutin. Peningkatan PVR pada evaluasi awal populasi Korea yang simptomatik merupakan indikator signifikan kejadian klinis terkait BPH, bersamaan dengan peningkatan skor gejala atau volume prostat Pengukuran DWT, PVR, volume kandung kemih dan prostat dengan ultrasonografi merupakan alat diagnostik yang menjanjikan untuk mendiagnosis LUTS atau BOO pada laki-laki

9 E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara ketebalan otot detrusor dan volume residu urin pascamiksi pada penderita pembesaran prostat jinak. F. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini dapat memperjelas peran pengukuran PVR dengan pemeriksaan USG untuk mengetahui adanya BOO pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. 2. Penelitian ini dapat mengembangkan wawasan peneliti tentang pemeriksaan ultrasonografi transabdominal untuk mendeteksi kemungkinan adanya obstruksi outlet kandung kemih pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. 3. Jika terdapat korelasi positif antara DWT dan PVR pada penderita pembesaran prostat jinak, pemeriksaan DWT dan PVR diharapkan dapat diusulkan penerapannya sebagai prosedur pemeriksan rutin bagi pasien dengan pembesaran prostat jinak yang menjalani pemeriksaan USG urologi/abdomen bawah di RSUP Dr. Sardjito. 4. Penelitian ini bermanfaat bagi institusi pendidikan untuk melatih cara berpikir dan melakukan penelitian yang benar. 5. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pelayanan radiologi diagnostik dalam memeriksa pasien dengan pembesaran prostat jinak menggunakan modalitas ultrasonografi.