BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III DESKRIPSI PROYEK

2015 STASIUN TRANSIT MONORELBERBASIS SISTEMTRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT

BAB IV KONSEP. 4.1 Ide Awal

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN

BAB VI KONSEP PERENCANAAN

BAB V HASIL RANCANGAN

BAB V HASIL RANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB VI HASIL RANCANGAN. Perancangan Kembali Citra Muslim Fashion Center di Kota Malang ini

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

5. HASIL RANCANGAN. Gambar 47 Perspektif Mata Burung

BAB IV KONSEP. Gambar 25 Konsep Hub

BAB V KONSEP PERANCANGAN. menggunakan dinding yang sifatnya masif.

BAB V. KONSEP PERANCANGAN

BAB VI HASIL RANCANGAN. terdapat pada Bab IV dan Bab V yaitu, manusia sebagai pelaku, Stadion Raya

Terminal Antarmoda Monorel Busway di Jakarta PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN TERMINAL ANTARMODA

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY

BAB III: DATA DAN ANALISA

Kondisi eksisting bangunan lama Pasar Tanjung, sudah banyak mengalami. kerusakan. Tatanan ruang pada pasar juga kurang tertata rapi dan tidak teratur


BAB V KONSEP. Gambar 5. 1 Konsep Dasar. Sumber: dokumentasi pribadi, 2015

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAGIAN 3 HASIL RANCANGAN DAN PEMBUKTIANNYA

BAB VI HASIL PERANCANGAN. apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis

BAB V HASIL RANCANGAN

BAB VI HASIL RANCANGAN. wadah untuk menyimpan serta mendokumentasikan alat-alat permainan, musik,

BAB VI HASIL RANCANGAN. Redesain terminal Arjosari Malang ini memiliki batasan-batasan

[STASIUN TELEVISI SWASTA DI JAKARTA]

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Perencanaan dasar pengunaan lahan pada tapak memiliki aturanaturan dan kriteria sebagai berikut :

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB V KONSEP. V.1 Konsep Perencanaan dan Perancangan. Konsep desain untuk fungsi M al dan Apartemen ini mencoba menampung kegiatankegiatan

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. adalah High-Tech Of Wood. Konsep High-Tech Of Wood ini memiliki pengertian

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

PENGEMBANGAN STASIUN KERETA API PEMALANG DI KABUPATEN PEMALANG

BAB V KONSEP DAN RANCANGAN RUANG PUBLIK (RUANG TERBUKA)

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN BANGUNAN

4.1 IDE AWAL / CONSEPTUAL IDEAS

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB IV: KONSEP Konsep Bangunan Terhadap Tema.

BAB VI HASIL RANCANGAN. Hasil rancangan adalah output dari semua proses dalam bab sebelumnya

BAB 5 HASIL RANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Konsep dasar perancangan beranjak dari hasil analisis bab sebelumnya yang

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. a. Aksesibilitas d. View g. Vegetasi

BAB V KONSEP PERANCANGAN PASAR. event FESTIVAL. dll. seni pertunjukan

Transformasi pada objek

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III: DATA DAN ANALISA

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2)

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP. Gambar 5.1: Kesimpulan Analisa Pencapaian Pejalan Kaki

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru.

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP 5.1 Konsep Tata Ruang Luar Gambar 5.1 Skema Site Plan

BAB VI HASIL RANCANGAN. mengacu pada tema dasar yaitu high-tech architecture, dengan tujuh prinsip tema

STASIUN INTERCHANGE MASS RAPID TRANSIT BLOK M DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR BIOKLIMATIK DI JAKARTA

RENCANA TAPAK. Gambar 5.1 Rencana tapak

BAB IV: KONSEP Konsep Dasar. 1. Transit Hub

BAB 6 HASIL RANCANGAN. Perubahan Konsep Tapak pada Hasil Rancangan. bab sebelumnya didasarkan pada sebuah tema arsitektur organik yang menerapkan

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V. KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

Pelabuhan Teluk Bayur

BAB V KONSEP PERANCANGAN. 5.1 Konsep Utama: Optimalisasi Lahan dengan Pengembangan Elemen Pembatas Sarana

BAB VI HASIL PERANCANGAN

BAB V DESKRIPSI HASIL RANCANGAN

BAB V KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEDERHANA BERTINGKAT TINGGI

BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Bambang Herawan ( ) Universitas Sumatera Utara

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Dalegan di Gresik ini adalah difraksi (kelenturan). Konsep tersebut berawal dari

BAB III METODE PERANCANGAN. dalam mengembangkan ide sebuah rancangan. Langkah-langkah ini meliputi

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 5 HASIL PERANCANGAN

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. aktivitas sehari-hari. mengurangi kerusakan lingkungan.

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

LOKASI Lokasi berada di Jl. Stasiun Kota 9, dan di Jl. Semut Kali, Bongkaran, Pabean Cantikan.

Bab V Konsep Perancangan

Dengan efisiensi penggunaan energi melalui desain pasif dan optimalisasi energi terbarukan melalui pemanfaatan tenaga surya. BAB 4 RANCANGAN SKEMATIK

S K R I P S I & T U G A S A K H I R 6 6

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI HASIL RANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BANDUNG EXHIBITION HALL STUDIO PERANCANGAN TUGAS AKHIR TEMA : BANGUNAN BENTANG LEBAR. Hall A sifatnya publik dipakai untuk event pameran indor

KAWASAN TERPADU STASIUN PASAR SENEN

BAB 6 HASIL PERANCANGAN. konsep Hibridisasi arsitektur candi zaman Isana sampai Rajasa, adalah candi jawa

BAB V KONSEP PERANCANGAN CENGKARENG OFFICE PARK KONSEP DASAR PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Perancangan Apartemen Sewa untuk Keluarga Baru (ASKB) ini

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pemikiran yang melandasi perancangan dari proyek Mixed-use Building

Transkripsi:

58 BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Konsep Dasar Konsep dasar yang digunakan pada perencanaan dan perancangan bangunan Stasiun Transit Monorel ini yaitu menggunakan konsep turunan dari tema Transit Oriented Development (T.O.D) yaitu sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab interpretasi tema. Gambar 5. 1 Permasalahan Tapak

59 Konsep dasar yang digunakan merupakan bentuk dari respon terhadap permasalahan yang muncul pada tapak dengan mensintesiskan nilai-nilai dari sistem T.O.D. Permasalahan yang akan direspon merupakan hasil studi pengamatan yang dilakukan penulis pada tapak. Permasalahan permasalahan tersebut yaitu : a. Pejalan Kaki Menyebrang di Sembarang Tempat Gambar 5. 2 Foto Penyebrangan yang Tidak Beraturan Bandung Indah Plaza (BIP) Mall merupakan pusat komersial pada kawasan dan menjadi magnet yang mampu menarik pergerakan masyarkat dengan jumlah yang besar. Titik magnet kedua yaitu Toko Buku Gramedia yang berada disebrang BIP Mall. Dua titik komersial ini akan mempengaruhi dari arah alur pergerakan masyarakat pada kawasan. Dampak yang terjadi karena dua titik tersebut berada pada posisi bersebrangan yang dibatasi oleh Jl. Merdeka yaitu pergerakan masyarakat cenderung terjadi melewati Jl. Merdeka (lihat gambar 5.2). Kurangnya infrastruktur yang mendukung pergerakan masyarakat ini akan dua titik magnet komersial mengakibatkan perpotongan sirkulasi antara sirkulasi pejalan kaki dan sirkulasi kendaraan bermotor sehingga kerap terjadi kemecetan pada tapak yang merugikan banyak aspek. b. Tidak Adanya Tempat Khusus Pemberhentian Angkutan Kota (Angkot)

60 Tidak adanya tempat khusus tempat angkot berhenti ketika menaikan atau menurunkan penumpang memberikan dampak yang besar bagi laju sirkulasi pada tapak. Angkutan Kota tersebut akan berhenti disembarang tempat bahkan tidak menepi terlebih dahulu sehingga membuat kendaraan bermotor lain akan terhenti (lihat gambar 5.3). Jika semakin banyak angkutan kota tersebut yang berhenti disembarang tempat, maka kemacetan dengan intensitas tinggi terjadi dengan membawa banyak permasalahan lainnya. Gambar 5. 3 Foto Pemberhentian Angkot Tidak Beraturan c. Jalur Pejalan Kaki Tidak Aman dan Nyaman

61 Gambar 5. 4 Foto Pedestrian Eksisting Salah satu penyebab pejalan kaki tidak menggunakan jalur pejalan kaki sebagaimana mestinya yaitu tidak adanya infrastruktur yang mendukung dan menghubungkan kedua titik magnet komersial pada Jl. Merdeka. Mereka cenderung penggunakan jalur kendaraan bermotor supaya lebih mudah menyebrang jalan. Selain itu, kondisi pedestrian yang terlau sempit dan penuh dengan elemen furnitur eksterior mempengaruhi psikologi pejalan kaki untuk tidak menggunakan jalur pedestrian karena merasa tidak aman dan nyaman. d. Ruang Parkir Berada di Depan Bangunan

62 Gambar 5. 5 Foto Contoh Area Parkir Depan Bangunan Ruang parkir bangunan komersial disepanjang Jl. Merdeka berada di muka bangunan. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem Transit Oriented Development (T.O.D) yang akan diciptakan pada kawasan. Ruang parkir di muka bangunan akan mengurangi tingkat keindahan visual bangunan tersebut. Selain itu, keberadaan kantung parkir di depan bangunan akan membuat banyak sirkulasi kendaraan bermotor dan memotong sirkulasi pejalan kaki. Dengan begitu, jalur jalur pedestrian yang ada akan menjadi tidak aman dan tidak nyaman karena tercampur dengan sirkulasi kendaraan bermotor. e. Jalan Memiliki Lebar 14 m sehingga akan Membuat Ruang Gelap ketika Massa Bangunan diletakan diatas Jalan.

63 Gambar 5. 6 Foto Jalan Merdeka dari Jembatan Penyebrangan Rencana massa stasiun transit monorel yang telah direncanakan oleh Dinas Perhubungan terletak diatas Jl. Merdeka. Dengan mengikuti rencana dari Dinas Perhubungan tersebut, kemungkinan besar ruang tercipta dibawah massa stasiun transit tersebut akan memiliki intensitas cahaya yang minim. Hal ini akan berdampak pada suasana Jl. Merdeka dibawah massa stasiun tersebut akan mencekam dan berdampak pada psikologi masyarakat yang menggunakan jalan tersebut. Selain itu ruang gelap tersebut akan memicu terjadinya permasalahan sosial seperti menjadi area yang disalahgunakan oleh PKL dan tuna wisma. f. Jalan Memiliki Lebar 14 m yang Membuat Lebar Massa Bangunan Terbatas. Massa bangunan monorel yang diletakan diatas jalan memiliki bentuk massa yang cenderung mengikuti bentuk jalan dibawahnya yaitu memanjang dengan lebar sesuai dengan lebar jalan. Aktivitas yang akan ditampung pada bangunan

64 diperkirakan akan terbatas. Oleh karena itu lah, lebar jalan yang tidak terlalu besar akan mempengaruhi skala aktivitas yang akan terjadi pada bangunan tersebut. g. Tidak Adanya Ruang Publik Dengan adanya 2 titik magnet komersial dan berbagai macam fungsi yang cukup mempengaruhi pergerakan masyarakat, kawasan sekitar Bandung Indah Plaza (BIP) memiliki pergerakan aktivitas yang tinggi. Pergerakan aktivitas yang tinggi tersebut seharusnya berbanding lurus dengan adanya ruang-ruang publik yang mampu menampung sementara aktivitas kawasan yang padat. Dampak dari tidak terpenuhinya ruang-ruang publik tersebut yaitu masyarakat akan cenderung menumpuk di sembarang titik yang akan mengganggu sirkulasi kendaraan maupun sirkulasi pejalan kaki. Gambar 5. 7 Foto Car Free Day Jalan Merdeka (Sumber : http://pbs.twimg.com/media/b3fefrdcaaarqq5.jpg:large tahun 2015)

65 Jl. Merdeka merupakan salah satu jalan yang memiliki peraturan Car Free Day (CFD) pada akhir pekan. Masyarakat dari berbagai penjuru kota cendrung berkumpul hanya untuk berolahraga atau berkumpul bersama dengan komunitas mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya ruang-ruang publik pada kawasan tersebut yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan aktivitas yang ringan ataupun sekedar hanya untuk berkumpul dengan komunitas mereka. Gambar 5. 8 Respon Permasalahan

66 Setelah melakukan analisis permasalahan dan menentukan respon yang memungkinkan diterapkan pada desain, penulis membuat diagram sederhana tentang hubungan permasalahan, tema yang diangkat dan tanggapan dari permasalahan sehingga mempermudah penulis untuk melakukan analisis selanjutnya mengenai konsep dasar proyek perancangan ini. Diagram 5. 1 Diagram Sintesis

67 Berdasarkan permasalahan yang telah ditemukan pada tapak, konsep dasar dari perencanaan dan perancangan stasiun transit monorel berbasis Transit Oriented Development yaitu : a. Bangunan dikelilingi ruang publik. Ruang Publik tersebut merupakan ruang yang mampu menampung pertemuan pergerakan masyarakat dari berbagai arah dan terletak diatas Jl. Merdeka. Kaidah perancangan taman ini mengikuti sifat-sifat dari ruang publik yang telah dikaji pada Bab II mengenai studi literatur secara umum mengenai proyek bangunan. Gambar 5. 9 Bangunan Disekitar Ruang Publik b. Perubahan sifat jalan Merdeka menjadi subway. Jalan Merdeka akan diturun kan setinggi 6 m (angka ini diambil berdasarkan standar ketinggian maksimal jenis kendaraan bermotor yang lewat pada Jalan Merdeka) untuk membuat sirkulasi pedestrian steril dan aman dari sirkulasi kendaraan bermotor. Dengan begitu, diharapkan pengguna merasa aman dan nyaman ketika beraktivitas pada kawasan.

68 Gambar 5. 10 Penurunan Jalan Merdeka c. Stasiun Transit Monorel tidak hanya berfungsi sebagai titik tempat pengguna monorel transit (naik dan turun dari/ke satu titik), tetapi berfungsi sebagai ruang publik yang mampu menampung aktivitas tinggi masyarakat dan sebagai infrastruktur penyebrangan jalan yang mampu memenuhi kebutuhan akan pergerakan masyarakat diantara 2 titik magnet komersial. Ruang ini memiliki sifat jalur penyebrangan kontinyu yang menghubungkan setiap fungsi komersial di Jalan Merdeka. Gambar 5. 11 Konsep Jalur Penyebrangan Kontinyu

69 d. Menyediakan area khusus pada Stasiun Transit Monorel untuk angkutan Kota dan jenis transportasi publik lainnya berhenti ketika menaikan dan menurunkan penumpang. Area pemberhentian ini memiliki shelter tempat calon penumpang angkutan kota dan bus kota menunggu. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kemacetan yang dikibatkan angkutan kota yang berhenti disembarang tempat dan untuk memenuhi kebutuhan pengguna monorel ketika hendak berganti jenis moda transportasi publik lainnya atau sebaliknya. Gambar 5. 12 Area Pemberhentian Angkot e. Ruang kantung parkir muka bangunan di sepanjang Jalan Merdeka menghilang karena ruang di atas Jalan Merdeka diperuntukan untuk pedestrian sepenuhnya sehingga sirkulasi kendaraan berada pada Subway Jalan Merdeka. Dikarenakan Jalan Merdeka menjadi subway dan secara otomatis, kantung parkir muka bangunan pindah menjadi disepanjang subway Jalan Merdeka.

70 f. Bangunan Stasiun Transit Monorel menjadi pusat penentuan jarak skala manusia diantara 2 magnet komersial. Jarak bangunan terhadap 2 persimpangan yaitu 100 m dan 200 m. Telah diketahui bahwa ada batasan jarak maksimal (±400 m) untuk pejalan kaki mengakses dari satu titik ke titik lainnya. Oleh karena itu, pada kawasan ini setiap 100 m disediakan tempat dimana para pejalan kaki dapat beristirahat sejenak sebelum mereka melanjutkan ke titik selanjutnya. g. Dengan membuat ruang steril dari sirkulasi kendaraan bermotor, ruang publik ini setiap hari menjadi bebas mobil dan motor atau dengan kata lain Every day is car free day. Event Car Free Day setiap hari minggu dapat dihilangkan dan masyarakat dapat berkumpul dengan komunitasnya ataupun hanya sekedar menikmati ruang publik setiap hari. Dengan begitu diharapkan masyarakat dapat meningkatkan kreatifitas dan kebersamaannya serta mengurangi tingkat stresnya setiap hari. h. Bangunan memiliki sifat terbuka dan transparan untuk membuat massa bangunan seolah-olah tidak terlalu massif. Selain untuk membuat bangunan seolah-olah menjadi tidak terlau massif, tujuan membuat terbuka dan transparan dibeberapa bagian bangunan yaitu supaya bagian bawah jalan yang menjadi seperti terowongan lebih dari 30 meter tidak terlalu gelap karena cahaya sinar matahari yang masuk melewati bagian terbuka dan transparan tersebut. Transparansi dan keterbukaan akan membuat bangunan seolah-olah menjadi vista yang membingkai pemandangan kota disekitarnya. 5.2 Konsep Perencanaan Tapak Rencana awal pada tapak yaitu membuat pelebaran jalan sesuai dengan ROW RDTK Daerah Cibeunying dari 14 m menjadi 20 m. Pelebaran ini memberi dampak yang signifikan mengenai perencanaan kawasan selanjutnya. Bangunan di sekitar Jalan Merdeka akan semakin mundur menjauhi jalan menyesuaikan dengan rencana lebar jalan. Fungsi lain dari pelebaran jalan tersebut yaitu untuk

71 memberikan ruang di antara bangunan Stasiun Transit Monorel dengan bangunan di sekitar menjadi lebih nyaman ditinjau dari aspek pencahayaan alami dan aspek termal. Jika pelebaran tidak dilakukan, maka jarak yang tercipta antara Stasiun Monorel dengan bangunan sekitar tidak sesuai dengan standar jarak antar bangunan. Hal tersebut akan berdampak pada visual kawasan yang menjadi seolah-olah terasa penuh sesak dan tidak nyaman bagi visual pejalan kaki. Gambar 5. 13 Konsep Pelebaran Jalan Setelah pelebaran jalan dilakukan, rencana selanjutnya yaitu membuat jarak antara bangunan sekitar dengan Jalan Merdeka sebesar ±20 m. Inti tema Transit Oriented Development yaitu bagaimana para pejalan kaki nyaman dan aman

72 beraktivitas pada kawasan. Dengan membuat jarak sebesar 20 m antara bangunan sekitar dengan jalan, kawasan memiliki potensi untuk membuat jalur pedestrian yang lebar dan nyaman bagi pejalan kaki karena steril dari sirkulasi kendaraan bermotor dan ruang jalur pedestrian yang besar. Jalur pedestrian yang lebar akan mampu menampung aktivitas komersial masyarakat yang tinggi pada kawasan karena jalur pedestrian tersebut dapat berfungsi sebagai ruang publik pula. Jalur pedestrian yang lebar berpotensi pula untuk diolah secara lansekap dan menjadi ruang publik yang menarik bagi kawasan sehingga memenuhi kebutuhan pejalan kaki ketika hendak melakukan aktivitas komersial pada kawasan. Gambar 5. 14 Ukuran Ruang Publik Dengan membuat Jalan Merdeka menjadi subway, ruang diatas jalan menjadi ruang publik khusus pedestrian. Tinggi Jalan Merdeka yang pada sub-bab sebelumnya telah dibahas yaitu 6 m membuat panjang ruang publik terpotong pada utara dan selatan sebagai ruang turunan (ramp) menuju subway Jalan Merdeka sehingga menyisakan panjang 235 m dan lebar 20 m. Ukuran tersebut merupakan ukuran bersih dari ruang publik yang tercipta.

73 Penempatan massa bangunan pada kawasan merupakan respon dari analisis pergerakan masyarakat yang terjadi diantara dua titik magnet komersial pada kawasan dan titik kemacetan terbesar pada kawasan akibat dari perpotongan sirkulasi pejalan kaki dan kendaraan bermotor. Ide utama penempatan massa yaitu fungsi bangunan selain menjadi titik transit pengguna monorel tetapi dapat menjadi infrastruktur yang menjawab kebutuhan penyebrang jalan supaya aman dan nyaman (lihat gambar 5.14). Masyarakat akan bergerak dari titik magnet ke satu kemudian berkumpul di atas tengah jalan, kemudian berdiam sejenak di ruang publik sebelum menentukan destinasi selanjutnya apakah lanjut menyebrang jalan atau menggunakan kereta monorel. Oleh karena itu lah massa diletakan di tengah-tengah jalur pergerakan masyarakat yang tinggi dari Bandung Indah Plaza (BIP) ke Toko Buku Gramedia. Gambar 5. 15 Konsep Peletakan Masa Bangunan Setelah massa bangunan ditentukan pada kawasan, pemintakatan horizontal pada kawasan dapat dilakukan. Pembagian zonasi ruang pada tapak meliputi bagian pusat kawasan yaitu bangunan staisun transit monorel dan ruang publik

74 semi-outdoor yang berada dibawah bangunan. Pada Area masuk dan keluar tapak hanya terdapat jalur pedestrian yang akan mengarah langsung pada ruang publik utama dan ramp menuju atau dari subway Jalan Merdeka. Area sebelum memasuki bangunan pada tapak memiliki plaza dan ruang publik penerima. Perbandingan antara luas plaza dan ruang publik utara dengan selatan yaitu 2:3 menyesuaikan dengan peletakan massa bangunan yang cenderung lebih ke arah utara. Gambar 5. 16 Konsep Pemintakatan Tapak Area yang dialokasikan untuk ruang publik berada diantara subway Jalan Merdeka dan Bangunan Stasiun Monorel, plaza utara tapak dan plaza selatan tapak. Pengalokasian area untuk ruang publik tersebut dilakukan berdasarkan respon dari analisis fungsi bangunan sekitar sehingga dapat diketahui area mana pada kawasan yang memiliki aktivitas komersial yang tinggi. Area pada kawasan yang memiliki potensi tinggi untuk menciptakan pergerakan aktivitas yang tinggi pula terjadi pada ruang-ruang diantara Bandung Indah Plaza (BIP), Toko Buku Gramedia, dan Apartemen La Grande Merdeka.

75 Gambar 5. 17 Konsep Jalur Pedestrian Sistem jalur pedestrian pada tapak berawal dari jalur pedestrian di samping area masuk dan keluar subway Jalan Merdeka yang langsung mengarahkan pengguna pada ruang publik. Jalur pedestrian yang ada pada ruang publik memiliki simpul-simpul (nodes) sebagai titik temu berkumpulnya masyarakat dari berbagai arah pada tapak. Sirkulasi pedestrian ditandai dengan garis putus-putus berwarna merah pada gambar 5.17 dan simpul-simpul pertemuan ditandai dengan lingkaran transparan berwarna merah. Penentuan jalur sirkulasi pedestrian dilakukan berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai fungsi bangunan sekitar yang memiliki potensi untuk menjadi magnet bagi masyarakat. Titik-titik bangunan komersial yang berpotensi menjadi magnet dan terletak berseberangan kemudian saling dihubungkan untuk menciptakan kemungkinan pergerakan masyarakat dari satu sisi ke sisi lainnya. Pergerakan tersebut kemudian menjadi jalur pedestrian yang ditandai dengan lubang-lubang pada lantai ruang publik yang berfungsi signage pengarah dan juga sebagai sumber cahaya bagi subway Jalan Merdeka. Berdasarkan respon dari permasalahan yang telah dianalisis, area subway memiliki fungsi-fungsi seperti pembagian jalur-jalur berdasarkan jenis moda transportasi yang melewati subway, area pemberhentian angkot, area pemberhentian bus kota, parkir kendaraan bermotor pribadi motor dan mobil, jalur khusus memasuki basemen BIP, dan akses sirkulasi vertikal yang terhubung dengan jalur pedestrian di ruang publik lantai atas. Angkutan umm yang diwadahi

76 oleh fungsi tambahan ini yaitu angkutan kota trayek Abdul Muis (Kebon Kalapa)- Ledeng, Margahayu-Ledeng, Dago-St.Hall, Kalapa-Dago, dan Bus Kota dengan trayek Dipatiukur-Leuwipanjang. Gambar 5. 18 Pemintakatan Area Subway Jalur angkot dialokasikan pada Jalan Merdeka paling sebelah kiri dan ditandai dengan garis putus-putus berwarna hijau pada gambar 5.18. Jalur paling kiri dipilih untuk angkot dikarenakan kebutuhan angkot untuk menurunkan penumpang menggunakan pintu sebelah kiri angkot. Berbeda dengan kendaraan angkot, pengguna kendaraan pribadi lebih fleksibel untuk turun dari sebelah kiri atau sebelah kanan kendaraan sehingga untuk jalur kendaraan bermotor pribadi dipilih jalur yang paling kanan dari Jalan Merdeka. Jalur kendaraan bermotor pribadi ditandai dengan garis putus-putus berwarna merah pada gambar. Sedangkan untuk jalur bus kota, jalur yang dipilih berada diantara jalur angkot dan jalur kendaraan bermotor pribadi. Jalur tersebut dipilih berdasarkan kebutuhan bus kota untuk menepi sehingga tidak terlalu vital untuk memotong jalur moda transportasi yang lain. Selain itu, perbandingan frekuensi transportasi bus kota dengan moda transportasi yang lain lebih kecil sehingga mempengaruhi pemilihan jalur dan besaran jalur. Jalur ditandai dengan garis biru putus-putus pada gambar. Berdasarkan penentuan jalur yang telah dilakukan, fungsi-fungsi pendukung dari kebutuhan masing-masing jalur diletakan sesuai dengan posisi

77 jalurnya. Fungsi-fungsi pendukung yang dimaksud yaitu area pemberhentian angkot, area pemberhentian bus, area parkir mobil, area parkir motor, dan jalur memasuki area basemen BIP. Selain itu, terdapat fungsi penunjang seperti area utilitas ME dan area jalur pedestrian. Area pemberhentian angkot ditandai dengan nomor 3 pada gambar 5.18. Area pemberhentian angkot dilengkap dengan shelter tempat penumpang menunggu sehingga sistem yang terbentuk pada area ini meminimalisasi angkot untuk berhenti menunggu penumpang (ngetem) karena penumpang telah berkumpul pada shelter tersebut. Area pemberhentian bus kota ditandai dengan nomor 4. Kapasitas area ini diambil berdasarkan perbandingan frekuensi bus kota dan angkot yang melewati Jalan Merdeka. Frekuensi bus kota lebih kecil dibandingkan angkot sehingga kapasitas pemberhentian bus kota lebih kecil dibandingkan dengan area pemberhentian angkot. Area parkir mobil ditandai dengan nomor 1 dengan letak sebelah kanan Jalan Merdeka menyesuaikan dengan jalur kendaraan bermotor pribadi. Sama halnya dengan alasan area parkir mobil, area parkir sepeda motor terletak disebelah kanan bagian selatan Jalan Merdeka ditandai dengan nomor 2. Jalur pedestrian ditandai dengan nomor 5 dan tehubung langsung dengan tangga (ditandai dengan nomor 6) menuju ruang publik di atas Jalan Merdeka. 5.3 Konsep Perancangan Bangunan Gambar 5. 19 Konsep Peletakan Masa dan Ukuran Masa

78 Konsep perancangan bangunan bermula dari mengolah massa yang telah ditempatkan pada tapak berdasarkan perencanaan tapak sebelumnya. Massa bangunan Stasiun Transit Monorel memiliki tipikal memanjang mengikuti lebar dan orientasi jalan. Massa bangunan yang dirancang yaitu berukuran lebar 18 m (mengikuti sesuai denga lebar jalan) dan panjang 60 m (lihat gambar 5.19). Panjang sebesar 60 m ditentukan berdasarkan respon dari ukuran panjang kereta monorel berdasarkan ketentuan dari Dinas Perhubungan yaitu 30 m. Peron akan memiliki panjang minimal 30 m supaya pengguna dapat mengakses kereta monorel secara keseluruhan. Dengan membuat panjang massa Stasiun Monorel 60 m, panjang peron akan berukuran panjang ±60 m pula dan hal tersebut akan memberikan keleluasaan pada pengguna ketika hendak mengakses 2 kereta monorel yang datang secara bersamaan. Gambar 5. 20 Masa Bangunan Jalan Merdeka diapit oleh banya bangunan yang relatif tinggi disekitarnya. Hal itu akan membuat Jalan Merdeka menjadi seolah-olah lorong angin yang mengarahkan laju angin menerus ke satu arah. Angin yang melaju melalui lorong angin tersebut akan memiliki kecepatan yang cenderung tinggi sehingga faktor angin ini merupakan salah satu faktor penting untuk direspon untuk menghindari

79 permasalah kekuatan bangunan ketika telah terbangun. Massa bangunan yang pada awalya berbentuk persegi panjang dengan sisi terpanjang yang kaku, kemudian sisi terpanjang tersebut berubah menjadi lebih lengkung (lihat gambar 5.21) dan bersifat fleksibel menghadapi laju angin yang tinggi setelah merespon faktor angin. Gambar 5. 21 Respon Masa Terhadap Jalur Angin Ide utama dari pengolahan massa yaitu membuat bangunan memiliki sifat ruang publik dan keterbukaan yang tinggi dengan cara membuat massa yang berbeda antara atap bangunan dengan lantai bangunan. Bangunan seolah-olah hanya ruang publik yang terbuka tanpa terikat dengan atap apapun. Hal tersebut akan berdampak pada massa yang terlihat menjadi tidak terlalu massif karena atap seolah-olah terpisah dan terangkat diatas bangunan. Pemisahan massa ini pula dilakukan untuk menanggapi lebar jalan yang besar dan kebutuhan ruang pada bangunan dengan jumlah kolom yang seminimal mungkin untuk mendukung kecepatan pergerakan penumpang. Dengan massa yang terpisah, atap dapat dibuat dengan sistem struktur tersendiri yang menanggapi lebar jalan yang besar dan kolom yang sedikit.

80 Gambar 5. 22 Konsep Sistem Penutup Bangunan

81 5.4 Konsep Modul Perancangan Gambar 5. 23 Rencana Modul Bangunan Bangunan memiliki modul perancangan 12 m x 21,5 m (sesuai dengan lebar jalan yang dapat dimanfaatkan). Pemilihan angka modul ini dipengaruhi oleh sistem struktur yang dipakai dan teknologi material seperti apa yang akan diterapkan pada bangunan. Angka 12 m dipilih disebabkan oleh pertimbangan penggunaan sistem struktur lantai (slab system) dengan jenis Ribbed Slabs dengan material beton. Sistem tersebut memiliki jarak ekonomis antara 8-12 m. Detail lebih jelas mengenai sistem struktur laintai ini akan dijelaskan pada bagian Struktur dan Konstruksi. Ruang dalam stasiun transit membutuhkan sistem struktur dengan kolom yang sedikit. Selain itu, jumlah kolom yang sedikit akan

82 memberikan kesan ringan dan tidak terlalu massif pada bangunan. Oleh karena itulah angka 12 m dipilih supaya memaksimalkan jarak antar kolom sehingga membuat jumlah kolom itu sendiri menjadi lebih sedikit yaitu 6 buah kolom utama. 5.5 Konsep Fungsi, ruang interior, dan bentuk 5.5.1 Fungsi Secara vertikal, pemintakatan fungsi bangunan dapat di rancang sesuai dengan sifat yang diciptakan dari perbedaan level itu sendiri. Lantai yang berada 1 level diatas maupun satu level dengan Jalan Merdeka memiliki sifat publik yang dapat diakses secara bebas oleh masyarakat umum. Lantai dengan ketinggian 2 level diatas jalan memiliki sifat semi publik, artinya hanya orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu dapat menggunakan ruangan ini setelah melewati beberapa prosedural. Sedangkan, lantai dengan posisi level paling tinggi memiliki sifat privat sehingga hanya orang khusus yang melakukan aktivitas dan menggunakan ruang tersebut. Gambar 5. 24 Pemintakatan Vertikal Kawasan Setelah melakukan pemintakatan berdasarkan sifat, penulis dapat membuat klasifikasi fungsi untuk menempatkan fungsi ruang tersebut berdasarkan sifat dari ketinggian level. Fungsi ruang parkir diletakan 1 level yang sama dengan Jalan Merdeka yang telah diturunkan ke bawah (menjadi subway, lihat gambar 5.25)

83 supaya pengguna kawasan dapet mengakses dan menggunakan area parkir tersebut dengan mudah dan leluasa (bersifat publik). Fungsi ruang publik, taman, dan jalur penyebarangan dialokasikan pada posisi 1 lantai diatas jalan sehingga ketika pengguna kawasan akan menyebrang jalan, berkumpul, dan berdiam diri sejenak tidak akan berpotongan dengan sirkulasi kendaraan bermotor dan diakses pula secara umum (bersifat publik). Posisi 2 level di atas jalan dialokasikan untuk fungsi utama stasiun yaitu Hall Utama stasiun, beberapa bagian kecil kantor stasiun dan peron tempat penumpang naik atau turun dari kereta monorel. Level ke 2 diatas jalan dipilih untuk fungsi ini berdasarkan pertimbangan ketinggian jalur dan kereta monorel diatas jalan yang telah ditetapkan oleh Dinas Perhubungan. Posisi level paling atas dialokasikan untuk kantor stasiun yang notabene aktivitasnya membutuhkan ruang yang khusus (privat) supaya tidak tercampur dengan pengguna lainnya. Gambar 5. 25 Pemintakatan Fungsi Vertikal Perancangan jalur sirkulasi pada bangunan dilakukan dengan membedakan jalur sirkulasi masyarakat umum (pengguna ruang publik), pengguna kereta monorel dan pengguna difabel pada setiap lantai bangunan. Sirkulasi masyarakat umum pengguna ruang publik ditandai dengan garis putus-putus berwarna hijau. Sirkulasi pengguna monorel ditandai dengan garis putus-putus berwarna putih. Sedangkan garis putus-putus berwarna ungu merupakan sirkulasi pengguna

84 monorel khusus disabilitas. Sirkulasi pengelola stasiun ditandai dengan garis putus-putus berwarna biru. 5.5.1.1 Lantai Dasar Gambar 5. 26 Alur Sirkulasi Lantai Dasar Pada lantai dasar, denah bersifat open plan karena berfungsi sebagai ruang publik dan infrastruktur penyebrangan jalan. Lantai ini pada dasarnya menyatu dengan lansekap dan ruang terbuka sekitar sehingga menciptakan kesan bangunan yang pilotis (seolah-olah melayang). Pada lantai ini, terdapat area khusus untuk pengguna difabel yang ditandai warna ungu pada gambar 5.26. Area khusus pengguna difabel meliputi fasilitas ruang tiket, ruang informasi dan gerbang tiket tersendiri. Setelah menyelesaikan administrasi untuk menggunakan kereta monorel, pengguna difabel dapat langsung mengakses area peron yang steril dengan menggunakan sirkulasi vertikal lift khusus difabel. Area khusus difabel diletakan pada area timur tapak berdasarkan pertimbangan supaya pengguna dapat mengakses langsung peron (area steril) secara vertikal. Ruang publik semi-outdoor pada lantai dasar merupakan ruang tempat berkumpul komunitas masyarakat ataupun tempat masyarakat sekitar melepas penat. Ruang ini merupakan satu-satunya ruang publik yang ternaungi pada tapak sehingga masyarakat dapat menggunakan ruang ini tanpa khawatir terkena hujan

85 ataupun panas matahari. Ruang publik semi-outdoor ditandai dengan warna hitam kehijau-hijauan pada gambar 5.26. Ruang ini pula berfungsi sebagai koneksi dari pergerakan masyarakat antar bangunan komersial sehingga masyarakat dapat berpindah dengan cepat melalui ruang ini. Gambar 5. 27 Alur Sirkulasi Pengguna Monorel Lantai 1 5.1.1.1 Lantai 1 (Hall Utama) Untuk mengakses lantai 1, bangunan memiliki dua akses utama pintu masuk. Penentuan jumlah pintu masuk ini berdasarkan pertimbangan peluang datangnya pengguna bangunan dari dua arah pada tapak yaitu dari arah utara dan selatan sehingga bangunan dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat. Konsep dasar dari bangunan transportasi adalah bagaimana memfasilitasi kecepatan pergerakan pada pengguna bangunan. Akses pintu masuk berupa tangga dan eskalator yang diletakan sesuai dengan tanda panah pada gambar 5.27. Setelah menggunakan sirkulasi vertikal (tangga dan eskalator), pengguna akan menemukan ruang penerima sebelum memasuki bangunan. Ruang ini berfungsi sebagai perantara sehingga pengguna bangunan tidak kebingungan untuk mengidentifikasi batas yang jelas antara ruang luar dan dalam bangunan. Ruang penerima ditandai dengan nomor 1 pada gambar. Dari ruang penerima ini,

86 pengguna dapat masuk ke bangunan secara langsung melewati pintu otomatis tepat setelah ruang penerima. Area pertama yang dihadapi pengguna pada saat memasuki bangunan yaitu hall utama. Hall utama berfungsi sebagai titik pertemuan antara pengguna yang hendak menggunakan monorel dan telah menggunakan monorel. Ruang ini memiliki kapasitas yang besar untuk menampung pengguna dari dua arah yang telah disebutkan sebelumnya. Ruang ini juga berfungsi sebagai ruang berhenti sejenak sebelum mengetahui apa dan kemana pengguna monorel harus pergi setelah memasuki bangunan. Hall utama ditandai dengan nomor 2 pada gambar 5.27. Setelah dari Hall Utama, pengguna akan menemui ruang informasi. Pada ruangan ini, pengguna monorel dapat mengetahui informasi mengenai tujuan, jadwal keberangkatan, informasi mengenai sistem ticketing, dan bagaimana tahapan administrasi jika ingin menggunakan kereta monorel. Sistem ticketing diterapkan pada stasiun monorel yaitu sistem ticketing isi ulang. Pengguna cukup memiliki tiket berlangganan yang didapatkan dari ruang informasi setiap stasiun kemudian mengisi nilai rupiah tiket mereka di mesin tiket (area mesin tiket ditandai dengan nomor 4 dan terletak ditengah-tengah stasiun sehingga menjadi titik vokal yang baik). Kemudian ketika berada pada gerbang tiket masuk, tiket berlangganan pengguna akan ditandai asal keberangkatannya dari mana setelah log in melewati gerbang tiket (area gerbang tiket masuk dan keluar ditandai dengan lingkaran bewarna putih pada gambar dan terletak berhadapan dengan area mesin tiket).

87 Gambar 5. 28 Skema Denah Lantai 1 Pengguna yang telah log in melewati gerbang tiket akan menemui ruang perantara sebelum memasuki peron (area steril). Area perantara yang ditandai nomor 5 (lihat gambar 5.28) merupakan area perantara menuju Peron Barat dengan arah tujuan kereta monorel yaitu area selatan Kota Bandung. Sedangkan, area perantara yang ditandai nomor 6 merupakan area perantara menuju Peron Timur dengan arah tujuan kereta monorel yaitu area utara Kota Bandung. Dengan demikian, sebelum memasuki gerbang tiket (log-in), pengguna monorel harus mengetahui kemana arah tujuannya (apakah selatan atau utara Kota Bandung) dan mengambil jalur area perantara sesuai dengan peronnya (apakah peron timur atau peron barat). Pengguna yang telah ditandai stasiun asal keberangkatannya (setelah melewati gerbang tiket masuk) akan dikenakan biaya pada gerbang keluar stasiun

88 tujuannya (ketika log-out) melalui tiket berlangganan mereka. Pada stasiun ini, sebelum pengguna dikenakan biaya pada gerbang keluar, pengguna akan melewati area perantara kembali sesuai dengan peron kedatangannya (apakah peron timur atau peron barat). Area perantara kedatangan Peron Timur ditandai dengan nomor 8 dan area perantara kedatangan Peron Barat ditandai dengan nomor 7 pada gambar 5.28. Pengguna stasiun yang dari atau berasal dari peron menggunakan tangga dan eskalator satu arah. Akses sirkulasi yang satu arah dan area perantara yang khusus satu jalur bagi peron tertentu akan membuat peron menjadi lebih steril dan sistem log-in dan log-out pada gerbang tiket tidak dapat dicurangi oleh oknum-oknum tertentu. Area khusus fungsi penunjang ditempatkan pada bagian barat stasiun di lanta 1 in.fungs-fungsi penunjang meliputi area WC umum untuk pengguna (ditandai dengan nomor 10 pada gambar 5.29), WC khusus untuk pengelola stasiun (ditandai dengan nomor 11 pada gambar 5.29), dan Musala untuk pengguna kereta monorel (ditandai dengan nomor 9 pada gambar 5.28. Gambar 5. 29 Alur Sirkulasi Pengelola Monorel Lantai 1 Sirkulasi untuk pengelola pada lantai 1 ini yaitu pengelola akan melewati ruang penerima, pintu otomatis bangunan, hall utama, area ruang informasi, area mesin tiket, dan kemudian melewati area belakang hall utama dan ruang informasi

89 bagian selatan bangunan untuk mengakses sirkulasi vertikal ke lantai 3 yang ditandai dengan lingkaran hijau pada gambar 5.29. 5.1.1.2 Lantai 2 (Area Steril Peron) Gambar 5. 30 Alur Sirkulasi Pengguna Monorel Lantai 2 Area lantai peron terbagi menjadi dua bagian yaitu Peron Timur dan Peron Barat. Pembagian dua bagian ini berdasarkan tujuan pengguna yaitu tujuan ke arah bagian selatan Kota Bandung dan ke arah bagian utara Kota Bandung. Dua bagian peron tersebut tidak memiliki koneksi untuk menjaga tingkat kemanan dan administrasi stasiun sehingga peron tetap terjaga steril. Koneksi antarperon hanya dihubungkan oleh ruang perantara yang masing-masing ruang perantara hanya terdapat satu gerbang tiket masuk dan keluar.

90 Gambar 5. 31 Skema Denah Lantai 2 Akses khusus difabel ke peron menggunakan lift khusus difabel secara vertikal. Kedua bagian peron memiliki masing-masing satu lift difabel. Lift ini langsung terhubung ke lantai dasar. Dengan demikian sirkulasi difabel pada bangunan hanya terdapat pada lantai dasar dan peron saja. Sedangkan akses sirkulasi pengguna monorel pada umumnya menuju peron menggunakan tangga dan eskalator satu arah yang ditandai dengan lingkaran putih pada gambar 5.31. Sirkulasi pengguna monorel ini berlangsung satu arah dari selatan ke utara sesuai dengan arah sistem sirkulasi yang telah dibentuk dengan cara hanya memberikan satu gerbang tiket masuk dan satu gerbang tiket keluar setiap jalur perantara peron.

91 Gambar 5. 32 Sistem Pengamanan Lantai 2 (Peron) (Sumber : dokumentasi pribad tahun 2015i) Area peron dilengkapi dengan sistem keamanan berupa pintu pengaman sebelum mengakses kereta monorel. Pintu pengaman memiliki tinggi 120 cm dengan material kaca dan kusen alumunium lihat gambar 5.32. Pintu ini akan terbuka hanya ketika kereta monorel tiba di stasiun. Dengan begitu pengguna akan merasa aman tanpa ada rasa khawatir terjatuh pada sisi rel kereta. Area peron tidak memiliki pembatas dinding yang massif. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa sistem lantai split yang telah diciptakan bertujuan untuk memudahkan pengawasan pengelola. Jika peron memiliki pembatas dinding yang massif maka tujuan dari sistem lantai split tidak tercapai. Pembatas ruang menggunakan railling besi sehingga railling tersebut dapat dipakai untuk bersandar ketika penumpang menunggu. Area peron tidak memiliki furnitur yang menunjang penumpang untuk duduk dikarenakan selisih waktu setiap kedatangan dan keberangkatan monorel yaitu 10 menit (berdasarkan analisis Pra Kelayakan Monorel Koridor 1 Dinas Perhubungan Kota Bandung) sehingga jika peron difasilitasi tempat duduk hal tersebut akan mengganggu sirkulasi penumpang dan kecepatan pergerakan penumpang. Oleh karena itulah,

92 untuk menunggu penumpang hanya diberi fasilitas railling untuk bersandar ketika mereka merasa lelah menunggu. 5.1.1.3 Lantai 3 (Area Kantor) Gambar 5. 33 Alur Sirkulasi Pengelola Stasiun Lantai 3 Akses menuju lantai 3 ini berupa tangga yang berada sebelah selatan bangunan dan terhubung dengan ruang bersama kantor yang ditandai oleh nomor 1 pada gambar 5.33. Ruang yang tersedia pada lantai 3 ini berbentuk memanjang dengan satu koridor yang menghubungakan ruang-ruang tersebut. Penyusunan ruang-ruang yang ada pada lantai 3 berdasarkan tingkat keprivasian masingmasing ruang. Ruang-ruang yang memiliki tingkat privasi tinggi seperti ruang kepala stasiun, ruang administrasi dan ruang rapat berada pada sebelah utara lantai dan tidak memiliki akses ke lantai bawah sehingga area tersebut memiliki tingkat privasi yang tinggi.

93 Selanjutnya ruang dengan tingkat privasi yang tidak terlalu tinggi ditempatkan pada tengah-tengah lantai seperti ruang PPK, ruang loker dan istirahat, ruang pengolahan data dan ruang sinyal. Kemudian ruang-ruang yang bersifat servis seperti gudang, dapur dan musala diletakan paling dekat dengan akses sirkulasi vertikal lantai. 5.1.2 Bentuk Gambar 5. 34 Sistem Pemisahan Struktur Atap dan Lantai Bangunan Konsep bentuk merupakan lanjutan transformasi dari sistem pemisahan struktur bangunan antara struktur penutup atap bangunan dan struktur lantai seperti yang terlihat pada gambar 5.34) dan telah dibahas pada sub-bab Perancangan Bangunan. Setelah konsep struktur dipisah, perubahan bentuk bangunan yang pertama akan penulis bahas yaitu perubahan bentuk penutup atap bangunan. Transformasi bentuknya sebagai berikut :

94 Gambar 5. 35 Konsep Bingkai Kota Masa Penutup Atap Tampak depan penutup atap menggunakan bentuk lingkaran untuk memberikan kesan bentuk alam sekaligus membingkai view kota. Bentuk lingkaran tersebut kemudian ditarik hingga kebawah dan dipotong ¼ bagian karena terpotong oleh garis tanah sehingga menjadi bentuk yang terlihat pada gambar 5.35. Kemudian untuk merespon kebisingan pada tapak, bidang-bidang bentuk penutup atap berubah masuk dan keluar sesuai dengan arah kebisingan sehingga kebisingan tidak masuk kedalam. Begitupula dengan bentuk bagian dalam penutup atap, bidang-bidang penutup atap berubah masuk dan keluar untuk menciptakan sistem akustik yang baik pada bangunan. Perubahan bidang-bidang penutup atap disesuaikan dengan setengah modul struktur yaitu setiap 6 m sehingga bentuk penutup atap menjadi seperti yang terlihat pada gambar 5.36. Sistem akustik bangunan yang baik diperlukan untuk bangunan stasiun transit monorel ini untuk menunjang sistem

95 informasi suara sehingga tetap dapat menciptakan pergerakan pengguna yang cepat. Gambar 5. 36 Respon Bentuk Penutup Atap terhadap Kebisingan Kemudian untuk merespon peluang lorong angin yang mungkin terjadi pada tapak, bentuk penutup atap menjadi mengerucut kebawah dengan bidang permukaan sebelah selatan lebih kecil dari permukaan sebelah utara sehingga bidang keluaran angin lebih besar dari bidang masukan. Bentuk penutup atap yang telah berubah dapat terlihat pada gambar 5.37. Dengan begitu, lorong angin yang terjadi tidak mengganggu kekuatan struktur bangunan. Selain itu, lorong angin dapat berpotensi sebagai pengatur sirkulasi udara dengan kecepatan yang baik. Untuk ruang yang memiliki kapasitas pengguna yang tinggi, semakin cepat pertukaran antara CO2 dan O2 pada ruang maka semakin baik pula kuaitas udara pada ruangan tersebut.

96 Gambar 5. 37 Respon Bentuk Penutup Atap terhadap Lorong Angin Sistem T.O.D menerapkan konsep bahwa bangunan menjadi pusat trasit (transit oriented) dan menjadi pusat aktivitas kawasan untuk berkumpul sebelum pergi ke destinasi selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut bangunan membutuhkan bentuk yang mudah yang dikenali (menjadi landmark), menarik pengguna, bersifat iconic dan menjadi patokan kawasan. Untuk menciptakan bentuk bangunan yang memiliki sifat tersebut maka perlakuan yang diambil yaitu bentuk bangunan bersifat kontras dan berbeda dengan bentuk bangunan pada kawasan di sekitarnya.

97 Gambar 5. 38 View Bentuk Bangunan Sekitar Jalan Merdeka yang Artifisial Bangunan sekitar Jalan Merdeka memiliki bentuk yang sangat artifisial (buatan manusia) seperti yang terlihat pada gambar 5.38. Berdasarkan hal tersebut, perlakuan yang diambil untuk bentuk yaitu pengolahan bentuk diambil dari bentuk-bentuk yang ada pada alam untuk menciptakan kesan berbeda dari bangunan sekitar yang terlalu bersifat artifisial. Penulis mencari referensi bentuk alam yang sesuai dengan sifat tema yang diambil yaitu Transit Oriented Development. T.O.D memiliki nilai utama keterhubungan antara satu dengan yang lain agar semua elemen memiliki kesatuan yang estetis. Berdasarkan sifat tersebut, penulis memilih bentuk kepompong ulat bulu yang memiliki bentuk dengan kesan keterkaitan dan berhubungan satu dengan lainnya (lihat gambar 5.39). Gambar 5. 39 Transformasi dari Pengambilan Bentuk Alam Berdasarkan ide utama pengolahan massa bangunan, massa atap dan massa lantai tidak memiliki keterkaitan massa satu dengan lainnya. Massa yang

98 menerapkan bentuk alam kepompong merupakan bentuk massa yang menjadi penutup ruang (atap) karena massa tersebut berada pada paling luar dan paling terlihat untuk menarik perhatian pengguna dan menjadi penanda kawasan. Bentuk atap tidak sepenuhnya menutupi ruang dibawahnya, tetapi diberi aksen lubang-lubang supaya berkesan tidak terlalu massif dan menjadi celah tempat masuknya sumber pencahayaan alami (lihat gambar 5.40). Penentuan posisi lubang pada bentuk atap dipengaruhi oleh posisi jatuhnya cahaya matahari pada kawasan dan disesuaikan dengan kebutuhan cahaya ruang dibawahnya. Selain itu, penentuan posisi dan kuantitas lubang-lubang pada penutup atap menyesuaikan dengan tinggi bangunan sekitar. Pada area dengan bangunan yang memiliki ukuran tinggi yang besar, lubang-lubang penutup atap semakin banyak karena sumber cahaya yang didapat hanya dari posisi matahari yang tegak lurus dengan bangunan. Begitu pula sebaliknya, pada area bangunan sekitar dengan ukuran tinggi kecil, lubang-lubang penutup atap semakin sedikit karena kebutuhan cahaya secara umum telah terpenuhi dan tidak tertutupi. Lubang-lubang kecil banyak terdapat pada ujung-ujung bentuk atap untuk memberika visual dan tampak yang baik pada bangunan. Gambar 5. 40 Perbedaan Jumlah Lubang Atap

99 Gambar 5. 41 Konsep SIstem Split Lantai Untuk transformasi bentuk massa lantai, massa bangunan dipecah berdasarkan kebutuhan setiap lantai yaitu lantai dasar untuk ruang publik, lantai 1 untuk hall stasiun dan area perantara, lantai 2 untuk peron dan lantai 3 untuk kantor menjadi seperti pada gambar 5.41. Sistem lantai menggunakan sistem split lantai untuk setiap lantainya. Hal ini bertujuan untuk pengawasan yang mudah bagi pengelola di setiap lantainya. Selain itu, sistem split lantai akan menciptakan tinggi ruang yang besar walaupun memiliki banyak lantai. Tinggi ruang yang besar ini berfungsi sebagai suplai udara bagi ruangan yang memiliki kapasitas pengguna yang besar. Skema sistem split lantai dapat dilihat pada gambar 5.42.

100 Gambar 5. 42 Skema Pembagian Fungsi Berdasarkan Sistem Split Lantai Olahan bentuk massa lantai terfokus pada pengolahan bentuk struktur yang menopangnya. Penulis membuat struktur sebagai elemen estetis yang dapat di ekspose bentuknya. Bentuk struktur menggunakan bentuk-bentuk alam yang notabene banyak menggunakan bentuk lengkung dan tidak bersudut kaku. Dengan membuat struktur menggunakan bentuk alam, struktur dapat menjadi bingkai kawasan yang berbentuk dinamis. Kolom-kolom dibentuk melengkung untuk menyesuaikan dengan penutup atap yang memiliki bentuk dominan lengkung dan lingkaran. Repetisi kolom melengkung akan menciptakan suasana yang berbeda pada interior ruang-ruang didalamnya seperti terlihat pada gambar isonometri 5.43.

101 Gambar 5. 43 Bentuk Struktur Bangunan Gambar 5. 44 Penambahan Sistem Split Lantai pada Struktur (Sumber : dokumentasi pribadi tahun 2015 Setelah itu, bentuk lantai dirancang mengikuti olahan massa yang merespon laju angin sehingga bentuk massa bangunan ini lebih aerodinamis. Untuk merespon permasalahan ruang gelap pada bagian bawah bangunan, lantai dibuat memiliki lubang-lubang sebagai sumber pencahayaan alami. Penentuan posisi lubang-lubang ini ditentukan berdasarkan studi cahaya yang dilakukan penulis pada kawasan (lihat gambar 5.45).

102 Gambar 5. 45 Studi Cahaya Setiap Lantai Setelah pengolahan bentuk massa lantai bangunan dilakukan pada fasad penutup dan fasad tambahan. Fasad penutup dirancang berdasarkan alasan bahwa Jalan Merdeka menjadi lorong angin dengan kecepatan angin yang cukup tinggi. Bangunan membutuhkan suatu pengahalang supaya angin tidak menerpa bangunan secara langsung. Fasad tambahan ditambahkan dengan tujuan untuk memberikan aksen penerima bagi kereta monorel yang datang dan pergi sehingga tercipta satu kseatuan terhadap bentuk bangunan keseluruhan. Gambar 5. 46 Fasad Bangunan

103 Pola yang terdapat pada fasad penutup yaitu pola lingkaran diambil dari bentuk bentuk alam yang cenderung memiliki bentuk yang dinamis. Pola lingkaran ini hanya satu-satunya bentuk yang sesuai dengan bentuk struktur massa lantai yang tidak memiliki sudut kaku dan bentuk massa atap yang diambil dari bentuk alam pula. Gambar 5. 47 Olahan Fasad (Sumber : dokumentasi pribadi) Kemudian massa lantai ditambahkan dengan akses sirkulasi vertikal berupa tangga dan eskalator serta lift difabel, penambahan dinding pembatas pada hall utama, penambahan ruang-ruang non-tetap pada hall utama, dan penambahan ruang-ruang kantor pada lantai 3 sehingga bentuk massa lantai menjadi seperti yang terlihat pada gambar 5.48. Gambar 5. 48 Transformasi Bentuk Masa Lantai

104 Kemudian bentuk massa lantai bangunan akan diselimuti dengan massa atap yang sudah diolah bentuknya menyerupai bentuk alam kepompong ulat bulu dan telah melewati transformasi bentuk. Bentuk awal massa atap terlihat sangat tidak beraturan akibat hasil transformasi secara langsung dari bentuk kepompong. Selain itu, bentuk tersebut memiliki tingkat keterbangunan yang rendah karena tidak sesuai dengan teknis-teknis konstruksi pada dunia nyata (lihat gambar 5.49). Gambar 5. 49 Penambahan Selimut Setelah melalui penyesuaian teknis seperti penggunaan kaca dan sistem struktur cangkang, bentuk atap berubah menjadi seperti pada gambar 5.50. dengan penambahan sistem struktur pendukung yang ada pada setiap ruas bentuk massa atap.

105 Gambar 5. 50 Tranformasi Bentuk Akhir Bentuk massa atap yang memiliki ketinggian yang berbeda merupakan respon dari kebutuhan sistem akustik yang baik pada stasiun (lihat gambar 5.51). Sistem akustik yang baik akan menciptakan sistem informasi pada bangunan yang baik pula sehingga pergerakan pengguna monorel akan berlangsung cepat karena informasi didapat dengan cepat. Selain itu, sistem akustik akan mendukung suara yang diciptakan oleh aktivitas yang terjadi pada bangunan dapat terjaga dan tidak keluar mengganggu aktivitas area lain pada kawasan. Gambar 5. 51 Bentuk Mempengaruhi Akustik 5.1.3 Konsep Interior

106 Skala ruang yang ingin penulis ciptakan pada ruang-ruang yang bersifat publik pada bangunan yaitu skala monumental dengan tinggi ruang yang besar. Skala tinggi ruang ini berbanding lurus dengan kapasitas pengguna dan ruang suplai udara bagi pengguna ruang. Suasana yang ingin penulis rancang pada bagian dalam bangunan yaitu setiap lantai memiliki akses pandangan terhadap lantai lainnya sehingga tercipta kesan keterbukaan pada setiap lantai. Pembatas ruang yang ada pada setiap lantai bersifat tidak massif dan cenderung kabur. Untuk pembatas ruang paling luar lantai menggunakan railling dan bambu-bambu plastik (lihat gambar 5.52) yang dapat menyala dalam kegelapan. Sedangkan kebutuhan pembatas ruang untuk area yang lebih privat menggunakan partisi yang terbuat dari fiberglass (serat-serat kaca) yang bersifat tidak massif. Railling terbuat dari besi dengan diameter 5 cm dan memiliki jarak 20 cm dari tanah dan jarak 50 cm dari railling yang lainnya secara vertikal. Skema pembatas ruang dapat dilihat pada gambar 5.53. Gambar 5. 52 Bambu Plastik (Sumber : http://www.flavahomes.com/ tahun 2015)

107 Gambar 5. 53 Skema Pembatas Ruang Material dominan lantai pada bangunan yaitu menggunakan granit menerus putih untuk memberikan kesan futuristik namun masih terasa unsur ruang luarnya. Sedangkan untuk elemen plafon menggunakan fiber glass putih untuk menciptakan suasana yang sama yaitu futuristik dan ruang luar (lihat gambar 5.54). Dengan menambahkan unsur ruang luar pada interior, ruang menjadi sedikit kabur antara ruang luar dan ruang dalam. Sistem split yang membuat pengguna dalam bangunan tetap dapat mengakses view ke ruang publik semi-outdoor dibawah bangunan menciptakan kesatuan terhadap penggunaan material lantai dan plafon yang memiliki unsur luarnya pula.

108 Gambar 5. 54 (1) Lantai Granit Putih (2) Plafon Fiberglass Putih (Sumber : (1) http://i01.i.aliimg.com/wsphoto/v0/1998379209/g3765-font-b-granite-b-font-g365- font-b-granite-b-font-shandong-font-b-white.jpg (2) http://www.fiberglass- ceiling.com/photo/pl1683836- fire_proof_fiberglass_commercial_acoustic_ceiling_board_class_a_600x600_ceiling_tiles.jp tahun 2015) 5.2 Konsep Struktur dan Konstruksi Kendala utama ketika merancang bangunan Stasiun Transit Monorel ini yaitu bagaimana membuat sistem struktur yang mampu menopang massa dan lantai selebar 20 m tanpa ada penopang ditengah-tengah jalan. Setelah penulis melakukan beberapa studi banding dan mencari literatur mengenai sistem struktur bentang lebar, kesimpulan untuk struktur massa bangunan lantai menggunakan sistem kolom pada umumnya namun dengan sistem lantai ribbed slab dan untuk struktur massa atap menggunakan sistem struktur cangkang dengan sistem struktur tambahan. Struktur massa lantai menggunakan sistem struktur rangka yang dapat dillihat pada gambar 5.55. Kolom berwarna merah merupakan kolom lengkung berukuran 60x60 cm dengan pengaku tambahan pada bagian lengkungnya. Kolom berwarna ungu merupakan kolom gantung yang menumpu pada sistem pembalokan dan ribbed slab dengan ukuran 60x60 cm. Kolom lengkung berwarna biru pada lantai 3 merupakan kolom sekunder yang berfungsi menahan ruangruang kantor non-rigid berukuran 15x60 cm. Bagian yang berwarna hijau pada gambar 5.55 merupakan sistem pembalokan utama yang akan dijadikan tumpuan bagi sistem ribbed slab.

109 Gambar 5. 55 Sistem Struktur Bangunan Gambar 5. 56 Sistem Struktur Kolom Sistem lantai bangunan menggunakan sistem ribbed slab. Sistem ini memiliki beberapa keuntungan yaitu memiliki bentang yang panjang antara 8-12 m, ringan, dapat dibuat lubang-lubang sesuai kebutuhan, dapat mengakomodasi lubang besar, dan dapat diekspose menjadi elemen estetis. Sedangkan kerugiannya yaitu biaya yang tidak murah, tebal plat yang besar, dan pengerjaan yang cenderung lama. Gaya-gaya yang bekerja pada sistem ini akan saling bersilangan sehingga plat dapat kaku tanpa ada kolom ditengah bangunan.

110 Gambar 5. 57 Sistem Plat Lantai Bangunan Gambar 5. 58 Sistem Struktur Slab (Sumber : http://www.tmbelement.ee/ tahun 2015) Bentuk atap menggunakan sistem struktur cangkang yang menitik beratkan pada kesetaraan gaya pada setiap penumpu yang bersentuhan langsung dengan tanah. Sistem cangkang ini mampu menyalurkan gaya pada setiap bagian terkecilnya sehingga bentuk menjadi kaku. Sistem cangkang yang akan diterapkan

111 mengacu pada sistem cangkang yang digunakan pada Bangunan Sydney Opera House karya John Utzon. Penggunaan lengkungan dan bentuk yang digunakan bangunan ini hampir sama dengan bangunan karya John Utzon tersebut. Oleh karena itulah penulis menerapkan sistem cangkang yang sama namun ada sedikit modifikasi dalam hal sistem penyaluran gayanya. Gambar 5. 59 Sistem Struktur Penutup Atap Penambahan sistem struktur dilakukan untuk mengantisipasi sistem cangkang yang berbentuk terlalu dinamis dan memiliki bentang yang lebar. Penambahan struktur pendukung ditambahkan pada setiap ruas bentuk. Jika bentuk atap yang dinamis berada dibawah struktur pendukung, bentuk atap akan digantung pada struktur pendukung. Jika bentuk atap yang dinamis berada diatas struktur pendukung, bentuk atap akan menumpu pada struktur pendukung tersebut.

112 Gambar 5. 60 Sistem Struktur Pendukung Struktur Atap 5.3 Konsep Bahan Bangunan 5.3.1 Material Atap Material atap dengan sistem struktur cangkang menggunakan material Fibre Reinforced Plastic (FRP). Pemilihan material ini berdasarkan pertimbangan tingkat fleksibilitas material yang mudah dibentuk mengikuti bentuk atap yang dinamis. Material FRP ini dibuat dengan cara di cetak terlebih dahulu kemudian dirangkai pada tapak seperti terlihat pada gambar 5.61. Pemilihan jenis FRP yaitu FRP yang bersifat tembus pandang dengan tingkat transparansi 10% - 15%. Sedangkan, material yang digunakan untuk melapis lubang-lubang pada atap yaitu kaca cetak yang dapat dibentuk secara fleksibel. Gambar 5. 61 Material FRP

113 (Sumber : www.kreysler.com tahun 2015) 5.3.2 Material Lantai dan Struktur Material lantai dan struktur menggunakan material beton bertulang yang telah ditarik terlebih dahulu untuk meningkatkan kekuatan material (pretensioned). 5.3.3 Material Fasad dan Elemen Interior Material yang digunakan untuk fasad menggunakan kaca cetak warna, pelapis dengan serat fiber (Fiberglass), dan alumunium warna. 5.4 Konsep Lansekap Gambar 5. 62 Konsep Lansekap Konsep penataan lansekap pada tapak dimulai dari menentukan terlebih dahulu sirkulasi pedestrian yang mungkin tercipta. Penentuan sirkulasi pedestrian tersebut berawal dari menghubungkan titik-titik antar bangunan komersial yang berpotensi menjadi magnet pada tapak sehingga pola sirkulasi yang terbentuk menjadi seperti pada gambar 5.62 ditandai dengan garis putus-putus berwarna merah. Ruang publik pada dasarnya merupakan sebuah plat lantai yang luas dikarenakan bagian bawah ruang ini merupakan subway Jalan Merdeka. Berdasarkan hal itu, vegetasi yang memungkinkan untuk ditanam pada area plat tersebut yaitu tanaman-tanaman perdu dan rumput yang memiliki akar yang kecil

114 sehingga tidak mengganggu struktur plat lantai itu sendiri. Tanaman perdu tersebut dapat pula ditanam pada pot-pot tertentu dan tidak harus menempel pada plat. Pemilihan vegetasi dan peletakan vegetasi pada tapak yaitu Bambu Air (Equisetum hyemale) pada gambar 5.62 ditandai dengan kotak bergaris hijau, Rumput Golf (Cynodon dactylon) ditandai dengan area hijau, tanaman Air Mancur (Russelia equisetiformis) yang ditandai dengan warna kuning muda, dan tanaman perdu Crimson Red (Pennisetum alopecuroides) ditandai dengan warna kuning tua. Gambar 5. 63 (1) Rumput Bambu Air (Equisetum hyemale) (2) Tanaman Air Mancur (Russelia equisetiformis) (3) Tanaman perdu Crimson Red (Pennisetum alopecuroides) (Sumber : (1) http://cdn3.spaaz.de/photo/scale-700xauto-wit/bambus-als-sichtschutz-im-gartenoder-auf-dem-balkon.1424682680-van-kunstfan.jpeg (2) https://s-media-cacheak0.pinimg.com/75x75/ee/12/aa/ee12aa53a56cf8608e442005571ab1d7.jpg (3) http://www.vanmeuwen.com/medias/sys_master/8797685383198.jpg tahun 2015) Setelah menentukan sirkulasi pedestrian pada tapak, konsep selanjutnya yaitu bagaimana membuat sistem penanda pengarag sirkulasi pedestrian tersebut sehingga pengguna tidak merasa bingung ketika berada di tapak. Untuk menandai sirkulasi pedestrian pada tapak, plat lantai ruang publik di lubangi berbentuk lingkaran dengan diameter 1 m setiap jarak 5 m pada sirkulasi pedestrian yang telah tercipta pada tapak. Lubang-lubang pada plat tersebut juga berfungsi sebagai sumber cahaya alami untuk area subway Jalan Merdeka. Selain itu, lubang-lubang pada plat dapat disisipkan sumber penerangan buatan yaitu lampu LED sehingga ketika malam hari lubang-lubang tersebut menjadi penunjuk arah yang bercahaya. Skema lubang-lubang pada plat dapat dilihat pada gambar 5.64.

115 Gambar 5. 64 Skema Lubang pada Plat Lantai Ruang Pulbik Ruang publik 70% tertutupi oleh paving blok dikarenakan pada dasarnya merupakan sebuah plat yang luas sehingga dalam konsep lansekapnya tidak dapat bermain lebih jauh mengenai penutup lantai (ground cover). Pola-pola paving blok yang dipakai pada tapak yaitu pola pada gambar (1) 5.65. digunakan untuk bidang-bidang pada tapak yang luas dan dominan sehingga akan tercipta kesan bergaris dan titik pada lantai, pola pada gambar (2) 5.65 digunakan pada area titik-titik pertemuan sirkulasi pedestrian (node) sehingga titik pertemuan tersebut menjadi kontras dengan paving yang lain, dan pola pada gambar (3) 5.65 digunakan untuk plaza berbentuk lingkaran yang besar.

116 Gambar 5. 65 (1) Paving Pola 1 (2) Paving Pola 2 (3) Paving Pola 3 (Sumber : (1) https://www.filterforge.com/filters/4431.jpg (2) http://simplypaving.com/media/catalog/product/cache/1/small_image/223x/040ec09b1e35df13943 3887a97daa66f/s/h/shot_7168_1.jpg (3) http://thumb7.shutterstock.com/thumb_large/420568/420568,1261091816,1/stock-photo- cobblestone-pavement-texture-radial-pattern-rustic-background-pattern-copy-space- 43027597.jpg tahun 2015)

117 DAFTAR PUSTAKA Dinas Perhubungan Kota Bandung. (2014). Studi Pra Kelayakan Monorel Koridor 1. Bandung. Heriyanto, C. B. (2013). Perencanaan Stasiun Pemberhentian Monorel Koridor Timur-Barat Surabaya Studi Kasus : Jalan Mayjen Sungkono (Ciputra World). Jurnal TEKNIK POMITS Vol.1, No.1, 1-6. Kosmas Toding, M. Y. Sistem Transit Oriented Development (TOD) Perkeretaapian dalam Rencana Jaringan Kereta Api Komuter Mamminasata. Makassar: Teknik Transportasi, Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Kreysler & Associates. (2013). Architectural Composite. American Canyon: Kreysler & Associates. Neufert, E. (1998). Data Arsitek. Jakarta: Erlangga. Rianto, K. V. (2007). Kajian Komparatif Sistem Bentang Sederhana Versus Sistem Bentang Menerus Terintegral Pada Struktur Guidway Monorel. Bandung: Program Studi Teknik Sipil, FTSL, Institut Teknologi Bandung. Taolin, T. V. (2007/2008). Kualitas Ruang Publik Kota Pada Kawasan TOD. Depok: Departemen Arsitektur, FT, Universitas Indonesia. www.myrapid.com. (n.d.). Retrieved April 20, 2015, from My Rapid: www.myrapid.com www.tmbelement.ee/. (2013, November). Retrieved April 16, 2015, from www.tmbelement.ee/: www.tmbelement.ee/ Yulianto, A. (2012). Stasiun Kereta Monorel (SCBD) Jakarta. Jakarta: Jurusan Teknik Arsitektur, FTSP, Universitas Gunadarma.

118 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Surabaya, Indonesia pada tanggal 22 Juni 1994 dari pasangan Agus Kamdar dan Yani Suryantini, S.E. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Bhayangkari Meulaboh, Aceh Barat pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Meulaboh Bandung pada tahun 2000 hingga 2002. Kemudian, penulis berpindah sekolah dasar ke SD Negeri 39 Banda Aceh pada tahun 2002 hingga 2004. Penulis kembali berpindah sekolah dasar ke SD Negeri Regol XIII Garut pada tahun 2005 dan lulus pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Citapen 1 pada tahun 2006 di Tasikmalaya. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Tasikmalaya pada tahun 2006. Penulis berpindah sekolah menengah pertama pada tahun 2008 dan lulus pada tahun 2009 di SMPS Al- Masoem Cileunyi. Kemudian penulis melanjutkan sekolah menengah atas di SMAS Al-Ma soem Cileunyi pada tahun 2009 dan lulus pada tahun 2011. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Pendidikan Indonesia dengan mengambil jurusan Teknik Arsitektur S-1, dan pada tahun 2015 telah menyelesaikan tugas akhir yang berjudul "Stasiun Transit Monorel Berbasis Sistem Transit Oriented Development.