BAB II LANDASAN TEORI. perhatian tersendiri bagi sebuah organisasi sektor publik. Pendekatan-pendekatan

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Pergantian kepemimpinan di pemerintahan Indonesia, sebagian besar banyak memberikan perubahan diberbagai bidang. Salah satu perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2. Pengertian anggaran menurut Mulyadi (2001), yaitu: 3. Pengertian anggaran menurut Mulyadi (2001), yaitu:

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Tinjauan Teori

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

ANALISIS KINERJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PADA DINAS PEREKONOMIAN DAN PARIWISATA KABUPATEN TUBAN RANGKUMAN TUGAS AKHIR

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.12 No.3 Tahun 2012

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Brian Sagay, Kinerja Pemerintah Daerah KINERJA PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN MINAHASA SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diperoleh dan dipakai selama periode waktu tertentu. jangka waktu tertentu dan umumnya dinyatakan dalam satuan uang.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Analisis Kinerja Belanja Pemerintah daerah Kotamobagu dan Bolaang Mongondow Timur tahun Herman Karamoy

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II LANDASAN TEORI. diterapkan dalam menyusun dan melaporkan keuangan pemerintah. Sedangkan

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemerintahan Kota Surakarta) dalam penelitiannya menyimpulkan sebagai berikut

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II KINERJA SEKTOR PUBLIK. hendak dicapai. Tujuan tiap-tiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2004:62) menyatakan bahwa :

ANALISIS KINERJA BELANJA DALAM LAPORAN REALISASI ANGGARAN PADA TIGA DAERAH PEMEKARAN DI PROVINSI SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

PROFIL KEUANGAN DAERAH

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Purnomo (2015) melakukan penelitian tentang Penilaian Kinerja Berbasis

Tinjauan Atas Laporan Penerimaan Dan Pengeluaran Kegiatan APBD Pada Dinas Pertanian, Tanaman Dan Pangan Provinsi Jawa Barat

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal. daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

ANALISIS BELANJA DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN MINAHASA TAHUN ANGGARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu agenda reformasi, bahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi daerah, sebagaimana halnya di bidang-bidang lainnya. Usaha untuk

MUDA ANDIKA MEIZA

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ANGGARAN DAN REALISASI PADA APBD PEMERINTAHAN PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN ANGGARAN

ANALISIS KINERJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PADA TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH DI KOTA GORONTALO (Studi Kasus DPPKAD Kota Gorontalo)

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan hasil kesimpulan dapat disimpulkan bahwa : 2. Pengeluaran (belanja) Kabupaten Manggarai tahun anggaran 2010-

BAB I PENDAHULUAN. adanya akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan. Para pemangku. penunjang demi terwujudnya pembangunan nasional.

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

ANALISIS KINERJA KEUANGAN ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH (APBD) DI KOTA AMBON

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pusat agar pemerintah daerah dapat mengelola pemerintahannya sendiri

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH (DPKAD) KOTA SEMARANG TAHUN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

I. PENDAHULUAN. Adanya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

LAPORAN REALISASI ANGGARAN

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

SIKLUS ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar

II. TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN

ANALISIS RASIO LAPORAN REALISASI ANGGARAN 2010 KOTA TANGERANG SELATAN

PENGERTIAN ANGGARAN FUNGSI ANGGARAN. Anggaran berfungsi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

ANALISIS KINERJA KEUANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) KABUPATEN KLATEN TAHUN

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Anggaran Proses penganggaran adalah sebuah proses penting yang sering kali menjadi perhatian tersendiri bagi sebuah organisasi sektor publik. Pendekatan-pendekatan penyusunan anggaran juga telah berkembang sedemikian rupa mengikuti perkembangan zaman dan dinamika kebutuhan organisasi sektor publik sendiri (Deddi Nordiawan, 2006 : 43). 2.1.1 Pengertian Anggaran Kata anggaran merupakan terjemahan dari kata budget dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Perancis, bougette yang berarti a small bag atau satu tas kecil. Kata budget tersebut pertama kali digunakan secara formal sebagai suatu rencana keuangan pemerintah pada tahun 1733, yaitu ketika Menteri Keuangan Inggris membawa satu tas kecil yang berisi proposal keuangan pemerintah yang akan disampaikan kepada parlemen, kemudian mengatakan let s open the budget atau kita buka budget (Edwards, et.al., 1959 dalam Bahtiar Arif, dkk, 2009 : 122). Pengertian anggaran kemudian terus berkembang, The National Committee on Governmental Accounting atau Komite Nasional Akuntansi Pemerintahan Amerika Serikat memberikan definisi anggaran sebagai berikut : 7

8 Anggaran adalah satu rencana kegiatan yang diukur dalam satuan uang yang berisi perkiraan belanja dalam satu periode tertentu dan sumber yang diusulkan untuk membiayai belanja tersebut. 2.1.2 Fungsi Anggaran Menurut Nordiawan, (2006:48), fungsi anggaran dalam manajemen organisasi sektor publik, antara lain : 1) Anggaran sebagai Alat Perencanaan 2) Anggaran sebagai Alat Pengendalian 3) Anggaran sebagai Alat Kebijakan 4) Anggaran sebagai Alat Politik 5) Anggaran sebagai Alat Koordinasi dan Komunikasi 6) Anggaran sebagai Alat Penilaian Kinerja 7) Anggaran sebagai Alat Motivasi 2.1.3 Jenis-Jenis Anggaran Secara garis besar, anggaran dapat diklasifikasikan menjadi (Deddi Nordiawan, 2006 : 50) : 1) Anggaran Operasional dan Anggaran Modal Berdasarkan jenis aktivitasnya, anggaran dibagi menjadi anggaran operasional dan anggaran modal. Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan dalam menjalankan operasi sehari-hari dalam kurun waktu satu tahun. Sedangkan anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya.

9 2) Anggaran Tentatif dan Anggaran Enacted Berdasarkan status hukumnya, anggaran dibagi menjadi anggaran tentatif dan anggaran enacted. Anggaran tentatif adalah anggaran yang tidak memerlukan pengesahan dari lembaga legislatif karena kemunculannyayang dipicu oleh hal-hal yang tidak direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, anggaran enacted adalah anggaran yang direncanakan kemudian dibahas dan disetujui oleh lembaga legislatif. 3) Anggaran Dana Umum dan Anggaran Dana Khusus Dalam pemerintahan, kekayaan negara (dana) dibagi menjadi Dana Umum dan Dana Khusus. Dana umum digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan yang bersifat umum dan sehari-hari, sedangkan Dana khusus dicadangkan/dialokasikan khusus untuk tujuan tertentu, misalnya dana pelunasan utang yang digunakan khusus untuk pembayaran utang. 4) Anggaran Tetap dan Anggaran Fleksibel Dalam anggaran tetap, apropriasi belanja sudah ditentukan jumlahnya di awal tahun anggaran. Sedangkan anggaran fleksibel yakni harga barang/jasa per unit telah ditetapkan namun jumlah anggaran secara keseluruhan akan berfluktuasi bergantung pada banyaknya kegiatan yang dilakukan. 5) Anggaran Eksekutif dan Anggaran Legislatif Berdasarkan penyusunnya, anggaran dapat dibagi menjadi anggaran eksekutif dan anggaran legislatif. Anggaran eksekutif adalah anggaran

10 yang disusun oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini pemerintah, sedangkan anggaran legislatif adalah anggaran yang disusun oleh lembaga legislatif tanpa melibatkan pihak eksekutif. 2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan dari UU No. 23 Tahun 2014 mengenai pemerintah daerah, dalam pasal 2 menyebutkan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa." Menurut pembagian daerah tersebut berarti APBD di tingkat provinsi yang ditetapkan secara bersama antara gubernur dengan DPRD tingkat I. APBD yang berada di tingkat kabupaten/kota ditetapkan secara bersama oleh bupati/wali kota dengan DPRD yang berada ditingkat II. APBD ditetapkan melalui Perda selambat-lambatnya dalam satu bulan setelah ditetapkan APBN. 2.2.1 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Moh. Mahsun, Firma Sulistiyowati, dan Heribitus Andre Purwanugraha dalam buku Akuntansi Sektor Publik, (2011 : 81) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah daftar yang memuat rincian penerimaan daerah dan pengeluaran/belanja daerah selama satu tahun yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) untuk masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

11 APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan daerah merupakan hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Belanja daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. 2.2.2 Landasan Hukum Penyusunan APBD 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah 2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah APBD disusun sebagai pedoman pendapatan dan belanja dalam melaksanakan kegiatan pemerintah daerah. Sehingga dengan adanya APBD, pemerintah daerah sudah memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja yang akan diterima sebagai pendapatan dan pengeluaran apa saja yang harus dikeluarkan, selama satu tahun. Dengan adanya APBD sebagai pedoman, kesalahan, pemborosan, dan penyelewengan yang merugikan dapat dihindari. 2.2.3 Sistematika APBD Menurut Moh. Mahsun, Firma Sulistiyowati, dan Heribitus Andre Purwanugraha dalam buku Akuntansi Sektor Publik, (2011 : 83) struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terdiri dari :

12 1) Pendapatan Pendapatan adalah penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan terdiri dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. 2) Belanja Belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada suatu periode Anggaran. Belanja terdiri dari: Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, Belanja Tak Terduga. 3) Pembiayaan Pembiayaan adalah sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran daerah yang dimaksudkan untuk menutupi defisit anggaran atau sebagai alokasi surplus anggaran. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin inovatif yaitu dapat memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. 2.2.4 Fungsi APBD Peraturan menteri dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa APBD memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :

13 1. Fungsi Otorisasi Fungsi otorisasi berarti APBD menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 2. Fungsi Perencanaan Fungsi perencanaan berarti APBD menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan berarti APBD menjadi pedoman untuk menilai (mengawasi) apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Fungsi Alokasi Fungsi alokasi berarti APBD dalam pembagiannya harus diarahkan dengan tujuan untuk mengurangi pengangguran, pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi Distribusi Fungsi distribusi berarti APBD dalam pendistribusiannya harus memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 6. Fungsi Stabilisasi Fungsi stabilitasi berarti anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

14 2.2.5 Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Bastian (2006 : 274), Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapakan, dengan memperhitungkan indikator masukan (input), keluaran (output), hasil, manfaat, dan dampak. Analisis kinerja dapat dilakukan dalam 3(tiga) bagian yaitu (Mahmudi, 2007 : 122) : 1. Analisis Pendapatan Analisis terhadap kinerja pendapatan daerah secara umum terlihat dari realisasi pendapatan dan anggarannya. Apabila realisasi melampaui anggaran (target) maka kinerja dapat dinilai dengan baik. Penilaian kinerja pendapatan pada dasarnya tidak cukup hanya melihat apakah realisasi pemdapatan daerah telah melampaui target anggaran, namun perlu dilihat lebih lanjut kompenen pendapatan apa yang paling berpengaruh. Berdasarkan laporan realisasi anggaran, kita dapat melakukan analisis pendapatan daerah dengan cara: a. Analisis Varians (Selisih) Anggaran Pendapatan Analisis Varians anggaran pendapatan dilakukan dengan cara menghitung selisih antara realisasi pendapatan dengan yang di anggarkan. Biasanya selisih anggaran sudah di informasikan dalam laporan realisasi anggaran yang sudah disajikan oleh pemerintah daerah. Informasi selisih anggaran tersebut sangatmembantu pengguna laporan dalam memahami dan menganalisis kinerja pendapatan.

15 Pada prinsipnya, anggaran pendapatan merupakan batas minimal jumlah pendapatan yang ditargetkan harus diperoleh oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah dikatakan memiliki kinerja pendapatan yang baik apabila mampu memperoleh pendapatan yang melebihi jumlah yang dianggarkan (target anggaran). Sebaliknya apabila realisasi pendapatan dibawah jumlah yang dianggarkan, maka hal itu dinilai kurang baik. Apabila target pendapatan dapat dicapai bahkan terlampaui, maka hal itu tidak terlalu mengejutkan karena memang seharusnya demikian. Selisih lebih realisasi pendapatan merupakan selisih yang diharapkan (favourable variance), sedangkan selisih kurang merupakan selisih yang tidak diharapkan (unfavourable variance). Contoh: Realisasi Pendapatan 2013 5.863.492.629,56 Anggaran Pendapatan 2013 5.787.695.079,05 Selisih 75.797.550,51 b. Analisis Rasio Keuangan Menurut Abdul Halim (2007:232) analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecederungan yang terjadi. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki pemda tertentu dengan rasio keunagan daerah lain yang terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk melihat bagaimana posisi rasio keuangan

16 pemda tersebut terhadap pemda lainnya. Beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain (Mahmudi, 2007 : 128) : 1) Rasio Derajat Desentralisasi Derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah dengan total penerimaan daerah. Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut (Mahmudi, 2007:128) : Derajat Desentralisasi= Contoh: Derajat Desentralisasi= Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Daerah 5.863.492.629,56 5.863.492.629,56 = 100% 2) Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah Rasio efektivitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam memobilisasi penerimaan PAD sesuai dengan yang ditargetkan. Kemampuan memperoleh PAD dikategorikan efektif apabila rasio ini mencapai minimal 1 atau 100%. Rasio ini

17 dirumuskan sebagai berikut (Mahmudi, 2007:129) : Realisasi Pendapatan Asli Daerah Rasio Efektivitas= Target Penerimaan PAD Contoh: 5.863.492.629,56 Rasio Efektivitas= 5.787.695.079,05 = 101% 2. Analisis Belanja Analisis belanja daerah sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi apakah pemerintah daerah telah menggunakan APBD secara ekonomis, efisien, dan efektif (value for money). Sejauh mana pemerintah daerah telah melakukan efisiensi anggaran, menghindari pengeluaran yang tidak perlu dan pengeluaran yang tidak tepat sasaran. Kinerja anggaran belanja daerah dinilai baik apabila realisasi lebih rendah dari jumlah yang di anggarkan, hal itu menunjukan adanya efisiensi anggaran. Belanja daerah penting juga dianalisis keserasian belanjanya karena hal ini terkait dengan fungsi anggaran sebagai alat distribusi, alokasi, dan stabilisasi. Berdasarkan informasi pada laporan realisasi anggaran kita dapat melakukan analisis anggaran belanja dengan cara (Mahmudi, 2007 : 142): a. Analisis Varians Belanja Analisis varians merupakan analisis terhadap perbedaan atau selisih antara realisasi dengan anggaran. Berdasarkan laporan realisasi anggaran yang disajikan, pembaca laporan dapat mengetahui secara langsung

18 besarnya varians anggaran belanja dengan realisasinya yang biasa dinyatakan dalam bentuk nilai nominalnya atau persentasenya. Kinerja pemerintah daerah dinilai baik apabila jika realisasi belanja lebih rendah dari yang dianggarkan, jika realisasi belanja lebih besar dari jumlah yang dianggarkan maka hal itu mengindikasikan adanya kinerja anggaran yang kurang baik. Contoh: Realisasi Belanja 2013 30.877.302.007,00 Anggaran Belanja 2013 31.908.208.306,35 Selisih -1.030.906.299,35 b. Analisis Keserasian Belanja Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memperioritaskan alokasi dananya pada belanja secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang di alokasikan untuk belanja yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Analisis keserasian belanja antara lain berupa: 1. Analisis Belanja Operasi terhadap Total Belanja Analisis belanja operasi terhadap total belanja merupakan perbandingan antara total belanja operasi dengan total belanja daerah. Rasio ini menginformasikan kepada pembaca laporan mengenai porsi belanja daerah yang dialokasikan untuk belanja operasi. Belanja operasi merupakan belanja yang manfaatnya habis dikonsumsi dalam satu tahun anggaran, sehingga belanja operasi ini sifatnya jangka

19 pendek dan dalam hal tertentu sifatnya rutin atau berulang. Pada umumnya proporsi belanja operasi mendominasi total belanja daerah, yaitu antara 60-90 persen. Rasio belanja operasi terhadap total belanja dirumuskan sebagai berikut (Mahmudi, 2007:150) : Realisasi Belanja Operasi Rasio Belanja Operasi= Total Belanja Daerah Contoh: 19.274.484.012,00 Rasio Belanja Operasi= 30.877.302.007,00 = 62% 2. Belanja Modal terhadap Total Belanja Analisis belanja modal terhadap total belanja merupakan perbandingan antara total realisasi belanja modal dengan total belanja daerah. Berdasarkan rasio ini, pembaca laporan dapat mengetahui porsi belanja daerah yang dialokasikan untuk investasi dalam bentuk belanja modal pada tahun anggaran bersangkutan. Berbeda dengan belanja operasi yang bersifat jangka pendek dan rutin, pengeluaran belanja modal yang dilakukan saat ini akan memberikan manfaat jangka menengah dan panjang. Belanja modal ini akan mempengaruhi neraca pemerintah daerah, yaitu menambah aset daerah. Rasio belanja modal ini dirumuskan sebagai berikut (Mahmudi, 2007:151) : Realisasi Belanja Modal Rasio Belanja Modal = Total Belanja Daerah

20 Contoh: 11.602.817.995,00 Rasio Belanja Modal = 30.877.302.007,00 = 38% c. Rasio Efisiensi Belanja Rasio efisiensi belanja ini digunakan untuk mengukur tingkat penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah. Angka yang dihasilkan dari rasio efisiensi ini tidak bersifat absolut, tetapi relatif. Artinya tidak ada standar baku yang dianggap baik untuk rasio ini. Kita hanya dapat mengatakan bahwa tahun ini belanja pemerintah daerah lebih efisien dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah daerah di nilai telah melakukan efisiensi anggaran jika rasio efisiensinya kurang dari 100%. Sebaliknya jika melebihi 100% maka mengindikasikan terjadinya pemborosan anggaran. Rasio efisiensi belanja dirumuskan sebagai berikut (Mahmudi, 2007:152) : Realisasi Belanja Rasio Efisiensi Belanja = Anggaran Belanja Contoh: 30.877.302.007,00 Rasio Efisiensi Belanja = 31.908.208.306,35 = 97%