A. Perspektif Historis

dokumen-dokumen yang mirip
PARADIGMA BARU PENDIDIKAN LUAR BIASA DI INDONESIA

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD

Lanjutan Hakikat Pendidikan Inklusif

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

WALIKOTA PROBOLINGGO

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

Landasan Pendidikan Inklusif

Implementasi Pendidikan Segregasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

PROSPEK TENAGA KEPENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

BAB I PENDAHULUAN. Konsep dasar pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengakomodasi

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

Perkembangan Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa di Indonesia (Development of Special

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

Pendidikan Luar Biasa/ Pendidikan Khusus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Memasuki akhir milenium kedua, pertanyaan tentang

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDIDIKAN INKLUSI ANAK USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi

TINJAUAN MATA KULIAH...

MODEL & STRATEGI PEMBELAJARAN ABK DLM SETTING PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

Daftar Pustaka. Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN T 9 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF. Oleh Mohamad Sugiarmin

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

JURNAL SOSIAL EKONOMI PEMBANGUNAN Tahun II No.4, November 2011

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB IV ANALISIS PENELITIAN. A. Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusi di SD Negeri 02 Srinahan Kesesi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of

PENDIDIKAN SPESIAL UNTUK YANG SPESIAL 1

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

Menuju Inklusi dan Pengayaan

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak untuk semua anak dan hal ini telah tercantum dalam berbagai instrument internasional

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

Transkripsi:

A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak tunanetra dibuka pada tahun 1901, untuk anak tunagrahita tahun 1927, dan untuk anak tunarungu tahun 1930, ketiganya di Bandung. Berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan, SLB-SLB itu dikelompokkan menjadi : SLB bagian A untuk anak tunanetra; SLB bagian B untuk anak tunarungu; SLB bagian C untuk anak tunagrahita; SLB bagian D untuk anak tunadaksa; SLB bagian E untuk anak tunalaras; dan SLB bagian G untuk anak cacat ganda. Pendidikan bagi anak luar biasa selain dilaksanakan dalam bentuk terpisah (segegratif), juga dilaksanakan dalam bentuk terpadu (integratif). Konsep pendidikan terpadu diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1978 oleh Helen Keller International (HKI), Inc. Ketika itu HKI bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan tiga bentuk kegiatan, masing-masing: pendidikan terpadu, orientasi dan mobilitas, dan bimbingan bagi orang tua yang memiliki anak tunanetra tunanetra. Keberhasilan proyek pendidikan terpadu menyebabkan dikeluarkannya SK Mendikbud nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat, yang pada intinya mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan akademis dapat diterima bersekolah di sekolah reguler. Sayangnya, setelah proyek pendidikan terpadu itu berakhir, implementasi pendidikan terpadu itu semakin mundur, terutama di tingkat sekolah dasar. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala seperti: (1) kurang tepatnya konsep yang tertanam pada masyarakat pendidikan, khususnya sekolah reguler, tentang hak anak-anak luar biasa untuk belajar bersama-sama secara terpadu dengan anak-anak normal. Pada umumnya masih

tertanam bahwa pendidikan bagi anak-anak luar biasa merupakan porsi SLB; (2) kurangnya koordinasi antara pihak penyelenggara pendidikan guru (LPTK), birokrasi pendidikan, sekolah, dan masyarakat; (3) kurangnya sosialisasi perangkat peraturan yang ada; dan (4) kurangnya upaya kampanya kepedulian dan kesadaran masyarakat mengenai hakikat dan konsep keluarbiasaan yang tepat. Untuk memenuhi guru yang mengajar di sekolah yang diperuntukkan bagi anak luar biasa, didirikan lembaga pendidikan guru sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pendidikan guru untuk PLB yang pertama, Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB), didirikan di Bandung pada tahun 1952, dengan lama pendidikan dua tahun. Pada mulanya SGPLB diperuntukkan bagi guru-guru yang sudah berpengalaman mengajar di SD dan berizasah SGB. Dalam perkembangan selanjutnya, input SGPLB adalah tamatan SLTA, dan lulusannya dihargai sejajar dengan sarjana muda. Ketika SGPLB dilikuidasi pada tahun 1994, di seluruh Indonesia terdapat enam SGPLB (Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, Makasar dan Padang). Likuidasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualifikasi guru PLB menjadi sekurangkurangnya berizasah S1. Program S1 PLB yang pertama di Indonesia dibuka di IKIP Bandung (sekarang UPI) pada tahun 1964. Beberapa tahun kemudian beberapa IKIP dan perguruan tinggi lain juga membuka jurusan PLB. Kini sembilan universitas, delapan negeri dan satu suasta, di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, memiliki jurusan PLB. Pada tahun 1996 UPI membuka konsentrasi Bimbingan Anak Khusus pada program studi Bimbingan dan Penyuluhan di Program Pascasarjana sebagai upaya merintis dibukanya program studi PLB pada jenjang S2. Pada tahun 2001, Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Departemen Pendidikan Nasional, dengan bantuan dana dari pemerintah Norwegia, menawarkan kerjasama antara UPI dan Universitas Oslo untuk membuka program magister pendidikan kebutuhan khusus di Program Pascasarjana UPI. Pada tahun akademik 2004-2005 program ini dibuka sebagai satu program studi yang mandiri.

B. Perspektif Filosofis PLB dengan paradigma baru, memandang persoalan pendidikan anak dari sudut pandang yang lebih humanistik dan memperlakukan peserta didik secara holistik, lebih memperhatikan pada haknya sebagai seorang manusia, dan memusatkan perhatian pada kebutuhan belajarnya. Ini berarti bahwa layanan pendidikan untuk anak ini tidak didasarkan atas kategori kecacatannya tetapi lebih didasarkan pada kebutuhan khususnya yang mungkin diakibatkan oleh kecacatannya dan/atau hambatan-hambatan belajar dan perkembangan lainnya. Pergeseran paradigma tersebut mengubah ilmu pendidikan luar biasa (special education) menjadi ilmu pendidikan kebutuhan khusus (special needs education). Lebih jauh dari itu, ilmu pendidikan kebutuhan khusus berkeyakinan bahwa anak seyogyanya tidak dipisahkan dari komunitasnya; mereka sebaiknya belajar bersama-sama dengan teman-teman sebayanya di sekolah reguler dengan memperoleh layanan yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. Pemikiran inilah yang telah memunculkan ideologi pendidikan inklusif dan konsep sekolah inklusif. Sebetulnya model pendidikan inklusif bukanlah sesuatu yang baru, jauh sebelumnya beberapa model seperti ini sudah banyak dikenal, seperti (1) Normalisasi, yaitu penciptaan suatu lingkungan sosial dan pendidikan yang senormal mungkin bagi anak dan orang dewasa luar biasa, (2) Mainstreaming, yaitu proses membawa anak luar biasa dalam hubungan sehari-hari dengan anak biasa dalam suatu setting pendidikan, (3) Least Restrictive Environment (LRE), yaitu anak luar biasa sedapat mungkin tidak dipisahkan dengan lingkungan kelas, rumah, keluarga, dan masyarakat biasa/normal, (4) Deinstitusionalisasi, yaitu proses pelepasan sebanyak mungkin anak/orang dewasa luar biasa dari pengurungan lembaga penampungan ke masyarakat setempat, dan (5) Integrasi, yaitu mengintegrasikan anak dan orang dewasa luar biasa di sekolah biasa dan masyarakat pada umumnya. C. Pendidikan Inklusif Dalam 40-50 tahun terakhir berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat agar pendidikan dapat diakses oleh semua anak. Perubahan-perubahan sebagai hasil dari diskusi-diskusi, konferensi, deklarasi, dan konvensi baik tingkat lokal, nasional, dan

internasional telah dicoba untuk diperkenalkan. Perubahan perilaku dengan harapan mengarah pada konsekuensi praktis telah ditargetkan. Namun, di banyak negara hanya 50-60% anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2-3% anak yang menyandang kecacatan masuk sekolah (Johnsen & Skjørten, 2001:37). Melihat kenyataan tersebut organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perserikatan bangsa-bangsa (UNESCO) menyelenggarakan konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua/PUS (Education for All/EFA) di Jomtien, Thailand, pada tahun 1990. Konferensi tersebut menghasilkan dua tujuan utama sebagai berikut: (1) membawa semua anak masuk sekolah, dan (2) memberikan semua anak pendidikan yang sesuai. Inti dari konferensi tersebut adalah untuk menjamin hak semua orang tanpa memandang perbedaanperbedaan individual yang ada. Menindak lanjuti konferensi tersebut, pada tanggal 7 sampai 10 Juni 1994 lebih dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintah dan 25 organisasi internasional bertemu di Salamanca, Spanyol, untuk memperluas tujuan PUS (EFA) dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakan pendekatan pendidikan inklusif (inclusive education), agar sekolah-sekolah dapat melayani semua anak, terutama mereka yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus. Dalam Pernyataan Salamanca tersebut ada enam hal yang ditekankan, yaitu: (1) hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah, (2) hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya dalam kelas-kelas inklusif, (3) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual, (4) pengayaan dan manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan pendidikan inklusif, (5) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan berkualitas yang bermakna bagi setiap individu, dan (6) keyakinan bahwa pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya pada keefektifan biaya. Tanpa adanya akselerasi, sasaran tidak bisa tercapai dan ketidakseimbangan antar negara semakin terbentang. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan dasar akan pendidikan merupakan hal yang penting (Fasli Djalal, 2002:1). Menyadari akan pentingnya pendidikan, para partisipan yang tergabung dalam World Education Forum bertemu di Dakar, Senegal bulan April 2000 dan mengikrarkan akan pentingnya

pendidikan untuk semua. Komitmen ini merupakan penguatan atas Deklarasi Dunia mengenai PUS (EFA) yang diselenggarakan di Jomtien, tahun 1990. Komitmen dalam pertemuan Dakar terdiri dari enam tujuan pendidikan, sebagai berikut: (1) meningkatkan dan memperluas pendidikan anak-anak secara menyeluruh, terutama bagi anak-anak yang kurang beruntung, (2) semua anak-anak pada tahun 2015 khususnya perempuan, anak-anak dengan kondisi yang memprihatinkan dan yang merupakan etnis minoritas harus bisa memperoleh dan menempuh pendidikan dasar berkualitas baik secara cuma-cuma, (3) program yang bersifat keahlian dan tepat guna akan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran bagi anak-anak dan orang dewasa, (4) pada tahun 2015 diharapkan akan ada peningkatan sekitar 50% untuk tingkat baca tulis orang dewasa, khususnya wanita, dan akses yang menunjang keseimbangan akan pendidikan yang berlanjut untuk semua orang dewasa, (5) menghilangkan isu gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai keseimbangan gender dalam pendidikan pada tahun 2015. Hal ini akan berfokus pada akses seimbang dan menyeluruh untuk wanita dalam pendidikan dasar yang berkualitas baik, dan (6) memperbaiki semua aspek dalam kualitas pendidikan sehingga semua hasilnya bisa dinikmati oleh semua pihak, terutama dalam baca tulis, menghitung dan keterampilan siap pakai. Dari ke enam tujuan pendidikan tersebut jelaslah bahwa pendidikan harus diselenggarakan untuk semua. Kata semua anak secara literal dan jelas ditujukan untuk semua, juga bagi anak-anak dengan keadaan yang kurang beruntung yang pada akhirnya memerlukan layanan pendidikan khusus. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab VI Pasal 32 dikemukakan, bahwa: (1) pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, da/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi, dan (3) ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Apabila dicermati, maka isi yang terkandung di dalam pasal ini telah sejalan dengan pernyataan Salamanca. Ayat 1

mengakomodasi tentang pendidikan bagi anak yang berkebutuhan permanen, sedangkan ayat 2 bagi anak yang berkebutuhan temporer. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) draft akhir Bab II Pasal 12 tentang Pendidikan Terpadu dan Inklusif dikemukakan, bahwa: (1) pendidikan terpadu dan inklusif bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik berkelainan untuk mengikuti pendidikan secara terintegrasi melalui sistem persekolahan reguler dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikannya, (2) pendidikan terpadu dan inklusif dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, (3) penyelenggaraan pendidikan terpadu dan inklusif dapat melibatkan satu atau beberapa jenis peserta didik berkelainan sesuai dengan kemampuan sekolah, (4) sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu dan inklusif perlu menyediakan tenaga serta sarana dan prasarana khusus yang diperlukan peserta didik berkelainan, (5) peserta didik yang mengikuti pendidikan terpadu dan inklusif berhak mendapatkan penilaian secara khusus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik yang bersangkutan, (6) pemerintah mengupayakan insentif bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu dan inklusif, dan (7) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah. Selain Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang mengatur pendidikan inklusif, Departemen Pendidikan Nasional, Ditjen Dikdasmen, Dit PLB membuat kebijakan dan pengembangan program PLB yang di dalamnya mengakomidasi tentang pendidikan inklusif, sebagai berikut: Pendidikan inklusif adalah pendidikan yan mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. Upaya pendidikan inklusi harus diwujudkan di Indonesia, hal ini dilandasi bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Konsep inklusi ini juga diperkuat adanya konvensi tentang hak-hak anak luar biasa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup dan berkembang secara penuh sesuai dengan potensi yang dimiliki di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan isi yang terkandung dalam kebijakan di atas jelaslah bahwa pendidikan inklusif bukan hanya isu internasional tetapi juga isu nasional. Hal ini terbukti dari keinginan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pendidikan inklusif sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak anak berkebutuhan khusus. Keinginan tersebut adalah

keinginan yang wajar dari pemerintah, mengingat jumlah anak berkebutuhan khusus yang bersekolah relatif masih sedikit.

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN LUAR BIASA DI INDONESIA Oleh: DRS. DJADJA RAHARDJA, M.Ed. BANDUNG 2005