BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah

mencerminkan tantangan sekaligus kesempatan. Meningkatnya persaingan antar negara tidak hanya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan suatu perekonomian dalam satu periode ke periode

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Gorontalo. Menara Keagungan Limboto

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Pada Usia Produktif Untuk Menghadapi Peluang Dan Tantangan Dari Bonus Demografi Di Kabupaten Gunung Mas

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan pembangunan itu sendiri dapat dilihat dari berbagai perspektif yang multidimensional baik pada aspek sosial budaya, hukum, keamanan maupun ekonomi yang kemudian menjadi fokus analisa dalam penelitian ini. Aspek ekonomi menjadi fokus perhatian karena selain memiliki banyak indikator penilaian, ia juga sangat rentan dan berpengaruh pada seluruh aspek pembangunan. Pertumbuhan ekonomi sampai saat ini masih menjadi indikator keberhasilan pembangunan yang umum dan familiar bagi masyarakat karena dapat dengan mudah diukur secara kuantitatif dan menstimulus aspek pembangunan lainnya. Pertumbuhan ekonomi berarti adanya kenaikan pendapatan (total maupun individu) sebagai akibat meningkatnya Produk Domestik Bruto / Produk Nasional Bruto tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Pertumbuhan harus berjalan secara berdampingan dan berencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan kerja dan pembagian hasilhasil pembangunan yang lebih merata. Jika hal ini berlangsung secara berkelanjutan, maka daerah-daerah terpacu untuk terus tumbuh dan berkembang. Daerah yang semula tidak produktif dan tertinggal akan memiliki peluang untuk maju dan memiliki produktivitas yang sama atau bahkan lebih baik dari daerah lainnya. Setelah memekarkan diri dari Sulawesi Utara, Gorontalo diresmikan menjadi provinsi baru pada 16 Februari 2001, tepat di era otonomi daerah. Provinsi Gorontalo menjadi bayi ajaib yang langsung mencatat prestasi pertumbuhan ekonomi tinggi yang secara relatif lebih baik dibanding regional Sulawesi, Kawasan Timur Indonesia maupun secara nasional. Kurun waktu 2001

2 hingga 2005, Gorontalo mencapai pertumbuhan rata-rata 6,69% per tahun, sekitar 2% diatas rata-rata nasional pada periode yang sama (pertumbuhan nasional ratarata 4.73%). Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, Gorontalo termasuk dalam 3 provinsi yang mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 6% pada periode 2000-2004. Keberhasilan Gorontalo sebagai provinsi baru dalam mencapai tingkat pertumbuhan juga dapat dilihat dalam pencapaian setiap tahunnya. Sesuai dengan publikasi Bank Dunia dalam Service Delivery and Financial Management in A New Province, Gorontalo Public Expenditure Analysis (GPEA) tahun 2008, meskipun porsinya relatif kecil dibanding dengan Sulawesi, Indonesia Timur ataupun nasional, tetapi laju pertumbuhan ekonomi Gorontalo setelah krisis berada diatas ketiganya. Demikian pula dengan data dari BPS selama 2003-2005 menunjukan prestasi pertumbuhan Provinsi Gorontalo dibandingkan dengan provinsi lain di Sulawesi, khususnya dengan daerah induknya Sulawesi Utara yang menempati posisi paling akhir di antara 6 provinsi di Sulawesi. Sumber : Bank Dunia, 2008 Gambar 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata per Tahun, Nasional, Indonesia Timur, Sulawesi dan Gorontalo Tahun 1994-2005

3 Sumber : BPS, 2006 Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Gorontalo dan Provinsi di Sulawesi Provinsi Gorontalo memiliki lima (5) kabupaten dan satu (1) kota dimana setiap kabupaten dan kota memiliki besaran pertumbuhan ekonomi yang berbedabeda. Meskipun perekonomian nasional dan daerah sempat dilanda krisis dan mengingat Gorontalo merupakan provinsi baru yang dimekarkan dari Sulawesi Utara, tetapi pertumbuhan ekonomi provinsi, kabupaten dan kota didalamnya menunjukkan trend positif dan meningkat. Dari sisi produksi atau supply side, kontribusi pembentuk pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo porsi terbesar disumbangkan oleh sektor pertanian dengan kontribusi rata-rata per tahun selama 2001-2005 sebesar 31.24%. Meskipun memiliki porsi terbesar, Sektor Pertanian rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 6.15%, lebih rendah dibandingkan laju Sektor Pertambangan dan Penggalian dengan porsi hanya 0.91% serta laju Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dengan kontribusi 0.61% dan laju pertumbuhan 8.28%. Sektor yang memiliki laju pertumbuhan terbesar adalah Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan sebesar 16.82% dengan porsi terhadap total PDRB sebesar 8.35% per tahun.

4 Dari sisi pengeluaran atau demand side, selama 2001-2005 kontribusi Sektor Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga rata-rata 74.70% per tahun, terbesar dari semua sektor, dengan rata-rata laju pertumbuhan 3.14% per tahun. Sektor Pengeluaran Pemerintah meskipun menduduki urutan kedua sebesar 32.22%, tetapi memiliki laju pertumbuhan yang tertinggi, yaitu 62.05% per tahun. Pada kenyataannya pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi dan terus meningkat tidak otomatis menghilangkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity). Ketimpangan pembangunan yang paling jelas terlihat adalah pada aspek pendapatan yang menimbulkan golongan kaya dan miskin, aspek spasial yang mengakibatkan adanya wilayah maju dan tertinggal serta aspek sektoral yang menyebabkan adanya sektor unggulan dan non unggulan. Ketimpangan pembangunan terjadi dalam skala lokal dan nasional. Bahkan dalam lingkup internasional, fenomena ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah terlihat nyata. Ketimpangan pembangunan seringkali menjadi permasalahan serius dan apabila tidak mampu dieliminir secara hati-hati dapat menimbulkan krisis yang lebih kompleks seperti masalah kependudukan, ekonomi, sosial, politik dan lingkungan serta dalam konteks makro sangat merugikan proses dan hasil pembangunan yang ingin dicapai suatu wilayah. Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata. Ketimpangan pembangunan antarwilayah seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mengalami pertumbuhan cepat, sementara daerah lainnya mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan karena kurangnya sumberdaya yang dimiliki, adanya kecenderungan penanam modal (investor) memilih daerah yang telah memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, telekomunikasi, perbankan, asuransi dan tenaga kerja terampil. Selain itu adanya ketimpangan redistribusi pendapatan dari pemerintah pusat ke daerah. Di sisi lain pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini juga menimbulkan makin melebarnya ketimpangan sosial-ekonomi antarwilayah. Ketimpangan ini pada akhirnya menimbulkan masalah dalam konteks makro. Potensi konflik antardaerah / wilayah menjadi besar, wilayah-wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula

5 hubungan antarwilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antarwilayah. Buku-buku referensi utama dan hasil-hasil penelitian empiris mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan meliputi faktor biofisik/karakteristik wilayah (sumberdaya alam), sumberdaya buatan (ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi), sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, karakteristik struktur ekonomi wilayah dan kebijakan pemerintah daerah (Anwar 2005; Sjafrizal 2008; Rustiadi et al. 2009), aspek kelembagaan menyangkut aturan dan organisasi yang ada di masyarakat, dinamika sosial dan politik yakni dengan adanya pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonomi baru, serta persoalan aliran masuk dan keluar modal (investasi pemerintah maupun swasta) yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kondisi pembangunan. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab ketimpangan tersebut diharapkan dapat dikembangkan kebijakan dan strategi dalam mengurangi tingkat ketimpangan yang terjadi. Ketimpangan pada dasarnya disebabkan adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada masingmasing wilayah. Akibat dari perbedaan ini kemampuan pada suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada suatu daerah biasanya terdapat wilayah maju (Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region). Ketimpangan pembangunan juga dapat dilihat secara vertikal yakni perbedaan pada distribusi pendapatan serta secara horizontal yakni perbedaan antara daerah maju dan terbelakang (Sjafrizal, 2008). Relevan dengan teori dan penelitian diatas, di Provinsi Gorontalo dapat dilihat adanya perbedaan pembangunan (disparity) pada setiap kabupaten dan kota. Kota Gorontalo selaku ibukota provinsi dan satu-satunya menyandang status administrasi pemerintahan Kota menjadi jantung kegiatan perekonomian. Dinamika perekonomiannya sangat terasa di bidang jasa, perdagangan dan pendidikan. Tidak mengherankan jika masyarakatnya menikmati pendapatan

6 perkapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan dan penggangguran yang lebih rendah, kualitas SDM yang baik menyebabkan indeks pembangunan manusia yang lebih tinggi serta akses terhadap infrastruktur yang lebih mudah dijangkau. Ini berbeda dengan yang dialami oleh wilayah-wilayah kabupaten. Kabupaten Gorontalo misalnya, sebagai kabupaten tertua memiliki kekayaan SDA yang berlimpah dalam menggenjot pembangunannya. Namun perkembangan yang terjadi dengan adanya pemekaran wilayah menjadikan wilayah Kabupaten Gorontalo mendapat saingan dari daerah mekarannya. Dengan fisik wilayah yang lebih luas, penduduk dan ketersediaan infrastruktur lebih menyebar dan tidak merata. Saat ini Kabupaten Pohuwato sebagai kabupaten termuda memiliki potensi SDA yang sangat berlimpah. Sebagian besar para perencana pembangunan di daerah dan nasional memprediksi wilayah baru ini akan berkembang melebihi Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo sebagai daerah induknya. Hal ini terutama lebih besar akan digenjot oleh potensi SDA yang ada. Ketimpangan pada jumlah penduduk, besarnya PDRB dan PDRB perkapita juga menggambarkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Kabupaten Gorontalo misalnya, selama tahun 2003 2007, memiliki PDRB perkapita rata-rata 1,76 juta rupiah dengan share 37% terhadap total PDRB provinsi. Bandingkan dengan Kabupaten Pohuwato dengan PDRB perkapita 3,44 juta rupiah namun dengan share hanya 18,6% dari total PDRB provinsi. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi penduduk di Provinsi Gorontalo berada di Kabupaten Gorontalo yang sebagian besar adalah masyarakat miskin. Selain itu, kemiskinan, pengangguran dan pendidikan juga kontras dengan pertumbuhan yang diraih. Ditengah pertumbuhan ekonomi tinggi, Gorontalo memiliki jumlah penduduk miskin yang besar. Sekitar 28,87 % pada tahun 2004 penduduk Gorontalo hidup dalam keadaan miskin dan menempati urutan termiskin ke-3 di Indonesia (setelah Papua dan Maluku). Selang tahun 2003 2006, Kota Gorontalo mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi yakni 6,50%. Pada kurun waktu yang sama Kabupaten Gorontalo mencatat kontribusi terbesar pada Dana Alokasi Umum terhadap Total Penerimaan (79,50%), Dana Alokasi Umum terhadap Dana Perimbangan

7 (85,44%) dan Dana Perimbangan terhadap Total Penerimaan (93,12%). Kota Gorontalo tertinggi pada kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan (8,87%). Proporsi penduduk yang terbesar ada di Kabupaten Gorontalo sebesar 39,09%. Dana Alokasi Umum (DAU) memberi kontribusi cukup besar yakni diatas 70% bagi pendanaan pembangunan di Kabupaten/Kota maupun Provinsi Gorontalo. DAU juga berkontribusi rata-rata diatas 80% terhadap Dana Perimbangan. Sedangkan Dana Perimbangan berkontribusi rata-rata 90% terhadap total penerimaan daerah. Ini berarti bahwa proses pembangunan di Gorontalo memiliki ketergantungan yang tinggi pada kucuran dana dari pemerintah pusat. Jika ini dikaitkan dengan pembentukan PDRB, seharusnya peningkatan DAU akan menstimulus pembentukan PDRB jika DAU atau Dana Perimbangan secara umum ditingkatkan. Tetapi di Gorontalo yang terjadi justru sebaliknya. Fakta menunjukkan bahwa tingginya DAU, DAK dan Dana Perimbangan tidak seketika menaikkan PDRB dan pertumbuhan ekonomi. Dari sisi perkembangan besaran absolut DAU, DAK dan Dana Perimbangan menunjukkan bagi daerah yang memiliki PDRB kecil tidak ada perlakuan khusus yakni dengan pemberian DAU dan DAK yang lebih besar. Daerah dengan PDRB terendah (Kab. Bone Bolango) menerima DAU dan DAK yang paling kecil dibanding daerah lain. Penurunan DAU dan DAK disebabkan oleh adanya pemekaran wilayah bukan karena pencapaian PDRB yang tinggi. Dari sisi pertumbuhan, umumnya peningkatan DAU dibarengi dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo dan Kota Gorontalo yang DAU-nya meningkat tapi pertumbuhan ekonominya menurun. Diantara daerah-daerah di Gorontalo, kantong kemiskinan terbesar berada di Kabupaten Gorontalo. Pengangguran juga cukup tinggi, data Sakernas tahun 2004 mencatat pengangguran di Gorontalo sebanyak 45.360 jiwa sementara Susenas mencatat ada 57.412 jiwa. Dari aspek pendidikan nampak bahwa output pendidikan yang dicerminkan oleh Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk semua tingkatan sekolah pada tahun 2002 dan

2005 umumnya berada di bawah nasional dan dibawah dua provinsi terdekatnya, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah (World Bank, 2008). 8 Tabel 1.1 Perbandingan Beberapa Indikator Ekonomi Gorontalo, Sulawesi Utara dan Nasional tahun 2007 Wilayah PDRB Perkapita Berlaku (Rp. Ribu) Purchasing Power Parity (Rp. Ribu) Angka Harapan Hidup (tahun) Angka Melek Huruf (persen) Rata-rata Lama Kemiskinan Sekolah (persen) (tahun) Gorontalo 4.957,33 615,94 65,90 95,75 6,91 27,35 IPM & Peringkat Nasional 68,83 (24) Sulut 11.100,20 619,39 72,00 99,30 8,80 11,42 74,68 (2) Nasional 17.581,38 624,37 68,70 91,87 7,47 16,58 70,59 Sumber : BPS 2008 Dari berbagai indikator ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, nampak jelas bahwa Gorontalo mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan daerah tetangga sekaligus bekas daerah induknya Sulawesi Utara serta dibandingkan dengan nasional. Pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat Gorontalo lebih rendah, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah juga lebih rendah. Dengan angka kemiskinan yang lebih tinggi dibanding Sulawesi Utara dan Nasional menyebabkan IPM Gorontalo lebih kecil dan berada di peringkat bawah (24) secara nasional.

Tabel 1.2 Perbandingan Indikator Ekonomi Provinsi Gorontalo tahun 2001 dan 2008 Uraian Kondisi Awal Provinsi Kondisi Terakhir (2001) (2008) Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,16 7,29 Penduduk (jiwa) 850.798 972.208 Pengangguran (%) 3,70 5,65 Kemiskinan (%) 32,12 24,88 Inflasi (% pertahun) 12 7 PDRB Riil (juta rupiah) 1.556.068 2.368.538 PDRB perkapita Riil (juta rupiah) 1,83 2,44 Pengeluaran perkapita Riil yang disesuaikan* (rupiah) 573.000 615.940 Nilai Ekspor (US$) 3.226.221 24.253.005 Rasio Belanja Infrastruktur 0,04 0,09 Angka Harapan Hidup (tahun) 64,2 65,9 Angka Melek Huruf (persen) 95,2 95,75 Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 6,5 6,9 IPM* & ranking nasional 64,1 (24) 68,83 (24) Sumber: Paper Refleksi Sewindu Pembangunan Gorontalo, Wakil Gubernur Gorontalo, 2008. Ket: *Rincian untuk elemen IPM tersedia hanya sampai 2007 Secara umum indikator ekonomi Gorontalo kurun waktu tahun 2001 hingga 2008 positif dan terus bertumbuh. Laju pertumbuhan ekonomi tinggi, 2% diatas rata-rata nasional. Angka pengangguran sedikit meningkat tetapi kemiskinan menurun. Pendapatan masyarakat secara total maupun perkapita juga meningkat. Ditunjang dengan laju inflasi yang menurun menyebabkan daya beli masyarakat juga ikut meningkat. Nilai ekspor meningkat seiring bertambahnya rasio belanja pada infrastruktur. Komponen pembentuk Indeks Pembangunan Manusia juga meningkat walaupun IPM Gorontalo secara nasional tetap berada di peringkat 24. Hal ini menjadi sebuah catatan yang baik bagi daerah yang baru mengalami pemekaran menjadi sebuah provinsi. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan ini maka penulis menilai perlunya penelitian yang bertema Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. 9

10 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang hendak diteliti dan dikaji sebagai berikut : 1) Bagaimana perubahan struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo? 2) Berapa besar ketimpangan pembangunan yang bersumber dari ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Rasio Belanja Infrastruktur? 3) Bagaimana hubungan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo? 4) Kebijakan apa yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah berkaitan dengan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo? 1.3. Tujuan Penelitian 1) Mendeskripsikan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo 2) Menganalisis ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur sebagai sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. 3) Menganalisis hubungan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo. 4) Memberi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah berkaitan dengan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1) Menjadi masukan dan bahan perbandingan bagi Pemerintah Provinsi Gorontalo dan masing-masing Kabupaten/Kota dalam penentuan kebijakan perbaikan struktur ekonomi, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan pembangunan.

11 2) Memberi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah kabupaten/kota dan Provinsi Gorontalo untuk mencapai petumbuhan ekonomi tinggi disertai pengurangan ketimpangan pembangunan. 3) Menjadi informasi bagi penelitian lanjutan yang berkaitan dengan struktur dan pertumbuhan ekonomi serta ketimpangan pembangunan baik dalam skala nasional maupun lokal. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian 1) Penelitian dilakukan terhadap empat kabupaten yakni Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato dan Bone Bolango serta satu kota yaitu Kota Gorontalo yang menjadi unit analisis sedangkan Provinsi Gorontalo menjadi wilayah referensi. 2) Ruang lingkup penelitian difokuskan pada analisis data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, dan Ketimpangan Pembangunan yang disebabkan perbedaan pada PDRB Perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur.