BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara global hingga pada pertengahan tahun 2015 terdapat 15,8 juta orang yang hidup dengan HIV dan 2,0 juta orang baru terinfeksi HIV, serta terdapat 1,2 juta orang meninggal karena penyebab terkait HIV. Diperkirakan 0,8 % dari orang dewasa berusia 15 49 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV (WHO,2015). Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di Bali, jumlah kasus HIV positif dan AIDS di Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan, hingga saat ini terdapat 191.073 dinyatakan positif HIV dan 74.533 positif AIDS, seperti terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS Di Indonesia Yang Dilaporkan Menurut Tahun Sampai Dengan Tahun 2015 No Tahun HIV AIDS Jumlah 1. S/d 2005 859 5.153 864.153 2. 2006 7.195 3.692 10.887 3. 2007 6.048 4.728 10.776 4. 2008 10.362 5.314 15.676 5. 2009 9.793 6.403 16.196 6 2010 21.591 7.179 28.770 7 2011 21.031 8.015 29.046 8 2012 21.511 9.649 31.160 9 2013 29.037 10.163 39.200 10 2014 32.711 7.864 38.205 11 2015 30.935 6.373 37.308 Total 191.073 74.533 1.121.377 Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2016 Data tersebut merupakan jumlah kasus yang ditemukan pada tahun yang bersangkutan bersumber dari Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA) Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI). Penemuan kasus baru HIV di Bengkulu pertama kali dilaporkan tahun 2001 melalui serosurvey yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kesehatan Provinsi dan menemukan sebanyak 3 orang positif HIV. Penderita HIV/AIDS di Provinsi Bengkulu tersebar di 10 Kabupaten/Kota. Berdasarkan data seksi Penanggulangan Penyakit di Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu sampai dengan tahun 2015 1
2 jumlah kasus pengidap HIV yang dilaporkan terus mengalami peningkatan secara signifikan yaitu sebanyak 552 kasus dan AIDS sebanyak 159 kasus, seperti yang terlihat dalam tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Jumlah Kasus Kumulatif Penderita HIV dan AIDS Yang Dilaporkan Menurut Kabupaten Di Provinsi Bengkulu Tahun 2001-2015 No Kabupaten HIV AIDS Jumlah 1 Kota Bengkulu 401 113 514 2 Rejang Lebong 75 10 85 3 Seluma 19 5 24 4 Mukomuko 11 7 18 5 Bengkulu Utara 12 6 18 6 Bengkulu Selatan 15 6 21 7 Kaur 4 1 5 8 Kepahyang 7 4 11 9 BengkuluTengah 4 4 8 10 Lebong 4 3 7 Jumlah 552 159 711 Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, 2016 Jumlah kasus HIV dan AIDS apabila dilihat menurut Kabupaten/Kota tahun 2011 hingga tahun 2015 terlihat Kota Bengkulu sebagai penyumbang terbanyak penderita HIV dan AIDS di Provinsi Bengkulu, seperti terlihat dalam tabel 3 berikut ini : No Tabel 3. Jumlah Kasus Baru HIV/AIDS Yang Dilaporkan Menurut Kabupaten Di Provinsi Bengkulu Tahun 2011-2015 Wilayah 2011 2012 2013 2014 2015 HIV AIDS HIV AIDS HIV AIDS HIV AIDS HIV AIDS 1 Kota Bengkulu 32 10 39 25 52 21 63 21 41 12 2 Muko muko 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 3 Bengkulu Utara 2 0 1 0 6 2 9 0 0 3 4 Bengkulu Tengah 0 0 0 0 1 0 0 2 1 2 5 Seluma 5 0 1 0 22 1 18 2 11 3 6 Bengkulu Selatan 0 0 2 0 5 0 9 0 5 2 7 Kaur 1 0 0 0 2 1 0 1 0 0 8 Kepahiang 0 0 0 0 3 0 4 2 1 2 9 Rejang Lebong 4 8 10 0 9 9 59 10 21 0 10 Lebong 1 0 0 0 2 0 0 2 1 3 Jumlah 45 18 53 25 102 34 127 40 82 28 Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, 2015
3 Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa kasus penderita HIV dan AIDS di Kota Bengkulu dari tahun 2011 mengalami peningkatan, apabila dilihat angka prevalensinya dalam 5 tahun terakhir serta estimasi sampai dengan tahun 2019 rata rata untuk jumlah penderita HIV yaitu 0,14, angka tersebut masih dibawah angka nasional pada tahun 2015 yaitu <0,47 seperti terlihat pada grafik 1 berikut ini : 0,60 0,50 0,5 0,40 0,430,440,450,460,470,480,490,5 0,30 0,24 0,20 0,260,280,30 0,110,12 0,160,19 0,14 0,10 0,00 2010 2012 2014 2016 2018 2020 Prevalensi Angka Nasional Linear (Prevalensi ) Linear (Angka Nasional ) Sumber: Seksi PP Dinas Kesehatan Kota Bengkulu. Grafik 1. Angka Prevalensi Penderita HIV dan AIDS Kota Bengkulu Tahun 2011-2015 dan estimasi sampai dengan tahun 2019 Dari grafik 1 tersebut terlihat peningkatan angka prevalensi HIV walaupun masih dibawah angka nasional, sehingga diperlukan strategi untuk mengupayakan agar angka prevalensi HIV di Kota Bengkulu tetap dibawah angka nasional dan ada upaya untuk menurunkannya. Masalah HIV dan AIDS saat ini bukan hanya masalah kesehatan penyakit menular, tetapi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat luas. Cara menanggulanginya bukan hanya tanggungjawab petugas kesehatan saja, tetapi merupakan tanggungjawab bersama, terutama pihak Pemerintah, baik dari segi kebijakan yang dibuat maupun dari segi anggaran yang mampu mendukung setiap upaya untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Pasal 48 yang berbunyi: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan alokasi anggaran untuk pendanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS.
4 Menurut Thabrany (2014), pendanaan kesehatan merupakan kunci utama dalam suatu sistem kesehatan berbagai negara. Pendanaan yang adil adalah bahwa beban biaya kesehatan dari kantong perorangan tidak memberatkan penduduk, yang artinya bahwa pendanaan itu harus adil dan merata dimana seseorang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan membayar sesuai dengan kemampuannya. Tahun 2014 dan 2015 merupakan masa penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan AIDS 2015 2019. Kesinambungan program penanggulangan HIV dan AIDS dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain peraturan dan kelembagaan serta anggaran belanja. Untuk menyelenggarakan Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan AIDS 2015 2019 dibutuhkan anggaran. Anggaran tersebut berasal dari anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota (APBD), bantuan dari pihak swasta, masyarakat dan mitra Internasional. Semua sumber pendanaan dapat berupa dana tunai maupun kontribusi non tunai, misalnya dari masyarakat dapat berbentuk kontribusi tenaga maupun fasilitas masyarakat. Dari pihak swasta kontribusi dapat berupa programprogram tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang diselenggarakan oleh perusahaan perusahaan nasional maupun multi nasional (Kemenkes RI, 2013). Di antara negara ASEAN lainnnya, Indonesia merupakan negara yang pertumbuhan infeksi baru HIV tertinggi. Namun demikian sebagian besar program pengendalian HIV masih didominasi oleh pendanaan mitra Internasional. Perkembangan terakhir menunjukkan dana lokal cenderung meningkat dan terbesar sebagai sumber dana belanja program HIV dan AIDS sepanjang tahun 2006 2012, diikuti Global Fund (GF) dan Department Foreign Affairs Trade (DFAT) Australia. Distribusi dana dari donor sebagian besar adalah untuk pencegahan dan penelitian sedangkan dana lokal digunakan untuk pengobatan dan perlindungan sosial. Indonesia yang sudah masuk dalam kategori negara Upper lower middle income country wajib hukumnya mengembangkan strategi pembiayaan yang lebih besar untuk mengatasi kekurangan sumber dana kesehatan penanggulangan HIV dan AIDS pasca GF (UNAID, 2014).
5 Keberhasilan program pengendalian HIV/AIDS di Indonesia tidak lepas dari peran lembaga donor terutama Global Fund. Data WHO menunjukkan bahwa proporsi pendanaan Global Fund jauh lebih besar dibandingkan proporsi pendanaan dalam negeri. Namun demikian, seiring peningkatan di sektor ekonomi, Indonesia tidak lagi menjadi prioritas Global Fund dan pendanaan yang selama ini telah diberikan untuk program pengendalian HIV/AIDS berkurang secara perlahan, dan akan berakhir pada tahun 2017. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan selaku pimpinan principal recipient hibah GF ATM Nomor : HK.03.05/D/I.4/532/2012 tentang Pedoman Exit Strategi Dana Hibah Global Fund AIDS, Tuberkulosis dan Malaria. Oleh karena itu exit strategy pasca Global Fund mutlak diperlukan untuk meningkatkan pendanaan dalam negeri umumnya dan di daerah khususnya. Tanpa adanya dukungan finansial dari lembaga donor, keberlangsungan bagi program HIV/AIDS yang telah ada menjadi salah satu tantangan (Kemenkes RI, 2012). Total anggaran yang dibutuhkan untuk menggantikan dana hibah Global Fund sebesar 81,8 Juta US. Untuk mengatasi hal ini telah disusun rencana pembiayaan dari berbagai sumber lokal mulai dari Kementerian Kesehatan hingga Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk program AIDS, TB dan Malaria (ATM), Pemerintah telah merperhitungkan pembiayaan sebesar 31,2% di tahun 2011 sebagai dasar dan dengan target mencapai 40% tahun 2012, 50% tahun 2013, 60% tahun 2014, 70% tahun 2015 dan 80% tahun 2016. Sisa 20% di tahun 2016 harapannya dapat dibiayai oleh asuransi, CSR, donor atau sumber lain. Target ini harus dipenuhi setiap tahun untuk dapat menutupi seluruh kesenjangan biaya oleh karena hibah Global Fund tidak akan cukup meskipun mereka masih ada (Kemenkes RI, 2012). Kesenjangan kebutuhan dan ketersediaan dana ini akan mengancam cakupan layanan yang selama ini sudah dicapai oleh program penanggulangan AIDS secara Nasional baik dalam upaya promosi dan pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan serta mitigasi dampak. Akibatnya, kemungkinan program HIV dan AIDS mencapai universal coverage pada tahun 2019 menjadi sesuatu yang sulit untuk direaliasikan.
6 Berdasarkan data data yang ada, maka Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya upaya agar penyakit HIV/AIDS dapat diberantas dan diputus mata rantai penularannya. Upaya tersebut haruslah memerlukan dana yang besar dan pengalokasian yang sesuai agar dapat berjalan dengan optimal. Pada tahun 2015 anggaran kesehatan di Provinsi Bengkulu sudah mendekati angka yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu dari total APBD Provinsi Bengkulu sebesar Rp. 2.204.194.621.396 dialokasaikan untuk anggaran kesehatan sebesar Rp. 218.154.821.369 (9,89% dari total APBD). Dari total anggaran kesehatan tersebut terbagi lagi menjadi 3 SKPD yaitu ke Dinas Kesehatan Provinsi Sebesar Rp. 63.163.684.682, RSJKO Suprapto sebesar Rp.22.839.032.287 dan RSUD M Yunus sebesar Rp. 132.152.104.400, sedangkan anggaran yang dialokasikan untuk menunjang kegiatan program HIV/AIDS sebesar Rp.578.483.600 (Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, 2015). Sedangkan di Kota Bengkulu pengalokasian anggaran kesehatan bersumber dari APBD di Dinas Kesehatan selama kurun waktu tiga tahun terjadi kenaikan pembiayaan kesehatan, namun belum mencapai 10% diluar gaji seperti yang diamanatkan Undang undang, seperti terlihat pada tabel 5 berikut ini: Tabel 4. Pembiayaan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bengkulu Tahun 2013-2015 Tahun Anggaran Anggaran Belanja Langsung Kesehatan APBD Anggaran Belanja Langsung APBD Kota Bengkulu ( % ) 2013 19.011.409.640 335.760.000.000 5,66 2014 19.896.179.000 414.630.000.000 4,79 2015 27.266.952.750 462.910.000.000 5,89 Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Bengkulu Penyelenggaraan program pemberantasan HIV dan AIDS di Kota Bengkulu memerlukan pembiayaan yang optimal dan berkelanjutan, sampai saat ini biaya yang terakomodir oleh APBD Kota Bengkulu belum memenuhi sepenuhnya untuk menunjang kegiatan program pemberantasan HIV dan AIDS, masih membutuhkan dana lainnya baik dari pemerintah Provinsi maupun lembaga pendonor seperti terlihat dalam tabel 6 berikut ini :
7 Tabel 5 Total Dana Program Komponen AIDS Tahun 2011-2015 di Kota Bengkulu Keterangan 2011 (Rp) 2012 (Rp) 2013 (Rp) 2014 (Rp) 2015 (Rp) GF ATM 80.925.143 90.782.398 100.338.482 384.020.478 272.926.599 APBD Provinsi 33.200.000 65.000.000 175.000.000 APBD Kota Bengkulu 23.800.000 70.055.000 132.890.000 Total 80.925.143 90.782.398 157.338.482 519.075.478 580.816.599 Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Bengkulu Dana yang bersumber dari Global Fund dialokasikan untuk kegiatan pelayanan dan monitoring evaluasi program sedangkan yang bersumber APBD Provinsi dialokasikan untuk kegiatan serosurvey dan sosialisasi. Di Kota Bengkulu dana yang bersumber APBD Kota dialokasikan untuk kegiatan serosurvey terhadap ibu rumah tangga dan PNS dilingkungan Pemerintah Kota Bengkulu, sebagaimana terlihat pada tabel 7 berikut ini: Tabel 6 Kegiatan Program HIV/AIDS di Kota Bengkulu Sumber Dana APBD Kota Bengkulu No Kegiatan Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 (Rp) (Rp) (Rp) 1 Serosurvey pada ibu rumah tangga sebanyak 60 orang 23.800.000 2 Penyuluhan pada PNS 7.390.000 3 Serosurvey pada PNS sebanyak 285 orang 62.665.000 4 Serosurvey pada PNS sebanyak 600 orang 132.890.000 Jumlah 23.800.000 70.055.000 132.890.000 Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Bengkulu Dari beberapa data tersebut dapat diasumsikan sampai dengan tahun 2019 bahwa kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menunjang pengelolaan program HIV/AIDS di Kota Bengkulu yaitu:
8 Rp1.000.000.000 Rp900.000.000 Rp800.000.000 Rp700.000.000 Rp600.000.000 Rp500.000.000 Rp400.000.000 Rp300.000.000 Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Bengkulu dan Estimasi menggunakan Perhitungan Regresi. Grafik 2. Kebutuhan anggaran pengelolaan program HIV/AIDS di Kota Bengkulu dan estimasi kebutuhan sampai dengan tahun 2019. Berdasarkan data awal yang diperoleh dari pengelola program HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kota Bengkulu bahwa pembiayaan program HIV/AIDS yang bersumber dari APBN yaitu BOK belum pernah dianggarkan, namun untuk tahun 2016 sudah diusulkan dan masih diproses di Dinas Pendapatan Pengelolaan Kas dan Aset Daerah (DPPKAD), yaitu untuk kegiatan promotif di Posyandu yang berada dalam wilayah kerja 20 Puskesmas yang ada di Kota Bengkulu. Usulan kegiatan program HIV/AIDS selama ini diajukan melalui Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang berpedoman pada Renstra Dinas Kesehatan Kota Bengkulu dan RPJMD Pemerintah Kota Bengkulu Tahun 2013 2018, pengajuan disampaikan/dibuat setiap tahun namun realisasinya sesuai dengan anggaran yang ada tanpa melihat kebutuhan atau estimasi biaya dari tahun ke tahun (incremental planning). Rp454.075.478 Rp765.378.829 Rp405.816.599 Rp914.247.261 Rp632.230.969 Rp512.183.585 Rp200.000.000 Rp100.000.000 Rp90.782.398 Rp124.138.482 Rp- Rp80.925.143 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Keberlanjutan penanggulangan HIV dan AIDS tergantung pada tingkat pendanaan yang memadai, dengan menurunnya dukungan dana luar negeri bagi upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, perlu didorong adanya dana yang memadai, tidak hanya di tingkat Nasional namun juga di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota khususnya di Kota Bengkulu, sehingga upaya untuk
9 menurunkan angka prevalensi HIV dan AIDS dan menjaga agar tetap dibawah angka Nasional dapat terlaksana. Sehubungan bahwa besarnya peranan pembiayaan kesehatan program HIV/AIDS, maka perlu dilakukan penelitian tentang strategi pembiayaan kesehatan program HIV/AIDS di Kota Bengkulu untuk mencukupi kebutuhan anggaran agar kedepan penyusunan perencanaan sistem pembiayaan kesehatan dapat menjamin kesinambungan program pemberantasan HIV/AIDS di Kota Bengkulu. B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut maka dapat dibuat perumusan masalah yaitu: Bagaimana strategi meningkatkan pembiayaan program HIV/AIDS di Kota Bengkulu untuk mencapai tujuan program penanggulangan HIV/AIDS sampai dengan tahun 2019?. C. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan strategi pembiayaan kesehatan Program penanggulangan HIV/AIDS di Kota Bengkulu. 2. Mendeskripsikan peran Pemangku Kepentingan dalam perumusan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. 3. Mendeskripsikan langkah langkah atau agenda yang akan dilaksanakan untuk menjamin keberlangsungan Program penanggulangan HIV/AIDS di Kota Bengkulu. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat bagi Pemerintah Daerah Bagi Pemerintah Kota Bengkulu dapat dijadikan sebagai masukan untuk bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentang kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan pembiayaan HIV/AIDS. 2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan
10 Sebagai bahan kajian dalam perencanaan dan merancang pemanfaatan dan pengelolaan tentang pembiayaan program HIV/AIDS. 3. Manfaat bagi Peneliti Memperoleh pengalaman dalam mengumpulkan bukti ilmiah terhadap pemanfaatan dan pengelolaan pembiayaan HIV/AIDS di Kota Bengkulu. E. Keaslian Penelitian 1. Mitsel (2015) melakukan penelitian tentang peran Pemangku Kepentingan kunci dalam kebijakan penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS studi kasus di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat, penelitian ini menekankan pada advokasi terhadap Pemangku Kepentingan kunci tentang kebijakan penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian dan rancangan penelitian. Perbedaan pada penelitian ini adalah tempat dan waktu penelitian dan fokus pada advokasi terhadap Pemangku Kepentingan kunci tentang kebijakan penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS, sedangkan peneliti fokus pada strategi pembiayaan pada HIV/AIDS. 2. Refra (2012) melakukan penelitian tentang Pembiayaan kesehatan operasional program malaria di Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru. Penelitian ini menekankan pada pembiayaan operasional program malaria. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian, rancangan penelitian, dan mengetahui kebutuhan dana untuk pembiayaan kesehatan. Perbedaan pada penelitian ini adalah tempat dan waktu penelitian dan fokus pada pengadaan alokasi anggaran untuk program malaria sedangkan peneliti fokus pada alokasi pembiayaan pada HIV/AIDS. 3. Womsiwor (2012) melakukan penelitian tentang mobilisasi dan sustainabilitas pembiayaan pemberantasan malaria di Kota Jayapura. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian, rancangan penelitian, dan mengetahui kebutuhan dana untuk pembiayaan kesehatan. Perbedaan pada penelitian ini adalah tempat dan waktu penelitian dan Womsiwor fokus pada pengadaan alokasi anggaran untuk program malaria di Dinas Kesehatan saja sedangkan
11 peneliti fokus pada alokasi pembiayaan pada Pemangku Kepentingan kunci HIV/AIDS yang ada di Kota Bengkulu 4. Situmorang (2007) melakukan penelitian potong lintang terhadap 43 pasien AIDS di Rumah Sakit Dr. Sardjito. Penelitian ini menggunakan kuesioner terstruktur tentang jumlah biaya yang telah dikeluarkan sejak pertama mereka mengetahui positif AIDS. Komponen biaya pengobatan pasien akibat AIDS terdiri atas biaya rawat inap Rumah Sakit, biaya laboratorium dan biaya obatobatan karena infeksi oportunistik. Komponen biaya tersebut menjadi total biaya pengobatan pasien AIDS. Perbedaan pada penelitian ini adalah tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, rancangan penelitian, dan mengetahui kebutuhan dana untuk pembiayaan kesehatan. Situmorang fokus pada pengadaan alokasi anggaran untuk program AIDS di rawat inap Rumah Sakit sedangkan peneliti fokus pada alokasi pembiayaan pada HIV/AIDS Kota Bengkulu