I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup yang tidak sehat dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak sehat (seperti makanan cepat saji, minuman bersoda, dan makanan atau minuman dengan kadar gula yang tinggi) dapat menyebabkan manusia rentan terkena berbagai macam penyakit. Penyakit yang terjadi akibat kebiasaan tersebut dapat berupa penyakit sistemik, kanker maupun penyakit rongga mulut seperti gingivitis, periodontitis atau karies gigi (Peterson dan Lennon, 2004; Ashakiran dan Deepthi, 2012). Penyakit rongga mulut yang saat ini masih menjadi perhatian di Indonesia adalah karies gigi. Di Indonesia prevalensi karies gigi terus mengalami peningkatan (Bidarisugma dkk., 2012). Pada tahun 2002 prevalensi karies gigi di Indonesia mencapai 60%, sedangkan pada tahun 2007 prevalensi karies telah mencapai 72,1% (Sidarta dkk., 2013; Malohing dkk., 2013). Karies gigi merupakan penyakit infeksi multifaktorial yang disebabkan oleh adanya interaksi antara host (gigi), agent (bakteri Streptococcus mutans), dan environment (karbohidrat). Walaupun penyebabnya multifaktorial, namun pemicu terjadinya karies gigi adalah bakteri kariogenik S. mutans (Devi dan Ramasubramaniaraja, 2009; Bidarisugma dkk., 2012). Streptococcus mutans 1
2 merupakan salah satu jenis bakteri yang paling banyak tersebar pada populasi manusia dan sekitar 80% isolat plak berisi S. mutans (Suwondo, 2007). Streptococcus mutans akan melekat pada permukaan gigi, melakukan metabolisme karbohidrat kemudian menghasilkan asam sehingga menyebabkan penurunan ph rongga mulut hingga titik kritis yaitu ph 5,5 (Bidarisugma dkk., 2012). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya demineralisasi enamel gigi (Pitts dkk., 2000). Jika pertumbuhan bakteri tidak terkontrol, infeksi dapat menjalar menuju dentin dan jaringan lunak pada pulpa, sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri, nekrosis pulpa, kehilangan gigi bahkan infeksi sistemik (Cura dkk., 2012). Pencegahan karies gigi perlu dilakukan sedini mungkin. Pencegahan karies gigi dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan rongga mulut (menyikat gigi, flossing, scaling), fissure sealant pada gigi yang rentan terkena karies gigi, penggunaan fluor serta melakukan pengurangan dan pengendalian konsumsi gula (Angela, 2005). Selain itu, metode pencegahan karies gigi dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik, seperti Erythromycin, Amoxicillin, dan Penicillin. Pencegahan dengan metode ini terbukti mampu mencegah karies gigi (Järvinen dkk., 1993). Pemakaian antibiotik dengan dosis yang terlalu tinggi dapat memberikan efek yang merugikan, seperti merubah keadaan rongga mulut, flora normal, dan perubahan warna gigi (Park dkk., 2003; Chung dkk., 2006). Penggunaan antibiotik dengan dosis tinggi misalnya Penicillin, dapat menimbulkan hipersensitifitas pada pemakai, shock anafilaksis, gangguan pencernaan (diare,
3 mual, dan muntah), resistensi terhadap bakteri patogen serta menyebabkan infeksi semakin meluas (Junaidi, 2009; Tjay dan Rahardja, 2010). Saat ini penggunaan antibakteri yang berasal dari bahan herbal yang berasal dari tanaman mulai banyak diteliti. Penggunaan antibakteri dari bahan herbal memberikan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan antibakteri dari bahan kimia (Aneja dan Joshi, 2010). Oleh karena alasan tersebut pencegahan karies gigi dengan menggunakan bahan herbal dapat menjadi suatu pilihan. Beberapa komponen bahan herbal seperti eugenol, metanol, dan etanol terbukti mampu mencegah pertumbuhan bakteri patogen penyebab karies gigi (Chaiya dkk., 2013). Salah satu tanaman yang memiliki kemampuan mencegah pertumbuhan bakteri patogen penyebab karies gigi adalah cengkeh (Syzygium aromaticum). Cengkeh mengandung senyawa etanol yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. mutans (Chaiya dkk., 2013). Kandungan lain yang terdapat pada cengkeh seperti senyawa flavonoid, termasuk kaempferol dan rhamnetin dapat berfungsi sebagai antiinflamasi, dan antioksidan (Amrutesh, 2011). Cengkeh juga dapat berfungsi sebagai antiseptik, antifungal, dan antiviral (Bhowmik dkk., 2012). Bagian dari cengkeh yang sering dimanfaatkan adalah bunga cengkeh. Pada bunga cengkeh terdapat senyawa kimia eugenol, caryophyllene, benzene, benzoic acid, 1-ethyl-3-nitro, 3-(1-methylethyl), elixene, caryophyllene oxide, farnesene, dan asam oleanolat (Bhuiyan dkk., 2010; Jäger dkk., 2009). Beberapa
4 diantara senyawa kimia tersebut memiliki fungsi sebagai antiseptik, antifungal, antibakteri, dan antiinflamasi (Cai dan Wu, 1996;Towaha, 2012). Bunga cengkeh biasanya digunakan dalam bentuk sediaan kering. Bunga cengkeh kering memiliki kandungan minyak atsiri sekitar 10-20%. Minyak atsiri tersebut merupakan hasil dari proses penyulingan (Nurdjannah, 2004). Hasil samping dari proses penyulingan bunga cengkeh kering menghasilkan ampas bunga cengkeh, yang diduga masih mempunyai fungsi farmakologik. Hal itu dikarenakan ampas bunga cengkeh memiliki kandungan senyawa kimia yang tidak larut oleh uap air pada saat proses penyulingan. Salah satu senyawa kimia tersebut adalah asam oleanolat. Asam oleanolat dapat dihasilkan setelah melakukan proses ekstraksi dan fraksinasi ampas bunga cengkeh (Harborne, 1996). Asam oleanolat merupakan salah satu komponen tripenoid pentasikilik yang dapat dideteksi dengan menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC), Liquid Chromatography (LC), Capillary Electrophoresis (CE), Gas Chromatography (GC) with flame ionization dan Mass Spectometry (MS) (Pollier dan Goossens, 2011). Selain itu, asam oleanolat juga dapat dideteksi dengan menggunakan High Performance Thin Layer Chromatografi (HPTLC) with Densitometry (Nowak dkk., 2013). Asam oleanolat memiliki beberapa fungsi farmakologik seperti antiinflamasi, antidiabetagenik, antifungal, antiviral (termasuk HIV), dan antihepatotoksik (Liu, 2005; Pollier dan Goossens, 2011). Asam oleanolat telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif, terutama yang
5 bersifat patogen, seperti Streptococcus pneumoniae, S. mutans, Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis (Cai dan Wu, 1996; Kurek dkk., 2010). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan masalah yaitu apakah konsentrasi asam oleanolat yang berasal dari proses fraksinasi ampas bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) mempengaruhi diameter zona hambat pertumbuhan bakteri S. mutans? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai manfaat cengkeh (Syzygium aromaticum) sebagai antibakteri telah banyak dilakukan. Pada penelitian yang telah dilakukan Aneja dan Joshi (2010), membuktikan bahwa kandungan aseton, methanol, eugenol, dan ethanol pada ekstrak cengkeh dan minyak atsiri cengkeh dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. mutans, S. aureus dan Lactobacillus acidophilus. Metode uji antibakteri yang digunakan pada penelitian tersebut adalah Agar Well Diffusion Method (Aneja dan Joshi, 2010). Pada penelitian ini akan dilakukan uji antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans dengan menggunakan senyawa kimia yang berasal dari ampas bunga cengkeh yaitu asam oleanolat. Asam oleanolat diisolasi melalui proses fraksinasi ampas bunga cengkeh. Metode uji antibakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah Disk Diffusion Method.
6 D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi asam oleanolat yang berasal dari proses fraksinasi ekstrak ampas bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) terhadap diameter zona hambat pertumbuhan bakteri S. mutans. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Menyediakan informasi ilmiah tentang efek antibakteri senyawa kimia asam oleanolat yang berasal dari proses fraksinasi ekstrak ampas bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans. 2. Memperluas pemanfaatan ampas bunga cengkeh (Syzygium aromaticum) sebagai bahan herbal antibakteri.