POTENSI PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI KALIMANTAN SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK ITIK DI LAHAN LEBAK ABSTRAK

RANGKUMAN HASIL PENGKAJIAN AYAM BURAS DI KABUPATEN BENGKULU UTARA

PERKEMBANGAN AYAM KUB pada Visitor Plot Aneka Ternak BPTP NTB. Totok B Julianto dan Sasongko W R

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AYAM HASIL PERSILANGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA TERNAK UNGGAS

HASIL-HASIL PENELITIAN DAN SUMBANGAN PEMIKIRAN PENGEMBANGAN AYAM KEDU

MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS

PEMANFAATAN LIMBAH RESTORAN UNTUK RANSUM AYAM BURAS

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sudah melekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan

PROFIL USAHATANI UNGGAS DI KABUPATEN BREBES (STUDI KASUS)

INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS

ANALISIS KELAYAKAN USAHA ITIK ALABIO DENGAN SISTEM LANTING DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

KERAGAAN PRODUKSI TELUR PADA SENTRA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITAS UNGGULAN (SPAKU) ITIK ALABIO DI KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA, KALIMANTAN SELATAN

Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

POTENSI AYAM GALUR BARU KUB LITBANG PERTANIAN DALAM MENDUKUNG RUMAH PANGAN LESTARI DI PROVINSI JAMBI.

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

KERBAU RAWA, ALTERNATIF TERNAK POTONG MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING DI KALIMANTAN SELATAN

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

Jurnal Al-Ikhlas ISSN : Volume 3 Nomor 1, Oktober 2017

PROFIL USAHA PETERNAKAN ITIK ALABIO (Anas platyrhynchos Borneo) DI KALIMANTAN SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

PROSPEK PENGEMBANGAN AYAM BURAS BERWAWASAN AGRIBISNIS DI KALIMANTAN TENGAH

PENGEMBANGAN AYAM NUNUKAN DAN PERMASALAHANNYA DI KALIMANTAN TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

KAJIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN TERNAK BABI. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2

A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENGEMBANGAN AYAM BURAS PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI PROPINSI PAPUA. Balai Pengkajian teknologi Pertanian Papua 2

EVALUASI MODEL PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI INDONESIA: KASUS DI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan umum Ayam Broiler. sebagai penghasil daging, konversi pakan irit, siap dipotong pada umur relatif

PENDAHULUAN. ( Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak yang Iebih besar. Selain itu jumlah bagian dagingnya lebih banyak d

POTENSI LIMBAH KULIT KOPI SEBAGAI PAKAN AYAM

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

PROFIL DAN PROSPEK PENGEMBANGAN USAHATANI SAPI POTONG DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI

STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktivitas ayam buras agar lebih baik. Perkembangan

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

IbM POTENSI DAN PEMANFAATAN ITIK (JANTAN DAN PETELUR AFKIR) SEBAGAI TERNAK POTONG PADA KELOMPOK TANI DI KECAMATAN AIR HANGAT TIMUR KABUPATEN KERINCI

II. TINJAUAN PUSTAKA


BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Bahan Kuliah ke 9: UU dan Kebijakan Pembangunan Peternakan Fakultas Peternakan Unpad KEBIJAKAN DALAM INDUSTRI TERNAK NON RUMINANSIA

I. PENDAHULUAN. semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan banyaknya perusahaan baru

II. ISI 2.1. Pra Produksi Penyiapan Sarana (Kandang) Persiapan peralatan dan ayam

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN DENGAN AYAM BURAS BETINA UNTUK MENINGKATKAN AYAM BURAS PEDAGING

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

Kata kunci: penetasan, telur itik Tegal, dan mesin tetas

PRODUKTIVITAS ITIK TEGAL DI DAERAH SENTRA PENGEMBANGAN PADA PEMELIHARAAN INTENSIF

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN PETERNAKAN UNGGAS TAHUN 2009

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan

I. PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Permintaan masyarakat akan

TEKNOLOGI BUDIDAYA ITIK DI LAHAN PEKARANGAN Oleh Ermidias Penyuluh Pertanian Madya I.PENDAHULUAN

TUGAS KARYA ILMIAH LINGKUNGAN BISNIS Peluang Bisnis Ayam Ras

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *)

BAB I PENDAHULUAN. Budidaya ayam ras khususnya ayam broiler sebagai ayam pedaging,

Efektivitas Pupuk Organik Kotoran Sapi dan Ayam terhadap Hasil Jagung di Lahan Kering

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

USAHA ITIK PETELUR DAN TELUR TETAS

KIAT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BURAS

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

KELAYAKAN USAHA TERNAK AYAM RAS PETELUR

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

Seminar Oplimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawn dan industri Olahannya sebagai Pakan Ternak setelah tahun 2004 sudah mencapai luasan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

PENDAHULUAN. begitu ekonomi riil Indonesia belum benar-benar pulih, kemudian terjadi lagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENGEMBANGAN AYAM LOKAL DAN PERMASALAHANNYA DI LAPANGAN

Nama : MILA SILFIA NIM : Kelas : S1-SI 08

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

PENGANTAR. Latar Belakang. Peternakan merupakan salah satu subsektor yang berperan penting dalam

Lokakarya Fungsional Non Peneiti 1997 Sistem Perkandangan 1. Dari umur sehari sampai dengan umur 2 mingggu digunakan kandang triplek + kawat ukuran 1

Transkripsi:

POTENSI PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No.4 Banjarbaru Phone (0511) 4772346 dan Fax (0511) 4781810 ABSTRAK Ayam buras merupakan salah satu unggas yang berkembang baik di Kalimantan Selatan. Unggas ini mempunyai peran yang cukup penting karena sebagai sumber penyedia protein hewani berupa daging dan telur serta sumber pendapatan bagi petani. Tingginya populasi, permintaan dan mantapnya harga daging dan telur ayam buras di Kalimantan Selatan merupakan peluang usaha dalam pengembangan ayam buras. Peningkatan populasi, harga daging dan harga telur ayam buras di Kalimantan Selatan dalam 10 tahun terakhir (1993-2003) masing-masing 10,89; 27,16; dan 32,62%. Sistem pemeliharaan ayam buras yang dilakukan bervariasi yaitu secara ekstensif, semi intensif dan intensif. Skala pemeliharaan ayam buras secara semi intensif dan intensif berkisar antara 50-5.000 ekor yang diusahakan sebagai penghasil telur konsumsi, telur tetas, anak ayam dan daging. Pemeliharaan ayam buras yang dilakukan secara intensif, pakan yang diberikan pada umumnya campuran antara pakan komersial, konsentrat yang ditambah dengan bahan pakan lain seperti dedak, jagung, dan mineral. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan ayam buras di Kalimantan Selatan yaitu transfer teknologi ke peternak berjalan lambat, investasi dana ke sub sektor peternakan relatif kecil dan rendahnya produktivitas. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan peningkatan pembinaan melalui penyuluhan, penelitian dan pengkajian, meningkatkan hubungan dengan lembaga penyedia dana/permodalan dan perbaikan teknologi budidaya. Berdasarkan analisis biaya dan pendapatan terhadap usaha ayam buras menunjukkan layak untuk dilakukan karena nilai R/C yang dihasilkan lebih besar dari 1 baik pada usaha penetasan, pembesaran maupun penghasil telur. Kata kunci: Ayam buras, populasi, telur, daging, sistem pemeliharaan, Kalimantan Selatan PENDAHULUAN Ayam buras merupakan salah satu ternak unggas lokal yang dikenal dengan sebutan ayam kampung yang penyebarannya hampir merata di seluruh wilayah di nusantara. Ayam buras ini dikenal mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan sehingga memudahkan dalam pemeliharaan. Kekurangannya yaitu produktivitas rendah dan tingginya tingkat kematian (ISTIANA, 1992). Ayam buras sendiri mempunyai sumbangan yang cukup besar baik sebagai penghasil bahan pangan bergizi tinggi (daging dan telur) maupun pendapatan. Pengembangan ayam buras diprioritaskan untuk peternakan rakyat karena dinilai teknologinya sederhana, dapat diusahakan secara sambilan, mudah dipelihara oleh masyarakat berpendapatan rendah, cocok untuk skala usaha keluarga di perdesaan dan telah tersebar di seluruh pelosok tanah air (SOEHADJI, 1993). Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa peternak ayam buras belum mampu memenuhi besarnya permintaan akan produk ayam buras dalam bentuk daging, telur konsumsi, bibit dan telur tetas dalam jumlah yang cukup banyak dan kontinyu (NATAAMIJAYA, 1992). MURYANTO et al. (1994) menyebutkan bahwa permasalahan pada pengembangan ayam buras di Indonesia, diantaranya adalah sistem pemeliharaan yang sebagian besar masih bersifat tradisional, pakan yang belum memadai dari segi kualitas dan kuantitas, kematian anak ayam yang tinggi serta produktivitas yang rendah. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan potensi pengembangan ayam buras di Kalimanatan Selatan. PERKEMBANGAN POPULASI Populasi ayam buras di Kalimantan Selatan pada tahun 2003 sebesar 7,5 juta ekor, dengan 298

peningkatan populasi dari tahun 1993 sampai 2003 sekitar 10,89% per tahun (Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan populasi ayam buras di Kalimantan Selatan pada tahun 1993-2003 No Tahun Populasi Trend/tahun (%) 1 1993 4.796.634-2 1994 4.980.271 3,83 3 1995 5.193.228 4,28 4 1996 10.450.484 101,23 5 1997 5.006.623-52,09 6 1998 3.705.167-25,99 7 1999 3.899.166 5,24 8 2000 4.648.037 19,21 9 2001 5.528.946 18,95 10 2002 6.435.933 16,40 11 2003 7.586.316 17,87 Rataan 10,89 Sumber: DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (2004 a ) Perkembangan populasi ayam buras yang telah dicapai masih belum mencapai sasaran, karena Dinas Peternakan Kalimantan Selatan menetapkan peningkatan populasi ayam buras sebesar 13,63% per tahun. Trend peningkatan populasi ayam buras pada Tabel 1 pada tahun 1997 dan 1998 mengalami penurunan, hal ini berkaitan dengan krisis moneter yang berpengaruh terhadap berjalannya usaha. Krisis moneter menyebabkan harga pakan naik sangat tinggi yaitu mencapai 300%, namun harga produk yang dihasilkan tetap, sehingga banyak peternak menegehentikan usahanya karena tidak menguntungkan. Pada Tabel 2, ditampilkan populasi, produksi daging dan telur ayam buras pada tahun 2003 di Kalimantan Selatan. Pada Tabel diatas terlihat bahwa populasi ayam buras tertinggi ada di Kabupaten Banjar (19,57%) dengan produksi daging dan telur yang dihasilkan masing-masing 9,08 dan 16,17%. Meskipun populasi ayam buras di Kabupaten Banjar tertinggi namun kontribusi daging dan telur yang dihasilkan tidak tertinggi. Hal ini disebabkan karena pemeliharaan ayam buras di Kabupaten Banjar sebagian besar ekstensif dan semi intensif. Peternak ayam buras di Kabupaten HSU yang dilakukan menghasilkan telur dalam jumlah yang tertinggi yaitu 18,52%, hal ini karena pemeliharaan ternak ayam buras di HSU sebagian besar dilakukan secara semi intensif dan intensif. Skala pemeliharaannya tergolong besar yaitu antara 200-5000 ekor. Tabel 2. Populasi, produksi daging dan telur ayam buras di Kalimantan Selatan tahun 2003 No Kabupaten/Kota Populasi Daging Telur ekor % kg % kg % 1 Tanah Laut 440.838 5,81 517.797 15,79 296.589 5,52 2 Kotabaru 499.263 6,58 400.771 12,23 351.203 6,54 3 Banjar 1.485.074 19,57 297.500 9,08 868.263 16,17 4 Barito Kuala 930.558 12,26 208.987 6,38 559.182 10,41 5 Tapin 611.952 8,06 436.757 13,33 479.456 8,93 6 Hulu Sungai Selatan 492.118 6,48 160.829 4,91 308.404 5,74 (HSS) 7 Hulu Sungai Tengah (HST) 520.588 6,86 154.988 4,73 448.135 8,34 8 Hulu Sungai Utara 810.932 10,69 99.122 3,02 994.437 18,52 (HSU) 9 Tabalong 939.092 12,37 249.681 7,62 281.815 5,25 10 Tanah Bumbu 539.110 7,10 75.246 2,29 234.754 4,37 11 Balangan 191.453 2,52 45.347 1,39 166.239 3,09 12 Banjarmasin 289.105 3,81 473.703 14,45 279.817 5,21 13 Banjarbaru 139.233 1,83 154.803 4,72 111.459 2,08 Jumlah 7.589.316 100,00 3.277.531 100,00 5.370.753 100,00 Sumber: DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (2004 b ) 299

Tabel 3. Pemotongan dan konsumsi daging dan telur ayam buras di Kalimantan Selatan pada tahun 2003 No Kabupaten/Kota Pemotongan Daging (kg) Telur (kg) ekor % Ketersediaan Konsumsi Ketersediaan Konsumsi 1 Tanah Laut 623.852 14,93 352.578 352.578 148.295 145.560 2 Kotabaru 534.361 12,79 272.893 272.893 175.601 176.015 3 Banjar 350.000 8,38 202.574 202.574 434.132 434.132 4 Barito Kuala 261.234 6,25 142.304 142.304 279.591 279.591 5 Tapin 535.070 12,80 289.759 298.759 239.728 239.728 6 HSS 214.439 5,13 109.512 109.512 154.202 152.402 7 HST 206.650 4,94 105.534 105.534 224.067 224.067 8 HSU 132.162 3,16 67.494 67.494 497.218 318.220 9 Tabalong 332.908 7,97 170.013 170.013 140.908 165.360 10 Tanah Bumbu 100.328 2,40 51.237 51.237 117.377 117.171 11 Balangan 60.463 1,45 30.878 30.878 83.119 83.849 12 Banjarmasin 631.604 15,11 322.552 322.552 135.409 136.869 13 Banjarbaru 195.953 4,69 105.408 105.408 55.730 55.730 Jumlah 4.179.024 100,00 2.231.736 2.231.736 2.685.377 2.528.694 Sumber: DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (2004 b ) Berdasarkan laporan pada tahun 2003, kontribusi produksi daging dan telur ayam buras terhadap produksi unggas di Kalimantan Selatan masing-masing 17,98 dan 14,71% (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004a). Pada Tabel 3, diketahui bahwa pemotongan ternak tertinggi adalah di Banjarmasin, ini menunjukkan bahwa permintaan produk akan ayam buras tinggi. Hal ini didukung dengan jumlah penduduk di Banjarmasin adalah tertinggi di Kalimantan Selatan. Banjarmasin merupakan ibukota propinsi sehingga selain jumlah penduduk padat, tingkat pendapatan, dan kesadaran penduduk akan pangan bergizi lebih tinggi. Pada Tabel 4 di bawah ini ditampilkan perkembangan harga produk ayam buras di Kalimantan Selatan dalam 10 tahun terakhir. Berdasarkan data diketahui bahwa dalam 10 tahun, harga daging ayam buras mengalami peningkatan rata-rata untuk daging dan telur masing-masing 27,16 dan 32,62% per tahun. Tabel 4. Perkembangan harga produk ayam buras di Kalimantan Selatan No Tahun Harga daging (Rp/kg) Harga telur (Rp/butir) Petani Pasaran % Petani Pasaran % 1 1993 3.372 3.786 12,28 220 252 14,55 2 1994 3.830 4.565 19,19 235 270 14,89 3 1995 4.295 5.615 30,73 290 390 34,48 4 1996 4.825 5.685 17,82 307 340 10,75 5 1997 5.033 5.367 6,64 347 381 9,79 6 1998 12.332 14.141 14,67 643 732 13,84 7 1999 15.580 18.791 20,61 853 886 3,87 8 2000 15.716 16.903 7,55 850 875 2,94 9 2001 14.125 15.505 9,77 750 865 15,33 10 2002 17.754 21.433 20,72 742 893 20,35 11 2003 12.622 14.068 11,46 949 1.074 13,17 15,59 13,99 Sumber: DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, (2004 b ) 300

Perbedaan harga daging dan telur ayam buras dari tingkat petani dan pasar masingmasing 15,59 dan 32,62%. Hal ini menunjukkan bawa ayam buras mempunyai prospek dan peluang usaha yang baik dari segi harga karena selalu meningkat dari tahun ke tahun, inipun menunjukkan tingginya permintaan masyarakat akan produk ayam buras. PROFIL PEMELIHARAAN DAN KERAGAAN PRODUKSI Sistem pemeliharaan ayam buras di Kalimantan Selatan beragam mulai dari tradisional/ekstensif, semi intensif dan intensif. Ayam buras yang dipelihara secara tradisional pada umumnya produktivitas yang dihasilkan juga rendah, hal ini disebabkan karena penanganan dan pengelolaan yang dilakukan sangat minim yaitu pakan yang diberikan berupa sisa dapur, tidak divaksin dan bila ternak sakit langsung dipotong atau dijual. Pemeliharaan secara tradional biasanya dilakukan dengan skala pemilikan yang relatif kecil yaitu berkisar antara 2 20 ekor yang tujuannya untuk hobi, produk yang dihasilkan dikonsumsi untuk keluarga dan kadang-kadang dijual bila memerlukan uang dalam waktu cepat. Ayam buras yang dipelihara secara semi intensif, penanganan peternak lebih banyak yaitu menyediakan kandang, pakan dan pencegahan serta pengobatan penyakit. Pakan diberikan lebih teratur yaitu 2 kali yang dilakukan pada pagi dan sore hari, berupa campuran antara pakan komersil, dedak dan bahan pakan lain. Vaksinasi telah dilakukan secara rutin, kandang disediakan dengan sistem koloni dan berpagar di sekeliling tempat bermain. Usaha yang dilakukan pada umumnya campuran yaitu untuk mendapatkan telur konsumsi, telur tetas, anak ayam dan ayam bibit, usahanya dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga. Masalah utama yang dihadapi peternak dengan sistem semi intensif adalah permodalan sehingga skala pemilikan berkisar antara 30-100 ekor. Sistem pemeliharaan secara intensif dilakukan dalam jumlah yang besar yaitu di atas 100 ekor dengan tujuan penghasil telur konsumsi dan sebagian kecil dihasilkan telur tetas, anak ayam untuk bibit dan ayam dara untuk dikonsumsi dagingnya. Pakan yang diberikan campuran antara pakan komersil dengan dedak dan bahan pakan lain. Pemberian dilakukan 3 kali yaitu pada pagi, siang dan sore hari. Ayam buras yang dilakukan sebagai penghasil telur konsumsi sebagian besar dikandangkan dengan sistem batterai. Hasil penelitian yang dilaporkan ROHAENI et al. (2004) bahwa usahaternak ayam buras di Hulu Sungai Utara (HSU) dan Tapin pada umumnya dilakukan sebagai usaha sampingan, hanya 27,3% responden di HSU yang melakukan usaha beternak ayam sebagai usaha pokok. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ternak ayam buras sebagian besar belum dilakukan secara komersil. Tenaga kerja yang digunakan untuk pemeliharaan ayam buras yang dilakukan secara intensif sebagian besar menggunakan tenaga upahan yang dikombinasi dengan tenaga keluarga. Namun untuk pemeliharaan semi intensif, tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga keluarga karena jumlah ternak yang dipelihara tidak bergitu banyak, sehingga peternak masih mampu untuk mengerjakan sendiri. Tabel 3. Keragaan produksi ayam buras No. Uraian HSU Tapin 1. Rataan jumlah telur/ekor/periode (butir) 12 12 2. Frekuensi bertelur/tahun (kali) 9 6 3. Daya tunas (%) 88,92 63,68 4. Daya tetas (%) 61,53 45,94 5. Mortalitas ayam s/d umur 12 minggu (%) 23,76 28,72 6. Rataan berat telur (gram) 41,57 40,69 Sumber: ROHAENI et al. (2004) 301

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh ROHAENI et al. (2004) diketahui bahwa rataan produksi telur yang dihasilkan di kedua lokasi sama yaitu 12 butir/ekor/periode. Jumlah telur ini tidak berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh PAMUNGKAS et al. (1999), pada umumnya produksi telur yang dihasilkan ayam buras berkisar antara 9 14 butir, produksi ini dipengaruhi oleh kualitas bibit, pakan dan tatalaksana pemeliharaan. Frekuensi bertelur antara kedua lokasi berbeda, untuk petani di HSU dihasilkan frekuensi bertelur sebanyak 9 kali/tahun dan di Tapin 6 kali (Tabel 5). Perbedaan ini disebabkan karena pakan dan tatalaksana yang berbeda, petani di HSU memelihara ternak ayam dalam kandang baterray dengan pemberian kualitas pakan yang cukup memadai yaitu kandungan protein 15% dan energi dan energi metabolisme sekitar 2600 2700 kcal/kg. Frekuensi bertelur dari ayam buras dilaporkan oleh PAMUNGKAS et al. (1999) antara 4 6 kali/tahun dan HASTONO (1999) melaporkan bahwa perbaikan teknologi dapat meningkatkan periode bertelur dari 4 menjadi 7 kali/tahun. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh MURYANTO et al. (1992) yaitu ayam buras yang dipelihara secara intensif dengan kandang baterai mampu menghasilkan produksi telur setara 32,87% bahkan laporan CRESWELL dan GUNAWAN (1982) ayam buras mampu bertelur sampai dengan 41% dengan cara intensif. Daya tunas dan daya tetas yang dihasilkan ternak ayam buras dari kedua lokasi berbeda dimana peternak di HSU hasilnya lebih tinggi, tingginya daya tunas dan daya tetas ini selain dipengaruhi oleh pakan dan tatalaksana pemeliharaan, juga oleh ratio jantan dan betina serta cara penetasan. Rataan mortalitas yang dihasilkan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil yang di laporkan oleh PAMUNGKAS et al. (1999) antara 33,2 47,6%. Tabel 6. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum serta mortalitas pada anak ayam buras umur 1 12 minggu Perlakuan PBB (gr/ekor) Konsumsi (gr/ekor) Konversi Mortalitas R1 (dedak 60%) 820,2 b 2.655,29 c 3,24 b 11, 88 c R2 (dedak 64%) 855,12 b 3.171,09 a 3,7 a 34,38 a R3 (pakan komersial) 954,82 a 2.912,34 b 3,05 b 25,02 b Rataan 876,71 2.912,91 3,33 23,76 Keterangan: Huruf yang berbeda pada lajur sekolom menunjukkan berbeda nyata P<0,005); PBB: pertambahan bobot badan SUBHAN dan ROHAENI (2004) Berdasarkan hasil pengkajian yang dilaporkan SUBHAN dan ROHAENI (2004) yaitu tentang substitusi ransum komersial dengan pakan lokal terhadap pertumbuhan ayam buras umur 1 12 minggu diketahui bahwa ayam buras yang berumur 1 12 minggu dapat tumbuh dengan baik dengan ransum yang mengandung protein sekitar 16% dan energi 2.800 kcal/kg, ini sesuai dengan pendapat NATAAMIJAYA (1992) dan BALITNAK (1992) bahwa kebutuhan nutrien terutama protein untuk ayam buras lebih rendah dari ayam ras dan pemberian ransum komersial 100% memang merupakan pemborosan bila diberikan pada ayam buras (Tabel 6). PERMASALAHAN DAN ANALISIS PENGEMBANGAN AYAM BURAS Masalah pengembangan Beberapa masalah yang dihadapi dalam pengembangan ayam buras di Kalimantan Selatan yaitu : Transfer teknologi ke peternak berjalan lambat Investasi dana ke sub sektor peternakan relatif rendah dan sulitnya peternak mendapat pinjaman modal Rentan terhadap penyakit yang menyebabkan peternak gulung tikar 302

Ketergantungan sapronak dari Jawa sangat besar Rendahnya produktivitas Menurut BIYATMOKO (2003), ada 2 masalah utama dalam pengembangan ayam buras, yaitu: 1. Model usaha ternak ayam buras yang telah dikembangkan selama ini belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan sehingga ayam buras hingga kini masih sebagai usaha sambilan. Teknologi budidaya yang digunakan dalam model pengembangan tersebut menghasilkan produktivitas yang masih rendah. Evaluasi terhadap model yang telah dilakukan selama ini tidak diikuti dengan upaya perbaikan. 2. Model usaha ternak ayam buras yang dikembangkan selama ini belum didukung oleh sistem kelembagaan dan sarana produksi untuk keberhasilan usaha. Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui beberapa cara, diantaranya : Peningkatan pembinaan melalui penyuluhan dan pengkajian/penelitian Perbaikan sistem kelembagaan Meningkatkan hubungan dengan lembaga penyedia dana/permodalan baik bank atau perusahaan swasta untuk bermitra Perbaikan teknologi budidaya dengan memperhatikan dari 3 faktor yaitu breeding, feeding dan tatalaksana yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan Identifikasi dan optimalisasi bahan pakan lokal Analisis biaya dan pendapatan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada usaha penetasan, pembesaran dan pemeliharaan ayam penghasil telur diketahui bahwa pemeliharaan ayam buras dalam kondisi normal (tidak ada serangan penyakit yang mematikan) menguntungkan (Tabel 7, 8 dan 9). Pada tabel 7 diketahui bahwa usaha penetasan ayam buras dengan skala 200 butir per periode yang dilakukan untuk menambah pendapatan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 56.000/periode selama (4 minggu) dengan nilai R/C 1,23. Beberapa asumsi yang digunakan yaitu biaya mesin tetas, kandang dan alat telah diperhitungan dalam penyusutan dan daya tahan pemakaian. Anak ayam yang dihasilkan sebesar 60% dari total telur tetas yang masuk dengan harga jual anak ayam umur 7 hari sebesar Rp 2.500/ekor. Tabel 7. Analisis biaya dan pendapatan usaha penetasan ayam buras Uraian Satuan Nilai total (Rp) Input: Telur tetas Mesin tetas Kandang Pakan, obat-obatan, listrik dan tenaga kerja Total input 200 btr x Rp 1.000 Rp 10.000/periode Rp 10.000/periode 120 ekor x Rp 200 10.000,- 200.000,- 10.000,- 24.000,- 244.000,- Output: Anak ayam umur 1 minggu 120 ekor x Rp 2.500 300.000,- Pendapatan 56.000,- R/C 1,23 303

Tabel 8. Analisis finansial ayam buras umur 12 minggu dengan skala 120 ekor Uraian Perlakuan R1 R2 R3 I. Input (I) - Bibit @ Rp.2.500 300.000,- 300.000,- 300.000,- - Pakan 558.000,- 648.000,- 960.000,- - Lain : obat-obatan 60.000,- 60.000,- 60.000,- Jumlah (Rp) 918.000,- 1.008.000,- 1.320.000,- II. Output (O) Berat x Rp.12.000/kg 1.253.088,- 1.303.373,- 1.446.960,- III. Pendapatan (O - I) 335.088,- 295.373,- 126.940,-. IV. R/C (O/I) 1,37 1,29 1,09 Sumber: SUBHAN dan ROHAENI (2004) Berdasarkan perhitungan analisis biaya dan pendapatan (Tabel 8), tanpa memper-hitungkan tenaga kerja dengan asumsi harga bibit Rp. 2.500,-/ekor harga jual ayam Rp. 12.000,-/kg diketahui bahwa memelihara ayam buras sampai umur 12 minggu layak dilakukan karena memilik nila R/C lebih besar dari 1. Perlakukan R1 secara perhitungan lebih baik dari perlakuan lain karena diperoleh nilai R/C yang tertinggi yaitu sebesar 1,37 sedang perlakuan R3 (kontrol) nilai R/C yang dihasilkan paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan 100% ransum komersial untuk ayam buras dari segi ekonomis kurang efisien meskipun diperoleh pertambahan bobot badan yang optimal. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh AZMI et al. (2002), nilai R/C yang dihasilkan dari ayam buras sampai umur 6 bulan dengan protein berkisar 15,1 15,8% antara 1,09 1,66. Pengamatan dari total biaya ransum untuk perlakuan R1 dan R2 dibanding perlakuan R3 (kontrol) yaitu i sebesar 41,87 dan 32,55%. Hasil ini menunjukkan bahwa pemeliharaan ayam buras dengan pemberian ransum komersial 100% adalah kurang efisein bila ditinjau dari segi biologis dan ekonomis (BALITNAK, 1992). Tabel 9. Analisis biaya dan pendapatan usaha pemeliharaan ayam buras petelur/tahun Uraian Satuan Nilai total (Rp) Input: Bibit Pakan Tenaga kerja Kandang dan alat Obat-obatan, vaksin dan listrik Total input Output: Telur Bibit afkir Pupuk Total input 500 ekor x Rp 30.000 365 hari x 90 gram x Rp 1.500 12 bulan x Rp 300.000 Rp 500.000/tahun 12 bulan x Rp 100.000 52.000 butir x Rp 800 450 ekor x Rp 30.000 30 zak x Rp 5.000 15.000.000,- 24.637.500,- 3.600.000,- 500.000,- 1.200.000,- 44.937.500,- 41.600.000,- 13.500.000,- 150.000,- 55.250.000,- Pendapatan 10.312.500,- R/C 1,23 304

Pada Tabel 9, usaha pemeliharaan ayam buras dengan skala 500 ekor dengan tujuan mendapatkan telur konsumsi, diperoleh keuntungan sebesar Rp 10.312.500/tahun dengan nilai R/C yang diperoleh 1,23. Beberapa asumsi yang digunakan yaitu ayam dipelihara secara intensif dengan menggunakankandang battery, pakan yang diberikan berupa pakan campuran sendiri, jumlah telur yang terjual sebanyak 52.000 butir/tahun. Menurut MURYANTO (1992), salah satu factor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usaha ayam buras yaitu produksi telur, semakin tinggi produksi telur maka semakin besar peluang untuk mendapatkan keuntungan. KESIMPULAN Kesimpulan dari makalah ini yaitu : 1. Populasi ayam buras di Kalimantan Selatan mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir (1993-2003) dengan trend 10,89% per tahun 2. Ayam buras memberikan kontribusi produksi produk ayam buras terhadap produksi daging dan telur unggas masingmasing 17,98 dan 14,71% 3. Tingginya permintaan dan konsumsi akan produk ayam buras serta mantapnya harga merupakan peluang usaha yang terbuka 4. Ayam buras layak untuk diusahakan karena berdasarkan perhitungan baik pada usaha penetasan, pembesaran dan produksi telur dihasilkan nilai R/C lebih besar dari 1 DAFTAR PUSTAKA AZMI, S.D. DALIANI, Z. EFFENDI dan F. MAHMILIA. 2002. Teknologi pembesaran ayam buras. Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 30 September 1 Oktober 2002. P. 245 247. BALAI PENELITIAN TERNAK. 1992. Teknologi tepat guna ayam buras. Puslitbangnak, Balitnak, Ciawi, Bogor. BIYATMOKO, D. 2003. Permodelan usaha pengembangan ayam buras dan upaya perbaikannya di perdesaan. Makalah Seminar Aplikasi Teknologi Pertanian yang dilaksanakan pada tanggal 8-9 Desember 2003 di Banjarbaru oleh BPTP Kalimantan Selatan. CRESWELL, D. C dan B. GUNAWAN. 1982. Pertumbuhan badan dan produksi telur dari 5 strain ayam sayur pada sistem pemeliharaan intensif. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. Puslitbangnak Bogor. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2004ª. Buku saku peternakan tahun 2004. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2004b. Database peternakan tahun 2004. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. HASTONO. 1999. Peluang pengembangan ayam buras di lahan pasang surut karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998. P. 691-699. ISTIANA. 1992. Salmonella spp pada ayam buras di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan Vol XXIV (44) : 103-105. MURYANTO, SUBUHARTA dan D. M. MANURUNG. 1992. Analisa pemeliharaan ayam buras secara intensif. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Tanggal 20-22 Pebruaru 1992 di Bogor. P. 109-1115. MURYANTO, W. DIRJOPRANOTO, SUBIHARTA, dan D.M. JUWONO. 1994. Rakitan hasil-hasil penelitian ayam buras di Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Usaha ternak kecil sebagai basis industri peternakan di daerah padat penduduk. Prosiding Pertemuan nasional pengolahan dan komunikasi hasil-hasil penelitian. Semarang 8 9 Pebruari 1994. P. 98-114 NATAAMIJAYA, A. G. 1992. Kebutuhan pakan pada ayam bukan ras (buras). Makalah Temu Tugas dalam Aplikasi Teknologi: Bidang Peternakan. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. P. 1-4. PAMUNGKAS, D., GUNAWAN, L. AFFANDHY dan D.E. WAHYONO. 1999. Adopsi teknologi budidaya ayam buras di pedesaan: Suatu kajian di lokasi Pilot-Project Pengembangan Pertanian Terpadu (P2RT) Kabupaten Jombang, Jawa Timur. ROHAENI, E. S., A. DARMAWAN, D. I. SADERI, A. SUBHAN, SURYANA dan A. HAMDAN. 2004. Profil usaha peternakan ayam buras di Kalimantan Sealatan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner di Bogor pada tanggal 4-5 Agustus 2004. 305

SOEHADJI. 1993. Kebijaksanaan pengembangan ternak unggas di Indonesia pada Pelita VI. Prosiding Seminar nasional pengembangan ternak ayam buras melalui wadah koperasi menyongsong PJP II. Bandung 13 15 Juli 1993. P. 25 35. SUBHAN, A dan E. S. ROHAENI. 2004. Substitusi ransum komersial terhadap pertumbuhan ayam buras umur 1-12 minggu. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional BPTP Bali pada tanggal 8 Oktober 2004. 306