PEMBAHASAN. Proses Produksi

dokumen-dokumen yang mirip
Pengelolaan Aspek Produksi dan Pasca Panen Sayuran Daun Secara Aeroponik dan Hidroponik : Studi Kasus Lembang, Bandung

METODE MAGANG Tempat dan Waktu Magang Metode Pelaksanaan

PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG

PEMBAHASAN. Budidaya Bayam Secara Hidroponik

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

KEADAAN UMUM Sejarah Perusahaan, Letak Geografis, dan Keadaan Iklim

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2014 di Laboratorium

PENDAHULUAN ROMMY ANDHIKA LAKSONO

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2015 di

III. TATA CARA PENELITIAN

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

MANAJEMEN TANAMAN PAPRIKA

III. BAHAN DAN METODE

Cara Menanam Cabe di Polybag

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat Dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 yang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2015 di Laboratorium

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2014 di Greenhouse

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

TATA CARA PENELITIAN. A. Rencana Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Juli 2017 bertempat di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Tuan dengan ketinggian 25 mdpl, topografi datar dan jenis tanah alluvial.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Greenhouse Jurusan Bioloi Fakultas Sains dan

HIDROPONIK SUBSTRAT TOMAT DENGAN BERAGAM UKURAN DAN KOMPOSISI SERAT BATANG AREN. Dwi Harjoko Retno Bandriyati Arniputri Warry Dian Santika

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan laboratoriun lapangan terpadu

I. TATA CARA PENELITIAN. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

Baiklah sekarang saya lanjut mengenai cara menanam secara hidroponik.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hidroponik Untuk Pemula. Feri Ferdinan

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2015 Juni 2015 di Laboratorium

BAB III BAHAN DAN METODE. Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

PENANGANAN PASCA PANEN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TEKNOLOGI PENGEMASAN DAN PASCA PANEN BUNGA

III. BAHAN DAN METODE

Cara Sukses Menanam dan Budidaya Cabe Dalam Polybag

III. METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. aquades, larutan hara hidroponik standart AB Mix (KNO 3, Ca(NO 3 ) 2,K 2 SO 4,

PELAKSANAAN PENELITIAN. dan produksi kacang hijau, dan kedua produksi kecambah kacang hijau.

III. TATA LAKSANA KEGIATAN TUGAS AKHIR

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2015 di

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental menggunakan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian. Penah atau pensil, Buku pengamatan. C.

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Januari sampai Maret B. Penyiapan Bahan Bio-slurry

HASIL DAN PEMBAHASAN

BUDIDAYA GREEN BUTTERHEAD (Lactuca sativa var. capitata L.) SECARA HIDROPONIK SISTEM NFT DENGAN MEDIA TANAM ROCKWOOL

III. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hidroponik adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang cara

BAB III BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

III. MATERI DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Alat dan Bahan Peneltian

I. PENDAHULUAN. Kailan (Brassica oleraceae var achepala) atau kale merupakan sayuran yang

TATA LAKSANA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilakukan di daerah Minggir, Sleman, Yogyakarta dan di

BAHAN DAN METODE. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Ciherang, Urea, SP-36,

4. HASIL PENELITIAN 4.1. Pengamatan Selintas Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Keadaan Cuaca Selama Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB IV. PRAKTEK PEMBIBITAN DAN TRANSPLANTING

III. TATA LAKSANA KEGIATAN TUGAS AKHIR

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung,

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Paprika. Syarat Tumbuh

BAB III TATA PELAKSANAAN TUGAS AKHIR A. Tempat Pelaksanaan Tugas akhir Pelaksanaan Tugas Akhir dilaksanakan pada lahan yang bertempat pada Di Dusun

Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi Konsumsi Air Tanaman Bayam (Amaranthus tricolor L.) pada Teknik Hidroponik melalui Pengaturan Populasi Tanaman

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan

BAB III METODE PENELITIAN. Ciparay, pada ketinggian sekitar 625 m, di atas permukaan laut dengan jenis tanah

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

Tata Cara penelitian

III. METODOLOGI TUGAS AKHIR (TA)

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat

Kuliah ke 6 : BUDIDAYA JAMUR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BUDI DAYA. Kelas VII SMP/MTs. Semester I

TATA CARA PENELITIAN

BUDIDAYA CABAI KERITING DALAM POT. Oleh: YULFINA HAYATI

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Maret 2017 di Lahan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

PENGELOLAAN PROSES PRODUKSI DAN PASCA PANEN SELADA

LAMPIRAN. Lampiran 1. Layout Penelitian

Transkripsi:

PEMBAHASAN Proses Produksi Persemaian dan Nursery Media tanam untuk persemaian berupa rockwool merupakan pilihan yang baik, sebab menurut Resh (2004), rockwool dapat menyediakan oksigen, air, nutrisi dan dapat menunjang akar tanaman. Rockwool memiliki ruang pori sebanyak 95% dan memiliki kapasitas pegang air sebesar 80%. Keunggulan rockwool tersebut mampu memperbesar peluang benih berkecambah dengan baik dan dapat tumbuh menjadi bibit yang baik. Penelitian Susila dan Koerniawati (2004) juga menyatakan bahwa penggunaan media rockwool secara umum memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan dan bobot panen selada pada sistem teknologi hidroponik sistem terapung (THST). Proses pencelupan rockwool yang sebelumnya telah disusun benih di atasnya menurut penulis tidak efisien dan memiliki risiko yang sangat besar merusak susunan benih-benih. Benih-benih yang telah disusun dapat terlepas dan berpindah ke tempat yang lain. Masalah ini akan nampak ketika bibit sudah berumur 14 hari atau ketika bibit siap tanam. Pada saat penanaman, banyak ditemui bibit yang tumbuh pada satu tempat yang sama di slab rockwool. Bibit tersebut sulit untuk dipisahkan, karena akar kedua bibit tersebut telah menyatu, sehingga jika dipisahkan akan merusak akar bibit. Masalah ini akan berlanjut sampai pada saat penanaman. PIC cenderung menanam dua bibit yang berhimpitan tersebut pada satu lubang tanam, tanpa memisahkannya. Hasil dari metode penanaman yang demikian akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang berhimpitan tersebut kurang optimum, karena terbatasnya ruang bagi kedua tanaman tersebut untuk tumbuh. Selain masalah pertumbuhan, penanaman dua bibit dalam satu lubang tanam juga akan menyebabkan pemborosan bibit, dimana seharusnya satu lubang tanam diisi satu bibit, menjadi satu lubang tanam diisi dua bibit. Masalah lain yang akan timbul dengan metode pencelupan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah dapat mengakibatkan jumlah benih yang ditanam berkurang akibat benih hanyut dalam air. Walaupun pada saat pencelupan

42 dikerjakan dengan sangat hati-hati, tetapi ada risiko benih hanyut pada saat pencelupan, akibatnya jumlah benih disemai juga berkurang yang pada akhirnya akan memperkecil jumlah bibit yang tumbuh di greenhouse nursery. Masalah pencelupan seperti ini dapat diatasi dengan cara membasahi atau mencelupkan potongan rockwool terlebih dahulu sebelum disemai benih diatasnya. Mencelupkan rockwool terlebih dahulu ke dalam air, akan menghilangkan risiko benih hanyut dalam air dan juga menghilangkan risiko benih berpindah tempat. Dengan menghilangkan risiko-risiko tersebut, maka diiharapkan akan memperbesar peluang benih yang disemai tumbuh dengan optimal. Perlakuan perkecambahan yang dilakukan Amazing Farm di dalam ruang gelap dengan suhu berkisar antara 17 25 o C sudah baik. Grubben dan Sukprakarn (1994) menyatakan bahwa benih selada akan berkecambah dalam kurun waktu empat hari, bahkan untuk benih yang viabel dapat berkecambah dalam waktu satu hari, pada suhu 15-25 o C. Berikut ini daya berkecambah benih yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Daya Berkecambah Benih Selada Keriting, Lollorossa dan Romaine. Komoditas Rata-Rata Daya Berkecambah (%) Selada keriting 77.50 Lollorossa 72.38 Romaine 85.31 Daya berkecambah benih romaine dan selada keriting sudah baik, hanya benih lollorossa saja yang memiliki daya berkecambah yang kurang baik, yaitu hanya sebesar 72.38%. Menurut Sunarjono (2010) untuk penanaman selada di lapang, daya berkecambah di atas 75% sudah dikatakan bagus. Penulis menduga bahwa hal ini disebabkan karena benih lollorossa kurang lama diberi perlakuan perendaman. Menurut Grubben dan Sukprakarn. (1994) benih selada sering menunjukkan kondisi dormansi, khususnya ketika benih disimpan pada suhu yang tinggi dan disemai pada tanah dengan temperatur di atas 24 0 C. Cara paling baik

43 untuk mematahkan dormansi adalah dengan menyimpan benih yang telah dibasahi dalam kulkas pada suhu 2-5 0 C selama 1-3 hari. Amazing Farm tidak memproduksi secara terpisah antara bibit yang akan ditanam untuk budidaya aeroponik ataupun bibit yang akan ditanam untuk budidaya hidroponik DFT. Bibit-bibit tersebut diproduksi secara bersamaan dan berasal dari nursery yang sama. Bibit yang akan ditanam memiliki kriteria yang sama, yaitu berumur kurang lebih 14 hari dan memiliki daun sebanyak 2-3 helai. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, meskipun memiliki umur yang sama, bibit tersebut memiliki tinggi yang bervariasi saat dipindah tanam. Bibit selada keriting yang digunakan memiliki kisaran tinggi 5.4-9.2 cm, sedangkan bibit lollorossa berkisar pada tinggi 3.80-9.40 cm, sedangkan bibit romaine memiliki kisaran tinggi 5.10-1 cm. Data tersebut menunjukkan bahwa kisaran tinggi bibit berbeda cukup jauh. Penggunaan bibit yang tidak seragam akan berpeluang menghasilkan tanaman yang tidak seragam. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam melakukan penanaman dilakukan seleksi terlebih dahulu, untuk mencari bibit yang memiliki tinggi yang lebih seragam. Produksi Sayuran Styrofoam yang digunakan Amazing Farm untuk media penyangga saat ditanam di dalam bak tanam dapat digunakan berulang kali, hingga mencapai masa pakai tiga tahun. beberapa styrofoam bahkan telah mengalami kerusakan dimana styrofoam tersebut sudah robek. Penggunaan styrofoam yang sudah rusak tidak baik untuk kegiatan produksi tanaman. Styrofoam yang rusak dapat mengurangi area penanaman dan juga menyebabkan celah yang dapat membuat cahaya matahari dapat langsung mengenai larutan nutrisi. Cahaya matahari yang langsung mengenai larutan nutrisi pada budidaya hidroponik DFT dapat memacu tumbuhnya ganggang hijau yang dapat mengurangi kadar oksigen di dalam larutan nutrisi. Kadar oksigen yang rendah di dalam larutan nutrisi dapat menyebabkan akar tanaman kekurangan oksigen sehingga dapat memicu proses fermentasi pada akar tanaman. Proses fermentasi ini dapat menyebabkan kerusakan akar tanaman. Penggunaan styrofoam yang rusak pada budidaya aeroponik juga dapat memacu tumbuhnya ganggang yang

44 dapat menyumbat nozzle. Penggunaan styrofoam yang memiliki kondisi baik dapat menutup seluruh permukaan bak tanam, sehingga mengurangi kesempatan ganggang untuk tumbuh, sehingga dapat memperkecil peluang nozzle tersumbat oleh ganggang. Pada budidaya secara aeroponik, khususnya selada keriting, sering dijumpai kondisi tinggi tanaman yang tidak merata. Apabila dilihat dari jauh, tinggi tanaman selada keriting tidak seragam dan tampak seperti gelombang seperti pada Gambar 13. Kondisi ini disebabkan oleh tidak meratanya semprotan larutan nutrisi oleh nozzle di bawahnya. Semprotan nozzle tidak dapat mencapai akar tanaman yang berada tepat di atasnya, sehingga menghasilkan tanaman yang pendek pada bagian yang tepat berada di atas nozzle. namun tinggi pada bagian samping kiri dan kanannya (Gambar 14). Selada Akar Selada Nozzle Selang Semprotan Larutan Nutrisi Gambar 13. Ilustrasi Semprotan Nozzle Nozzle yang digunakan oleh Amazing Farm merupakan nozzle yang memiliki arah semprotan ke dua arah yang saling berlawanan (seperti kerucut terbalik). Bentuk semprotan seperti ini menghasilkan suatu bagian yang tidak mendapatkan semprotan nutrisi, yaitu pada bagian tepat di atas nozzle. Bagian ini seharusnya masih bisa mendapat semprotan nutrisi yang berasal dari nozzle disebelahnya, namun pada kenyataannya, semprotan nozzle tidak mampu menyemprotkan nutrisi pada bagian tersebut dengan sempurna, sehingga bagian tersebut hanya mendapatkan sedikit semprotan nutrisi.

45 A B Gambar 14. Masalah pada Budidaya aeroponik (A) Tinggi Tanaman Selada Keriting yang Tidak Merata (B) Selang yang Diganjal Styrofoam Bekas. Kondisi ini secara langsung dapat mengurangi produktivitas, dan keseragaman sebab tidak semua tanaman dalam satu bak menghasilkan ukuran yang besar secara seragam, melainkan ada beberapa yang kecil. Tanaman yang terlalu kecil tidak dapat dijual, sehingga akan mengurangi jumlah sayuran yang diproduksi. Upaya yang telah dilakukan untuk menganggulangi masalah ini adalah dengan mengganjal selang yang berada di dalam bak tanam dengan potongan styrofoam bekas, sehingga membuat kedudukan nozzle menjadi lebih tinggi, sehingga nozzle mampu saling mengisi bagian kosong seperti yang telah dijelaskan di atas, sehingga semprotan air mampu mengenai akar tanaman dengan lebih merata. Pertumbuhan Selada Keriting Tinggi tanaman. Tabel 5 menunjukkan bahwa tinggi bibit selada keriting (0 HST) menunjukkan tinggi yang berbeda, dimana bibit selada keriting untuk budidaya aeroponik lebih tinggi dibandingkan bibit selada keriting yang digunakan untuk budidaya hidroponik DFT. Hasil Uji-T student menunjukkan bahwa tinggi tanaman selada keriting mulai dari 5 HST hingga 30 HST dan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa selada keriting yang dibudidayakan secara hidroponik DFT mampu mengimbangi pertumbuhan tinggi tanaman selada keriting yang dibuidayakan secara aeroponik,

46 sehingga dapat dikatakan bahwa kedua teknik budidaya mampu menghasilkan tinggi tanaman selada keriting yang sama. Lebar daun. Tabel 5 menunjukkan lebar daun yang berbeda nyata pada 5 HST dan menunjukkan nilai yang tidak nyata pada 10 HST dan 15 HST, kemudian menunjukkan nilai yang nyata mulai dari 25 HST hingga 30 HST. Lebar daun selada keriting aeroponik saat panen menunjukkan nilai yang lebih baik jika dibandingkan dengan lebar daun selada keriting hidroponik DFT. Jumlah daun. Perkembangan jumlah daun selada keriting menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada 0, 5, 10 dan 15 HST kemudian menjadi berbeda nyata pada 20, 25 dan 30 HST. Jumlah daun selada keriting aeroponik pada saat panen (30 HST) sebanyak 10.10 helai, sedangkan jumlah daun selada keriting hidroponik DFT sebanyak 7.50 helai. Tabel 5. Pertumbuhan Selada Keriting. Peubah Tinggi Tanaman Lebar Daun Jumlah Daun (helai) Panjang Akar Teknik Budidaya Umur Selada Keriting (HST) 0 5 10 15 20 25 30 Aeroponik 7.49a 8.16a 8.62a 12.49a 16.74a 22.63a 26.27a DFT 5.92b 7.95a 10.40a 12.89a 15.29a 21.28a 24.77a Aeroponik 3.11a 3.92a 5.37a 9.14a 12.43a 15.43a 15.83a DFT 2.34b 3.20b 5.67a 8.51a 10.88b 12.85b 14.19b Aeroponik 3.00a 3.50a 4.10a 5.20a 6.90a 9.40a 10.10a DFT 3.00a 3.10a 3.70a 4.80a 6.00b 7.20b 7.50b Aeroponik 2.18a 6.75a 12.15a 19.44a 27.29a 36.91a 37.57a DFT 0.80b 3.30b 6.31b 6.96b 6.83b 8.38b 7.68b Keterangan: Nilai pada kolom pada pengamatan yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji T pada taraf 5% Panjang akar. Tabel 5 menunjukkan panjang akar yang berbeda nyata antara selada keriting aeroponik dan selada keriting hidroponik DFT mulai dari 0 HST sampai 30 HST atau pada saat panen. Pertumbuhan akar selada keritiing aeroponik lebih baik dibandingkan dengan selada keriting hidroponik DFT. Hal disebabkan oleh kondisi fisik akar selada keriting aeroponik menunjukkan penampakan yang berwarna putih, panjang, berserat banyak dan kuat, sedangkan

47 penampakan akar selada keriting hidroponik DFT menunjukkan kondisi fisik akar yang berwarna coklat, pendek dan rapuh. Menurut Resh (2004), akar yang sehat memiliki penampakan berwarna putih, tegar dan berserat banyak. Akar yang tidak sehat menunjukkan warna kecoklatan pada bagian ujung akar atau bagian akar. Penyebab akar cokelat pada selada keriting hidroponik DFT dapat disebabkan oleh serangan penyakit seperti serangan Phytium sp. Infeksi cendawan ini pada akar dapat menyebabkan akar cokelat, namun serangan cendawan ini menyebabkan tanaman menjadi kerdil Resh (2004). Hal ini tidak terjadi pada selada keriting hidroponik DFT di Amazing Farm. Pertumbuhan bagian tajuk selada keriting hidropnik masih tetap aktif tumbuh. Hal ini sama seperti yang dinyatakan oleh Juliansyah (2010) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa akar cokelat pada tanaman bayam tidak mempengaruhi pertumbuhan dan produksi bayam. Kondisi akar selada keriting hidroponik DFT yang telah dijelaskan sebelumnya diduga karena akar selada keriting hidroponik DFT tersebut terendam dalam air sehingga tidak mendapat cukup udara, yang pada akhirnya menyebabkan akar menjadi kecoklatan dan tidak sehat. Lakitan (1993) menyatakan bahwa pada sistem perakaran yang tergenang biasanya akan terjadi proses fermentasi akibat oksigen yang tidak tersedia. Sistem budidaya hidroponik seperti ini menurut (Acquaah, 2009) memang dapat menimbulkan masalah aerasi pada akar. Walaupun larutan nutrisi dipompa dan dialirkan kembali menggunakan pompa, namun kondisi akar tetap menunjukkan penampakan berwarna kecoklatan. Menurut Resh (2004) masalah aerasi pada budidaya secara hidroponik dapat diatasi dengan menggunakan pompa atau kompresor yang digunakan untuk membuat gelembung-gelembung udara ke dalam bak tanam atau tangki nutrisi melalui pipa perforasi ataupun batu gelembung (airstoned). Laju pertumbuhan. Dilihat dari laju pertambahan tinggi tanaman (Gambar 15), lebar daun (Gambar 17) dan panjang akar selada keriting (Gambar 18), selada keriting aeroponik memberikan nilai yang lebih baik jika dibandingkan dengan selada keriting hidroponik DFT. Bahkan pertambahan pertumbuhan panjang akar selada keriting aeroponik memiliki nilai yang jauh lebih tinggi jika dibanding nilai pertambahan panjang akar selada keriting hidroponik DFT.

48 Pertambahan Tinggi Tanaman 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 5 10 15 20 25 30 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 15. Pertambahan Tinggi Tanaman Selada Keriting Pertambahan Jumlah Daun (hhelai) 3.00 2.00 1.00 5 10 15 20 25 30 Umur tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 16. Pertambahan Jumlah Daun Selada Keriting Pertambahan Lebar Daun 4.00 3.00 2.00 1.00 5 10 15 20 25 30 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 17. Pertambahan Lebar Daun Selada Keriting

49 Pertambahan Panjang Akar 12.00 1 8.00 6.00 4.00 2.00-2.00 5 10 15 20 25 30 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 18. Pertambahan Panjang Akar Selada Keriting Selada keriting aeroponik memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan selada keriting hidroponik DFT, tetapi berdasarkan dari semua parameter yang diamati perbedaan yang paling signifikan tampak pada panjang akar. Panjang akar selada keriting aeroponik memiliki nilai hampir lima kali lipat lebih besar dibandingkan panjang akar selada keriting hidroponik DFT. Hal inilah yang diduga penulis memberikan kontribusi yang besar dalam perbedaan bobot panen selada keriting. Pertumbuhan Lollorossa Tinggi tanaman. Berdasarkan Tabel 6, hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman lollorossa, pada 0 dan 5 HST menunjukkan pertumbuhan antara dua teknik budidaya, yaitu aeroponik dan hidroponik DFT berbeda nyata. Tinggi tanaman pada budidaya aeroponik pada 5 HST sebesar 7.99 cm, sedangkan pada lollorossa yang ditanam dengan teknik hidroponik DFT sebesar 5.51 cm. Menginjak 10 HST sampai 30 HST, pertumbuhan tinggi tanaman pada kedua jenis budidaya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Walaupun menggunakan bibit yang tidak seragam, namun pada saat panen, tinggi tanaman lollorossa yang ditanam pada dua jenis teknik budidaya menunjukkan pertumbuhan tinggi yang tidak nyata.

50 Lebar daun. Bibit yang digunakan pada penanaman lollorossa memiliki ukuran yang berbeda antara yang ditanam pada budidaya aeroponik dan yang ditanam pada budidaya hidroponik DFT. Nilai keseregaman bibit lollorossa pada 0 HST menunjukkan nilai yang berbeda nyata, dimana bibit yang digunakan pada budidaya aeroponik memiliki lebar daun sebesar 4.32 cm, sedangkan pada budidaya hidroponik DFT sebesar 2.72 cm. Pada 5 HST sampai 20 HST, lebar daun lollorossa pada kedua jenis teknik budidaya tidak menunjukkan perbedaan. Perbedaan mulai terlihat saat tanaman menginjak umur 25 HST, dimana terjadi perbedaan yang nyata dengan rata-rata lebar daun lollorossa pada budidaya aeroponik sebesar 13,73 cm dan lebar daun lollorossa pada budidaya hidroponik DFT sebesar 11,21 cm. Pada usia 30 HST, lebar daun lollorossa pada kedua jenis teknik budidaya menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan rata-rata lebar daun lollorossa aeroponik lebih baik daripada lollorossa hidroponik DFT. Tabel 6. Pertumbuhan Lollorossa Pengamatan Tinggi Tanaman Lebar Daun Jumlah daun (helai) Panjang Akar Teknik Budidaya Umur Lollorossa (HST) 0 5 10 15 20 25 30 Aeroponik 7.49a 7.99a 8.51a 9.62a 11.26a 15.44a 19.10a DFT 4.33b 5.51b 7.66a 9.55a 11.11a 13.79a 17.71a Aeroponik 4.32a 4.41a 5.26a 7.31a 9.81a 13.73a 15.35a DFT 2.72b 3.94a 5.50a 6.77a 9.46a 11.21b 13.02b Aeroponik 2.60a 3.40a 3.60b 4.30b 6.50a 8.60a 9.20a DFT 3.00a 3.10a 4.20a 5.20a 5.70b 6.90b 8.50b Aeroponik 2.45a 4.23a 9.43a 16.74a 29.89a 42.63a 41.64a DFT 1.68a 4.36a 6.76a 7.03b 6.87b 6.66b 7.37b Keterangan: Nilai pada kolom pada pengamatan yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji T pada taraf 5% Jumlah daun. Jumlah daun bibit lollorossa yang ditanam pada 0 HST, baik pada sistem budidaya secara aeroponik maupun hidroponik DFT menunjukkan angka yang hampir sama yaitu berkisar pada angka 3 helai daun. Pertumbuhan jumlah daun lollorossa yang dibudidayakan secara aeroponik pada rentang waktu 10 HST sampai 15 HST menunjukkan angka yang lebih rendah

51 daripada jumlah daun lollorossa yang dibudidayakan secara hidroponik DFT. Pada usia tanaman 20 HST, lollorossa yang ditanam dengan teknik budidaya aeroponik memiliki jumlah daun yang lebih banyak daripada jumlah daun lollorssa yang ditanam dengan teknik budidaya hidroponik DFT, dan menjadi lebih banyak bila dibandingkan dengan lollorossa yang ditanam dengan sistem budidaya hidroponik DFT. Pada saat panen, jumlah daun lollorossa yang ditanam dengan teknik aeroponik menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada lollorossa yang ditanam dengan teknik budidaya hidroponik DFT. Panjang akar. Pada Tabel 6, akar lollorossa kedua jenis teknik budidaya pada 5 HST dan 10 HST tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Panjang akar mulai menunjukkan perbedaan yang nyata pada 15 HST hingga panen yaitu pada 30 HST, panjang akar lollorossa pada teknik budidaya secara aeroponik memiliki nilai rata-rata 41.64 cm, jauh lebih besar bila dibandingkan dengan akar lollorossa pada budidaya hidroponik DFT yang rata-ratanya hanya sebesar 7.37 cm. Sistem perakaran lollorossa yang dibudidayakan dengan teknik budidaya secara aeroponik jauh lebih baik. Akarnya lebat, berwarna putih, panjang dan sehat seperti halnya akar pada selada keriting aeroponik. Hal ini dikarenakan akar tanaman yang dibudidayakan secara aeroponik memiliki aerasi yang baik, sehingga mampu tumbuh lebih optimal, sedangkan akar tanaman pada budidaya hidroponik DFT berwarna coklat, pendek, dan rapuh pada ujung-ujungnya. Laju pertumbuhan. Dilihat dari laju pertumbuhannya, lollorossa yang dibudidayakan secara aeroponik juga menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan lollorossa yang dibudidayakan secara hidroponik DFT. Semua parameter menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik walaupun pada 30 HST, parameter laju pertumbuhan jumlah daun (Gambar 20) dan lebar daun lollorossa (Gambar 21) pada kedua teknik budidaya berada pada titik yang kurang lebih sama. Namun dengan melihat analisis data sebelumnya, dapat diketahui bahwa lollorossa aeroponik dapat tumbuh lebih baik dengan menunjukkan perbedaan yang nyata pada lebar daun, jumlah daun dan panjang akar. Grafik laju pertambahan panjang akar lollorossa aeroponik (Gambar 22) pada 5 MST hingga 20 MST menunjukkan pertambahan yang sangat drastis, lalu mulai menurun pada 25 MST dan kemudian turun drastis pada 30 HST. Hal ini diduga karena akar

52 banyak yang patah saat perawatan, sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan akar lollorossa. Pertambahan Tinggi Tanaman 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 5 10 15 20 25 30 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 19. Pertambahan Tinggi Tanaman Lollorossa Pertambahan Jumlah Daun (helai) 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 5 10 15 20 25 30 Umur tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 20. Pertambahan Jumlah Daun Lollorossa Pertambahan Lebar Daun 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 5 10 15 20 25 30 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 21. Pertambahan Lebar Daun Lollorossa

53 Pertambahan Panjang Akar 15.00 1 5.00-5.00 5 10 15 20 25 30 Umur tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 22. Pertambahan Panjang Akar Lollorossa Pertumbuhan Romaine Tinggi tanaman. Tabel 7 menunjukkan bahwa mulai dari 0 HST sampai 25 HST, pertumbuhan tunggi tanaman romaine aeroponik maupun hidroponik DFT menunjukkan angka yang berbeda nyata. Pertumbuhan tinggi tanaman yang dibudidayakan secara hidroponik DFT lebih baik daripada yang dibudidayan secara aeroponik. Romaine yang menjadi tanaman sampel dipanen pada usia 25 HST karena tanaman tersebut sudah mulai menunjukkan tanda-tanda diserang penyakit berupa blackspot. Supervisor panen kemudian mengambil tindakan dengan memanennya lebih awal untuk mengurangi serangan penyakit lebih parah. Tabel 7. Pertumbuhan Romaine Pengamatan Tinggi Tanaman Lebar Daun Jumlah Daun (helai) Panjang Akar Teknik Budidaya Umur Romaine (HST) 0 5 10 15 20 25 Aeroponik 6.04b 6.79b 8.15b 12.36b 16.39b 22.45b DFT 8.15a 11.24a 14.38a 16.96a 20.86a 24.51a Aeroponik 1.61b 2.24b 3.03b 5.54b 7.61b 9.99a DFT 2.31a 3.46a 5.31a 7.17a 9.49a 10.02a Aeroponik 2.10b 3.30b 3.60b 5.10b 8.20a 10.10a DFT 3.60a 4.10a 5.80a 7.40a 8.60a 10.20a Aeroponik 1.57a 3.65a 8.73a 13.93a 23.59a 38.61a DFT 0.91a 2.79a 6.74b 6.72b 6.96b 9.59b Keterangan: Nilai pada kolom pada pengamatan yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji T pada taraf 5%

54 Jumlah daun. Pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa jumlah daun bibit yang digunakan untuk menanam romaine berbeda antara yang ditanam dengan teknik budidaya aeroponik maupun yang ditanam dengan teknik hidroponik DFT. Bibit yang ditanam pada budidaya hidroponik DFT memilliki rata-rata jumlah daun yang lebih banyak. Pada 0 HST sampai 20 HST, jumlah daun romaine aeroponik lebih sedikit dibandingkan dengan romaine hidroponik DFT. Menginjak usia tanaman 25 terlihat bahwa jumlah daun romaine aeroponik dan hidroponik DFT saat panen adalah sama. Panjang akar. Tabel 7 menunjukkan bahwa pada 0 dan 5 HST, panjang akar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara budidaya aeroponik dan hidroponik DFT. Perbedaan yang nyata mulai terlihat pada 15 HST sampai 25 HST, dengan rata-rata panjang akar romaine yang dibudidayakan secara aeroponik sebesar 38.61 cm, jauh diatas nilai panjang akar romaine yang dibudidayakan secara hidroponik DFT yang rata-ratanya hanya sebesar 9.59 cm. Kondisi akar romaine hidroponik DFT juga menunjukkan penampakan yang sama seperti selada keriting hidroponik DFT dan lollorossa hidroponik DFT, yaitu berwarna coklat, pendek dan rapuh pada bagian ujungnya. Penulis menduga hal ini juga disebabkan oleh masalah aerasi yang telah dijelaskan sebelumnya pada komoditas selada keriting dan lollorossa. Laju pertumbuhan. Laju pertambahan tinggi tanaman (Gambar 23) dan lebar daun romaine aeroponik (Gambar 25) lebih baik jika dibandingkan dengan laju pertambahan tinggi tanaman romaine hidroponik DFT. Hal ini bertentangan dengan analisis data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan romaine hidroponik DFT lebih baik. Keadaan tersebut diduga karena penggunaan bibit yang memiliki ukuran yang berbeda cukup jauh, dimana secara umum bibit romaine yang ditanam pada budidaya hidroponik DFT lebih besar daripada bibit yang ditanam untuk budidaya aeroponik. Laju pertumbuhan akar romaine aeroponik meningkat drastis setiap periode, dan sangat berbeda jauh dengan laju pertumbuhan panjang akar romaine hidroponik DFT.

55 Pertambahan Tinggi Tanaman 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 5 10 15 20 25 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 23. Pertambahan Tinggi Tanaman Romaine Pertambahan Jumah Daun (Helai) 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 5 10 15 20 25 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 24. Pertambahan Jumlah Daun Romaine Pertambahan Lebar Daun 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 5 10 15 20 25 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 25. Pertambahan Lebar Daun Romaine

56 Pertambahan Panjang akar 2 15.00 1 5.00-5.00 5 10 15 20 25 Umur Tanaman (HST) Aeroponik Hidroponik DFT Gambar 26. Pertambahan Panjang Akar Romaine Panen dan Pasca Panen Bobot Panen Tabel 8 menunjukkan bahwa bobot selada keriting dan romaine menunjukkan perbedaan yang nyata, dimana bobot selada keriting dan romaine menunjukkan nilai yang lebih baik. Lebar daun, jumlah daun dan juga panjang akar selada keriting menunjukkan perbedaan yang cukup nyata, dimana selada keriting yang dibudidayakan secara aeroponik menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan yang dibudidayakan secara hidroponik DFT. Tabel 8. Bobot Panen Selada Keriting, Lollorossa dan Romaine Teknik Budidaya Bobot per Tanaman Saat Panen (gram) Selada Keriting Lollorossa Romaine Aeroponik 89.00a 42.00a 93.00a DFT 53.00b 41.00a 59.00b Keterangan: Nilai pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji T pada taraf 5% Berdasarkan dari semua parameter yang diamati, perbedaan yang paling signifikan tampak pada panjang akar. Panjang akar selada keriting aeroponik memiliki nilai hampir lima kali lipat lebih besar dibandingkan panjang akar selada keriting hidroponik DFT. Hal inilah yang diduga penulis memberikan kontribusi yang besar dalam perbedaan bobot panen selada keriting. Hal yang sama diduga

57 terjadi pada romaine dimana panjang akar romaine aeroponik lebih panjang empat kali lipat daripada akar romaine hidroponik DFT. Bobot lollorossa tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara lollorossa yang ditanam dengan teknik budidaya aeroponik maupun hidroponik DFT. Dilihat dari semua parameter pertumbuhan tanaman lollorossa, hanya tinggi tanaman saja yang menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata, sedangkan jumlah daun, lebar daun dan juga panjang akar menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut untuk memastikan hal tersebut. Produktivitas Analisis pertumbuhan selada keriting, lollorossa dan romaine menunjukkan kecenderungan bahwa budidaya secara aeroponik dapat memberikan hasil panen yang lebih baik. Hal ini juga dapat dilihat pada data produktivitas yang dimiliki Amazing Farm (data sekunder) pada bulan Maret-Mei 2011 (Gambar 28). Selada keriting, lollorossa dan romaine yang dibudidayakan secara aeroponik memang mampu memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan sayuran yang dibudidayakan secara hidroponik DFT. Produktivitas (kg/m2) 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 Selada Keriting Lollorossa Romaine Aeropoik Komoditas Hidroponik DFT Gambar 27. Produktivitas Selada Keriting, Lollorossa dan Romaine Periode Maret-Mei 2011 (Data Sekunder) Berdasarkan data yang diperoleh selama periode bulan Maret hingga Mei 2011, produktivitas selada keriting yang dibudidayakan secara aeroponik sebesar

58 1.67 kg/m 2 atau memiliki potensi hasil sebesar 16 ton/ha, sedangkan selada keriting hidroponik DFT memiliki produktivitas sebesar 1.28 kg/m 2 atau memiliki potensi hasil sebesar 12 ton/ha. Potensi hasil selada aeroponik dan hidroponik DFT memiliki potensi hasil yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan potensi hasil selada keriting yang dibudidayakan secara konvensional yaitu sebesar 3-8 ton/ha (Grubben dan Sukprakarn, 1994). Menurut Resh (2004), potensi hasil untuk selada keriting yang dibudidayakan dengan media tanpa tanah (soiless) mencapai 9 000 lb (4 082 kg) per acre, atau sekitar 10 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya selada keriting secara aeroponik ataupun hidroponik DFT yang dilakukan oleh Amazing Farm mampu menghasilkan produk yang lebih baik yang ditandai dengan potensi hasil selada keriting Amazing Farm lebih tinggi daripada yang dinyatakan di dalam literatur. Tanaman yang Tidak Dipanen Panen yang dilakukan oleh Amazing Farm pada pukul 6.30 WIB dan 16.00 WIB merupakan pemilihan waktu yang tepat, sebab menurut Haguluha dan Natera (2007) waktu panen yang baik adalah pada waktu terdingin pada suatu hari, yaitu pada awal pagi ataupun pada sore hari jika ingin memanen sayuran yang akan dikirim ke daerah lain. Melakukan panen pada kedua waktu tersebut, akan mengurangi kerusakan hasil panen akibat transpirasi. Tabel 9. Presentase Tanaman yang Tidak Dipanen. Komoditas Tanaman yang Tidak Dipanen Aeroponik DFT.. (%). Selada Keriring 5.01a 3.98a Lollorossa 5.90a 4.99a Romaine 6.22a 7.50a Keterangan: Nilai pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji T pada taraf 5% Pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa presentase tanaman yang tidak dipanen pada tanaman selada kerititng aeroponik maupun hidroponik DFT menunjukkan angka yang kecil. Hal ini menunjukkan bahwa baik budidaya aeroponik maupun

59 hidroponik DFT mampu menghasilkan tanaman selada keriting yang baik, karena kurang lebih 93% tanaman dapat dipanen. Tanaman lolloroosa juga menunjukkan hal yang sama. Pada Tabel 9, presentase tanaman lollorossa aeroponik yang tidak dipanen sebesar 5.90% dan sebesar 4.99% pada budidaya secara hidroponik DFT. Angka tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa tanaman lollorossa dapat menghasilkan hasil panen yang sama baik saat dibudidayakan secara aeroponik maupun hidroponik DFT. Pada tanaman romaine, presentase tanaman yang tidak dipanen pada budidaya secara aeroponik sebesar 6.22%, sedangkan yang dibudidayakan secara hidroponik DFT sebesar 7.50%. Walaupun presentasenya sedikit lebih tinggi daripada selada keriting dan lollorossa, namun hasil panen romaine masih dianggap baik, sebab presentase tanaman yang dapat dipanen masih diatas 90%. Kehilangan hasil Pada Tabel 10 disajikan data pada aspek pasca panen tiga jenis selada. Selada keriting menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata pada tanaman yang mengalami sortasi baik pada tanaman yang dibudidayakan secara aeroponik maupun hidroponik DFT. Lollorossa juga menunjukkan hasil analisis perlakuan pasca panen yang sama seperti hasil yang ditunjukkan oleh selada keriting, sehingga tanaman yang dihasilkan dari kedua teknik budidaya tersebut baik. Analisis data tanaman yang tidak memenuhi standar packing untuk romaine menunjukkan angka yang berbeda nyata. Romaine yang dibudidayakan secara aeroponik menunjukkan angka yang lebih kecil, yaitu sebesar 2.65%, sehingga romaine yang dibudidayakan secara aeroponik dapat menghasilkan kualitas tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan romaine hidroponik DFT. Pada semua komoditas, hasil analisis data (Tabel 10) menunjukkan bahwa rompesan daun yang dilakukan terhadap tanaman yang dibudidayakan secara aeroponik dan hidroponik DFT tidak berbeda nyata. Rompesan daun pada selada keriting berkisar pada angka 24%, sedangkan pada romaine 27%. Lollorossa yang dibudidayakan secara hidroponik DFT menunjukkan angka yang lebih besar yaitu

60 sebesar 19.83% daripada lollorossa yang dibudidayakan secara seroponik yaitu sebesar 15.71%. Komoditas Tabel 10. Kehilangan Hasil saat Perlakuan Pasca Panen Selada Keriting Teknik Budidaya Sortasi Rompesan Daun Kehilangan Hasil.. (%)... Aeroponik 6.40a 24.09a 30.50a DFT 1.94a 24.01a 25.96a Lollorossa Aeroponik 6.25a 15.71a 21.96a DFT 6.60a 19.83a 26.40a Romaine Aeroponik 2.65b 27.05a 29.70b DFT 7.82a 27.34a 35.16a Keterangan: Nilai pada kolom pada pengamatan yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji T pada taraf 5% Kehilangan hasil selada keriting akibat sortasi dan rompesan daun pada teknik budidaya aeropoonik maupun hidroponik DFT tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, yaitu sebesar 30.50% pada selada keriting aeroponik, dan 25.96% pada selada keriting hidroponik DFT. Lollorossa juga menunjukkan hasil analisis data yang tidak berbeda nyata, dengan rata-rata kehilangan hasil sebesar 21.96% pada lollorossa aeroponik dan 26.40% pada lollorossa hidroponik DFT. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh romaine dimana hasil analisis data menunjukkan bahwa kehilangan hasil antara romaine aeroponik dan hidroponk menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Kehilangan hasil romaine aeroponik sebesar 29.70%, lebih baik jika dibandingkan dengan romaine hidroponik DFT yang menunjukkan rata-rata kehilangan hasil sebesar 35.16%. Kehilangan hasil akibat perompesan daun di Amazing Farm termasuk tinggi, hal ini dilakukan demi menjaga kondisi produk agar konsumen yang membeli mendapatkan produk yang bersih dan berkualitas. Faktor-faktor penyebab dilakukannya perompesan daun di Amazing Farm diantaranya karena tiga hal berikut ini, yaitu perlakuan perompesan daun akibat daun rusak diserang hama, perompesan daun akibat penyakit, dan perompesan daun yang dilakukan terhadap daun tua atau kerusakan mekanis. Perompesan

61 dilakukan dengan cara membuang daun terluar seperti yang dinyatakan oleh Haguluha dan Natera (2007) bahwa perlakuan perompesan daun dilakukan terhadap daun yang kering (berwarna cokelat) yang terdapat pada bagian dasar atau bagian paling luar termasuk daun yang rusak atau memar juga harus dibuang. Data perompesan daun (Tabel 11) yang dilakukan terhadap selada keriting baik yang ditanam secara aeroponik maupun hidroponik DFT, kebanyakan dlakukan karena faktor daun tua/mekanis. Nilai perompesan daun akibat daun tua/mekanis pada selada keritng menunjukkan angka yang berbeda nyata, dimana nilai pada selada keriting aeroponik lebih kecil yaitu sebesar 76.90%. Perompesan daun akibat hama atau penyakit memiliki presentase yang kecil. Namun pada selada keriting hidroponik DFT, perompesan akibat serangan penyakit cukup tinggi, yaitu sebesar 22.53% dan menunjukkan nilai yang berbeda nyata dibandingkan dengan nilai pada selada keriting aeroponik. Penyakit yang biasa menyerang daun sehingga harus mendapat perlakuan perompesan adalah penyakit black spot. Apabila terdapat daun yang terkena black spot, maka karyawan di packing house harus membuang seluruh bagian daun tersebut untuk menjaga kualitas produk, meskipun bercak black spot yang terlihat kecil. Tabel 11. Perlakuan Perompesan Daun Komoditas Selada Keriting Lollorossa Romaine Teknik Budidaya Perompesan Daun Hama Penyakit Daun Tua/ Mekanis (%)... Aeroponik 0.89a 1.43a 97.68a DFT 0.57a 22.53b 76.90b Aeroponik 10.34a 27.59a 62.07a DFT 0.57a 22.53a 76.90a Aeroponik 3.13a 29.39a 67.48a DFT 5.00a 20.50a 74.50a Keterangan: Nilai pada kolom pada pengamatan yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji T pada taraf 5% Perompesan daun lollorossa kebanyakan dilakukan terhadap daun tua, seperti halnya pada selada keriting. Namun tidak seperti selada keriting, nilai perompesan daun akibat penyakit pada lollorossa cukup tinggi, baik pada lollorossa aeroponik maupun lollorossa hidroponik DFT. Penyakit yang

62 menyerang lollorossa juga sama seperti selada keriting yaitu black spot. Nilai perompesan daun akibat hama juga cukup tinggi pada lollorossa aeroponik yaitu sebesar 10.34%. Daun yang dirompes akibat serangan hama memiliki ciri-ciri berupa gerigitan pada daun, selain itu juga terdapat kotoran ulat pada bagian dalam pangkal batang dan juga terdapat luka seperti koreng pada bagian pangkal batang bagian dalam akibat serangan kutu daun. Perompesan daun romaine akibat daun tua/mekanis juga tinggi seperti selada keriting dan lollorossa, sedangkan untuk perompesan daun akibat penyakit memiliki presentase sebesar 29.39% untuk romaine aeroponik, sedangkan untuk romaine hidroponik DFT memiliki presentasr yang lebih kecil yaitu 20.50%. Rata-rata kehilangan hasil sebesar kurang lebih 30% untuk semua komoditas, menandakan bahwa dari total produksi kotor sayuran yang dihasilkan, hanya 70% saja yang merupakan produk bersih (net product). Angka ini memang cukup besar jika dibandingkan SOP perusahaan yang hanya menghendaki kehilangan hasil sayuran yang hanya sebesar 15%. Hal yang menjadi sumber kehilangan hasil terbesar adalah perompesan daun akibat kerusakan mekanis atau daun tua. Kerusakan mekanis dapat terjadi akibat sayuran disusun terlalu padat di dalam kontainer atau terjadi kerusakan selama pengangkutan ke packing house. Daun yang rusak tersebut menyebabkan perompesan daun tidak hanya dilakukan daun tua (daun terluar) saja, melainkan beberapa daun pada bagian dalam yang juga mengalami kerusakan. Daun yang rusak tersebut terpaksa harus dibuang untuk menjaga kualitas produk. Hal inilah yang diduga menyebabkan kehilangan hasil menjadi besar. Analisis Usaha Tani Budiaya Selada Aeroponik Asumsi budidaya selada aeroponik yang diusahakan, berada pada lahan seluas 4 000 m 2 dengan menggunakan greenhouse tipe bulbo dengan bahan dasar alumunium dengan luas greenhouse 2 000 m 2. Asumsi ini berdasarkan pada luas greenhouse C yang terdapat di Amazing Farm, Kebun Cikahuripan yang memiliki luas sekitar 2000 m 2. Greenhouse C diambil sebagai contoh, sebab greenhouse ini

63 mampu menghasilkan selada keriting dengan produktivitas yang paling tinggi diantara greenhouse lainnya, yaitu sebesar 1.77 kg/m 2 (Lampiran 3) Usaha budidaya selada keriting ini akan membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 1 152 760 000 dan biaya operasional per tahun sebesar Rp 303 179 000. Biaya yang dikeluarkan cukup mahal, namun biaya ini sebanding dengan pemasukan yang akan didapatkan, dimana pemasukan setiap tahun dari penjualan selada aeroponik mencapai Rp 730 080 000 per tahun. Angka tersebut berdasarkan asumsi dalam satu bulan, kegiatan panen dilakukan sebanyak 26 kali dengan jumlah bak yang dipanen setiap harinya sebanyak 10 bak tanam (40m 2 ) dan dengan produktivitas sebesar 1.63 kg/m 2. Kegiatan panen sebanyak 26 kali dihitung berdasarkan kegiatan panen yang dilakukan oleh Amazing Farm, yaitu sebanyak kurang lebih 26 kali dalam satu bulan. Jumlah bak yang dipanen sebanyak 10 bak per hari berdasarkan perhitungan jumlah total bak tanam yaitu sebanyak 260 bak tanam dibagi dengan jumlah hari panen per bulannya yaitu sebanyak 26 kali, sehingga didapatkan hasil sebesar 10 bak tanam yang dipanen setiap harinya. Perhitungan jumlah total bak tanam sebanyak 260 buah berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh penulis dengan karyawan Amazing Farm yang menyatkan bahwa dalam budidaya aeroponik dan hidroponik DFT, pengaturan jumlah bak tanam lebih berdasarkan pada optimalisasi kekuatan semprotan pompa daripada optimalisasi lahan. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 3 yang menunjukkan bahwa rata-rata luas produktif dibandingkan dengan luas greenhouse sebesar 57.21%. Net B/C adalah manfaat bersih yang menguntungkan terhadap bisnis yang dihasilkan setiap satu satuan kerugian dari bisnis tersebut (Nurmalina et al., 2009). Dengan kata lain, net B/C adalah manfaat bersih yang diterima oleh suatu perusahaan untuk setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk suatu usaha. Suatu usaha dikatakan layak apabila memiliki nilai net B/C lebih besar dari 1.00. Net B/C dari usaha ini mencapai 2.48, sehingga dapat dikatakan layak karena memenuhi syarat net B/C lebih besar dari 1.00. IRR (Internal Rate of Return) adalah tingkat pengembalian yang dapat diberikan oleh suatu usaha yang dijalankan, yang berasal dari investasi yang digunakan. IRR dinyatakan dalam

64 presentase. Suatu usaha dapat dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari faktor diskonto yang berlaku. IRR yang dimiliki usaha budidaya selada aeroponik menunjukkan nilai yang baik, yaitu sebesar 32.64%, jauh lebih besar dari diskon faktor yang berlaku yaitu 17% (bunga deposito). Periode pengembalian (payback periode) adalah waktu yang dibutuhkan untung mengembalikan lagi uang investasi. Periode pengembalian untuk budidaya selada aeroponik adalah selama 4 tahun. Perhitungan analisis usaha tani usaha budidaya selada aeroponik secara rinci dilampirkan pada Lampiran 6. Budidaya Selada Hidroponik (DFT) Budidaya selada hidroponik menggunakan sistem DFT dengan menggunakan asumsi luas lahan dan luas greenhouse yang sama dengan budidaya selada aeroponik membutuhkan biaya investasi sebesar Rp 916 760 00. Pemasukan per tahun yang didapatkan dari penjualan selada adalah sebesar Rp 584 064 00, Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan pemasukan selada aeroponik. Hal ini disebabkan oleh produktivitas selada hidroponik DFT yang lebih kecil, dimana produktivitas maksimal hanya mencapai 1.30 kg/m 2. Net B/C yang diperoleh dari usaha budidaya selada hidroponik DFT adalah 1.85 dengan IRR 19.6%. periode pengembalian lebih lama daripada usaha budidaya selada aeroponik, yaitu selama 5.3 tahun. Perhitungan analisis usaha tani usaha budidaya selada aeroponik secara rinci dilampirkan pada Lampiran 8. Apabila dibandingkan antara biaya investasi yang dikeluarkan dan juga pendapatan yang diterima, maka usaha budidaya selada secara aeroponik lebih menjajikan dibandingkan usaha budidaya selada secara hidroponik DFT. Walaupun biaya investasi dan operasional per tahunnya mahal, analisis usaha tani budidaya selada keriting aeroponik menunjukkan nilai Net B/C, IRR dan juga payback period yang lebih baik dibandingkan usaha budidaya hidroponik (DFT).