BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik bahkan buruk. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara di Indonesia, angka kematian bayi sebesar 35 per seribu kelahiran hidup dan angka kematian balita sebesar 58 per seribu kelahiran hidup (Azwar, 2004). Pulau Nusalaut adalah sebuah pulau yang terdapat di Propinsi Maluku dan merupakan salah satu pulau terkecil dari 49 buah pulau yang tersebar di Kabupaten Maluku Secara geografis Pulau Nusalaut terletak pada posisi 3 0 30 3 0 50 Lintang Selatan dan 127 0 50 128 0 10 Bujur Timur, dengan batasan wilayah sebelah utara berbatasan dengan Pulau Saparua, sebelah selatan, timur dan barat berbatasan dengan Pulau Banda. Pulau Nusalaut sebagian besar terdiri dari daerah pegunungan dan berbukit akan tetapi persebaran desa di wilayah Pulau Nusalaut terdapat pada pesisir pantai. Jumlah penduduk Pulau Nusalaut sebanyak 5858 jiwa, terdiri dari laki-laki 2950 jiwa dan perempuan 2908 jiwa, sedangkan jumlah balita sebanyak 394 jiwa (BPS Kabupaten Maluku Tengah, 2012). Di Pulau Nusalaut terdapat satu buah Puskesmas, namun karena letak Puskesmas di kota kecamatan sedangkan jarak antara desa-desa yang lain dengan kota kecamatan cukup jauh maka masyarakat terkadang jarang memeriksakan dirinya ke Puskesmas tetapi mereka lebih memanfaatkan petugas kesehatan (bidan dan atau perawat) yang bertempat tinggal terdekat dengan fasilitas yang sangat terbatas. Sedangkan fasilitas perekonomian di Pulau Nusalaut seperti pasar dan bank belum ada sehingga masyarakat Pulau Nusalaut lebih banyak mengadakan
transaksi jual beli bahan pangan pada toko-toko atau kios-kios milik masyarakat dengan persediaan bahan pangan yang sangat terbatas jenis dan jumlahnya. Di samping itu, sarana transportasi tersedia dalam jumlah terbatas sehingga menyulitkan kelancaran hubungan perekonomian dan kebutuhan lainnya terutama dengan kecamatan terdekat ataupun pusat kabupaten/kota dan Provinsi Maluku. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Pulau Nusalaut adalah petani dan nelayan. Selain masyarakat yang bekerja sebagai nelayan pencari ikan ada juga masyarakat yang bekerja sebagai buruh bangunan, pegawai swasta dan pegawai negeri sipil (PNS). Masyarakat yang berprofesi sebagai petani tidak hanya menanam tanaman umur panjang seperti cengkeh dan pala saja tetapi juga menanam umbi-umbian (singkong, keladi dan ubi jalar) serta pohon sagu. Umbiumbian dan sagu inilah yang menjadi sumber makanan pokok masyarakat di Pulau Nusalaut selain nasi (beras). Pada era tahun 1980an, sebanyak 33% masyarakat Maluku menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Namun, saat ini telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan dari non beras ke dominan beras, akan tetapi pada masyarakat desa terutama yang tinggal di pulau-pulau masih banyak dengan pola konsumsi pangan jagung, umbi-umbian, sagu dan pisang (Louhenapessy dalam Bustaman et al., 2010). Pola konsumsi yang dianjurkan di Indonesia sesuai dengan kaidah kesehatan diarahkan pada pola konsumsi yang lebih beragam, bergizi dan berimbang yang biasa disebut dengan menu seimbang terdiri dari makanan pokok, lauk hewani dan nabati, sayur, buah dan susu. Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak keluarga belum mampu menerapkan pola konsumsi tersebut dalam menu seharihari. Hal ini sangat terkait dengan daya beli, ketersediaan pangan, faktor ekonomi, pendidikan dan sosial budaya. Menurut Soekirman (2000) pola dan kebiasaan makan yang tidak baik merupakan salah satu sebab timbulnya masalah kesehatan dan gizi salah. Jenis dan frekuensi makan menjadi penting artinya dalam konteks standar gizi seseorang. Makanan yang dimakan minimal harus mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin serta mineral. 15
Sedangkan frekuensi makan terutama pada anak balita, sekurang-kurangnya tiga kali makan sehari guna memenuhi kebutuhan gizinya. Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsi dalam waktu yang cukup lama. Kekurangan zat gizi dapat menimbulkan penyakit defisiensi ataupun bila kekurangan zat gizi hanya bersifat ringan dapat menimbulkan gangguan yang sifatnya lebih ringan atau menurunnya kemampuan fungsi tubuh. Masalah gizi merupakan refleksi dari konsumsi energi, protein dan zat-zat gizi lainnya yang diperlukan oleh tubuh (Karyadi, 1996). Masalah gizi kurang pada balita masih cukup tinggi, salah satunya karena kualitas makanan sebagian besar masyarakat Indonesia terutama pada anak balita yang masih belum bergizi-seimbang. Hasil Riskesdas 2010 ditemukan anak balita yang menderita gizi kurang dan buruk sebanyak 17,9%; balita yang kurus dan sangat kurus sebanyak 13,3%; serta balita yang pendek dan sangat pendek sebanyak 35,6%. Sedangkan laporan Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan indikator berat badan terhadap umur (BB/U) di Propinsi Maluku masih cukup tinggi yaitu 9,3% dan 18,5%, lebih tinggi dari prevalensi nasional (5,4% dan 13,0%), dan laporan Puskesmas Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah per bulan September (2012) menunjukkan bahwa 0,9% balita mengalami gizi buruk dan 9,8% balita mengalami gizi kurang. Pulau Nusalaut merupakan pulau yang sangat kecil di Propinsi Maluku yang letaknya cukup jauh dari pusat kota kabupaten dan atau kota propinsi dan pola makan penduduknya sebagian besar mengkonsumsi makanan lokal (umbi-umbian dan sagu) selain nasi, dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang masih cukup tinggi meskipun lebih rendah dari prevalensi gizi buruk dan gizi kurang Provinsi Maluku dan Nasional, maka penulis ingin meneliti tentang hubungan pola makan dan asupan zat gizi dengan status gizi balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pola makan anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah? 2. Bagaimanakah asupan zat gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah? 3. Bagaimanakah status gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah? 4. Apakah ada hubungan antara pola makan dengan status gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuam Umum : Mengetahui hubungan pola makan dan asupan zat gizi dengan status gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku 2. Tujuan Khusus : a. Mengetahui pola makan anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku b. Mengetahui asupan zat gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku c. Mengetahui status gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku d. Mengetahui hubungan pola makan dengan status gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku e. Mengetahui hubungan asupan zat gizi dengan status gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku 17
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Daerah Dapat menjadi dasar dalam perencanaan program perbaikan gizi masyarakat khususnya perbaikan gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku 2. Bagi Masyarakat Dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hubungan pola makan dan asupan zat gizi dengan status gizi anak balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku 3. Bagi Peneliti Dapat menambah pengetahuan peneliti tentang pola makan, asupan zat gizi dan status gizi anak balita dan juga dapat digunakan sebagai acuan pembanding bagi peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berhubungan dengan pola makan, asupan zat gizi dan status gizi anak balita pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya namun belum pernah dilakukan penelitian serupa di Pulau Nusalaut. Penelitian yang pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya adalah : 1. Asrar, et al. (2009) Pola asuh, pola makan, asupan zat gizi dan hubungannya dengan status gizi anak balita masyarakat Suku Nuaulu di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Desain penelitian cross-sectional dengan subjek penelitian anak balita berusia 12-60 bulan, dengan jumlah sampel sebanyak 68 anak balita. Persamaannya yaitu pada desain penelitian, variabel terikat dan salah satu variabel bebas yaitu asupan zat gizi. Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada umur subjek penelitian, variabel bebas, lokasi dan jumlah sampel.
2. Masithah, et al. (2005) Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak batita di Desa Mulya Harja. Desain penelitian cross-sectional dengan subjek penelitian anak balita berumur 12-47 bulan, dengan jumlah sampel sebanyak 132 anak balita. Persamaannya yaitu pada desain penelitian dan variabel terikat. Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada umur subjek penelitian, variabel bebas, lokasi dan jumlah sampel. 3. Astati, et al. (2004) Hubungan pola asuh dan asupan gizi terhadap status gizi anak umur 6-24 bulan di Kelurahan Mengampang, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Desain penelitian cross-sectional dengan subjek penelitian anak balita berusia 6-24 bulan, dengan jumlah sampel sebanyak 62 anak balita. Persamaannya yaitu pada desain penelitian, variabel terikat dan salah satu variabel bebas yaitu asupan zat gizi. Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada umur subjek penelitian, salah satu variabel bebas, lokasi dan jumlah sampel. 19