2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir

dokumen-dokumen yang mirip
KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI, KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN LAMPUNG TIMUR. Eka Anisa Widya Bahri C

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PENENTUAN KUALITAS AIR

Bab V Hasil dan Pembahasan

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan salah satu senyawa kimia yang terdapat di alam secara berlimpah-limpah. Namun,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

BAB 1 KIMIA PERAIRAN

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. salju. Air tawar terutama terdapat di sungai, danau, air tanah (ground water), dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang lebih rendah dan setelah mengalami bermacam-macam perlawanan

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Sungai dan Daerah Aliran Sungai

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai. Sungai adalah salah satu ekosistem perairan yang dipengaruhi oleh banyak

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

TINJAUAN PUSTAKA. pesisir laut. Batas-batas wilayah tersebut yakni Laut Jawa di sebelah timur, selat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

TINJAUAN PUSTAKA. pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. hidup lebih dari 4 5 hari tanpa minum. Selain itu, air juga diperlukan untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang

MANAJEMEN KUALITAS AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. ENERGI DALAM EKOSISTEM 2. KONSEP PRODUKTIVITAS 3. RANTAI PANGAN 4. STRUKTUR TROFIK DAN PIRAMIDA EKOLOGI

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

Transkripsi:

4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan (UU No. 32 tahun 2009). Pencemaran adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia dan jumlah organisme (Sastrawijaya 2000). Sedangkan menurut Mason (1981) pencemaran adalah kehadiran dari suatu zat yang tidak alami dalam jumlah besar dan konsentrasinya tidak normal pada suatu keadaan alamiah, serta menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti perubahan secara ekologis. Sumber pencemar dapat berupa lokasi tertentu (point source) atau tak tentu/ tersebar (non-point source). Sumber pencemar dari point source misalnya cerobong asap pabrik dan saluran limbah industri. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sedangkan sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik) dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003). Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang masuk ke dalam lingkungan secara alami, misalnya akibat letusan gunung berapi. Pulutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke lingkungan akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), dan kegiatan industri. 2.2. Ekosistem Mengalir Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif kencang. Perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan menggenang.

5 Menurut Welch (1952) ekosistem mengalir dicirikan dengan badan air yang bergerak atau mengalir secara berkesinambungan dengan arah terntentu. Sedangkan menurut Dodds (2002) sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi, karena ketertarikaan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan dengan transpor air dan material (Reid 1961). Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) berdasarkan faktor ekologi sungai dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : - Hulu sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang cukup besar sehingga dicirikan dengan arus yang cepat. Substrat dasar biasanya terdiri dari batu dan kerikil, namun pada arus yang lambat (pools) ditemukan juga substrat detritus organik yang sedikit dan pasir. - Tengah sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang tidak terlalu besar sehingga dicirikan dengan arus yang lebih lambat dibandingkan daerah hulu. Substrat dasarnya terdiri dari material kasar seperti pasir, namun pada bagian sungai yang sedikit tergenang (pools) dan pinggiran sungai ditemukan lumpur. - Hilir sungai. Bagian sungai yang terletak di mulut sungai dengan substrat dasarnya terdiri dari lumpur dan detritus organik. Pada bagian ini ditandai dengan adanya semak-semak dan rawa. 2.3. Parameter Fisika 2.3.1. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan Padatan total, sebagian besar terdiri dari bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan yang telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas laiin tidak termasuk dalam padatan total saat pemanasan (Boyd 1988). Menurut APHA (2005) padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu. Sedangkan padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid) merupakan bahanbahan partikel renik yang melayang atau tercampur dalam air dan jika disaring

6 dengan kertas saring yang mempunyai pori-pori berdiameter 0.45 μm akan tertahan (Effendi 2003). Tinggi rendahnya nilai padatan tersuspensi tidak selalu diikuti oleh tinggi rendahnya nilai kekeruhan secara linier, karena pengukuran kekeruhan didasarkan pada banyaknya cahaya yang tersisa setelah diserap oleh bahan-bahan yang terkandung dalam air, sedangkan padatan tersuspensi didasarkan atas bobot residu dari bahan-bahan yang terkandung dalam air sebagai suspensi (Widigdo 2001 in Feriningtyas 2005). Alabaster dan Lloyd (1982) in Effendi (2003) mengkategorikan kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi total menjadi 4 kelompok dalam Tabel 1. Tabel 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi. Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan <25 Tidak berpengaruh 25 80 Sedikit berpengaruh 81 400 Kurang baik bagi perikanan >400 Tidak baik bagi perikanan Sumber : Alabaster dan Lloyd 1982 in Effendi 2003 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) dibawah 50 mg/l dan 400 mg/l. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam air (Effendi 2003). Kekeruhan adalah kondisi yang dihasilkan air dari adanya bahan tersuspensi di perairan. Secara umum kekeruhan air akan terjadi jika beban dari padatan tersuspensi banyak. Kekeruhan sungai yang berada didaerah pegunungan hulu memiliki nilai yang sangat rendah dibandingkan sungai yang berada di hilir (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) di sungai yang rendah, kekeruhan menjadi lebih dominan dan menjadi fitur karakteristik pada sebagian besar sungai. Bergantung pada sifat kimia alami dari material tersuspensi

7 dan ukuran partikel, warna sungai dapat berkisar mendekati putih, merah dan coklat. Di sungai yang kekeruhannya tidak terlalu banyak, plankton dapat berkembang dan membuat warna sungai menjadi kehijauan. Menurut Mason (1981) nilai kekeruhan dapat menunjukan kandungan bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat pada perairan sungai. Kekeruhan di sungai terutama disebabkan oleh adanya erosi dari daratan yang terbawa masuk ke sungai. Kekeruhan dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis. Menurut Effendi (2003), padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya nilai kekeruhan tidak selalu diikuti dengan tingginya padatan terlarut. 2.3.2. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS) Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid) adalah bahan-bahan terlarut (diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm 10-3 mm) yang berupa senyawasenyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,4μm (Rao 1992 in Effendi 2003). Nilai padatan terlarut total perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri) (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) reaksi dan proses dari ion-ion dan materi organis di sungai berasal dari proses kimia dan biologi dan kondisi sungai tersebut. Air yang ada di sungai yang besar, secara umum memiliki keseragaman yang sama, begitu banyak sehingga secara kuantitatif, kandungannya menjadi bermakna. Kandungan jumlah zat padatan terlarut berpengaruh terhadap kesadahan air yaitu garam-garam kalsium, sulfat dan klorida, semakin tinggi zat padatan terlarut di dalam air semakin tinggi pula nilai kesadahan dan kadar garamnya, sehingga akan menurunkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Fardiaz 1992). Padatan terlarut total sangat bervariasi, tergantung pada karakteristik masukan ke sungai. Dalam hal ini, ekosistem lotik dan lentik mempunyai beberapa perbedaan yang umum. Pada kenyataannya keduanya saling mempengaruhi satu sama lain dikarenakan cara yang memungkinkan saling berhubungan seperti di inlet atau outlet (Welch 1952). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan

8 kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan terlarut total maksimal sebesar 1000 mg/l. 2.3.3. Suhu Pada ekosistem lotik, fenomena temperatur biasanya berbeda dengan ekosistem lentik. Prinsipnya adalah (1) suhu cenderung sama di setiap kedalaman, bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara permukaan dan dasar diabaikan, (2) kecenderungan mengikuti suhu udara lebih dekat daripada di danau, (3) stratifikasi suhu hampir tidak ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama terjadinya perbedaan suhu yaitu (1) kedalaman air, (2) kecepatan arus, (3) material dasar, (4) suhu masukan air dari anak sungai, (5) masuknya cahaya matahari, (6) tingkat penutupan sungai, (7) waktu harian (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) sebagian besar faktor yang menetukan suhu adalah radiasi panas langsung dari matahari. Di sisi lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan interaksi bebrapa faktor, seperti pada sungai yang berada di pegunungan memiliki suhu yang lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang menutupinya. Sedangkan pada sungai yang berada di dataran rendah, lebih lebar dan dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan menyimpan energi panas lebih besar. Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya penyinaran matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi). Moriber (1974) menyatakan bahwa peningkatan suhu menyebabkan penurunan daya larut oksigen dan juga akan menaikan daya racun polutan terhadap organisme perairan. Suhu optimal bagi ikan dan organisme makanannya adalah berkisar antara 25 30 C (Boyd 1988). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai baku mutu suhu dengan deviasi 3 o C.

9 2.3.4. Kecepatan arus Kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar (Effendi 2003). Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan gradien ketinggian antara hulu dan hilir. Apabila perbedaan ketinggian cukup besar maka arus semakin deras. Kecepatan arus adalah faktor penting diperairan. Kecepatan arus yang besar (>5m/detik) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik. 2.3.5. Debit air Menurut Seyhan (1990) debit air merupakan volume air yang mengalir melalui suatu irisan melintang dalam satu satuan waktu. Adanya aktivitas manusia yang menggunakan lahan disekitar sungai dan curah hujan mempengaruhi debit air. Semakin tinggi curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia semakin tinggi pula debit airnya. Sedangkan bila curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia rendah maka rendah pula debit airnya. Debit air yang meningkat, akan meningkatkan kadar bahan-bahan alam terlarut secara eksponensial (Effendi 2003) Menurut Efffendi (2003) konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki badan air mengalami penurunan dengan meningkatnya debit badan air karena terjadi proses pengenceran. Debit sungai dapat juga diperoleh dari permukaan air sungai. Dalam persoalan pengendalian sungai, permukaan air sungai yang sudah dikorelasikan dengan curah hujan dapat membantu mengadakan data untuk pengelakan banjir, peramalan banjir, pengendalian banjir dengan bendungan. Dalam usaha pemanfaatan air, permukaan air sungai dapat juga digunakan untuk mengetahui secara umum banyaknya air sungai yang tersedia, penentuan kapasitas bendungan dan seterusnya (Mori 2003).

10 2.4. Parameter Kimia 2.4.1. ph Nilai ph suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan (Saeni 1989). Menurut Reid (1961) peningkatan nilai ph dapat disebabkan peningkatan pada nilai total alkalinitas, dan penurunan karbondioksida. Sedangkan menurut APHA (2005) pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif dari air untuk menetralkan basa hingga ph tertentu. Menurut Boyd (1982) sebagian besar perairan alami memiliki nilai ph berkisar antara 6.5 9, tetapi terdapat banyak pengecualian. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai ph yang lebih tinggi, makin ke hilir ph air akan menurun menuju suasana asam. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang terurai (Sastrawijaya 2000). Aliran sungai relatif tidak larut terhadap kandungan silika yang tinggi yang bersifat lembut, karena terdapat kandungan bikarbonat yang cukup untuk menjadi buffer dari perubahan ph yang disebabkan oleh karbondioksida. Berdasarkan karbondioksida, bikarbonat, dan karbonat, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan dengan ph, yaitu 1) nilai ph berbanding terbalik dengan konsentrasi karbondioksida terlarut, dan berhubungan langsung dengan konsentrasi bikarbonat; 2) nilai kritis yang berkaitan dengan ada atau tidak adanya karbondioksida bebas adalah pada ph 8, gas bebas tidak akan ada pada ph tersebut; 3) tidak adanya karbondioksida bebas tidak melimitkan proses fotosintesis dari alga dan tumbuhan tingkat tinggi, beberapa beradaptasi untuk mendapatkan karbondioksida dari karbonat, biasanya dihasilkan pada ph yang sangat tinggi (Reid 1961). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai ph berkisar dari 6 9. 2.4.2. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand - BOD) Kebutuhan oksigen biokimiawi atau Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen dalam mg/l yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk

11 menguraikan dan menstabilkan sejumlah senyawa organik dalam air melalui proses oksidasi biologis aerobik (Buchari et al. 2001). Menurut Boyd (1988) BOD menunjukan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 C selama 5 hari, dalam keadaan tanpa cahaya. Sedangkan menurut Fardiaz (1992) nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan. Perairan alami yang baik untuk perikanan memiliki nilai BOD yang berkisar pada 0.5 7.0 mg/l dan perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan salah satu indikator pencemaran organik. Perairan dengan nilai BOD 5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut diperairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) in Lestari (2004) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD 5 -nya, seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD No Nilai BOD 5 Status Kualitas Air 1 2,9 Tidak tercemar 2 3,0 5,0 Tercemar ringan 3 5,1 14,9 Tercemar sedang 4 15 Tercemar berat Sumber : Lee et al. 1978 in Lestari 2004 Konsentrasi BOD berhubungan dengan proses dekomposisi khususnya terhadap sampah atau kotoran yang tergolong organik, yang menyebabkan beberapa bakteri membutuhkan sejumlah oksigen dalam air untuk melangsungkan proses aerobiknya pada sungai-sungai, terutama sungai dekat kota dan/atau pemukiman penduduk mengalami gangguan berupa masuknya sampah atau kotoran organik yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen oleh bakteri dalam melakukan

12 dekomposisi bahan organik tersebut (Sarminah 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai BOD dibawah 2 mg/l dan 6 mg/l. 2.4.3. Oksigen terlarut (DissolvedOxygen - DO) Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air. Tingkat kelarutan oksigen di perairan alami dan limbah berasal dr aktivitas fisika, kimia, dan biokimia di badan perairan (APHA 2005). Menurut Effendi (2003) kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Sedangkan menurut Reid (1961) terdapat tiga sumber utama oksigen, kontribusi masing-masing yang sama dan memang bervariasi dari waktu dalam sehari, cuaca, velocity dan morfologi sungai, suhu, dan karakteristik biologi. Kelarutan oksigen di air sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, tekanan parsial gasgas yang ada di udara atau di air serta keberadaan unsur-unsur atau senyawa yang mudah teroksidasi yang terdapat di air (Wardoyo 1975). Prinsip dari kelarutan oksigen adalah (1) berasal langsung dari atmosfer yang terdifusi di permukaan perairan, (2) berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan berklorofil. Penurunan oksigen diperairan dapat berasal dari aktivitas respirasi hewan dan tanaman, dekomposisi bahan organik, reduksi gas, pengurangan oksigen secara otomatis pada lapisan epilimnion, inflow, dan aktivitas panas (Welch 1952). Hilangnya oksigen di perairan, selain akibat respirasi hewan dan tumbuhan, disebabkan juga oleh mikroba yang menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik (Boyd 1988). Menurut Buchari et al. (2001) bila bahan-bahan organik yang mencemari badan air cukup banyak maka jumlah oksigen yang dikonsumsi untuk menguraikan bahan-bahan tersebut semakin banyak pula sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air turun sampai sedemikian rendah. Brown (1987) menyatakan dengan bertambahnya ketinggian, akan menyebabkan tekanan udara dan suhu perairan akan menjadi lebih rendah. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air

13 minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai oksigen terlarut diatas 6 mg/l dan 4 mg/l. 2.4.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen) Nitrogen merupakan nutrien makro bagi pertumbuhan alga yang selalu hadir di perairan umum. Meskipun nitrogen ditemukan dalam jumlah berlimpah di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen harus difiksasi terlebih dahulu menjadi senyawa NH 3, NH + 4, dan NO - 3 agar bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dan hewan perairan (Saeni 1998). Senyawa nitrogen merupakan senyawa yang penting dalam menyintesis dan menghasilkan protein yang selanjutnya bersama karbohidrat dan lemak menjadi sebagian besar substansi di lingkungan hidup. Senyawa nitrogen secara normal menunjukan fluktuasi yang menonjol dan variasi yang nyata di sepanjang gradien sungai yang kecil (Reid 1961). Nitrat Nitrogen (NO 3 N) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Secara umum jumlah nitrat di perairan tetapi bisa lebih tinggi di bebrapa air tanah. Nitrat hanya ditemukan dalam jumlah kecil di limbah domestik yang masih baru tetapi pada effluent dari biologi nitrifikasi pada pengolahan tanaman, nitrat bisa ditemukan hingga 30 mg nitrat sebagai nitrogen/l (APHA 2005). Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari kegiatan manusia serta tinja hewan. Kadar nitrat nitrogen yang lebih dari 2 mg/l akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi, selanjutnya akan merangsang pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung dalam proses aerob (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) keberadaan nitrat di perairan yang tidak tercemar sangat kecil, hanya sekitar 0,30 ppm. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai nitrat nitrogen dibawah 10 mg/l dan 20 mg/l.

14 Nitrit nitrogen (NO 2 N) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, dikarenakan bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat. Sumber nitrit dapat berasal dari limbah industri dan limbah domestik. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut yang sangat rendah (Effendi 2003). Menurut APHA (2005) nitrit juga merupakan bentuk peralihan dari tahap oksidasi nitrogen, yaitu amonia menjadi nitrat dan reduksi nitrat. Nitrit dapat masuk ke perairan karena korosi berasal dari industri. Menurut Reid (1961) nitrit selalu terjadi perubahan kuantitas di setiap menitnya, pada perairan yang tidak tercemar. Nitrit dapat dirubah dalam proses reduksi nitrat dan sangat memungkinkan terdapat banyak kandungan nitrit di sebagaian besar perairan alami yang berasal dari proses ini, daripada proses oksidasi amonia. Keberadaan nitrit berasal dari reduksi nitrat melalui bakteri anaerob di air. Ketidakseimbangan reaksi nitrifikasi berdampak pada terakumulasinya senyawa nitrit (Boyd 1982). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai nitrit nitrogen dibawah 0,06 mg/l. Amonia nitrogen (NH3 N) dan garam garamnya bersifat mudah larut dalam air (Effendi 2003). Amonia keberadaan secara natural di permukaan dan limbah konsentrasinya sangat rendah di air tanah karena terserap pada partikel, tanah (APHA 2005). Kadar amonia pada perairan alami biasanya lebih dari 0,1 mg/l. Kadar amonia bebas yang melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan pupuk pada pertanian. Amonia di perairan dapat menghilang melalui proses volatilisasi karena tekanan parsial amonia dalam larutan meningkat dengan meningkatnya ph (Effendi 2003). Nitrogen dalam bentuk amonia terdapat di sungai dari aktivitas dekomposisi bahan organik. Pada sungai yang tidak tercemar

15 konsentrasinya kecil, yaitu dibawah 1 ppm. Pencemaran dapat meningkatkan nilai amonia, dan dalam batas tertentu dapat meningkatkan produktivitas biologi. Nilai amonia yang tinggi dapat diduga dari dekomposisi protein tanaman dan hewan. Keberadaan amonia bebas tergantung pada ph dan suhu yang berkesimbangan dengan amonium. Amonia bebas yang tinggi sangat toksik bagi kehidupan ikan, tetapi ion amonium cenderung tidak toksik. Penjumlahan dari jumlah amonia bebas dan amonium adalah total amonia nitrogen (Boyd 1982). Proporsi dari amonia bebas semakin meningkat dengan meningkatnya ph dan suhu (Tabel 3) (Boyd 1988). Amonia lebih berbahaya ketika oksigen terlarut rendah, dan tingkat toksisitas amonia akan berkurang dengan meningkatnya konsentrasi karbondioksida (Boyd 1982). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai amonia nitrogen kurang dari 0,5 mg/l dan 0,02 mg/l (bagi kegiatan perikanan yang peka terhadap amonia). Tabel 3. Presentasi amonia bebas dalam perairan pada suhu dan ph berbeda ph Temperatur ( C) 16 18 20 22 24 26 28 30 32 7,0 0,30 0,34 0,40 0,46 0,52 0,60 0,70 0,81 0,95 7,2 0,47 0,54 0,63 0,72 0,82 0,95 1,10 1,27 1,50 7,4 0,74 0,86 0,99 1,14 1,30 1,50 1,73 2,00 2,36 7,6 1,17 1,35 1,56 1,79 2,05 2,35 2,72 3,13 3,69 7,8 1,84 2,12 2,45 2,80 3,21 3,68 4,24 4,88 5,72 8,0 2,88 3,32 3,83 4,37 4,99 5,71 6,55 7,52 8,77 8,2 4,49 5,16 5,94 6,76 7,68 8,75 10,00 11,41 13,22 8,4 6,93 7,94 9,09 10,30 11,65 13,20 14,98 16,96 19,46 8,6 10,56 12,03 13,68 15,40 17,28 19,42 21,83 24,45 27,68 8,8 15,76 17,82 20,08 22,38 24,88 27,64 30,68 33,90 37,76 9,0 22,87 25,57 28,47 31,37 34,42 37,71 41,23 44,84 49,02 9,2 31,97 35,25 38,69 42,01 45,41 48,96 52,65 56,30 60,38 9,4 42,68 46,32 50,00 53,45 56,86 60,33 63,79 67,12 70,72 9,6 54,14 57,77 61,31 64,54 67,63 70,67 73,63 76,39 79,29 9,8 65,17 68,43 71,53 74,25 76,81 79,25 81,57 83,68 85,85 10,0 74,78 77,46 79,92 82,05 84,00 85,82 87,52 89,05 90,58 Sumber : Boyd (1988)

16 2.4.5. Total fosfat Fosfat merupakan salah satu nutrien makro bagi pertumbuhan alga diperairan. Menurut Dodds (2002) fosfat merupakan zat yang dominan dalam bentuk fosfor inorganik di perairan alami, tetapi keberadaannya sering dibawah pendeteksian. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Sumber fosfat dalam perairan dapat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, pupuk buatan (limbah pertanian), limbah industri, limbah rumah tangga, detergen, dan mineral-mineral fosfat (Saeni 1989). Fosfor bebas tidak ada di alam namun dalam bentuk fosfat. Kurang lebih ada 0,12 % fosfor yang ada di bumi dalam kombinasi fosfat (Welch 1952). Sedangkan menurut Boyd (1988) kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/l. Total fosfat terbagi dalam dua komponen yaitu fosfor yang larut dalam bentuk fosfat dan fosfor organik yang terdapat pada plankton dan bahan organik yang lain (Welch 1952). Fosfat yang berikatan dengan ferri bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi bervalensi 3 (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepas fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat di perairan (Brown 1987). Fosfat di sungai berasal dari proses biologi maupun kimia disepanjang aliran sungai. Selama musim panas, konsentrasi dari fosfat inorganik dapat agak meningkat, disebabkan oleh kegiatan biologi (Reid 1961). Menurut Effendi (2003) pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif kecil dan mudah mengendap. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air Kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan Kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai total fosfat dibawah 0,2 mg/l dan 1 mg/l.