BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kota-kota yang memiliki tingkat daya hidup (livability) tinggi memiliki kecenderungan kota-kota yang berfungsi sebagai PKW jika dibandingkan dengan kota-kota PKN. Sementara itu untuk hasil skoring tingkat daya saing (competitiveness) diperoleh kecenderungan bahwa kota-kota sebagai PKN memiliki tingkat daya saing (competitiveness) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kota-kota PKW. Dari hasil analisis hubungan tingkat daya hidup (livability) dengan tingkat daya saing (competitiveness) diketahui bahwa kedua aspek tersebut memiliki hubungan negatif atau berbanding terbalik, jika tingkat daya hidup (livability) tinggi, maka tingkat daya saing (competitiveness) akan rendah, begitupun sebaliknya. Namun dari angka korelasinya, hubungan antara tingkat daya hidup (livability) dengan tingkat daya saing (competitiveness) tersebut memiliki hubungan yang rendah, didukung pula dengan hasil garis linear yang berkecenderungan untuk membentuk garis horizontal. Hal ini mengindikasikan bahwa saat ini kota-kota di Pulau Jawa sedang menuju kondisi akan menyeimbangkan antara tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing(competitiveness), kota-kota yang hampir mendekati titik equilibrium tersebut adalah Kota Tangerang Selatan dan Kota Yogyakarta. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis penulis diterima, berdasarkan hasil fenomena yang ditemukan oleh penulis di Kota Yogyakarta, yaitu apabila tingkat daya saing (competitiveness) tinggi, maka tingkat daya hidup (livability) rendah. Pada hasil analisis kuadran, ditemukan kecenderungan bahwa kota-kota yang berada di kuadran I (Livability tinggi, competitiveness tinggi) adalah kotakota PKN, diantaranya adalah Kota Surabaya, Jakarta Selatan, Kota Semarang, dan Kota Bekasi; kota-kota yang berada pada kuadran II (Livability tinggi, competitiveness rendah) adalah kota-kota PKW, seperti Kota Magelang, Kota 145
Sukabumi, Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kota Tegal, Kota Kota Pekalongan, Kota Blitar, dan Kota Pasuruan; kota-kota yang berada pada kuadran III (Livability rendah, competitiveness rendah) adalah kota-kota yang sedang berkembang, tidak mempedulikan apakah PKN atau PKW, kota-kota yang termasuk dalam kuadran ini adalah Kota Serang, Kota Cimahi, Kota Bogor, Kota Probolinggo, Kota Mojokerto, Kota Depok, Kota Batu, Kota Madiun, Kota Cilegon, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Yogyakarta; dan kuadran IV (Livability rendah, competitiveness tinggi) adalah kota-kota PKN yang masuk dalam kota metropolitan, seperti kota-kota di Provinsi DKI Jakarta, Kota Bandung, Kota Tangerang, dan Kota Cimahi. Apabila dikaitkan dengan teori, semestinya kota-kota memiliki tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) yang sama-sama tinggi, keduanya merupakan parameter untuk menuju ke pembangunan berkelanjutan dengan tujuan akhir untuk menyejahterakan masyarakat. Selain itu jika dikaitkan dengan teori pada level mikro, kota bermula dengan aspek daya hidup (livability), yang kemudian akan menyebabkan daya tarik perusahaan atau industri kota tersebut karena mereka mencari pangsa pasar yang besar dengan keberadaan jumlah penduduk yang tinggi. Dengan keberadaan perusahaan atau industri-industri di kota ini adalah penyebab sebuah kota menjadi kota yang berdaya saing (competitiveness) seperti yang dikemukakan oleh Porter (1990), oleh karena itu perusahaan atau industrilah yang seharusnya dilakukan pendekatan lebih lanjut supaya keberadaannya tidak menurunkan daya hidup (livability), namun tetap meningkatan daya saing (competitiveness) suatu kota. Pendekatan yang dilakukan melalui 4 (empat) faktor determinan menurut Porter, 1990 yaitu input; demand; industri yang berkaitan dan mendukung; strategi dan struktur perusahaan; pemerintah; dan kesempatan. Sementara pada level makro, pada mulanya kota memiliki tingkat daya hidup, untuk mengarah ke tingkat daya saing kota harus memperhatikan input faktor produksi barang dan jasa untuk mendorong kegiatan ekonomi, faktor tersebut adalah Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Teknologi, Inovasi, Spesialisasi, dan Pengetahuan. Faktor faktor tersebut dielaborasi berdasarkan Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Teori 146
Perdagangan Baru. Apabila daerah telah melakukan hal tersebut maka outputnya adalah peningkatan daya saing, yang selanjutnya akan berdampak pada outcome yaitu indikator dan variabel yang digunakan oleh penulis seperti peningkatan PDRB, peningkatan kualitas infrastruktur, peningkatan UMK, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut mendukung peningkatan taraf hidup masyarakat. 6.2 Saran dan Rekomendasi Sebagai masukan dalam peningkatan tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) kota, dirumuskan saran dan rekomendasi sebagai berikut: 1. Strategi peningkatan tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) Kota sebaiknya mencapai kondisi memiliki tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) yang sama-sama tinggi sebagai upaya pembangunan berkelanjutan, upaya yang dapat dilakukan pemerintah kota untuk meningkatkan hal tersebut adalah melalui peningkatan indikator. Pada tingkat daya hidup (livability) indikator yang berperan adalah aspek keamanan melalui penurunan angka kriminalitas kota; aspek kesehatan melalui peningkatan kuantitas maupun kualitas fasilitas kesehatan agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan pada Standar Pelayanan Minimal; aspek sosial budaya melalui peningkatan kuantitas maupun kualitas fasilitas peribadatan; aspek pendidikan melalui peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas pendidikan; aspek sarana dan prasarana melalui peningkatan kondisi jalan baik dan juga peningkatan luas RTH; aspek ekonomi melalui peningkatan jumlah lapangan pekerjaan sehingga akan berdampak pada peningkatan jumlah angkatan kerja yang bekerja dan meminimalisir angka pengangguran; dan aspek lingkungan melalui meminimalisir dampak dan risiko yang disebabkan dengan adanya bencana. Selanjutnya dalam level mikro, menurut Porter, 1990 perusahaan dan industrilah yang mempengaruhi daya saing, maka perlu dilakukan pendekatan terhadap 4 (empat) faktor determinan daya saing yaitu peningkatan faktor input melalui SDM yang berkualitas dan kualitas sarana prasarana yang baik; untuk 147
faktor demand (permintaan) melalui peningkatan inovasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk agar demand meningkat; dan untuk faktor industri yang berkaitan dan mendukung dapat melalui pemilihan lokasi industry di dalam kluster yang sama sehingga mampu efisien dan sharing cost baik dalam biaya transportasi dan biaya komunikasi. Jika faktor-faktor tersebut sudah dijalankan dengan baik, maka akan berdampak pada aspek-aspek penting perkotaan seperti aspek ekonomi yang akan berdampak pada peningkatan PDRB, kontribusi sektor yang menjadi andalan kota, dan juga IPM; aspek infrastruktur melalui peningkatan kondisi jalan yang baik, pengadaan pelabuhan dan bandara sebagai sarana untuk memberikan kemudahan dalam melakukan tranportasi manusia maupun barang; aspek kelembagaan untuk menunjukkan kualitas pelayanan yang diberikan daerah kepada publik sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat ataupun investor; dan aspek Sumber Daya Manusia melalui peningkatan angka UMK sehingga berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat terhadap kotanya. Dari sisi makro, daya saing daerah dapat diperoleh melalui pendekatan pada faktor Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, Teknologi, Inovasi, Spesialisasi Produk, dan Pengetahuan sebagai input faktor produksi barang dan jasa untuk mendorong kegiatan ekonomi. Apabila daerah telah melakukan hal tersebut maka output-nya adalah peningkatan daya saing, yang selanjutnya akan berdampak pada outcome yaitu indikator dan variabel yang digunakan oleh penulis seperti peningkatan PDRB, peningkatan kualitas infrastruktur, peningkatan UMK, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut mendukung peningkatan taraf hidup masyarakat. 2. Rekomendasi untuk Kota Luar Pulau Jawa Kota di luar jawa yang memiliki jumlah penduduk yang masih rendah sebaiknya mengupayakan untuk memiliki tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) yang sama-sama tinggi, tidak hanya mengupayakan kota yang nyaman untuk masyarakatnya namun juga menjual kotanya agar memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat bersaing 148
dengan kota-kota di Pulau Jawa. Hal tersebut dapat dimulai dengan peningkatan sarana prasarana seperti jalan dan fasilitas sosial untuk kebutuhan masyarakat. Dengan daya tarik di luar Pulau Jawa diharapkan jumlah penduduk dan aktivitas tidak terkonsentrasi di Pulau Jawa saja, meskipun tidak bisa dipungkiri keberadaan ibukota Indonesia yang berada di Pulau Jawa yang menyebabkan pusat aktivitas berada di pulau ini. Namun setidaknya dengan adanya daya tarik di luar Pulau Jawa mampu mengurangi dampak dari adanya ledakan penduduk di Pulau Jawa. 3. Saran Penelitian Lebih Lanjut Penelitian lebih lanjut mengenai hubungan tingkat daya hidup (livability) dan tingkat daya saing (competitiveness) masih dapat dikembangkan mengingat masih terdapat keterbatasan dalam penelitian ini. Penelitian selanjutnya perlu untuk mengkaji literatur yang lebih mendalam sehingga memungkinkan untuk memperoleh indikator yang unik pada studi kasus masing-masing kota dalam upaya peningkatan daya hidup (livability) maupun tingkat daya saing (competitiveness) kotanya, karena masing-masing kota memiliki faktor eksternal kotanya sendiri. Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilakukan analisis indikatorindikator yang paling berpengaruh pada tingkat daya hidup (livability) maupun tingkat daya saing (competitiveness) sehingga mampu memberikan masukan pada masing-masing kota dalam upaya peningkatan tingkat daya hidup (livability) maupun tingkat daya saing (competitiveness). Selain itu, fenomena urban lifecycle theory dan urban dilemma mungkin dapat dikupas dan dianalisis padaperkembangan kota-kota. 149