BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bioskop berasal dari kata BOSCOOP (bahasa Belanda yang juga berasal dari Bahasa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pada E-CINEMA yang saat ini berpotensi cukup baik dalam perkembangan Cinema. Eresto, Ecinema, Elounge, 7 KTV dan Banquet Service.

BAB I PENDAHULUAN. diminati oleh masyarakat perkotaan saat ini adalah hiburan perfilman.

BAB I PENDAHULUAN. dari rutinitas yang mereka lakukan. Untuk menghilangkan ketegangan

BAB I PENDAHULUAN. dan bagaimana konsumen dipengaruhi oleh lingkungannya, kelompok referensi,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri hiburan (entertainment) nasional maupun global

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia mengalami krisis moneter yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan dunia usaha saat ini telah membawa para pelaku dunia

Operation Quality Management [ Service Blueprint Cineplex 21 Group ]

BAB I PENDAHULUAN. mengambil sikap dalam menghadapi perkembangan teknologi dan informasi yang

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. dengan 4 buah teater reguler dan 2 buah teater Premiere. Cinema XXI yang diberi

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah anak muda usia produktif membuat para peritel pun tidak akan kesusahan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. merupakan pelopor jaringan Cineplex di Indonesia. Jaringan bioskop ini tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat setiap bisnis film di bioskop tetap eksis dan mulai mampu bersaing

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dengan adanya perkembangan globalisasi dan semakin ketatnya

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk menjawab tujuan pembelajaran studi kasus ini, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan bagi mereka untuk melepaskan penat dan kejenuhan dengan mencari

ANALISIS PENGARUH KUALITAS LAYANAN, KUALITAS FILM, EFEK KOMUNITAS DAN PERSEPSI HARGA TERHADAP SIKAP MENONTON DAN IMPLIKASINYA TERHADAP MINAT MENONTON

TUGAS AKHIR BIOSKOP DI SINGARAJA KABUPATEN BULELENG-BALI STUDI AKUSTIK RUANG PERTUNJUKAN FILM BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Persaingan dewasa ini telah masuk dalam era baru, dimana menonton

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. dan merupakan pelopor jaringan cineplex di Indonesia. Jaringan bioskop ini tersebar di

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Maslow(2007: 445) mengatakan kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis UKDW

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat khususnya bagi mereka yang tinggal di kota besar seperti Bandung,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kata Bioskop

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk hidup yang bergerak aktif dengan segudang

BAB I PENDAHULUAN. bioskop, fashion, food court, tempat bermain anak, ruang pameran, fitness, meeting

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi, gaya hidup dan pola pikir masyarakat berkembang yang. konsumen yang berhasil menarik konsumen.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini.

Desain Interior Cinema 21 Dengan Suasana Gothic

BAB I PENDAHULUAN. karena bisnis yang bergerak di bidang kuliner ini termasuk bisnis dengan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pelayanan secara profesional sesuai dengan bidangnya

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan teknologi. Dalam prosesnya, sebuah budaya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. pada sarana angkutan antar wilayah, kini tuntutan tersebut telah lebih berkembang.

RechtsVinding Online Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman

BAB I PENDAHULUAN. Di negara mana pun, termasuk Indonesia, keadaan perekonomian sangat

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Tabel 1.1 Daftar Jumlah Penonton Bioskop BlitzMegaplex PVJ Bandung Tahun Jumlah Penonton

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Objek Penelitian Gambaran Singkat Blitzmegaplex Cabang Miko Mall

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. produk yang berkualitas tinggi agar sanggup memberi kepuasan terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Gambaran Umum Perusahaan

1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kepraktisan sudah menjadi tuntutan utama masyarakat perkotaan saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, persaingan dalam dunia usaha saat ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Suatu hal yang banyak menarik perhatian manusia dewasa ini adalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bertahan dipasaran. Dalam pemasaran, loyalitas tercipta diawali saat konsumen

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo yang tepatnya berada di Jln. MT Hariyono No. 196 depan Bank sulut Kota

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan dan keinginan pelanggan menjadi suatu prinsip dasar untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab I PENDAHULUAN. Dalam dunia kuliner yang makin pesat ini yang menuntut kreativitas, rasa, tempat, peforma UKDW

BAB I PENDAHULUAN. macam perubahan yang terjadi. Beberapa unsur penting yang berkaitan dan

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi yang semakin membuka peluang pengusaha asing untuk turut

BAB I PENDAHULUAN. minat pelanggan terhadap produk (barang) yang ditawarkan. Sesuai. Sehingga makin luas sektor bisnis yang berusaha untuk memenuhi

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sektor jasa di seluruh dunia dewasa ini telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Jasa layanan di bidang jual beli sepeda motor second tidak hanya sekedar

BAB I PENDAHULUAN. pakaian tidak hanya berguna sebagai alat yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. berarti kosong dan oke dari kata oke sutura atau orkestra. Karaoke berarti sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan bisnis di era modern seperti sekarang ini berkembang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman di era modern ini, perawatan

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan masyarakat. Televisi sebagai media massa memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan kalangan muda Kota Padang senang berkumpul, berinteraksi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan sektor pariwisata merupakan salah satu upaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Bandung sebagai Ibu Kota Jawa Barat dan sebagai kota ketiga terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran yang berorientasi pasar merupakan kebutuhan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kota Yogyakarta adalah kota yang relatif aman, stabil dan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Banyak film- film layar lebar horror Indonesia yang sekarang hampir setiap

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berusaha mencapai tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan. kelangsungan hidup perusahaan sangat tergantung pada perilaku

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan barang berteknologi. Konsumen cenderung menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesat. Banyak negara-negara didunia menjadikan pariwisata sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bisnis kuliner adalah salah satu bisnis yang memiliki peluang besar dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan zaman pada saat ini berkembang sangat pesat. Bisnis. Perubahan pola konsumsi makanan merupakan gaya hidup masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. perubahan-perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut

PENGARUH HARGA, FASILITAS, DAN PELAYANAN TERHADAP KEPUTUSAN MENONTON DI CINEMA 21 TUNJUNGAN PLAZA SURABAYA SKRIPSI.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan. Gaya hidup masyarakat modern yang serba praktis memicu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia. Sebagai ibu kota

BAB I PENDAHULUAN. komposisi produk buku dengan Focal Point meliputi 68 persen buku dan 32

TUGAS AKHIR. PUSAT PERFILMAN di SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan dunia bisnis saat ini, maka

I. PENDAHULUAN. sebaliknya persaingan menjadi semakin ketat dan sulit diprediksikan. Kondisi ini

BAB I PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. oleh pelanggan atau tidak. Lovelock (2008:5) mendefinisikan jasa (service) adalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Bertambahnya jumlah mahasiswa disertai dengan bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. Media informasi yang berkaitan dengan masyarakat pada zaman yang modern saat

BAB III OBJEK PENELITIAN. akan pengalaman film, berdasarkan tiga karakter, yaitu : dilengkapi dengan tekhnologi bioskop terbaik

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana bagi perekonomian global khususnya melanda negara-negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. menentu, yang tidak hanya menyediakan peluang tetapi juga tantangan. Begitu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioskop berasal dari kata BOSCOOP (bahasa Belanda yang juga berasal dari Bahasa Yunani) yang artinya Gambar Hidup. Bioskop sendiri adalah tempat untuk menonton pertunjukan film dengan menggunakan layar lebar, gambar film dengan menggunakan proyektor dan dilengkapi sound system yang bagus. Dalam hal ini, menonton film di bioskop juga memiliki kekurangan yaitu: besarnya biaya yang harus dikeluarkan (biaya tiket film, biaya transportasi, biaya konsumsi). Tetapi semua biaya itu akan terbayar dengan adanya rasa puas kita setelah menonton bioskop yang bisa ditimbulkan dari: menonton rame-rame bersama teman, tempat yang nyaman, suara yang canggih, layar yang lebar, dan menonton film terbaru. Bioskop di Indonesia ini berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kategori dari bioskop di Indonesia adalah bioskop Cinema 21, XXI dan the premiere. Mereka dibuat untuk ditargetkan sesuai dengan pangsa pasar yang berbeda mulai dari yang menengah kebawah sampai menengah keatas. Tetapi di Jakarta hanya ada 21 dan XXI saja dikarenakan untuk The Premiere, masyarakat Jakarta belum butuh karena harga yang dipatok mulai dari tiket, makanan dan harga harga penunjang lain sangat mahal. Cinema 21 memiliki jaringan bioskop terbanyak di Indonesia karena Cinema 21 adalah bioskop yang pertama berdiri sebelum adalanya XXI. Cinema 21 menguasai keseluruhan pangsa pasar penonton bioskop Indonesia dengan memberlakukan harga tiket bervariasi dan jenis film yang diputar, sesuai

dengan lokasi dan target yang dituju.tetapi setelah XXI berdiri perlahan Cinema 21 berubah menjadi jaringan bioskop kelas dua, dengan sebagian besar film yang diputar merupakan film-film karya negeri sendiri dan film-film asing yang tidak diputar di Cinema XXI lagi. Pada umumnya cinema 21 telah dilengkapi dengan tata suara Dolby Digital. Dan di Jakarta yang sudah dilengkapi dengan suara Dolby Digital adalah Megaria Cinema XXI yang diberi nama Studio XXI ini merupakan satu-satunya Cinema XXI yang menggunakan sofa empuk di keseluruhan studionya, dan memiliki sertifikat THX untuk semua studionya. Mayoritas film-film yang diputar di Cinema XXI merupakan film-film Hollywood, baik yang terbaru, ataupun yang telah tersimpan lama. Namun beberapa XXI juga turut memutar film Indonesia, sesuai dengan lokasi dan pasar pengunjung pusat perbelanjaan yang bersangkutan. Beberapa Cinema 21 turut direnovasi menjadi Cinema XXI, dengan penambahan karpet, perubahan desain, dan penggantian kursi studio. Setiap tahunnya, kemunculan Cinema XXI di kota-kota besar terus men-ingkat, menggantikan kemunculan Cinema 21. Tidak hanya itu, beberapa Cinema XXI maupun 21 masih terus melakukan pembenahan. Di penghujung 2008, seiring dengan perkembangan teknologi 3D dan makin maraknya film-film berbasis format tersebut, Cinema XXI turut mengaplikasikan teknologi Dolby Digital Cinema 3D di beberapa XXI yang memadai.jumlah bioskop XXI yang mengadakan fasilitas ini pun masih terus bertambah, seiring dengan perkembangan film-film berformat digital dan 3D yang makin meningkat jumlahnya.perbedaan mencolok antara Cinema XXI dengan Cinema 21 adalah dengan disediakannya sejumlah fasilitas seperti games, cafe, lounge, hingga ruang merokok di sejumlah gerai XXI. Bioskop merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih dari berbagai macam jenis jasa hiburan yang ditawarkan dimana dari dahulu sampai sekarang masih tetap diminati oleh setiap orang apalagi mahasiswa. Sekarang ini banyak bioskop menawarkan berbagai fasilitas yang bagus, layanan yang baik serta harga yang sesuai, telah diberikan untuk menarik minat

konsumen. Sayangnya usaha yang telah dilakukan pemilik bioskop tersebut tidak diikuti dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Mungkin tidak cukup gelombang teknologi canggih yang menguji, namun unsur persaingan ala kapitalis (perang modal) pun ikut andil dalam memperkeruh permasalahan intern pengusaha bioskop. Dengan banyaknya film-film yang masuk di bioskop membuat persaingan semakin meninggi baik diantara perusahaan bioskop yang satu dengan perusahaan bioskop lainnya.sehingga mereka berusaha untuk meningkatkan serta menyempurnakan kualitas dan jasa hiburan yang ditawarkan agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Adanya persaingan yang terjadi menciptakan suatu keunggulan bersaing dimana perusahaan tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen, melainkan juga menjadikan mereka lebih baik dari pesaingnya. Demikian dengan bioskop ternama Megaria, Jakarta adalah satu-satunya bioskop lama yang masih bertahan hingga kini. Itupun setelah berganti konsep menjadi one stop entertainment, yaitu dimana Megaria tidak hanya menyediakan cinema saja tetapi menyediakan Garden Café Lounge & Resto, dan Karaoke. E-Lounge menjadikan tempat yang cozy untuk melakukan aktivitas lobbying, relax setelah seharian terkepung dalam rutinitas. Fasilitas big screen serta live music dan DJ Performance setiap malamnya merupakan alternatif terbaik di Jakarta untuk sekedar party ataupun refreshing. Megaria bertempat di Pegangsaan Timur No. 21, Cikini, Jakarta. Megaria adalah bioskop yang menampilkan semua film baik film lokal maupun internasional. Dengan harga yang relative murah untuk kantong para pelajar maupun mahasiswa, juga tempat yang nyaman dan makanan dengan harga yang terjangkau maka Megaria cinema pun cukup banyak dinikmati oleh kalangan remaja bahkan orang tua. Sepanjang tahun 2013-2014, jenis film yang ditawarkan juga banyak ragamnya. Dari film yang beredar pada tahun 2013, terdapat 3 besar jenis film yang mendominasi peredaran flm yaitu Drama, Horror dan Komedi. Sebagai catatan film dengan kategori thriller, drama thriller, dimasukan dalam kategori horror dan film dengan kategori drama komedi horror,

horror komedi domasukan dalam kategori komedi. Apabila dirinci, hasil adalah sebagai berikut : Drama menguasai 52 persen, Horror dengan presentase 20 persen serta komedi dengan 16 persen dari total film yang beredar. Sisanya, diisi oleh film Laga yang menguasai 5 persen film yang beredar, dan film kategori anak-anak, animasi, documenter, kompilasi dan musical yang mengisi 1-3 persen peredaran film. Apabila kita melihat pertambahan ini sebagai pertanda semakin bergairahnya industri film Indonesia, boleh kita mengatakan ini kabar baik. Gambar 1.1 Peredaran Film Indonesia Berdasarkan Jenis Film Sumber :filmindonesia.or.id/movie Jika perfilman adalah sebuah siklus dari produksi-distribusi-ekhibisi apresiasi-kritik lalu kembali lagi pada produksi, pembangunan ekosistem penonton adalah hal yang mutlak dilakukan untuk dapat meningkatkan kualitas perfilman di Indonesia. Dalam siklus diatas, penonton menempati tiga posisi, ekhibisi, apresiasi dan kritik. Namun, kondisi ini menjadi kontra produktif setelah semakin monopolistiknya bioskop di Indonesia. Film-film yang mendapat pengakuan secara internasional justru sulit mendapat tempat di ruang pemutaran dalam negeri yang didominasi oleh film-film Hollywood. Pada kenyataan film Indonesia mengalami penurunan jumlah penonton. Berikut grafik data penonton bioskop (2010-2013).

Gambar 1.2 Peredaran Film Indonesia Berdasarkan Data Penonton Sumber :filmindonesia.or.id/movie Jumlah bioskop dan layar yang semakin bertambah banyak otomatis juga menambah jumlah jam pertunjukkan yang dimliliki oleh masing-masing grup bioskop. Jam pertunjukan ini, seperti diketahui, diatur oleh Pasal 32 UU No. 33 tahun 2009 tentang perfilman. Pasal ini mengatur tentang kewajiban pelaku usaha pertunjukan film untuk mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukkan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut. Tabel 1.1 Perbandingan Jam Pertunjukan Tahun 2013 Sumber :filmindonesia.or.id/movie Dari tabel di atas, kita dapat mengetahui jumlah jam pertunjukan yang tersedia di masing-masing jaringan bioskop dan total jam pertunjukan yang harus disediakan oleh pihak ekshibitor apabila mengikuti undang-undang menyediakan minimal 60 persen film Indonesia. Berdasarkan angka kuota minimal di atas, kemudian kita dapat bandingkan dengan realita

empiris berdasarkan jadwal tayang film Indonesia yang dicatat oleh filmindonesia.or.id setiap hari sepanjang tahun 2013. Gambar 1.3 Perbandingan Jam Pertunjukan FI tahun 2013 Sumber : filmindonesia.or.id/movie Berdasarkan grafik di atas, nampaknya ekshibitor masih belum menjalankan apa yang berlaku dan diatur dalam undang-undang. Grup 21, sebagai pemilik mayoritas bioskop di Indonesia dengan presentase mencapai 83 persen dari keseluruhan bioskop nasional, hanya mampu menyediakan sekitar 22 27 persen dari total seluruh jam pertunjukan yang dimilikinya untuk film Indonesia. Begitu pula dengan Grup Blitzmegaplex yang menguasai lima persen pangsa pasar bioskop nasional. Mereka hanya mampu menyediakan sekitar 10 persen dari total seluruh pertunjukan yang dimilikinya untuk film Indonesia. Bioskop independen nampaknya juga tidak terlalu berbeda jauh dengan dua jaringan bioskop sebelumnya. Dengan catatan: bioskop independen kita asumsikan sebagai satu grup tersendiri untuk mempermudah kalkulasi. Berdasarkan penjelasan di atas, ekshibitor nampaknya masih belum bisa memenuhi regulasi yang telah diterapkan pemerintah terkait kuota minimal 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya untuk film Indonesia. Jangankan 60 persen, separuhnya

saja masih belum tercapai. Negara sebagai regulator nampaknya juga belum peduli akan hal tersebut. Hal ini terlihat dari belum adanya mekanisme kontrol ataupun sanksi terhadap grup bioskop yang tidak memenuhi kuota minimal jam pertunjukkan film Indonesia tersebut. Penjabaran di atas terkait kondisi tata edar film di bioskop yang nampaknya bisa menjadi salah satu penjelasan mengapa meskipun jumlah film bertambah, bioskopnya bertambah, tetapi jumlah penonton film indonesia malah menunjukan tren menurun. Pelayanan pelanggan merupakan pelayanan yang bersifat personal dimana terjadi interaksi antara pemberi jasa dan pelanggan yang dibentuk oleh adanya keinginan pemberi jasa untuk melayani pelanggan dan kemampuan karyawan dalam melaksanakan tugas secara benar. Kotler (2005) menyatakan bahwa pelayanan adalah setiap kegiatan dan manfaat yang dapat diberikan oleh suatu pihak ke pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak perlu berakibat pemilikan sesuatu. Perusahaan untuk meningkatkan strategi kualitas layanan yang bermutu menggunakan pengukuran model SERVQUAL, yang sering diterapkan menurut Parasuraman, et al, (1988) adalah ditentukan oleh reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangibles untuk mengukur puas atau tidaknya seseorang konsumen akan mempengaruhi respon atau pola konsumsi pelayanan selanjutnya. Pelayanan yang baik juga harus didukung dengan fasilitas yang baik pula. Maka dari itu layanan yang diberikan mulai dari satpam, kasir sampai porter pun juga berpengaruh terhadap penonton. Dengan adanya fasilitas yang dirasakan dari jasa bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang dipergunakan, representasi fisik dari jasa, meliputi :kenyamanan ruangan, ketersediaan fasilitas penunjang (komputer, ATM, dan lain-lain), ketersediaan tempat parkir, penampilan pegawai serta kebersihan toilet. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas layanan yang dipersepsikan buruk (Tjiptono, 2008).

Kualitas dan fasilitas suatu produk baru merupakan salah satu faktor penentu dari kesuksesan produk baru. Fasilitas yang baik dapat memberikan manfaat, diantaranya perusahaan dapat dikenali dan desain interior bisa menjadi ciri khas atau petunjuk mengenai sifat jasa didalamnya. Fasilitas jasa yang tertata rapi, menarik, dan estetis akan dapat meningkatkan sikap positif pelanggan terhadap suatu jasa (Tjiptono,2008). Persepsi konsumen terhadap kualitas produk akan membentuk preferensi dan sikap yang pada gilirannya akan menimbulkan minat untuk membeli atau tidak. Kesan kualitas memberikan nilai dalam beberapa bentuk diantaranya adalah alasan untuk membeli. Menurut penelitian Boyd dan Mason (1999) dimana menekankan pada karakteristik munculnya kategori produk yang akan mengakibatkan evaluasi konsumen potensial pada kategori. Jika karakteristik menjadi lebih menarik untuk semua konsumen, maka daya tarik pada kategori produk semakin bertambah pada mereka dan akan meningkatkan kemungkinan bilamana konsumen tersebut mengadopsi pembaharuan dan melakukan pembelian. Semakin up to date film yang ditawarkan kepada konsumen untuk ditonton, maka semakin banyak penonton yang akan menonton di bioskop ini. Selain itu keberadaan komunitas konsumen di sekitar kita merupakan suatu fenomena yang menarik untuk diamati. Keberadaan komunitas konsumen ini sangatlah menarik untuk dibahas karena ternyata memiliki dampak bagi dunia pemasaran. Komunitas bukanlah bahasa baru dalam ruang lingkup sosial. Komunitas sendiri didefinisikan sebagai unit spasial atau unit politik dari suatu organisasi sosial yang dapat memberikan individu perasaan kebersamaan atau perasan saling memiliki (sense of belonging). Perasaaan kebersamaan ini bisa didasarkan atas kebersamaan daerah tempat tinggal seperti kota tertentu atau hubungan ketetanggaan dan perasaman kebersamaan ini juga didasarkan dengan adanya perasaan saling memiliki identitas yang sama. Konsumen bioskop biasanya sangat menyukai adanya acara nonton bareng. Maka ketika konsumen menginginkan untuk menonton bioskop maka

mereka lebih cenderung memutuskan menonton bersama dengan komunitas atau orang-orang terdekat mereka. Menurut Tjiptono (2008). Harga menjadi unsur penting dalam pemasaran jasa Konsumen cenderung mengasosiasikan harga dengan tingkat kualitas jasa layanan dan fasilitas sehingga menghasilkan potensi sebagai satu nilai bagi pelanggan. Menurut Kotler dan Amstrong (2001) ada hubungan antara harga terhadap minat beli (menonton) yaitu konsumen akan memutuskan apakah harga suatu produk/jasa sudah tepat. Ketika konsumen membeli suatu produk/jasa,mereka mempertukarkan suatu nilai (harga) untuk memperoleh nilai yang lain (manfaat memiliki atau menggunakan produk). Penetapan harga yang berorientasi dengan konsumen, mencakup usaha memahami berapa nilai yang diberikan konsumen pada manfaat yang mereka terima dari produk/jasa dan menetapkan harga yang cocok dengan nilai (harga) sehingga dapat mempengaruhi minat menonton Megaria, Jakarta.Persepsi harga didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan atau dikorbankan untuk mendapatkan jasa atau produk. Penonton film di bioskop biasanya sangat selektif memilih tempat menonton bioskop berdasarkan harga, mahasiswa biasanya, lebih memilih hari senin hingga kamis daripada hari libur dikarenakan pada hari itu harga tiket lebih murah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan grafis terlihat bahwa terjadi penurunan penonton bioskop yang telah ditunjukkan oleh penurunan data penjualan. Hal ini dapat dipengaruhi rendahnya minat menonton Megaria. Minat menonton pun dapat dipengaruhi beberapa faktor, dalam hal tersebut maka penulis membentuk sebuah rumusan masalah Pengaruh Kualitas Layanan, Kualitas Film, Efek Komunitas Dan Persepsi Harga Terhadap Minat Menonton (Studi Kasus Penonton Megaria, Jakarta ). 1. Apakah kualitas pelayanan, kualitas film, efek komunitas, persepsi harga berpengaruh signifikan terhadap minat menonton?

2. Apakah kualitas pelayanan berpengaruh signifikan terhadap minat menonton? 3. Apakah kualitas film berpengaruh signifikan terhadap minat menonton? 4. Apakah efek komunitas berpengaruh signifikan terhadap minat menonton? 5. Apakah persepsi harga berpengaruh signifikan terhadap minat menonton? C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh kualitas layanan, kualitas film, efek komunitas, persepsi harga berpengaruh terhadap minat menonton. 2. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh kualitas layanan terhadap minat menonton. 3. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh kualitas film terhadap minat menonton. 4. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh efek komunitas terhadap minat menonton. 5. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh persepsi harga terhadap minat menonton. 2. Kontribusi Penelitian a. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menguatkan teori yang ada, mengenai minat menonton yang ditimbulkan konsumen untuk mengetahui minat menonton bioskop Megaria, Jakarta. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi kajian-kajian lainnya yang

berkaitan dengan pengaruh kualitas layanan, kualitas film, efek komunitas, persepsi harga terhadap minat menonton. Penelitian ini digunakan sebagai informasi dan referensi dalam hal minat yang ditimbulkan untuk menonton bioskop. b. Kegunaan Praktisi Penelitian ini digunakan sebagai informasi dan referensi dalam hal minat yang ditimbulkan untuk menonton bioskop dilihat dari sisi kualitas layanan, kualitas film, efek komunitas, dan persepsi harga yang akan mempengaruhi minat menonton.