HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN. Desain, Waktu, dan Tempat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN PERSEPSI BODY IMAGE DAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN STATUS GIZI ATLET SENAM DAN ATLET RENANG DI SEKOLAH ATLET RAGUNAN JAKARTA

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB V PEMBAHASAN. jam yang dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada hari latihan dan hari tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. melekat kecintaanya terhadap cabang olahraga ini. Sepuluh tahun terakhir ini

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

FORMAT PERSETUJUAN RESPONDEN

PENGETAHUAN, SIKAP, PRAKTEK KONSUMSI SUSU DAN STATUS GIZI IBU HAMIL

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan sebelum mengisi aktivitas yang lain setiap hari. Sarapan dibutuhkan

GIZI SEIMBANG PADA USIA DEWASA

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

MODUL 10 PEDOMAN MAKANAN BAGI OLAHRAGAWAN

BAB I PENDAHULUAN. Permainan sepak bola merupakan salah satu olahraga endurance beregu

HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK DENGAN KESEGARAN JASMANI ANAK SEKOLAH DASAR DI SD N KARTASURA I SKRIPSI

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT KEBUGARAN ATLET TAEKWONDO REMAJA DI PEMUSATAN LATIHAN NASIONAL CIPAYUNG, BOGOR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Prestasi olahraga yang menurun bahkan di tingkat ASEAN menjadi suatu

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum SMP Muhammadiyah 10 Surakarta. SMP Muhammadiyah 10 Surakarta terletak di Jl. Srikoyo No.

BAB 1 PENDAHULUAN. gizi olahraga yang benar dan professional (Depkes RI, 2002).

BAB II Pembahasan Kajian teoritis

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Sistematika pengambilan contoh. Pemilihan SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Purposive. siswa kelas 5 & 6. Siswa laki-laki (n=27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

POLA MAKAN Sumber: Kiat Sehat diusia Emas - vegeta.co.id

Lampiran 1. Variabel penelitian beserta kategorinya tahun < Rp 5000,OO Rp 5.000,OO - Rp ,OO. > Persentil ke-95 = Ovenveighr (CDC 2000)

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

HUBUNGAN ASUPAN GIZI MAKAN PAGI DAN MAKAN SIANG DENGAN STATUS GIZI DAN KESEGARAN JASMANI PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI TEMBALANG SEMARANG TAHUN 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesinambungan Energi dan Aktifitas Olahraga. (Nurkadri)

Lampiran 2 Form informed consent INFORMED CONSENT

I. PENDAHULUAN. kesehatan, bahkan pada bungkus rokok-pun sudah diberikan peringatan mengenai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN. n1 = = 35. n2 = = 32. n3 =

METODE PENELITIAN. n = n/n(d) 2 + 1

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin

BAB I PENDAHULUAN. Pencak silat merupakan bela diri asli Indonesia yang sudah diakui dunia.

BAB II LANDASAN TEORI

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN 1 KUESIONER

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura

GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI, STATUS GIZI DAN PRODUKTIVITAS KARYAWAN CV. SINAR MATAHARI SEJAHTERA DI KOTA MAKASSAR

EMPAT PILAR GIZI SEIMBANG

KONSUMSI MAKANAN ANAK BALITA DI DESA TANJUNG TANAH KECAMATAN DANAU KERINCI KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

DIIT SERAT TINGGI. Deskripsi

METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

PENYUSUNAN DAN PERENCANAAN MENU BERDASARKAN GIZI SEIMBANG

Penyusunan dan Perencanaan Menu Berdasarkan Gizi Seimbang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. Penerapan dan penyelenggaraan gizi kerja PT. X Plant Pegangsaan. Ruang/tempat Makan yang menyatakan bahwa :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

Pola Makan Sehat. Oleh: Rika Hardani, S.P.

LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga

GIZI KESEHATAN MASYARAKAT. Dr. TRI NISWATI UTAMI, M.Kes

METODE Disain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Subyek

Hubungan Pengetahuan Gizi Dan Frekuensi Konsumsi Fast Food Dengan Status Gizi Siswa SMA Negeri 4 Surakarta

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kekurangan gizi muncul karena tidak seimbangnya asupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

GIZI IBU HAMIL TRIMESTER 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga setiap orang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala aktivitas dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, perlu

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

SISTEM PENYELENGGARAAN DAN PENGELOLAAN MAKANAN BAGI ATLET SEPAK BOLA

12 PESAN DASAR NUTRISI SEIMBANG

KUESIONER PENELITIAN KONSUMSI SERAT DAN FAST FOOD SERTA AKTIVITAS FISIK ORANG DEWASA YANG BERSTATUS GIZI OBES DAN NORMAL

BAB I PENDAHULUAN. tulang dan osteoporosis di kehidupan selanjutnya (Greer et al,2006)

METODE PENELITIAN. n [(1.96) 2 x (0.188 x 0.812)] (0.1) 2. n 59 Keterangan: = jumlah contoh

PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL KUISIONER PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Garuda Emas 2012 adalah kegiatan pelaksanaan program pelatihan dalam jangka waktu tertentu yang terpusat di dalam suatu lingkungan tertentu dimana atlet dapat tinggal bersama dan melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan program pelatihan dicabang olahraga taekwondo. Pelatnas memiliki ciri-ciri khusus antara lain : pada umumnya berlangsung lebih lama (lebih dari 1 bulan sampai beberapa tahun), konsumen yang dilayani lebih homogen, satu atau beberapa cabang olahraga saja serta adanya periodisasi latihan selama masa penyelenggaraan makanan (Depkes 1993). Ciri-ciri tersebut menyebabkan adanya peraturan-peraturan gizi khusus yang perlu dilaksanakan oleh tim medis yang bertanggung jawab dalam pemusatan latihan nasional. Pemilihan atlet juga didasarkan atas hasil pengamatan dan seleksi yang dilakukan Komisi Kepelatihan PBTI terhadap atlet-atlet di berbagai daerah yang dinilai punya potensi. Para atlet juga menjalani rangkaian tes seperti tes fisik, teknik, kecepatan, serta tes kesehatan di Pusdikkes Kodiklat TNI AD dan Laboratorium Universitas Negeri Jakarta. Atlet yang terpilih akan mendapatkan pelatihan dan pembinaan dari pelatnas selama 6 bulan yaitu sejak bulan Januari 2012 hingga bulan Juni 2012. Dalam waktu tersebut para atlet diproyeksikan untuk mengikuti 6 kejuaraan. Di antaranya Kejuaraan Dunia Yunior di Mesir pada 4-8 April, Kejuaraan Asia Yunior di Vietnam pada 25-27 April, Kejuaraan Asia di Vietnam pada 28-30 April, Kejuaraan Asia Poomsae di Vietnam pada 1-2 Mei, Kejuaraan Yunior Poomsae di Vietnam pada 3-4 Mei, dan Kejuaraan Dunia Universitas di Korea Selatan pada 25-30 Mei. Bagi atlet yang terpilih dan masih sekolah di tingkat SMP dan SMU tetap mendapatkan bimbingan pelajaran setiap hari selama 2 jam yang orientasinya sudah distandarkan dengan sekolah umum. Penyediaan makanan bagi atlet pada pelatnas Garuda Emas 2012 dilakukan oleh Hotel Mars 91 yang berada di Cipayung, Bogor. Dalam hal ini, pelayanan konsumsi menjadi bagian dari pelayanan akomodasi. Menu yang disajikan telah diatur oleh tim medis Pelatnas Garuda Emas 2012 yaitu dengan menggunakan siklus menu 10 hari. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kebosanan atlet terhadap makanan yang disajikan. Sebagian besar waktu para atlet dihabiskan di pelatnas sehingga kegiatan makan baik makan pagi, siang, dan malam dilakukan di pelatnas. Oleh sebab itu, pihak penyelenggara harus

26 benar-benar memperhatikan susunan menu, kebersihan dan penampilannya agar para atlet tertarik untuk mengonsumsi hidangan. Asmuni (1979) dalam Karfarina (2002) mengungkapkan penyelenggaraan makan atlet hendaknya memperhatikan hal-hal seperti hal berikut : (1) memenuhi syarat-syarat gizi, (2) tampak menarik, (3) bervariasi agar tidak membosankan, (4) menurut cita rasa / selera konsumen, (5) terdiri dari bahan-bahan makanan yang biasa digunakan dan terdapat di pasaran setempat, (7) sesuai dengan agama / kepercayaan konsumen, (8) memberikan rasa puas, (9) jumlah makanan sesuai dengan daya tampung lambung. Pendistribusian makanan di Pelatnas Taekwondo Cipayung menggunakan sistem prasmanan dimana para atlet dapat mengambil sendiri makanan yan telah tersedia di ruang makan sesuai dengan selera masingmasing. Kelemahan dengan sistem ini adalah tidak tercukupinya kebutuhan energi dan zat gizi atlet serta tidak meratanya konsumsi energi dan zat gizi atlet karena atlet memilih makanan tidak berdasarkan kebutuhan tetapi kesukaan terhadap makanan tertentu sehingga pada suatu saat atlet dapat mengonsumsi makanan yang tinggi zat gizi tertentu namun rendah zat gizi lainnya. Struktur Pelatnas dibawah tanggung jawab Ketua Umum PBTI (Pengurus Besar Taekwondo Indonesia). Pelatnas Garuda Emas 2012 terdiri dari dewan penasehat, komandan pelatnas, sekretaris/bendahara, koordinator pelatih, koordinator kesehatan, serta koordinator logistik dan perlengkapan. Komponen pelatnas ini memiliki saling keterkaitan dan kerja sama satu dengan yang lainnya. Struktur Organisasi Pelatnas dapat dilihat pada Lampiran 1. Karakteristik Contoh Karakterisitik merupakan suatu gambaran mengenai contoh meliputi sifat maupun ciri-ciri baik secara fisik maupun sosial. Karakterisitik ini dibutuhkan untuk mengetahui lebih jelas mengenai gambaran contoh dalam penelitian. Karakteristik yang diteliti meliputi jenis kelamin, daerah asal, usia, berat badan, tinggi badan. Jenis Kelamin Contoh adalah atlet taekwondo remaja nasional secara keseluruhan (baik laki-laki maupun perempuan) yang mengikuti pembinaan dan pelatihan khusus di Cipayung, Bogor. Contoh yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini adalah 25 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria inklusi dari populasi sebanyak 42 atlet taekwondo nasional, sehingga semua populasi digunakan sebagai contoh dalam penelitian dengan metode purposive sampling. Akan

27 tetapi, 1 orang atlet drop out karena tidak dapat melakukan tes kebugaran dan 1 orang atlet tidak mengisi kuesioner karena harus mengikuti kegiatan akademik di sekolah asal. Oleh karena itu dari 25 contoh berdasarkan kriteria inklusi, terpilih 23 orang yang dijadikan sebagai contoh. Gambar 2 Sebaran atlet taekwondo menurut jenis kelamin Sebagian besar contoh yang mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus atlet nasional di Cipayung, Bogor, berjenis kelamin perempuan (56,5%) dan berjenis kelamin laki-laki (43,5%). Usia Atlet yang masuk ke pelatnas adalah atlet-atlet berprestasi yang tidak memerlukan usia khusus untuk mengikuti program di pelatnas. Oleh sebab itu usia contoh sedikit beragam. Sebaran atlet taekwondo menurut usia disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran atlet taekwondo berdasarkan usia Jenis kelamin Usia Laki-Laki Perempuan Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%) 10-12 tahun 0 0,0 1 7,7 13-15 tahun 2 20,0 5 38,5 16-18 tahun 8 80,0 7 53,8 Jumlah 10 100,0 13 100,0 Rata-rata usia contoh laki laki yaitu 16,22 ± 1,05 tahun dan contoh perempuan yaitu 15,46 ± 1,67 tahun. Usia semua contoh yang diteliti tergolong ke dalam usia remaja yaitu antara 10-18 tahun (Almatsier et al. 2011). Daerah Asal Pemusatan latihan nasional merupakan wadah yang dijadikan untuk melatih dan sekaligus digunakan untuk tempat pembinaan atlet-atlet dari berbagai daerah yang mempunyai potensi, bakat dan prestasi di cabang

28 olahraga taekwondo. Atlet yang masuk di pelatnas berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Sebaran atlet menurut daerah asal disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran atlet taekwondo menurut daerah asal Daerah asal Jumlah (n) Persentase (%) Sumatra Selatan 1 4,3 Riau 2 8,7 Jawa Tengah 10 43,5 Jawa Barat 8 34,8 D.I.Yogyakarta 2 8,7 Daerah asal contoh yang paling banyak adalah Jawa Tengah yaitu sebanyak 10 atlet (43,5%). Asal daerah atlet terbanyak kedua yaitu Jawa Barat sebanyak 8 orang atlet (34,8%), asal daerah berikutnya yaitu Riau dan D.I Yogyakarta masing-masing sebanyak 2 orang atlet (8,7%), sedangkan untuk asal daerah Sumatera Selatan sebanyak 1 orang dengan persentase 4,3%. Pemilihan atlet di pelatnas ini tidak didasarkan pada subjektivitas dari contoh. Pemilihan atlet dilakukan melalui seleksi dan pemilihan ketat yang dilakukan oleh pelatih, pembina, maupun pengurus besar taekwondo indonesia (PBTI) yaitu tes psikologi, tes kesehatan, tes kemampuan fisik, dan tes keterampilan untuk cabang olahraga taekwondo. Selain itu, atlet pelatnas direkomendasikan oleh atlet dari SMA Ragunan Jakarta. Berat Badan Pengukuran antropometri yang dilakukan pada contoh meliputi pengukuran berat badan, dan tinggi badan. Sebaran atlet menurut berat badan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Berat badan atlet taekwondo berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Berat Badan Laki-Laki Perempuan Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%) 41-45 0 0,0 3 23,1 46-50 1 10,0 4 30,8 51-55 6 60,0 6 46,2 56-60 2 20,0 0 0,0 61-65 1 10,0 0 0,0 Jumlah 10 100,0 13 100,0 Sebagian besar contoh laki-laki (60,0%) memiliki kisaran berat badan antara 51-55 kg. Sebanyak 20,0%, contoh laki-laki memiliki berat badan antara 56-60 kg, sebanyak 10,0% contoh laki-laki memiliki berat badan antara 46-50 kg dan sebanyak 10,0% contoh laki-laki memiliki berat badan antara 61-65 kg. Sebagian besar contoh perempuan (46,2%) memiliki kisaran berat badan antara 51-55 kg. Sebanyak 30,8%, contoh perempuan memiliki berat badan antara 46-50 kg, dan sisanya sebanyak 23,1% contoh perempuan memiliki berat badan

29 antara 41-45 kg. Berdasarkan hasil uji beda Independent t-test dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,009) antara berat badan pada contoh laki-laki dengan contoh perempuan. Contoh laki-laki memiliki rata-rata berat badan yaitu 50,67 ± 4,15 kg dan rata-rata berat badan contoh perempuan yaitu 54,80 ± 3,87 kg. Rata-rata berat badan contoh tersebut belum memenuhi rata-rata berat badan standar untuk remaja menurut Widya Karya Pangan dan Gizi (WKNPG) tahun 2004 yaitu 55 kg (Hardinsyah & Tambunan 2004). Tinggi Badan Secara keseluruhan diketahui rata-rata tinggi badan contoh laki-laki yaitu 168,50 ± 3,24 cm dan rata-rata tinggi badan contoh perempuan yaitu 160,47 ± 3,24 cm. Berdasarkan hasil uji beda Independent t-test dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,000) antara tinggi badan pada contoh laki-laki dengan contoh perempuan. Sebagian besar contoh laki-laki memiliki kisaran tinggi badan antara 166-170 cm (40,0%) dan 171-175 cm (40,0%). Sebanyak 20,0%, contoh laki-laki memiliki tinggi badan antara 161-165 cm. Sebagian besar contoh perempuan (38,5%) memiliki kisaran tinggi badan antara 161-165 cm. Sebanyak 30,8%, contoh perempuan memiliki tinggi badan antara 151-155 cm, sebanyak 23,1% contoh perempuan memiliki tinggi badan antara 156-160 cm dan sisanya sebanyak 7,7% contoh perempuan memiliki tinggi badan antara 166-170 cm. Sebaran tinggi badan contoh disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Tinggi badan atlet taekwondo berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Tinggi badan Laki-Laki Perempuan Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%) 151-155 0 0,0 4 30,8 156-160 0 0,0 3 23,1 161-165 2 20,0 5 38,5 166-170 4 40,0 1 7,7 171-175 4 40,0 0 0,0 Jumlah 10 100,0 13 100,0 Status Gizi Karakteristik Antropometri Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh individu atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi. Beberapa cara untuk mengukur status gizi adalah dengan konsumsi, biokimia/laboratorium, antropometri dan secara klinis. Pengukuran status gizi yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode antropometri. Untuk menentukan status gizi contoh terlebih dahulu ditentukan IMT contoh. Penentuan status gizi contoh dilakukan dengan menggunakan indikator IMT/U

30 yang direkomendasikan sebagai indikator penentuan status gizi untuk remaja (Riyadi 2003). Secara keseluruhan baik contoh laki-laki dan contoh perempuan memiliki status gizi pada rentang -1,67 SD sampai dengan 0,84 SD dimana rentang tersebut merupakan kategori status gizi normal menurut WHO (2007). Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) antara status gizi pada contoh laki-laki dengan contoh perempuan. Status gizi yang baik sangat penting bagi atlet karena dapat meningkatkan kemampuan dan performa atlet (Williams 1989). Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et al 2002). Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Survei konsumsi pangan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi (Suhardjo et al 1988). Metode kuantitatif juda dapat menghitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM), dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif antara lain metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon (recall), metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa et al 2001). Recall selama 24 jam dapat dilakukan secara berulang dalam waktu yang berbeda dalam setahun untuk memperkirakan rata-rata konsumsi pangan individu untuk jangka waktu yang lebih panjang. Jumlah pengulangan yang dibutuhkan untuk menggambarkan kebiasaan asupan gizi bergantung pada derajat presisi yang diinginkan serta zat-zat gizi dan kelompok populasi yang ingin diteliti. Pada umumnya, bila prosedur penentuan sampel dilakukan baik dengan memperhitungkan pengaruh akhir pekan, musim, dan hari libur terhadap pola makan, sehingga hasilnya dapat memperkirakan konsumsi pangan secara keseluruhan (Almatsier et al 2011).

31 Frekuensi Makan Frekuensi makan dan kebiasaan makan contoh digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan secara kualitatif. Menurut Khomsan (2000) dapat menjadi kecukupan konsumsi gizi diartikan sebagai semakin tinggi frekuensi makan, maka peluang untuk mencukupi kebutuhan gizi akan semakin besar. Frekuensi makan yang diukur pada penelitian ini adalah dalam satuan kali per hari dengan menggunakan metode recall. Frekuensi makan contoh dapat dilihat dari Tabel 10. Tabel 10 Sebaran atlet taekwondo menurut frekuensi makan Frekuensi Makan Sebaran Jumlah (n) Persentase (%) 1 kali 0 0,0 2 kali 1 4,3 3 kali 17 73,9 > 3 kali 5 21,7 Jumlah 23 100 Sebanyak 73,9% contoh memiliki frekuensi makan sebanyak tiga kali setiap harinya, sedangkan sebanyak 5 contoh memiliki frekuensi makan lebih dari 3 kali yaitu sebesar 21,7% dan sebanyak 1 contoh memiliki frekuensi makan sebanyak 2 kali sehari yaitu sebesar 4,3%. Kebiasaan makan tiga kali sehari pada contoh sudah dianggap cukup baik untuk menghindari terjadinya masalah gizi (Suhardjo 1989). Kebiasaan Makan Atlet diharapkan memiliki kondisi fisik yang optimal selama menjalani latihan yang intensif. Untuk mencapai kondisi yang optimal tersebut dibutuhkan kebiasaan makan yang baik untuk mencapai gizi yang optimal dan akan menghasilkan kondisi fisik yang prima bagi atlet. Kebiasaan makan contoh diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan metode recall. Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu konsumsi pangan, preferensi pangan (kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu pangan), ideologi terhadap makanan, dan faktor sosial budaya seorang individu. Sebaran atlet taekwondo menurut kebiasaan makan disajikan pada Tabel 11.

32 Tabel 11 Sebaran atlet taekwondo menurut kebiasaan makan Kebiasaan Makan Sebaran Jumlah (n) Persentase (%) Kebiasaan Sarapan Selalu 18 78,3 Kadang-kadang 5 21,7 Jarang 0 0,0 Tidak pernah 0 0,0 Menu sarapan Mie 1 4,3 Roti 8 34,8 Nasi+lauk pauk 11 47,8 Lainnya 3 13,0 Susunan menu siang hari Nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah 17 73,9 Nasi, lauk hewani atau nabati, sayur 3 13,0 Nasi, lauk hewani 0 0,0 Lainnya 3 13,0 Susunan menu malam hari Nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah 7 30,4 Nasi, lauk hewani atau nabati, sayur 12 52,2 Nasi, lauk hewani 0 0,0 Lainnya 4 17,4 Konsumsi fastfood Selalu 2 8,7 Kadang-kadang 12 52,2 Jarang 9 39,1 Tidak pernah 0 0,0 Hasil recall mengenai kebiasaan makan pada contoh menunjukkan bahwa sebagian besar contoh selalu membiasakan diri untuk sarapan yaitu sebanyak 18 contoh dengan persentase 78,3% contoh. Menu sarapan yang biasa dikonsumsi oleh sebagian besar contoh (48,7%) berupa nasi dan lauk pauk. Makan siang contoh sebagian besar diisi dengan menu berupa nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah (73,9%), sedangkan makan malam contoh sebagian besar diisi dengan menu nasi, lauk hewani atau lauk nabati serta sayur (52,2%). Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu, konsumsi pangan, preferensi (kesukaan atau ketidaksukaan) makan, ideologi terhadap makanan, dan faktor sosial budaya seorang individu. Untuk konsumsi makanan cepat saji (fast food) sebagian besar contoh (52,2%) menyatakan kadang-kadang mengkonsumsi fast food. Menurut Irianto (2007) penyediaan makanan cepat saji memiliki kelebihan antara lain penyajian yang cepat sehingga tidak menghabiskan waktu dan dapat dihidangkan kapan dan dimana saja, higienis, dianggap makanan modern. Namun fast food juga memiliki kekurangan yaitu komposisi bahan makanan yang kurang memenuhi standar

33 makanan sehat berimbang, antara lain kandungan lemak jenuh berlebihan karena unsur hewani lebih banyak daripada nabati, kurang serat, kurang vitamin, serta terlalu banyak sodium. Kebiasaan Minum Konsumsi cairan bagi seorang atlet sangat diperlukan untuk menjaga status hidrasi tubuh. Pemberian cairan pada atlet bertujuan untuk mencegah dehidrasi dan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Selain itu, pemberian cairan yang adekwat ditujukan untuk mencegah cedera akibat panas tubuh yang berlebihan. Sebaran atlet menurut kebiasaan minum disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran atlet taekwondo menurut kebiasaan minum Kebiasaan minum Sebaran Jumlah (n) Persentase (%) Konsumsi air putih 5 gelas 0 0,0 > 5 gelas 2 8,7 7 gelas 1 4,3 8 gelas 20 87,0 Konsumsi sport drink Ya 22 95,7 Tidak 1 4,3 Konsumsi minuman beralkohol Ya 0 0,0 Tidak 23 100,0 Berdasarkan hasil recall mengenai kebiasaan minum contoh menunjukkan bahwa contoh sebagian besar (87,0%) mengkonsumsi air putih lebih dari 8 gelas setiap harinya yang setara dengan mengonsumsi lebih dari 2400 ml/hari, sebanyak 8,7% contoh mengkonsumsi air putih lebih dari 5 gelas setiap harinya yang setara dengan mengonsumsi 1500-1800 ml/hari, dan sebanyak 4,3% mengkonsumsi air putih 7 gelas setiap harinya yang setara dengan mengonsumsi 2100 ml/hari. Kebiasaan minum lebih dari 8 gelas sudah dapat mencukupi kebutuhan atlet akan asupan air. Menurut Depkes (1993) asupan air bagi atlet harus mencukupi untuk dapat mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh. Banyaknya air yang diperlukan kurang lebih 2500 ml. Seluruh contoh tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Menurut Irianto (2007) olahragawan disarankan untuk meninggalkan minuman beralkohol karena alkohol merupakan depresan bagi susunan syaraf pusat, dapat memproduksi asam laktat, mengganggu kerja syaraf serta mempunyai sifat

34 diuretik yang memudahkan pengeluaran air seni. Untuk konsumsi sport drink, diketahui bahwa sebagian besar contoh yaitu 95,7% contoh mengkonsumsi sport drink. Kebiasaan Makan Sebelum Pertandingan Sebelum pertandingan, sebagian besar (82,6%) contoh mengonsumsi makanan atau minuman. Makanan/minuman yang biasa dikonsumsi oleh contoh sebelum pertandingan antara lain makanan lengkap, cemilan, sport drink, air mineral, buah-buahan, coklat, dan vitamin. Sebanyak 17,4% contoh biasa tidak mengonsumsi makanan/minuman sebelum pertandingan. Rentang waktu konsumsi makanan lengkap sebelum pertandingan, sebanyak 30,4% contoh mengkonsumsi makanan lengkap 1-2 jam sebelum bertanding, 43,5% contoh mengkonsumsi makanan lengkap 2-3 jam sebelum bertanding dan sisanya yaitu 26,1% contoh mengkonsumsi makanan lengkap 3-4 jam sebelum bertanding. Sebagian besar (78,3%) contoh juga memiliki makanan dan minuman yang dihindari saat sebelum pertandingan. Menurut Depkes (1993) waktu makan yang dapat diterapkan oleh atlet pada 3-4 jam sebelum bertanding yaitu makanan utama yang terdiri dari nasi, sayur, lauk pauk dan buah. Pada 2-3 jam sebelum bertanding, makanan yang dapat dikonsumsi oleh seorang atlet adalah makanan kecil seperti crackers, roti, dll. Pada 1-2 jam sebelum bertanding makanan yang dikonsumsi oleh atlet dapat terdiri dari makanan cair/minuman seperti juice buah, teh, dll sedangkan waktu < 1 jam sebelum bertanding atlet disarankan untuk mengonsumsi cairan atau minuman. Makanan dan minuman yang dihindari oleh contoh sebelum bertanding yaitu makanan pedas dan soft drink. Kebiasaan makan pada atlet dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Kebiasaan makan atlet taekwondo sebelum bertanding Kebiasaan makan sebelum bertanding Sebaran Jumlah (n) Persentase (%) Konsumsi makanan/minuman sebelum pertandingan Ada 19 82,6 Tidak 4 17,4 Jumlah 23 182,61 Rentang waktu konsumsi makanan lengkap 1-2 jam 7 30,4 2-3 jam 10 43,5 3-4 jam 6 26,1 4-5 jam 0 0,0 Makanan dan minuman yang dihindari Ada 18 78,3 Tidak 5 21,7

35 Kebiasaan Makan Selama Bertanding Mengkonsumsi makanan dan minuman selama bertanding penting dilakukan oleh atlet. Hal ini bertujuan untuk memperoleh makanan dan cairan yang cukup untuk memenuhi energi dan zat gizi agar cadangan glikogen dan status hidrasi tetap terpelihara. Kebiasaan makan/minum atlet nasional taekwondo selama pertandingan dapat dilihat pada tabel 14. Tabel 14 Kebiasaan makan atlet taekwondo selama bertanding Kebiasaan makan selama bertanding Sebaran Jumlah (n) Persentase (%) Konsumsi makanan/minuman selama pertandingan Ya 15 65,2 Tidak 8 34,8 Makanan dan minuman yang dihindari Ada 17 73,9 Tidak 6 26,1 Sebagian besar (65,2%) contoh memiliki kebiasaan untuk mengonsumsi makanan atau minuman selama pertandingan berupa sport drink, cemilan, air mineral, buah pisang, coklat dan madu. Selama pertandingan sebagian besar contoh (34,8%) menyatakan memiliki makanan dan minuman yang dihindari selama pertandingan yaitu makanan asam dan pedas, soft drink, alkohol dan gorengan dan sisanya (26,1%) menyatakan tidak mempunyai makanan atau minuman yang dihindari pada saat pertandingan. Menurut Depkes (1993) selama bertanding hindari mengonsumsi makanan yang dapat merangsang dan mengandung gas. Makanan yang terlalu pedas, terlalu asam dan mengandung gas akan mengganggu proses pencernaan dan menimbulkan rasa tidak nyaman di lambung. Soft drink merupakan salah satu minuman yang merangsang dan dapat menyebabkan peningkatan sekresi asam urat dan membuat perasaan yang tidak nyaman dalam lambung karena mengandung karbonasi. Kebiasaaan Makan Setelah Bertanding Setelah pertandingan, energi di dalam tubuh berkurang dengan cepat. Selain itu, tubuh juga mengalami kehilangan cairan dan elektrolit melalui keringat karena aktifitas yang dilakukan selama pertandingan. Oleh sebab itu, makanan dan minuman setelah pertandingan sangat dibutuhkan sesegera mungkin oleh tubuh untuk memulihkan keadaan tubuh seperti mengembalikan glikogen, mengganti cairan dan elektrolit yang terbuang untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh.

36 Berdasarkan hasil recall, contoh mengkonsumsi makanan / minuman segera setelah bertanding berupa air dingin (26,1%), makan besar (26,1%), sari buah (21,7%), dan sport drink (17,4%). Tujuan dari pemberian air dingin setelah bertanding adalah karena pada saat pertandingan terjadi peningkatan pengeluaran energi yang besar, sehingga terjadi pengosongan lambung. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan air dingin yang bersuhu 10 0 C untuk mengatasi kekosongan lambung, karena air dingin lebih cepat diserap oleh usus. Selain itu, pemberian sari buah ditujukan karena dapat mengganti sebagian kalium dan natrium yang hilang melalui keringat. Dalam sari buah selain terdapat karbohidrat juga mengandung vitamin C, mineral seperti kalium dan natrium (Depkes 1993). Kebiasaan makan/minum atlet setelah bertanding dapat dilihat ada tabel 15. Tabel 15 Kebiasaan makan atlet taekwondo setelah bertanding Kebiasaan makan setelah bertanding Jumlah Jumlah (n) Persentase (%) Konsumsi makanan/minuman segera setelah pertandingan Air dingin 6 26,1 Sari buah 5 21,7 Tidak ada 2 8,7 Lainnya 10 43,5 Rentang waktu konsumsi makanan lengkap 1-2 jam 15 65,2 2-3 jam 4 17,4 3-4 jam 4 17,4 4-5 jam 0 0,0 Makanan dan minuman yang dihindari Ada 4 17,4 Tidak 19 82,6 Untuk konsumsi makanan lengkap setelah bertanding, sebanyak 65,2% contoh menyatakan mengkonsumsi makanan lengkap 1-2 jam setelah bertanding, 14,7% contoh mengkonsumsi makanan lengkap 2-3 jam setelah bertanding dan sisanya mengkonsumsi makanan lengkap 3-4 jam setelah bertanding. Sebanyak 82,6% contoh tidak memiliki makanan dan minuman yang dihindari setelah pertandingan, sebanyak 17,4% contoh memiliki makanan atau minuman yang dihindari yaitu minuman soda dan makanan pedas untuk tidak dikonsumsi setelah pertandingan. Menurut Irianto (2007) setengah jam setelah bertanding, atlet dapat diberikan jus buah sebanyak 1 gelas. Satu jam setelah bertanding, atlet diberikan jus buah 1 gelas dan snack ringan atau makanan cair yang mengandung karbohidrat sebanyak 300 kkal. Dua jam setelah bertanding, makan lengkap dengan prosi kecil. Sebaiknya diberikan lauk yang tidak

37 digoreng, tidak bersantan dan diberikan banyak sayuran dan buah. Setelah 4 jam bertanding, atlet akan merasakan rasa lapar. Oleh karena itu, penyediaan makan pada malam hari menjelang tidur mutlak diperlukan bagi atlet yang bertanding malam hari. Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Energi Konsumsi energi contoh diperoleh dengan menggunakan metode recall 1 x 24 jam selama 3 hari berturut-turut yaitu sabtu, minggu dan senin. Tujuan dari metode recall ini untuk dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi yang lebih optimal pada saat melakukan aktifitas di mess dan diluar mess. Pertimbangan pengambilan konsumsi pangan selama 3 hari adalah pada hari Sabtu, contoh hanya mendapatkan pembinaan dan pelatihan selama 6 jam. Pada hari Minggu, contoh tidak mendapatkan pembinaan dan pelatihan. Pada hari Senin, contoh mendapatkan pembinaan dan pelatihan sepenuhnya, sehingga atlet sudah harus kembali ke pemusatan latihan nasional dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Data konsumsi contoh yang kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan zat gizi lainnya. Angka kecukupan energi contoh diperoleh dari perhitungan berdasarkan WKNPG (2004). Faktor aktifitas yang digunakan per individu didasarkan atas aktifitas yang dilakukannya selama 1 x 24 jam selama 3 hari berturut-turut. Sebaran atlet taekwondo menurut tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Sebaran atlet taekwondo menurut tingkat kecukupan energi Hasil recall menunjukkan rata-rata konsumsi energi contoh secara keseluruhan yaitu 2056 ± 618 kkal, dengan konsumsi energi paling tinggi yaitu sebesar 3204 kkal dan konsumsi energi paling rendah yaitu 870 kkal. Gambar 3.

38 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi contoh laki-laki sebagian besar berada dalam kategori defisit tingkat berat (80,0%) dan sebagian besar contoh perempuan memiliki tingkat kecukupan energi berada dalam kategori defisit tingkat berat (69,2%). Tingkat konsumsi dan kecukupan energi yang rendah dapat disebabkan oleh sistem pendistribusian makanan yang menggunakan sistem prasmanan yaitu para atlet dapat mengambil makanan berdasarkan kesukaan masing-masing individu bukan berdasarkan pada kebutuhannya sehingga pemasukan energi atlet ada yang kekurangan dan kelebihan. Padahal dengan aktifitas berat dan pengeluaran energi yang besar harus diimbangi dengan pemasukan makanan yang seimbang sehingga stamina tubuh tetap stabil. Protein Protein sangat dibutuhkan bagi atlet remaja dalam pertumbuhan dan pembentukan tubuh guna mencapai bentuk tubuh yang optimal. Sumber protein dapat berasal dari bahan pangan hewani dan nabati. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, baik dalam segi jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan protein nabati berasal dari kacang-kacangan dan hasil olahannya. Rata-rata konsumsi protein contoh secara keseluruhan adalah 50,2 ± 15,8 gram dengan konsumsi protein paling tinggi sebesar 85,0 gram dan konsumsi protein paling rendah sebesar 19,8 gram. Tingkat kecukupan protein contoh disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Sebaran atlet taekwondo menurut tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan protein contoh laki-laki sebagian besar berada dalam kategori defisit berat (70,0%) sedangkan sebagian besar contoh perempuan memiliki tingkat kecukupan protein dalam kategori defisit berat (38,5%). Menurut Depkes (1993) kebutuhan protein atlet dari cabang olahraga yang memerlukan

39 kekuatan dan kecepatan (power/strenght) perlu mengonsumsi protein antara 1,2-1,7 gram protein/kgbb/hari dan atlet endurance memerlukan protein 1,2-1,4 gr/kgbb/hari. Peningkatan kebutuhan protein bagi atlet ini disebabkan oleh karena atlet lebih berisiko untuk mengalami kerusakan jaringan otot terutama saat menjalani latihan/pertandingan olahraga yang berat sehingga protein sangat diperlukan untuk pembentukan dan pemulihan kekuatan otot. Lemak Saat berolahraga kompetitif dengan intensitas tinggi seperti olahraga taekwondo, pengunaan lemak sebagai sumber energi tubuh akibat dari mulai berkurangnya simpanan glikogen otot dapat menyebabkan tubuh terasa lelah sehingga secara perlahan intensitas olahraga akan menurun. Hal ini disebabkan karena produksi energi melalui pembakaran lemak berjalan lebih lambat jika dibandingkan dengan laju produksi energi melalui pembakaran karbohidrat walaupun pembakaran lemak akan menghasilkan energi yang lebih besar jika dibandingan dengan pembakaran karbohidrat. Rata-rata konsumsi lemak contoh secara keseluruhan yaitu 55,9 ± 25,7 gram, dengan konsumsi tertinggi sebanyak 104,0 gram dan konsumsi paling rendah sebanyak 13,2 gram. Sebaran atlet menurut tingkat kecukupan lemak dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Sebaran atlet taekowondo menurut tingkat kecukupan lemak Tingkat kecukupan lemak pada contoh laki-laki sebagian besar berada dalam kategori <20% dari kebutuhan energi (80,0%) dan contoh perempuan sebagian besar berada pada kategori <20% dari kebutuhan energi (69,2 %). Hal tersebut dimungkinkan oleh kekhawatiran atlet mengalami kegemukan sehingga mengurangi makanan yang berlemak. Kebutuhan lemak atlet berkisar antara 20-25% dari total energi yang dibutuhkan (Depkes 1993).

40 Karbohidrat Karbohidrat merupakan zat gizi sumber energi yang tidak hanya berfungsi untuk mendukung aktifitas fisik seperti berolahraga namun karbohidrat juga merupakan sumber energi utama bagi sistem pusat syaraf termasuk otak. Di dalam tubuh, karbohidrat yang dikonsumsi oleh manusia dapat tersimpan di dalam hati dan otot sebagai simpanan energi dalam bentuk glikogen. Sebaran atlet menurut tingkat kecukupan karbohidrat dapat dilihat pada gambar 6. Gambar 6 Sebaran atlet taekwondo menurut tingkat kecukupan karbohidrat Hasil recall menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi karbohidrat contoh adalah 794,8 ± 546,3 gram dengan konsumsi terendah sebanyak 157,8 gram dan konsumsi tertinggi yaitu 2015,4 gram. Tingkat kecukupan karbohidrat pada contoh laki-laki sebagian besar berada pada kategori >70% dari kebutuhan energi (50,0%) dan sebagian besar contoh perempuan berada pada kategori >70% dari kebutuhan energi (53,8%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar atlet telah mengonsumsi karbohidrat melebihi kecukupan. Menurut Clark (1996) dalam Karfarina (2002) pemberian karbohidrat bertujuan untuk membentuk glikogen otot dan hati. Tubuh akan mencerna berbagai jenis karbohidrat menjadi glukosa sebelum digunakan sebagai bahan bakar otot dan otot memerlukan glukosa darah sebagai tenaga. Para atlet yang memiliki glukosa darah yang rendah maka akan cenderung memiliki penampilan yang rendah karena rendahnya bahan bakar yang digunakan untuk tenaga, terbatasnya fungsi otot serta kapasitas mental. Selain itu, pemberian makanan karbohidrat tinggi selalu dapat menaikkan daya tahan seseorang pada latihan-latihan berat dalam jangka waktu yang lama.

41 Vitamin A Vitamin A merupakan salah satu vitamin larut lemak yang mempunyai fungsi penting dalam penglihatan. Selain berperan dalam proses penglihatan, vitamin A juga berperan dalam kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, dan pencegahan penyakit kanker dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung (Almatsier 2005). Sebaran atlet menurut tingkat kecukupan vitamin A dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Sebaran atlet taekwondo menurut tingkat kecukupan vitamin A Angka kecukupan vitamin A bagi remaja berumur 15-16 tahun adalah 900 µgre. Rata-rata konsumsi vitamin A contoh secara keseluruhan yaitu 2669,8 ± 1603,0 µgre, dengan konsumsi tertinggi sebanyak 5761,1 µgre dan konsumsi terendah sebanyak 213,5 µgre. Sebagian besar contoh baik laki-laki (90,0%) maupun perempuan (84,6%) memiliki tingkat kecukupan vitamin A dalam kategori cukup karena sudah mengkonsumsi vitamin A lebih dari 77% angka kecukupan vitamin A. Bagi atlet, vitamin A sangat berperan penting dalam differensiasi sel, oleh sebab itu intik vitamin A yang cukup sangat diperlukan dalam peningkatan performa atlet dan pemulihan latihan. Pada pelatnas cabang olahraga taekwondo, tidak disediakan penambahan suplemen vitamin oleh tim medis pelatnas. Hal tersebut diharapkan bahwa atlet dapat memperoleh kecukupan vitamin dari makanan yang dikonsumsinya terutama yang berasal dari sayur dan buah. Bahan pangan yang dikonsumsi contoh yang mengandung sumber vitamin A paling besar terdapat pada bahan makanan telur ayam, wortel dan bahan makanan lainnya seperti sayur dan buah. Vitamin C Vitamin C atau yang biasa dikenal dengan nama asam askorbat merupakan salah satu vitamin larut air yang berfungsi dalam sintesis kolagen, katekolamin, serotonin dan karnitin di dalam tubuh. Vitamin C merupakan

42 antioksidan yang sangat kuat dalam menangkal radikal bebas. Vitamin C juga berguna dalam absorbsi zat besi, peredaran, dan juga cadangannya. Dalam aktifitas, vitamin C berguna dalam stimulasi sistem imun, mengurangi kelelahan dan kelemahan otot, meningkatkan performa, dan melindungi sel dari ancaman radikal bebas (Chen 2000). Angka kecukupan vitamin C bagi remaja yang berumur 15-16 tahun adalah 60 mg menurut WKNPG 2004. Rata-rata konsumsi vitamin C contoh secara keseluruhan yaitu 110,4 ± 44,7 mg dengan konsumsi tertinggi yaitu sebanyak 229,7 mg dan konsumsi terendah sebanyak 54,3 mg. Tingkat kecukupan vitamin C contoh disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Sebaran atlet taekwondo menurut tingkat kecukupan vitamin C Tingkat kecukupan vitamin C baik contoh laki-laki maupun perempuan tergolong cukup yaitu contoh laki-laki (90,00%) dan contoh perempuan (92,3%). Menurut Depkes (1993), vitamin C penting untuk atlet karena perannya sebagai menjaga penyembuhan atau pertahanan tubuh terhadap infeksi. Olahragawan perlu mengonsumsi vitamin yang lebh besar, karena konsumsi vitamin C yang cukup dapat menghambat terbentuknya asam laktat dalam otot yang dapat menyebabkan kelelahan (Sumosardjuno 1990). Bahan pangan sumber vitamin C yang sering dikonsumsi oleh contoh yaitu buah-buahan seperti jeruk, melon, semangka, dan pisang. Kalsium Fungsi utama kalsium di dalam tubuh adalah peranannya dalam pembentukan tulang dan gigi. Kekurangan kalsium dapat meningkatkan risiko osteoporosis yaitu gangguan yang menyebabkan penurunan secara bertahap dan jumlah kekuatan jaringan tulang. Menurut WKNPG 2004 kecukupan kalsium remaja yang berumur 16-18 tahun adalah sebanyak 1000 mg setiap harinya. Sebaran atlet menurut tingkat kecukupan kalsium dapat dilihat pada Gambar 9.

43 Gambar 9 Sebaran atlet taekwondo menurut tingkat kecukupan kalsium Rata-rata konsumsi kalsium contoh secara keseluruhan yaitu 5313,0 ± 6156,0 mg dengan konsumsi paling tinggi yaitu 17624,9 mg dan konsumsi terendah sebanyak 44,7 mg. Tingkat kecukupan kalsium sebagian besar contoh laki-laki berada dalam kategori cukup (60,0%) dan sebagian besar contoh perempuan memiliki tingkat kecukupan kalsium dalam kategori cukup (53,8%). Tingkat kecukupan kalsium baik pada contoh laki-laki maupun contoh perempuan sebagian besar berada dalam kategori cukup yaitu 60,0% pada contoh laki-laki dan 53,8% pada contoh perempuan. Kekurangan kalsium pada masa remaja akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan tulang sehingga tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh (Almatsier 2005). Zat Besi Zat besi merupakan mineral yang sangat diperlukan tubuh dalam pembentukan hemoglobin, mioglobin dan juga sebagai enzim yang diperlukan dalam metabolisme. Kekurangan zat besi terutama pada remaja dapat menyebabkan anemia gizi besi dan juga menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan, dan menurunkan kemampuan kognitif. Sebaran atlet menurut tingkat kecukupan zat besi dapat dilihat pada Gambar 10.

44 Gambar 10 Sebaran atlet taekwondo menurut tingkat kecukupan zat besi Rata-rata konsumsi zat besi contoh secara keseluruhan yaitu 15,5 ± 11,6 mg, dengan konsumsi tertinggi sebanyak 62,7 mg dan konsumsi terendah sebanyak 6,0 mg. Tingkat kecukupan zat besi sebagian besar contoh laki-laki berada dalam kategori kurang (60,0%) dan sebagian besar contoh perempuan memiliki tingkat kecukupan besi dalam kategori kurang (84,6%). Menurut Sumosardjuno (1990) pada olahragawan, konsumsi Fe dalam jumlah yang cukup sangat dianjurkan karena diketahui bahwa zat besi mudah hilang melalui keringat. Kebanyakan atlet wanita dan sebagian atlet pria mengalami kekurangan zat besi sehingga sukar untuk memperbaiki penampilannya. Apabila seorang olahragawan kekurangan zat besi secara terus menerus, maka akan cepat lelah dan lambat masa pemulihannya. Tingkat Kebugaran Kebugaran jasmani atau kebugaran fisik merupakan kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari, kegiatan rekreasi atau kegiatan lainnya yang bersifat mendadak tanpa mengalami kelelahan yang berarti (Riyadi 2007). Nilai kebugaran jasmani setiap orang berbeda-beda sesuai dengan tugas atau profesi masing-masing. Tingkat kebugaran jasmani dapat dilihat dari VO 2 max yang diperoleh dari Bleep Test, flexibility dengan sit and reach test, dan daya tahan otot diperoleh dengan pengukuran sit up dan squat jump. VO 2 Max Atlet nasional taekwondo mempunyai nilai VO 2 max yang beragam pada masing-masing kategori, tergantung kepada jenis kelamin dan umur dari atlet. Rata-rata nilai VO 2 max contoh yang berjenis kelamin laki-laki berada pada kategori baik yaitu 49,50 ± 7,5 ml/kg/menit, sedangkan rata-rata nilai VO 2 max contoh perempuan berada pada kategori sangat baik yaitu 41,24 ± 6,5

45 ml/kg/menit. Dalam hal ini, nilai VO 2 max pada contoh laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan contoh perempuan. Imaddudin (2012) melaporkan hal serupa, yakni atlet laki-laki memiliki nilai VO 2 max lebih tinggi dibandingkan dengan atlet perempuan pada cabang olahraga taekwondo. Menurut Malina et al. (2004) rata-rata nilai VO 2 max lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan pada seluruh tingkatan usia. Sebaran atlet menurut VO 2 max dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran atlet taekwondo menurut VO 2 max Kategori Laki-Laki Perempuan Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%) Sangat Lemah 0 0,0 0 0,0 Lemah 1 10,0 2 15,4 Cukup 2 20,0 0 0,0 Baik 2 20,0 3 23,1 Sangat Baik 2 20,0 3 23,1 Tinggi 3 30,0 5 38,5 Jumlah 10 100,0 13 100,0 Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa nilai VO 2 max bervariasi pada masing-masing rentang nilai. Sebanyak 30,0% contoh laki-laki memiliki kategori nilai VO 2 max tinggi dan proporsi yang sama yaitu sebanyak 20,0% contoh masing-masing pada kategori cukup, baik dan sangat baik sedangkan sisanya (10,0%) contoh memiliki kategori VO 2 max lemah. Sebanyak 38,5% contoh perempuan memiliki kategori tinggi untuk nilai VO 2 max. Pada kategori baik dan sangat baik memberikan proporsi yang sama pada contoh perempuan yaitu masing-masing sebanyak 23,1% dan sisanya (15,4%) dari contoh perempuan memiliki kategori lemah untuk nilai VO 2 max. Berdasarkan hasil uji beda Independent t-test dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,007) antara nilai VO 2 max pada contoh laki-laki dengan contoh perempuan. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai VO 2 max yang lebih tinggi pada laki-laki jika dibandingkan dengan perempuan. Flexibility Kelentukan merupakan jangkauan area gerak sendi-sendi. Menurut Haskell dan Kiernan (2012) komponen ini tercermin pada kemampuan seseorang untuk menekuk, meregang dan memutar tubuhnya. Rata-rata nilai kelentukan contoh yang berjenis kelamin laki-laki berada pada kategori baik yaitu 22,19 ± 3,48 cm, sedangkan rata-rata nilai kelentukan contoh perempuan berada pada kategori kurang yaitu 18,00 ± 3,23 cm. Menurut Riyadi (2007) salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kebugaran seseorang adalah jenis kelamin. Massa otot pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yang lebih

46 banyak memiliki massa lemak dalam tubuhnya yang dapat menghambat kekuatan untuk melakukan tes flexibility. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Malina et al. (2004) pada tes kelentukan, rata-rata anak perempuan memiliki perempuan performa yang lebih baik dari anak laki-laki. Sebaran atlet menurut nilai flexibility dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran atlet taekwondo menurut nilai flexibility Kategori Laki-Laki Perempuan Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%) Sangat kurang 0 0,0 0 0,0 Kurang 1 10,0 9 69,2 Cukup 0 0,0 4 30,8 Baik 9 90,0 0 0,0 Baik sekali 0 0,0 0 0,0 Jumlah 10 100,0 13 100,0 Sebagian besar contoh laki-laki memiliki kategori kelentukan yang baik (90,0%) dan sebagian besar contoh perempuan memiliki kategori kelentukan yang kurang (69,2%). Berdasarkan hasil uji beda Independent t-test dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,026) antara nilai kelentukan ada contoh laki-laki dengan contoh perempuan, dimana nilai kelentukan contoh laki-laki lebih tinggi daripada nilai kelentukan pada contoh perempuan. Kelentukan gerak tubuh pada persendian tersebut, sangat dipengaruhi oleh : elastisitas otot, tendon dan ligamen di sekitar sendi serta kualitas sendi itu sendiri. Terkait dengan kesehatan, maka kelentukan merupakan salah satu parameter kesembuhan akibat cedera dan kekuatan sistem muskuloskeletal. Daya Tahan Otot Daya tahan otot berkaitan dengan kemampuan dalam menghasilkan kekuatan dan kemampuan untuk mempertahankan selama mungkin. Dengan kata lain berhubungan dengan sistem anaerobik dalam proses pemenuhan energinya. Daya otot dapat disebut juga daya ledak otot atau explosive power (Hoeger & Hoeger 1996). Sebaran atlet menurut nilai daya tahan otot disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran atlet taekwondo menurut nilai daya tahan otot Sit Up Squat Jump Kategori Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Persentase (%) Persentase (%) Persentase (%) Persentase (%) Sangat kurang 0,0 0,0 0,0 0,0 Kurang 90,0 0,0 0,0 0,0 Cukup 10,0 30,8 0,0 0,0 Baik 0,0 69,2 20,0 0,0 Baik sekali 0,0 0,0 80,0 100,0 Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0

47 Sebagian besar contoh laki-laki memiliki kategori daya tahan otot pada komponen tes sit up berada pada kategori kurang (90,0%) dan contoh perempuan berada pada kategori baik (69,2%). Pada komponen tes squat jump sebagian besar contoh laki-laki berada pada kategori baik sekali (80,0%) dan seluruh contoh perempuan berada pada kategori baik sekali. Hasil uji beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara daya tahan otot baik pada tes sit up maupun squat jump pada contoh laki-laki maupun contoh perempuan. Hubungan Usia dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Pearson antara usia atlet dengan tingkat kebugaran atlet taekwondo (VO 2 max) tidak menunjukkan hubungan signifikan (p>0,05). Menurut Macmurray dan Ondrak (2008) bahwa nilai VO 2 max individu akan turun secara normal sejalan dengan bertambahnya umur yang dapat disebabkan oleh perubahan komposisi tubuh dan gaya hidup atlet. Pada hasil uji korelasi antara usia atlet dengan tingkat kebugaran flexibility (p<0,05, r=0,456) dan daya tahan otot (p<0,05, r=0,421) menunjukkan hubungan positif yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini semakin tinggi usia atlet hingga usia 18 tahun, maka tingkat kebugaran otot (muscle endurance) juga akan berada pada kategori yang baik. Menurut Nieman (1998) kelentukan akan berkurang seiring meningkatnya umur yang lebih dikarenakan kurang aktifnya alat gerak tubuh dibandingkan dengan proses penuaan. Hubungan Berat Badan dan Tinggi Badan dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Pearson antara berat badan atlet dengan seluruh tingkat kebugaran (VO 2 max, flexibility dan daya tahan otot) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan berat badan atlet tidak berhubungan dengan tingkat kebugaran atlet taekwondo. Hasil uji korelasi Pearson antara tinggi badan atlet dengan tingkat kebugaran (flexibility dan daya tahan otot) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0,05), sedangkan hasil uji korelasi Pearson antara tinggi badan atlet dengan tingkat kebugaran atlet (VO 2 max) menunjukkan hubungan positif yang signifikan (p<0,05, r=0,558). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Imaduddin (2012) bahwa berat badan dan tinggi badan atlet taekwondo tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kebugaran (VO 2 max). Atlet yang cenderung memiliki tubuh yang tinggi akan mempengaruhi luas permukaaan keseluruhan tubuhnya termasuk luas permukaan paru-paru. Luar

48 permukaan paru-paru tersebut secara relatif akan mempengaruhi volume tidal (aktifitas inspirasi dan ekspirasi). Kaitannya dengan hal tersebut maka atlet dalam penelitian ini, yang memiliki tubuh yang tinggi maka akan dapat mengonsumsi oksigen (VO 2 max) lebih tinggi daripada yang memiliki tubuh yang lebih pendek. Seorang atlet taekwondo diharapkan memiliki tinggi badan yang baik, karena dalam olahraga taekwondo semakin tinggi tubuh seseorang, maka semakin panjang pula jangkauan serangan yang dilakukan, serta memudahkan atlet untuk melakukan serangan menggunakan kaki. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Pearson antara status gizi dengan tingkat kebugaran atlet (VO 2 max, flexibility dan daya tahan otot) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan tingkat kebugaran, begitupun sebaliknya. Hasil penelitian Bovet et al. (2007) pada remaja usia 12-15 tahun mengungkap hubungan yang tidak linear antara IMT dan hasil tes kebugaran jasmani atau performa motorik. Selain itu diungkapkan pula bahwa hasil terbaik pengukuran kebugaran jasmani dimiliki oleh subjek dengan tingkat IMT pada kisaran normal, hasil lebih rendah terdapat pada subjek dengan tingkat IMT pada kisaran kurus, dan hasil terendah pada subjek dengan tingkatan IMT yang berbeda pada kisaran IMT lebih. Hal tersebut terjadi akibat kelebihan berat badan khususnya massa lemak tubuh yang memperlihatkan kelambanan karena diperlukan tenaga yang lebih besar dan juga waktu yang lebih lama untuk dapat menggerakkan seluruh massa tubuhnya (Malina & Katzmarzyk 2006). Menurut Fatmah dan Ruhayati (2011) kebugaran tidak hanya dipengaruhi oleh status gizi namun juga dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, genetik, aktifitas fisik serta kebiasaan merokok. Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Tingkat Kebugaran Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi, protein, lemak, kalsium, zat besi, maupun vitamin C dengan tingkat kebugaran atlet (VO 2 max, flexibility dan daya tahan otot) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0,05). Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan tingkat kebugaran atlet (VO 2 max) menunjukkan hubungan positif yang signifikan (p<0,05, r=0,462). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan zat gizi yang dikumpulkan dengan cara recall 1 x 24 jam selama 3 hari berturut-turut belum dapat menentukan tingkat kebugaran baik VO 2 max, flexibility maupun daya

49 tahan otot. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson terdapat hubungan negatif yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A dengan tingkat kebugaran atlet VO 2 max (p<0,05, r=-0,481) dan daya tahan otot (p<0,05, r=-0,454). Menurut Fatmah dan Ruhayati (2011), atlet yang mengonsumsi vitamin yang berlebihan dapat berakibat hilangnya koordinasi otot. Hal tersebut dapat mengakibatkan atlet tidak dapat melakukan olahraga yang melibatkan otot. Kebugaran jasmani dapat ditingkatkan dengan memperoleh tingkat konsumsi yang cukup. Konsumsi zat gizi yang baik sesuai dengan kebutuhan gizi akan membuat kebugaran atlet menjadi baik sehingga menjadi tidak cepat lelah dan mampu melakukan aktifitasnya dengan baik pula sehingga mampu mencapai prestasi olahraga yang maksimal (Kartika 2006).