BAB II TIJAUAN PUSTAKA. berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-19, pemakaian kosmetik mulai mendapat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. Produk kosmetik sangat diperlukan manusia, baik laki-laki maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad abad yang lalu. Pada abad ke 19, pemakaian kosmetik mulai. besaran pada abad ke 20 (Tranggono, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagian luar badan (kulit, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Untuk membuat sediaan lipstik dengan angkak sebagai pewarna. 2. Untuk mengetahui apakah sediaan lipstik menggunakan angkak sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan,

GAMBARAN ZAT WARNA RHODAMIN B PADA KOSMETIK PEMERAH BIBIR YANG BEREDAR DIPASAR BERINGHARJO YOGYAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kosmetik dikenal manusia sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 239/Men.Kes/Per/V/85 TENTANG ZAT WARNA TERTENTU YANG DINYATAKAN SEBAGAI BAHAN BERBAHAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempercantik wajah. Kosmetik yang berbahaya mengandung komposisi dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kehatan RI No.

ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan yaitu untuk memperbaiki warna,

ANALISIS KANDUNGAN RHODAMIN B SEBAGAI PEWARNA PADA SEDIAAN LIPSTIK IMPOR YANG BEREDAR DI KOTA MAKASSAR

KOSMETOLOGI. = Berasal dari bahasa yunani Cosmein = berias

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi saat ini, penggunaan zat warna alami semakin

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

merupakan campuran dari beragam senyawa kimia, beberapa terbuat dari sumbersumber alami dan kebanyakan dari bahan sintetis (BPOM RI, 2003).

INTISARI ANALISIS KUALITATIF RHODAMIN B PADA LIPSTIK BERWARNA MERAH YANG DIJUAL DI PASAR ANTASARI BANJARMASIN

Laboratorium Farmasetika

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja, 1997).

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. Minyak canola (Brasicca napus L.) adalahminyak yang berasal dari biji

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PEWARNA RHODAMIN B DALAM ARUM MANIS SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis DI DAERAH SUKOHARJO DAN SURAKARTA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan rhodamin

ANALISIS PENGGUNAAN RHODAMIN B PADA CABE GILING BASAH YANG DIJUAL DI PASAR KOTA YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu penggunaan, umur dan jumlah

ANALISIS RHODAMIN B DALAM SAOS DAN CABE GILING DI PASAR KECAMATAN LAWEYAN KOTAMADYA SURAKARTA DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sediaan perawatan dan pembersih kulit adalah sediaan yang digunakan untuk maksud

Kelompok 2: Kromatografi Kolom

(asam sitrat), Pengawet (natrium benzoat), Pewarna makanan. Komposisi: Gula, Glukosa, Buah nanas, Asam Sitrat, Perasa dan Pewarna

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Saat ini kosmetik merupakan suatu kebutuhan yang sangat diperlukan, terutama

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetik berasal dari kata Yunani kosmein artinya berhias. Kosmetik digunakan

LAPORAN KIMIA PEMISAHAN BAB CAMPURAN

ANALISA KANDUNGAN RHODAMIN B SEBAGAI PEWARNA PADA SEDIAAN LIPSTIK YANG BEREDAR DI MASYARAKAT TAHUN 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan minuman olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung

DAFTAR BAHAN PEWARNA YANG DIIZINKAN DIGUNAKAN DALAM KOSMETIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1 meter, dapat hidup dengan baik di daerah dingin atau dataran tinggi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bunga kana adalah sejenis tanaman perdu, tumbuh tegak dengan tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS RHODAMIN B DAN METANIL YELLOW DALAM JELLY DI PASAR KECAMATAN JEBRES KOTAMADYA SURAKARTA DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetik memiliki sejarah panjang dalam kehidupan manusia. Berdasarkan hasil penggalian arkeologi, diketahui bahwa kosmetik telah

Kromatografi tambahan. Imam S

I. PENDAHULUAN. menggunakan zat warna alami dan sintetis untuk membuat tampilan produk

Tabel jenis pewarna alami pada produk makanan dan batas maksimum penggunaannya

Tabir surya. kulit terhadap sinar matahari sehingga sinar UV tdk dpt memasuki kulit (mencegah gangguan kulit karena radiasi sinar )

LAPORAN TETAP KIMIA ANALITIK INSTRUMEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jelly adalah produk minuman semi padat yang terbuat dari sari buah-buahan

I. PENDAHULUAN. adalah pewarna bibir. Pewarna bibir termasuk dalam sediaan kosmetik. untuk menyembunyikan kekurangan pada kulit sehingga dapat

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak jagung dan sirup, sedangkan di

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memerlukan makanan untuk menunjang kelangsungan hidupnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata saus berasal dari bahasa Perancis (sauce) yang diambil dari bahasa

Tabir surya. kulit terhadap sinar matahari sehingga sinar UV tdk dpt memasuki kulit (mencegah gangguan kulit karena radiasi sinar )

TIPE RAUT MUKA. A. Tipe Raut Muka

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :

BAB I PENDAHULUAN. Kecantikan identik dengan penampilan diri dan merupakan aset berharga

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN I.1

Bahan Pemutih (Bleaching Agent)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saus cabai atau yang biasa juga disebut saus sambal adalah saus yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanaman ini adalah hutan sekunder dengan kondisi tanah lembap. Di wilayah

BAB 1 PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan manusia.dalam kehidupan sehari-hari.

PHARMACY, Vol.06 No. 02 Agustus 2009 ISSN ANALISIS KUALITATIF PARASETAMOL PADA SEDIAAN JAMU SERBUK PEGAL LINU YANG BEREDAR DI PURWOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ultra Violet/UV (λ nm), sinar tampak (λ nm) dan sinar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. parfum, lipstik, kuku dan cat kuku kaki, mata dan riasan wajah, gelombang

BAB IV BAHAN AIR UNTUK CAMPURAN BETON

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kromatografi Gas-Cair (Gas-Liquid Chromatography)

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

BAB I PENDAHULUAN. Kosmetika berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. Bahan

BAB I PENDAHULUAN. kepala, kecuali pada bibir, telapak tangan dan telapak kaki. Batang-batang

Shampoo Shampoo basah Shampoo kering Bentuk : Bentuk : Jenis :

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga kosmetika menjadi stabil (Wasitaatmadja,1997).

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGETAHUAN TENTANG KOSMETIKA PERAWATAN KULIT WAJAH DAN RIASAN PADA MAHASISWI JURUSAN KESEJAHTERAAN KELUARGA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI PADANG

Tabel Pelarut Dalam Percobaan Metode Kromatografi. A n-butanol 40 bagian volume. B Iso-butanol 30 bagian volume

SEJARAH. Pertama kali digunakan untuk memisahkan zat warna (chroma) tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saos merupakan bumbu penyedap makanan atau biasanya digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penetapan Kadar Sari

MATERIA MEDIKA INDONESIA

Transkripsi:

BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Kosmetik 2.1.1 Pengertian Kosmetik Menurut Wall dan Jellinek, 1970, kosmetik dikenal manusia sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-19, pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian, yaitu selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan. Perkembangan ilmu kosmetik serta industrinya baru dimulai secara besar-besaran pada abad ke- 20 (Tranggono, 2007). Kosmetik berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti berhias. Bahan yang dipakai dalam usaha untuk mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan-bahan alami yang tedapat disekitarnya. Sekarang kosmetik dibuat manusia tidak hanya dari bahan alami tetapi juga bahan buatan untuk maksud meningkatkan kecantikan (Wasitaatmadja, 1997). Sejak semula kosmetik merupakan salah satu segi ilmu pengobatan atau ilmu kesehatan, sehingga para pakar kosmetik dahulu adalah juga pakar kesehatan; seperti para tabib, dukun, bahkan penasehat keluarga istana. Dalam perkembangannya kemudian, terjadi pemisahan antara kosmetik dan obat, baik dalam hal jenis, efek, efek samping, dan lainnya (Wasitaatmadja, 1997). Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan seperti epidermis, rambut, kuku, bibir, gigi, dan rongga mulut antara lain untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau

badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono, 2007). 2.1.2 Penggolongan Kosmetik Penggolongan kosmetik terbagi atas beberapa golongan, yaitu : a. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI, kosmetik dibagi ke dalam 13 preparat (Tranggono, 2004) : 1. Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi, bedak bayi, dan lain-lain. 2. Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi, bath capsule, dan lain-lain. 3. Preparat untuk mata, misalnya maskara, eye-shadow, dan lain-lain. 4. Preparat wangi-wangian, misalnya parfum, toilet water, dan lain-lain. 5. Preparat untuk rambut, misalnya cat rambut, hair spray, dan lain-lain. 6. Preparat pewarna rambut, misalnya cat rambut, dan lain-lain. 7. Preparat make-up (kecuali mata), misalnya bedak, lipstik, dan lain-lain. 8. Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi, mouth washes, dan lain-lain. 9. Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodorant, dan lain-lain. 10. Preparat kuku, misalnya cat kuku, losion kuku, dan lain-lain. 11. Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih, pelembab, pelindung, dan lain-lain. 12. Preperat cukur, misalnya sabun cukur, dan lain-lain. 13. Preparat untuk suntan dan sunscreen, misalnya sunscreen foundation, dan lain-lain.

b. Penggolongan kosmetik menurut cara pembuatan (Tranggono, 2004) sebagai berikut: 1. Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara modern (termasuk di antaranya adalah cosmedic). 2. Kosmetik tradisional: a. Betul-betul tradisional, misalnya mangir, lulur, yang dibuat dari bahan alam dan diolah menurut resep dan cara yang turun-temurun. b. Semi tradisional, diolah secara modern dan diberi bahan pengawet agar tahan lama. c. Hanya namanya yang tradisional, tanpa komponen yang benar-benar tradisional dan diberi warna yang menyerupai bahan tradisional. c. Penggolongan kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit: 1. Kosmetik perawatan kulit (skin care cosmetic) Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit. Termasuk di dalamnya: a. Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser): sabun, cleansing cream, cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener). b. Kosmetik untuk melembabkan kulit (mosturizer), misalnya mosturizer cream, night cream, anti wrinkel cream. c. Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream dan sunscreen foundation, sun block cream/lotion. d. Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya scrub ceram yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai pengamplas (abrasiver).

2. Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up) Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti percaya diri (self confident). Dalam kosmetik riasan, peran zat warna dan pewangi sangat besar. Kosmetik dekoratif terbagi menjadi 2 golongan (Tranggono, 2004), yaitu: a. Kosmetik dekoratif yang hanya menimbulkan efek pada permukaan dan pemakaian sebentar, misalnya lipstik, bedak, pemerah pipi, eyes shadow, dan lain-lain. b. Kosmetik dekoratif yang efeknya mendalam dan biasanya dalam baru lama baru luntur, misalnya kosmetik pemutih kulit, cat rambut, pengeriting rambut, dan preparat penghilang rambut. d. Berdasarkan bahan dan penggunaannya serta maksud evaluasi produk kosmetik dibagi menjadi 2 golongan (Ditjen POM, 2004): 1. Kosmetik golongan I adalah: a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya. 2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk ke dalam golongan I.

2.1.3 Persyaratan Kosmetik Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta persyaratan lain yang ditetapkan. b. Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik. c. Terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI). 2.2 Kosmetik Dekoratif Kekhasan kosmetik dekoratif adalah bahwa kosmetik ini bertujuan semata-mata untuk mengubah penampilan, yaitu agar tampak lebih cantik dan noda-noda atau kelainan pada kulit tertutupi. Kosmetik dekoratif tidak perlu menambah kesehatan kulit. Kosmetik ini dianggap memadai jika tidak merusak kulit (Tranggono, 2007). 2.2.1 Persyaratan Kosmetik Dekoratif Persyaratat untuk kosmetik dekoratif antara lain adalah (Tranggono, 2007): a. Warna yang menarik. b. Bau harum yang menyenangkan. c. Tidak lengket. d. Tidak menyebabkan kulit tampak berkilau. e. Tidak merusak atau mengganggu kulit.

2.2.2 Pembagian Kosmetik Dekoratif Kosmetik dekoratif dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu (Tranggono, 2007): 1. Kosmetik dekoratif yang hanya menimbulkan efek pada permukaan dan pemakaiannya sebentar, misalnya bedak, lipstik, pemerah pipi, eye shadow, dan lain-lain. 2. Kosmetik dekoratif yang efeknya mendalam dan biasanya dalam waktu lama baru luntur, misalnya kosmetik pemutih kulit, cat rambut, dan pengeriting rambut. 2.2.3 Peranan Zat Pewarna dalam Kosmetik Dekoratif Dalam kosmetik dekoratif, zat pewarna memegang peranan sangat besar. Zat warna untuk kosmetik dekoratif berasal dari berbagai kelompok : 1. Zat warna alam yang larut. Zat ini sekarang sudah jarang dipakai dalam kosmetik. Sebetulnya dampak zat alam ini pada kulit lebih baik dari pada zat warna sintetis, tetapi kekuatan pewarnaanya relatif lemah, tak tahan cahaya, dan relatif mahal. Misalnya carmine zat warna merah yang diperoleh dari dari tubuh serangga coccus cacti yang dikeringkan, klorofil daun-daun hijau, henna yang diekstraksi dari daun Lawsonia inermis, carotene zat warna kuning. 2. Zat warna sintetis yang larut. Zat warna sintetis pertama kali disintetis dari anilin, sekarang benzena, toluena, anthracene yang berfungsi sebagai produk awal bagi kebanyakan zat warna. Sifat-sifat zat warna sintetis yang perlu diperhatikan antara lain : a. Intensitas harus kuat sehingga jumlah sedikit pun sudah memberi warna.

b. Harus bisa larut dalam air, alkohol, minyak, atau salah satunya. Yang larut air untuk emulsi O/W dan larut minyak untuk emulsi W/O. Yang larut air hampir selalu juga larut dalam alkohol encer, gliserol, dan glikol. Yang larut minyak juga larut dalam benzena, karbon tetraklorida, dan pelarut organik lainnya, kadang-kadang juga dalam alkohol tinggi. Tidak pernah ada zat warna yang sekaligus larut dalam air dan minyak. c. Sifat yang berhubungan dengan ph. Beberapa zat warna hanya larut dalam ph asam, lainnya hanya dalam ph alkalis. d. Kelekatan pada kulit atau rambut. Daya lekat berbagai zat warna pada kulit dan rambut barbeda-beda. Terkadang kita memerlukan daya lekat besar seperti cat rambut, namun terkadang kita menghindarinya misalnya untuk pemerah pipi. e. Toksisitas. Yang toksis harus dihindari, tetapi ada derajat keamanannya. 3. Pigmen alam. Pigmen alam adalah pigmen warna pada tanah yang memang terdapat secara alamiah, misalnya aluminium silikat, yang warnanya tergantung pada kandungan besi oksida atau mangan oksidanya (misalnya kuning, coklat, merah bata, coklat tua). Zat warna ini murni, sama sekali tidak berbahaya, penting untuk mewarnai bedak-krim dan make-up sticks. Warnanya tidak seragam, tergantung asalnya, dan pada pemanasan kuat menghasilkan pigmen warna baru. 4. Pigmen sintetis. Dewasa ini besi oksida sintetis sering menggantikan zat warna alam. Warnanya lebih intens dan lebih terang. Pilihan warnanya antara lain kuning, coklat sampai merah, dan macam-macam violet. Pigmen sintetis putih seperti zinc oxida dan titanium oxida termasuk dalam kelompok zat pewarna kosmetik yang terpenting. Zinc oxida tidak hanya

memainkan satu peran dalam pewarnaan kosmetik dekoratif, tetapi juga dalam preparat kosmetik dan farmasi lainnya. Banyak pigmen sintetis yang tidak boleh dipakai dalam preparat kosmetik karena toksis, misalnya kadmiun sulfat dan cupri sulfat. 2.2.4 Pemerah pipi Pemerah pipi adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk mewarnai pipi dengan sentuhan artistik sehingga dapat meningkatkan estetika dalam tatarias wajah (Depkes RI, 1985). Pemerah pipi dibuat dalam berbagai corak warna yang bervariasi mulai dari warna merah jambu hingga merah tua. Pemerah pipi konvensional lazim mengandung pigmen merah atau merah kecoklatan dengan kadar tinggi. Pemerah pipi yang mengandung pigmen kadar rendah digunakan sebagai pelembut warna atau pencampur untuk memperoleh efek yang menyolok. Pemerah pipi dapat digunakan langsung dengan melekatkan pada kulit pipi, tetapi dalam banyak hal lebih baik digunakan setelah sediaan alas rias, baik sebelum maupun sesudah menggunakan bedak (Depkes RI, 1985). Contoh formula pemerah pipi bubuk kompak Kaolin ringan 50 Kalsium karbonat endap 50 Magnesium karbonat 50 Seng stearat 50 Talek 750 Pigmen 50 Parfum 2,0 Zat pengikat : isopropil miristat Dasar salep lanolin sama banyak secukupnya

2.3 Rhodamin B 2.3.1 Struktur molekul rhodamin B (Windholz, 1989) 2.3.2 Gambar Absorpsi Rhodamin B dalam Pelarut Etanol pada λ 542.75 nm. (Aldrich, 1992) Nama umum : Rumus Bangun Rhodamin B Nama Kimia : N-[9-(carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-3H-xanten-3-ylidene]-Nethylethanaminium chlorida Nama Lazim : Tetraethylrhodamine; D&C Red No. 19; Rhodamine B chlorida; C.I. Basic Violet 10; C.I. 45170 Rumus Kimia : C 28 H 31 ClN 2 O 3

BM : 479 Pemerian Kelarutan : Hablur hijau atau serbuk ungu kemerahan : Sangat mudah larut dalam air menghasilkan larutan merah kebiruan dan berfluoresensi kuat jika diencerkan. Sangat mudah larut dalam alkohol; sukar larut dalam asam encer dan dalam larutan alkali. Larutan dalam asam kuat membentuk senyawa dengan kompleks antimon berwarna merah muda yang larut dalam isopropil eter (Budavari, 1996). Penggunaan : Sebagai pewarna untuk sutra, katun, wol, nilon, kertas, tinta, sabun, pewarna kayu, bulu, dan pewarna untuk keramik China (Budavari, 1996). Penggunaan rhodamin B pada makanan dan kosmetik dalam waktu lama akan mengakibatkan kanker dan gangguan fungsi hati. Namun demikian, bila terpapar rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan rhodamin B. Bila rhodamin B tersebut masuk melalui makanan akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan urine yang berwarna merah maupun merah muda. Selain melalui makanan ataupun kosmetik, rhodamin B juga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, jika terhidup terjadi iritasi pada saluran pernafasan. Mata yang terkena rhodamin B juga akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata kemerahan dan timbunan cairan atau udem pada mata. Jika terpapar pada bibir dapat menyebabkan bibir akan pecah-pecah, kering, dan gatal. Bahkan, kulit bibir terkelupas (Yulianti, 2007).

Daftar tabel Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/ MENKES/ PER/ V/ 1985 tentang zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya adalah sebagai berikut: Tabel 2.1. Zat Warna Yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya No. Nama Indeks warna 1 Auramine (*CI basic yellow 2) 41000 2 Alkanet 75520 3 Butter yellow (CI solvent yellow) 11020 4 Black 7984(Food black) 27755 5 Burn amber (Pigment brown 7) 77491 6 Chrysoidine (CI basic orange 2) 11270 7 Chrysoidine S (CI food yellow B) 114270 8 Citrous red No.2 22156 9 Chocolate brown FB (Food brown 2) - 10 Fast red E (CI food red 4) 16045 11 Fast yellow AB (CI food yellow 2) 13015 12 Guinea breen B (CI acid green 3) 42085 13 Indhantrene blue RS (CI food blue 4) 69800 14 Magenta (CI basic violet 14) 42510 15 Methanyl yellow (ext DC yellow 1) 13065 16 Oil orange SS (CI solvent orange 2) 12100 17 Oil orange XO (CI solvent orange 7) 12140 Lanjutan tabel 2.1 No. Nama Indeks warna 18 Oil yellow AB (CI solvent yellow 5) 11380 19 Oil yellow OB (CI solvent yellow 6) 11390 20 Orange G (CI food orange 4) 16230 21 Orange GGN (CI food orange 2) 15980 22 Orange RN (CI food orange 1) 15970 23 Orchil dan orcein - 24 Ponceau 3R (CI food red 6) 16135 25 Ponceau SX (CI food red 1) 14700 26 Ponceau 6R (CI food red 8) 16290 27 Rhodamin B 45170 28 Sudan I (CI solvent yellow 14) 12055 29 Scarlet GN (food red 2) 14815 30 Violet 6B 42640 2.3.3 Tanda-tanda umum terpapar rhodamin B

Jika tertelan dapat menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan dan menimbulkan gejala keracunan serta air seni berwarna merah atau merah muda. Jika terkena kulit dapat menimbulkan iritasi pada kulit. Jika terkena mata dapat menimbulkan iritasi pada mata, mata kemerahan, oedema pada kelopak mata. Jika terhirup dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan. (Rachdie, 2006). 2.4 Kromatogarafi Lapis Tipis Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik pemisahan tertentu. Cara yang asli telah diketengahkan pada tahun 1903 oleh Tswett, ia telah menggunakannya untuk memisahkan senyawa-senyawa yang berwarna, dan nama kromatografi diambil dari senyawa yang berwarna. Meskipun demikian pembatasan untuk senyawa-senyawa yang berwarna tak lama dan hampir kebanyakan pemisahan-pemisahan secara kromatografi sekarang diperuntukkan pada senyawa-senyawa yang tak berwarna (Hardjono, 1985). Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase yaitu fase diam (stationary) dan fase gerak (mobile), pemisahan-pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua fase ini. Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan (absorption chromatography), jika zat cair, dikenal sebagai kromatografi partisi (partition chromatography). Karena fase gerak dapat berupa zat cair atau gas maka semua ada empat macam sistem kromatografi. Keempat macam sistem kromatografi tersebut adalah :

1). Fase gerak zat cair - fase diam padat: Dikenal sebagai kromatografi serapan yang meliputi - Kromatografi lapis tipis - Kromatografi penukar ion. 2). Fase gerak gas - fase diam padat : - Kromatografi gas padat 3). Fase gerak zat cair fase diam zat cair : Dikenal sebagai kromatografi partisi - Kromatografi kertas 4). Fase gerak gas fase diam zat cair : - Kromatografi gas cair - Kromatografi kolom kapiler (Hardjono, 1985). Semua pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi sendiri di antara fase gerak dan fase diam dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa terhadap senyawa yang lain (Hardjono, 1985). Dari berbagai kromatografi di atas peneliti memilih kromatografi lapis tipis karena mempunyai keuntungan yaitu, membutuhkan waktu yang lebih cepat dan diperoleh pemisahan yang lebih baik. Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan dimana yang memisahkan terdiri atas fase diam yang ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Kromatografi lapis tipis termasuk

kromatografi adsorpsi (serapan), dimana fase diam digunakan zat padat yang disebut adsorben (penjerap) dan fase gerak adalah zat cair yang disebut dengan larutan pengembang. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan ditotolkan berupa bercak atau pita, kemudian plat (lapisan) dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak) sehingga pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Zat penjerap pada KLT merupakan lapisan tipis serbuk yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik, atau logam secara merata (Stahl, 1985). Dengan memakai KLT, pemisahan senyawa yang amat berbeda seperti senyawa organik alam, senyawa organik sintetik, kompleks anorganik-organik, dan bahkan ion anorganik, dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal (Gritter, 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf : 1). Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan. 2). Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya. (Biasanya aktifitas dicapai dengan pemanasan dalam oven, hal ini akan mengeringkan molekul-molekul air yang menempati pusat-pusat serapan dari penyerap). 3). Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap. Meskipun dalam prakteknya tebal lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya, tapi perlu diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat. 4). Pelarut dan derajat kemurnian fase gerak.

Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fase gerak pada kromatografi lapis tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut diguanakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan. 5). Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan. 6). Teknik percobaan. 7). Jumlah cuplikan yang digunakan. Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan tendensi penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak seimbang lainnya sehingga mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada hargaharga Rf. 8). Suhu. Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase. 9). Kesetimbangan. Kesetimbangan dalam lapisan tipis sangat penting, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam bejana jenuh dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang berbentuk cekung dan fasa bergerak lebih cepat pada bagian tepi-tepi dari pada di bagian tengah. Keadaan seperti ini harus dicegah (Hardjono, 1985).