BAB III LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan bentuk Tata Letak Jalur pada Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Jenis Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun

WESEL (SWITCH) Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

REKAYASA JALAN REL MODUL 6 WESEL DAN PERSILANGAN PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

MODUL 12 WESEL 1. PENGANTAR

MENDUKUNG OPERASIONAL JALUR KERETA API GANDA MUARA ENIM LAHAT

BAB III LANDASAN TEORI. A. Tipikal Tata Letak dan Panjang Efektif Jalur Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Tipikal Tata Letak Dan Panjang Jalur Di Stasiun

BAB III LANDASAN TEORI. A. Kajian Pola Operasi Jalur Kereta Api Ganda

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analaisis Tata Letak Jalur pada Stasiun Muara Enim

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Rancangan Tata Letak Jalur Stasiun Lahat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI

P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Perancangan Tata Letak Jalur di Stasiun Betung

REKAYASA JALAN REL. MODUL 11 : Stasiun dan operasional KA PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 22 TAHUN 2003 TENTANG PENGOPERASIAN KERETA API. MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB III PERANCANGAN DAN REALISASI. blok diagram dari sistem yang akan di realisasikan.

Naskah Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REKAYASA JALAN REL. MODUL 8 ketentuan umum jalan rel PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERENCANAAN JALUR GANDA KERETA API DARI STASIUN PEKALONGAN KE STASIUN TEGAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

PD 3 PERATURAN DINAS 3 (PD 3) SEMBOYAN. PT Kereta Api Indonesia (Persero) Disclaimer

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.2. JENIS PEMBANGUNAN JALAN REL

TUGAS PERENCANAAN JALAN REL

STANDAR TEKNIS BANGUNAN STASIUN KERETA API : IR. SUTJAHJONO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran dan Karakteristik Angkutan Kereta Api Nasional

NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR STUDI POLA OPERASI JALUR KERETA API GANDA SEMBAWA-BETUNG 1

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 44 TAHUN 2018 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS PERALATAN PERSINYALAN PERKERETAAPIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran Dan Karakteristik Moda Transportasi Kereta Api Nasional

BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB III LANDASAN TEORI. Bangunan atas jalan kereta api terdiri dari:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan jalur tepi di sepanjang jalan tol CAWANG CIBUBUR dengan

TUMBURAN KA S1 SRIWIJAYA DAN KA BBR4 BABARANJANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTRAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN...

*35899 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 69 TAHUN 1998 (69/1998) TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERENCANAAN JALUR LINTASAN KERETA API DENGAN WESEL TIPE R54 PADA EMPLASEMEN STASIUN ANTARA PASURUAN - JEMBER ( KM KM ) TUGAS AKHIR

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM. 43 TAHUN 2010

BAB III LANDASAN TEORI. Tujuan utama dilakukannya analisis interaksi sistem ini oleh para

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Jalan Raya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. angkutan kereta api batubara meliputi sistem muat (loading system) di lokasi

LAPORAN AKHIR KNKT

2018, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086), sebagaimana telah diubah dengan Perat

BAB III METODOLOGI. mendekati kapasitas lintas maksimum untuk nilai headway tertentu. Pada

REKAYASA JALAN REL MODUL 3 : KOMPONEN STRUKTUR JALAN REL DAN PEMBEBANANNYA PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

KAJIAN GEOMETRIK JALUR GANDA DARI KM SAMPAI DENGAN KM ANTARA CIGANEA SUKATANI LINTAS BANDUNG JAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1998 TENTANG PRASARANA DAN SARANA KERETA API PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan

Penempatan marka jalan

D E P A R T E M E N P E R H U B U N G A N Komite Nasional Keselamatan Transportasi

REKAYASA JALAN REL. Modul 2 : GERAK DINAMIK JALAN REL PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

[ kata pengantar ] [ kata pengantar ]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II

BAB III PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

di kota. Persimpangan ini memiliki ketinggian atau elevasi yang sama.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Peran dan Karakteristik Moda Transportasi Kereta Api Nasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 60 TAHUN 1993 T E N T A N G MARKA JALAN MENTERI PERHUBUNGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 49 TAHUN 2014 TENTANG ALAT PEMBERI ISYARAT LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

CONTOH SOAL TES TORI SIM C (PART 1)

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

b. angkutan untuk orang dan barang diberi pelayanan yang

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 13 TAHUN 2014 TENTANG RAMBU LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i ABSTRAK...ii DAFTAR ISI...iii. A. DAOP III Cirebon... II-1

BAB III METODE PENELITIAN. melalui tahapan tahapan kegiatan pelaksanaan pekerjaan berikut :

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

maupun jauh adalah kualitas jasa pelayanannya. Menurut ( Schumer,1974 ),

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB III LANDASAN TEORI A. Struktur Jalur Kereta Api

Rekayasa Lalu Lintas

Transkripsi:

BAB III LANDASAN TEORI A. Jenis-Jenis dan Bentuk Tata Letak Jalur di Stasiun Jalur kereta api Menurut Peraturan Menteri No.33 Tahun 2011 adalah jalur yang terdiri atas rangkain petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kerta api, termasuk bagian atas bawahnya yang diperuntukkan bagi lalulintas kereta api yang ada di stasiun. Tata letak jalur kereta dari setiap stasiun tentunya berbeda-beda tergantung pada fungsi dari stasiun tersebut. Menurut Utomo (2009), tata letak jalur berdasarkan jenis stasiun sebagi berikut: a. Tata Letak Jalur di Stasiun Kecil Stasiun kecil biasanya hanya untuk menurunkan penumpang. Selain itu juga berfungsi sebagai tempat persilangan dan bersusulan kereta api. Oleh sebab itu stasiun kecil biasanya memiliki dua atau tiga jalan rel saja yang terdiri atas satu jalan rel terusan dan satu atau dua jalan rel untuk persilangan. Gambar 3.1 menunjukkan tata letak jalur di stasiun kecil. Gambar 3.1 Contoh skema tata letak jalur di stasiun kecil (Sumber: Utomo, 2009) b. Tata Letak Jalur di Stasiun Sedang Untuk stasiun sedang biasanya digunakan untuk menurunkan dan menaikkan penumpang sehingga memiliki jumlah jalur yang lebih banyak dari stasiun kecil yang terdiri dari minimal lebih dari 3 jalan rel atau lebih sehingga jalannya kereta tidak terhambat. Gambar 3.2 contoh skema tata ketak jalur di stasiun sedang. 19

20 a: jalan rel utama S: gedung utama stasiun b: jalan rel penyimpanan B: tempat bongkar-muat barang c : jalan rel langsiran * L : tempat penyimpanan lokomotif d : jalan rel untuk lokomotif P : Peron e : jalan rel untuk kereta barang Gambar. 3.2 Skema tata letak jalur pada stasiun sedang (Sumber: Utomo, 2009) c. Tata Letak Jalur di Stasiun Besar Pada stasiun besar tentunya memiliki jalur kereta yang banyak. Selain sebagai stasiun penumpang, biasanya digunakan pula sebagai gudang penyimpanan barang sehingga tidak hanya kereta penumpang yang berhenti namun kereta barang juga. Untuk mempermudah operasional dilakukan pemisahan jalur kereta penumpang, kereta barang dan langsiran. Untuk itu digunakan jalan rel terisolasi untuk kereta yang sedang langsir. Gambar 3.2 menunjukkan contoh tata ketak jalur di stasiun besar. U : jalan rel utama S : stasiun I : jalan rel isolasi P : peron MB: jalan rel untuk muat-barang Gambar 3.3 Skema tata letak kalur di stasiun besar (Sumber: Utomo, 2009)

21 d. Tata Letak Jalur di Stasiun Barang Sesuai dengan kegunaannya, pada stasiun barang tata letak jalur di buat khusus untuk pengiriman dan penerimaan barang. Biasanya terletak didaerah perindustrian atau pelabuhan untuk menngangkut peti kemas dari pelabuhan. Gambar. 3.4 menunjukkan contoh tata letak jalur kereta di stasiun barang. Gambar. 3.4 Skema tata letak jalur kereta di stasiun barang (Sumber: Utomo, 2009) e. Tata Letak Jalur di Stasiun Langsir Stasiun langsir adalah stasiun yang untuk memisahkan kereta dengan lokomotifnya atau merangkai gerbong dengan lokomotifnya. Dengan adanya jalur tersendiri untuk langsir maka perjalanan kereta lainnya tidak terhambat. Urutan kegiatan langsir yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Gerbong-gerbong yang datang dipisahkan (dilepaskan dari rangkaian kereta) 2) Gerbong-gerbong tersebut setelah dipisahkan kemudian dipilah menurut jurusan yang akan dituju. 3) Gerbong-gerbong yang telah dipilah sesuai jurusannya dikelompokkan sesuai stasiun tujuan. 4) Gerbong-gerbong yang telah terpilah sesuai jurusan dan terkelompokkan sesuai dengan stasiun tujuan dirangkaikan jereta api yang siap berangkat. Sesuai dengan urutan langsir tersebut, maka untuk tata letak jalur terdiri atas susunan jalan rel sebagai berikut: 1) Susunan sepur kedatangan 2) Susunan sepur untuk pemilihan jurusan 3) Susunan sepur untuk pemilhan menurut stasiun 4) Susunan sepur untuk keberangkatan

22 Pada Gambar 3.5 merupakan contoh tata letak jalur kereta di stasiun langsir, terbagi menjadi tiga pengelompokkan tempat langsir, yaitu: 1) Langsiran kedatangan 2) Langsiran pemisahan 3) Langsiran pemilahan dan keberangkatan Gambar 3.5 Skema tata letak jalur di stasiun langsir (Sumber: Utomo, 2009)

23 B. Panjang Jalur Efektif Berdasarkan Peraturan Menteri No. 60 Tahun 2012, panjang jalur efektif adalah panjang jalur aman rangkaian kereta api dari kemungkinan terkena senggolan dari pergerakkan kereta api atau langsiran yang berasal dari jalur sisi sebelanya. Panjang sepur efektif dibatasi oleh sinyal, patok bebas wesel, atapupun rambu batas berhenti kereta api. Patok bebas wesel adalah suatu tanda batas rangkaian kereta api pada daerah yang aman dari kemungkinan tersenggol oleh langsiran kereta lain yang sedang datang atau berangkat dijalur yang bersebelahan dengannya (Kurniawan, 2016). Pada Gambar 3.6 menunjukkan panjang sepur efektif di emplasemen. PE = (nl pl) + (ng pg) + 20m... (3.1) Keterangan: P E : panjang jalur efektif n L p L n G p G : jumlah lokomotif : panjang lokomotif : jumlah gerbong : panjang gerbong 20 m : jarak aman Gambar 3.6 Panjang sepur efektif di emplasemen (Sumber: Peraturan Dinas No. 10 Tahun 1986)

24 Menurut Kurniawan (2016) panjang sepur efektif ideal angkutan penumpang adalah 300 m dengan asumsi dalam satu rangkaian kereta api teridiri dari dua lokomotif dengan panjang masing-masing 17 meter dan ratarata menatik 12 kereta dengan panjang masing-masing 20 meter. Detail hitungan sebagai berikut. PE = (nl pl) + (ng pg) + 20 m PE = (2 17) + (12 20) + 20m = 274m C. Wesel Berdasarkan Peraturan Menteri No. 60 tahun 2012, wesel adalah konstruksi jalan rel yang paling rumit dengan beberapa persyaratan dan ketentuan pokok yang harus dipatuhi. Untuk pembutan wesel yang penting khususnya mengenai komposisi kimia dari bahannya. Wesel terdiri dari komponene-komponen, yaitu (i) lidah, (ii) jarum beserta sayan-sayapnya, (iii) rel rantak, (iv) rel paksa, dan (v) sistem pengerak. Gambar 3.7 menjelaskan bagian bagian dari wesel dan Gambar 3.8 menjelaskan contoh wesel yang ada di jalur rel kereta api. Gambar 3.7 Bagian-bagian wesel (Sumber: PM No. 60 tahun 2012)

25 Gambar 3.8 Wesel pada jalur rel kerta api (Sumber: https://id.wikipedia.org) a. Persyaratan Wesel Menurut Peraturan Menteri No. 60 tahun 2012 wesel harus memenuhi persyaratan berikut: 1) Kandungan mangaan (Mn) pada jarum mono blok harus berada dalam rentang (11-14) %. 2) Kekerasan lidah dan bagian lainnya sekurang-kurangnya sama dengan kekerasan rel. 3) Celah antara lidah dan rel rantak harus kurang dari 3 mm. 4) Celah antara ;idah wesel dan rel rantak pada posisi terbuka tidak boelh kurang dari 125 mm. 5) Celah (gap) antara rel lantak dan rel paksa pada ujung jarum 34 mm. 6) Jarak antara jarum dan rel paksa (check rail) untuk lebar jalan rel 1067 mm. a) Untuk Wesel rel R 54 paling kecil 1031 mm dan paling besar 1043 mm. b) Untuk Wesel jenis rel yang lain, disesuaikan dengan kondisi wesel. 7) Pelebaran jalan rel di bagian lengkung dalam wesel harus memenuhi peraturan radius lengkung. 8) Desain wesel harus disesuaikan dengan sistem penguncian wesel.

26 b. Komponen Wesel Komponen wesel terdiri dari a) Lidah Lidah merupakan salah satu komponen dari wesel yang bisa bergerak. lidah mempunyai bagian yang disebut pangkal lidah. Lidah dibedakan menjadi 2 jenis sebagai berikut: 1) Lidah berputar, yaitu lidah yang mempunyai engsel di akar lidahnya. 2) Lidah berpegas, yaitu lidah yang dijepit sehingga dapat melentur. Dari kedua jenis lidah tersebut, semuanya bisa digeser sesuai dengan arah yang akan dituju kereta. Ujung lidah membentuk sudut yang kecil terhadap rel lantak, yang disebut sudut tumpu (β). Sudut tumpu dinyatakan dengan tangen, yaitu tangen β = 1 : m, dengan nilai m antara 25 sampai 100. b) Jarum dan Sayap-Sayapnya Bagian jarum dan sayap berfungsi untuk membantu mengarahkan flens roda pada posisi yang tepat sehingga kereta api tetap aman bergerak pada arah yang benar. c) Rel Rantak Rel rantak adalah bagian dari wesel yang berfungsi sebagai sandaran lidah supaya wesel dapat mengarahkan kereta api sesuai dengan jalur yang diinginkan. d) Rel Paksa Rel paksa berfungsi untuk memaksa roda kereta api agar tidak mengarah mendatar, selian itu juga berguna untuk melindungi rel jarum. e) Sistem Penggerak atau Pembalik Wesel

27 Pembalik wesel adalah bagian yang berfungsi untuk menggerakkan lidah wesel. Penggerak wesel ada dua yaitu pembalik wesel manual dan pembalik wesel elektrik. Pembalik wesel manual dioperaikan dengan cara menarik tuas secara manul. Pembalik wesel manual diberi pemberat agar pada saat kereta api melewatinya tuas penggerak wesel tidak bergerak. Pembalik wesel elektrik bekerja secara otomotis, sehingga bisa lebih efisien dalam penggunaanya. c. Jenis-Jenis Wesel Wesel dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaiut sebagai berikut: 1) Wesel Biasa, adalah wesel yang terdiri dari sepur lurus dan sepur belok yang membentuk sudut terhadap sepur lurus. 2) Wesel Tiga Jalan, adalah wesel yang terdiri dari tiga sepur. Menurut arah dan letaknya terdapat empat jenis wesel tiga jalan, yaitu wesel tiga jalan searah, wesel tiga jalan berlawanan arah, wesel tiga jalan searah tergeser, wesel tiga jalan berlawnan arah tergeser. 3) Wesel Inggris, adalah wesel yang dilengkapi dengan gerakan-gerakan lidah serta sepur-sepur bengkok. d. Bagan Wesel Dalam gambar-gambar rencana untuk pelaksanaan pembangunan, weselwesel biasanya digunakan hanya menurut bagannya. 1) Bagan ukuran (gambar 3.9) Bagan ukuran menjelaskan ukuran-ukuran wesel dan dapa digunakan untuk menggambar bagan emplasmen secara berskala. Gambar 3.9 Bagan ukuran wesel (Sumber: Peraturan Menteri No. 60 tahun 2012) Keterangan: M = titik tengah wesel = titik potong antara sumbu sepur lurus dengan

28 sumbu sepur belok. A = Permulaan wesel = tempat sambungan rel lantak dengan rel biasa. Jarak dari A ke ujung lidah biasanya kira-kira 1000 mm. B = Akhir wesel = sisi belakang jarum. n = Nomor wesel. e. Nomor dan Kecepatan yang Diizinkan 1) Nomor wesel, n, menyatakan tangent sudut simpang yakni : tg = 1:n. 2) Kecepatan ijin pada wesel tercantum pada Tabel 3.1 Tabel 3.1 Nomor Wesel dan Kecepatan Ijinnya Tg 1:8 1:10 1:12 1:14 1:16 1:20 No. Wesel W 8 W 10 W 12 W 14 W 16 W 2 Kecepatan ijin (km/j) 25 35 45 50 60 70 (Sumber: Peraturan Menteri No. 60 Tahun 2012) D. Peron Stasiun Menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia peron merupakan peralatan pada stasiun kereta api, tempat penmpang menunggu atau tempat turun naik kereta. Sedangkan Peraturan Menteri No 29 Tahun 2011 peron adalah bangunan yang terletak di samping jalur kereta api yang berfungsi untuk naik turun penumpang. 1. Persyaratan Peron Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 29 Tahun 2011 pembangunan peron stasiun memiliki persyaratan sebagai berikut: a. Tinggi 1) Peron tinggi, tinggi peron 1000 mm, diukur dari kepalarel; 2) Peron sedang, tinggi peron 430 mm, diukur dari kepala rel; dan 3) Peron rendah, tinggi peron 180 mm, diukur daei kepala rel. b. Jarak tepi peron ke as jalan rel 1) Peron tinggi, 1600 mm (untuk jalan rel lurusan) dan 1650 mm (untuk jalan rel lengkung); 2) Peron sedang, 1350 mm; dan

29 3) Peron rendah, 1200 mm c. Panjang peron sesuai dengan rangkaian terpanjang kereta api penumpang yang beroperasi. d. Lebar peron dihitung berdasarkan jumlah penumpang dengan menggunakan formula sebagai berikut: b = 0,64M2 /orang V LF l Dengan: b V = Lebar peron (meter).... (3.2) = Jumlah rata-rata penumpang per jam sibuk dalam satu tahun (orang). LF = Load factor (80%). I = Panjang peron sesuai dengan rangkaian terpanjang kereta api penumpang yang beroperasi (meter). e. Hasil penghitungan lebar peron menggunakan formula di atas tidak boleh kurang dari ketentuan lebar peron minimal yang tercantum pada Tabel 3.2 tentang persyaratan lebar peron. Tabel 3.2 Persyaratan lebar peron No. Jenis Peron Di antara dua jalur (island platform) Di tepi jalur (side platform) 1. Tinggi 2 meter 1,65 meter 2. Sedang 2,5 meter 1,9 meter 3. Rendah 2,8 meter 2,05 meter (Sumber: Peraturan Menteri No. 29 Tahun 2011) f. Lantai peron tidak menggunakan material yang licin. g. Peron sekurang-kurangnya dilengkapi dengan: 1) Lampu; 2) Papan petunjuk jalur; 3) Papan petunjuk arah; dan 4) Batas aman peron.

30 2. Persyaratan Operasi Peron Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 29 Tahun 2011 pembangunan peron stasiun memiliki persyaratan sebagai berikut: a. Hanya digunakan sebagai tempat naik turun penumpang dari kereta api. b. Dilengkapi dengan garis batas aman peron 1) Peron tinggi, minimal 350 mm dari sisi tepi luar ke as peron; 2) Peron sedang, minimal 600 mm dari sisi tepi luar ke as peron; dan 3) Peron rendah, minimal 750 mm dari sisi tepi luar ke as peron. E. Fasilitas Operasi dan Sistem Persinyalan 1. Persyaratan Teknis Fasilitas Operasi Menurut PM 33 tahun 2011, pembangunan jalan rel dilaksanakan sesuai dengan persyaratan teknis jalan rel dan dilengkapi dengan fasilitas operasi kereta api. Komponen fasilitas operasi sebagaimana dimaksud meliputi (a) peraltan persinyalan, (b) peralatan telekomunikasi, (c) instalansi listrik. Menurut PM No. 72 Tahun 2009 sinyal terdiri dari: a. Sinyal utama, meliputi: 1) Sinyal masuk, adalah sinyal yang berfungsi untuk member petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa kereta api akan memasuki stasiun. 2) Sinyal keluar, adalah sinyal berfungsi untuk member petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa kereta api boleh berangkat meninggalkan stasiun. 3) Sinyal blok, adalah sinyal berfungsi untuk member petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa kereta api dibagi menjadi beberapa petak blok. 4) Sinyal darurat, adalah sinyal berfungsi untuk member petunjuk melalu isyarat berupa warna atau cahaya.

31 5) Sinyal langsir, adalah sinyal berfungsi untuk member petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa boleh atau tidak boleh melakukan gerakkan langsir. b. Sinyal pembantu, meliputi: 1) Sinyal muka, adalah berfungsi sebagai peringatan awal atas aspek yang menyala pada sinyal masuk di depannya agar kereta dapat menyesuaikan kecepatan secara bertahap. 2) Sinyal pendahulu 3) Sinyal pengulang, sinyal yang dapat dipasang pada peron stasiun, umumnya memiliki banyak jalur dengan frekuensi kereta yang padat, berfungsi member petunjuk sinyal yang diwakilinya. a) Dalam hal sinyal pengulang menyala putih, menunjukkan bahwa sinyal yang diwakilinya berindikasi aman; b) Dalam hal sinyal pengulang tidak menyal (padam) menunjukkan bahwa sinyal yang yang diwakoinya berindikasi tidak aman. c. Sinyal pelengkap, meliputi: 1) sinyal (ke kiri atau ke kanan), adalah sinyal berfungsi untuk memberi petunjuk bahwa kereta api berjalan kearah seperti yang ditunjukkan oleh sinyal (ke kiri atau ke kanan) 2) Sinyal pembatas kecepatan, adalah sinyal berfungsi untuk memberi petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa masinis harus menjalankan kereta apinya sesuai dengan kecepatan terbatas yang ditunjukkan sinyal pembatas. a) dalam hal sinyal utama berwarna hijau atau kuning dan sinyal pembatas kecepatan menyala atau menunjukkan angka tertentu masinis boleh menjalankan kereta apinya (di wesel atau jalur) dengan kecepatan puncak sesuai dengan angka yang ditunjukkan dikalikan 10; dan b) dalam hal sinyal utama berwarna hijau atau kuning dan sinyal pembatas kecepatan tidak menyala (padam), masinis boleh

32 menjalankan kereta apinya dengan kecepatan puncak sesuai dengan warna sinyal. 3) Sinyal berjalan jalur tunggal sementara, adalah sinyal yang berfungsi untuk memberi petunjuk melalui isyarat berupa warna atau cahaya bahwa kereta api akan berjaan di jalur kiri (jalur tunggal sementara). 2. Persyaratan Teknis Sistem a. Persyaratan Operasi 1) Semua perangkat persinyalan elektrik dalam ruangan harus dapat bekerja dengan baik pada kondisi cuaca, temperatur dan kelembaban. 2) Interlocking harus bisa melayani proses minimal sebagai berikut: a) Pembentukan rute; b) Pengoperasian wesel; c) Pengoperasian sinyal; d) Pendeteksi sarana; e) Sistem blok; f) Pengoperasian secara setempat atau terpusat untuk interlocking elektrik 3) Menjamin aman hasil proses interlocking pembentukkan rute. 4) Sistem harus memungkinkan untuk melakukan proses pada keadaan tidak biasa minimal sebagai berikut: a) Proses pengoperasian wesel secara manual; b) Prose pengoperasian sinyal darurat; c) Proses penyesuaian kembali kedudukan wesel yang terlanggar 5) Dilengkapi dengan fasilitas input minimal: a) Kondisi ada tidaknya sarana pada jalan KA; b) Kedudukan lidah wesel lurus atau belok; c) Kondisi normal atau tidaknya aspek sinyal yang ditampilkan; d) Tombol-tombol pada panel pelayanan; e) Informasi blok dari stasiun sebelah; f) Kondisi pengamanan perlintasan sebidang yang terkait dengan sistem interlocking.

33 6) Dilengkapi dengan fasilitas output minimal: a) Pengoperasian penggerak wesel elektrik; b) Pengoperasian peraga sinyal elektrik; c) Peringatan kedatangan KA pada perlintasan sebidang; d) Pembebas kunci listrik/elektrik lock untuk wesel terlayan setempat dan perintang; e) Indikator-indikator di panel layanan; f) Informasi blok ke stasiun sebelah g) Data logger 7) Menggunakan teknologi yang sudah teruji aman atau sudah terverifikasi. 8) Dapat dilengkapi dengan relay interface yang menghubungkan peralatan dalam dan luar ruangan. 9) Interlocking elektronik harus dilengkapi peralatan untuk mendiagnosa sistem interlocking, minimal harus dapat menampilkan: a) Status dan interlocking; b) Komunikasi data dengan sistem interlocking; c) Data logger b. Persyaratan Material Minimal memenuhi: 1) Temperatur pada rentang 0 o C s/d 45 o C; 2) Relative humidity max. 90% 3) Interlocking memiliki konfigurasi yang fail safe; 4) Semua modul komponen dilengkapi dengan indikator status; 5) Semua rangkaian vital I/O disilasi terhadap interferensi elektromagnetik.