STUDY POTENSI DAN PEMANFAATAN CACING TANAH UNTUK PAKAN UNGGAS (Study of Potensial and Using of Earthworms for Poultry Feed) R. H. MATONDANG, P. P. KETAREN, H. RESNAWATI dan A. NATAAMIJAYA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT A research was conducted by survey in West Java, i.e Bandung and district. 100 farmers were selected with random. Data collected were earthworms rearing and economic aspects. Data were analysed descriptively and the break event point was calculated. The results showed that productivity was obtained 5,1 kg per month and 4,6 kg per month in Bandung and respectively. Income of earthworm farmer was Rp. 569,150 and Rp. 127,300 in Bandung and respectively. The cost of earthworm meal production for poultry feed was Rp. 69,914 per kg and it was higher than the price of 1 kg fish meal. Key words: earthworm, feed, poultry ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan melalui survai di propinsi Jawa Barat, yaitu di kabupaten Bandung dan untuk mengetahui aspek budidaya cacing tanah yang dilakukan masyarakat. Peternak responden dipilih secara acak sebanyak 100 orang dan diwawancarai dengan menggunakan kuesioner. Data budidaya cacing tanah serta aspek ekonominya dan data di analisa secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas cacing tanah yang dicapai peternak adalah 5,1 kg per bulan di Bandung dan 4,6 kg per bulan di. Pendapatan peternak cacing tanah di kabupaten Bandung dan berturut-turut sebanyak Rp. 569.150,00 dan Rp. 127.300,00. Biaya produksi cacing tanah kering untuk pakan unggas mencapai Rp. 69.914,00 per kilogram. Kata kunci: Potensi, cacing tanah, pakan, unggas PENDAHULUAN Sampai saat ini komponen utama ransum ternak monogastrik masih menggunakan tepung ikan dan bungkil kacang kedelai sebagai sumber protein. Kedua bahan tersebut sebagian besar masih di impor, karena produksi dalam negeri belum mencukupi dan masih bersaing dengan kebutuhan manusia. Pada saat nilai tukar rupiah sangat rendah, harga bahan impor menjadi sangat mahal, akibatnya harga pakan menjadi tinggi dan usaha peternakan tidak menguntungkan lagi, bahkan mengalami kerugian. Cacing tanah adalah sumber bahan pakan alternatif yang dapat dipergunakan untuk mengatasi masalah pakan. Cacing tanah merupakan bahan pakan hewani yang mengandung protein lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan dan bungkil kedelai (SUDIARTO, 1999 dan KETAREN et al., 2000). Namun demikian, dilaporkan bahwa kandungan kalsiumnya lebih rendah (SUDIARTO, 1999 yang disitir dari YOSHIDA dan HOSHH, 1978). 561
Sistem budidaya cacing tanah sangat sederhana dan mudah, serta sangat prolifik dan produktif. Usaha budidaya cacing tanah mulai banyak dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan yang beragam. Mengingat potensi yang dimiliki serta sifatnya yang telah berhasil dibudidayakan, cacing tanah berpeluang digunakan sebagai sumber pakan ternak, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang budidaya, produksi cacing tanah dan potensinya sebagai sumber pakan ternak telah dilakukan dan dilaporkan dalam makalah ini. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan melalui survai di Jawa Barat, Kecamatan Coblong, Kabupaten Bandung dan Kecamatan Tanjung sari, Kabupaten. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan informasi awal tentang: (i) jumlah peternak yang memelihara cacing tanah (kantong produksi), (ii) industri obat dari bahan cacing tanah terdapat di Kabupaten Bandung dan (iii) anggota koperasi peternak cacing tanah yang terbesar berada di Kabupaten. Responden yang dipilih diasumsikan mengetahui cara membudidayakan cacing tanah dan memasarkannya. Pemilihan peternak dilakukan secara acak dengan mengambil 50 orang dari setiap kabupaten sebagai responden. Data yang dikumpulkan adalah informasi tentang budidaya cacing tanah dan aspek ekonominya sebagai bahan pakan unggas. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian daftar kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan mewawancarai peternak cacing tanah. Data dianalisis secara deskriptif dan nilai titik impas cacing tanah sebagai bahan pakan unggas dihitung. HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan luas bangunan dan wadah budidaya cacing tanah per peternak disajikan pada Tabel 1. Data ini menunjukkan bahwa kapasitas bangunan yang dimiliki peternak dapat menampung 85 dan 72 buah kandang dengan ukuran 0,21 m 2 dan 0,18 m 2 berturut-turut di Kabupaten Bandung dan. Namun peternak cacing tanah di Kabupaten Bandung belum maksimal memanfaatkan wadah yang hanya 28 buah wadah. Ini berarti skala usaha di Kabupaten Bandung masih mempunyai potensi untuk memperbesar skala usaha menjadi 85 buah wadah atau sebanyak 27 kg cacing tanah. Wadah pemeliharaan yang dimiliki peternak terbuat dari peti kayu, hanya sebagian kecil yang menggunakan baskom plastik dan bak semen. Berdasarkan habitat asal cacing tanah maka beberapa persyaratan harus dipenuhi dalam menentukan lokasi pemeliharaan yaitu terlindung dari sinar matahari langsung dan curahan air hujan serta memungkinkan terjaga keamanan cacing tanah dari gangguan hama, predator dan juga manusia. Sehingga peternak umumnya menempatkan kandang pemeliharaan didalam bangunan tertutup. 562
Tabel 1. Rataan luas bangunan dan wadah pemeliharaan cacing tanah di Kabupaten Bandung dan Uraian Bandung Lokasi Bangunan: Luas, (m2) 18 13 Lama pemakaian, (tahun) 5 5 Kapasitas bangunan, (buah wadah) 85 72 Wadah: Luas, (m 2 ) 0,21 0,18 Kapasitas wadah, (kg cacing) Tinggi media, (cm) 8,2 8,2 Lama pemakaian, (tahun) 2 2 Jumlah wadah (buah per peternak) 28 72 Informasi tentang produktivitas cacing tanah disajikan pada Tabel 2. Jumlah awal induk cacing tanah yang dipelihara peternak adalah 1,19 kg dan 2,10 kg, umur dewasa yaitu: 2,8 dan 2,9 bulan, sedangkan umur afkir 9,8 dan 7,8 bulan masing-masing di Bandung dan. Adapun jenis cacing tanah yang dipelihara adalah Lumbricus rubellus bersama-sama dibudidayakan dengan Peryomix excavatus (L. rubellus pertama kali dibudidayakan di Indonesia oleh BAMBANG SUDIARTO pada tahun 1982). Cacing tanah tersebut ditemukan di tanah peternakan sapi perah daerah Jayagiri, Lembang sebanyak 7 ekor (LYSTIAWAN et al., 1998). Semua cacing tanah bersifat bisexual-hermaprodit, akan tetapi hampir seluruh cacing tanah tidak dapat melakukan fertilisasi sendiri. Untuk kelanjutan reproduksinya dua ekor cacing tanah harus berhubungan kelamin, saling mempertukarkan sel-sel sperma (EDWARD dan LOFTY, 1977; dan MINICH, 1977). Cacing tanah dari familia Lumbricidae memiliki potensi lama hidup antara 4 8 tahun (EDWARDS dan LOFTY, 1969). Pada umumnya siklus cacing tanah adalah sebagai berikut; Siklus cacing tanah Cacing tanah 2 s/d 3 bulan Kokon 2 s/d 5 minggu Menetas Menurut SUDIARTO (1999), populasi cacing tanah dapat meningkat sebanyak seribu kali dan beratnya dapat mencapai kelipatan 225 kali selama setahun. Jadi, apabila pada awal pemeliharaan populasinya seribu ekor ( kg) maka selama setahun pemeliharaan akan menjadi satu juta ekor (112,5 kg). Pada Tabel 2. terlihat bahwa kelipatan yang dicapai peternak antara 4,6 dan 5,1 kali lipat per bulan atau 55,2 dan 61,2 lipat per tahun. Rendahnya kelipatan cacing tanah yang diperoleh pada peternak di lokasi contoh disebabkan karena pakan atau faktor lain. 563
Tabel 2. Produktivitas cacing tanah di Kabupaten Bandung dan per peternak Uraian Bandung Lokasi Jumlah awal induk, (kg) Bobot cacing tanah per wadah, (kg) Umur panen pertama, (bulan) Umur dewasa, (bulan) Produktivitas per bulan (kg) - Umur afkir, (bulan) Bobot terakhir yang dimiliki, (kg) Volume media per wadah, (liter) Kompos cacing (kg) 1,19 4 2,8 5,1 9,8 14 16,8 567 2,1 4 2,9 4,6 7,8 36 14,4 520 Cacing tanah memerlukan media untuk kelangsungan hidupnya. Ada 3 jenis bahan organik yang digunakan peternak untuk membuat media cacing tanah, yaitu: limbah pasar, limbah pengolahan kayu dan limbah ternak. Ketiga bahan organik tersebut difermentasikan selama 2 minggu, kemudian dibiarkan selama satu minggu agar kondisi media dapat memenuhi kriteria sebagai berikut: a). Mengandung serat kasar tinggi, b). ph netral yaitu 6,8 7,2, c). temperatur antara 22 28 0 C dan d). kadar air 40%-60% (LISTYAWAN et al., 1998). Penelitian menunjukkan bahwa media yang digunakan per wadah atau kandang rata-rata sebanyak 16,8 liter di Bandung dan 14,4 liter di untuk pemeliharaan sebanyak kilogram cacing tanah (Tabel 2). Keadaan ini sesuai dengan yang disarankan oleh LISTYAWAN, et al. (1998) yaitu setiap satu kilogram cacing tanah membutuhkan 20 40 liter media pemeliharaan. Penggantian media dilakukan setiap 1,5 minggu bersamaan dengan pemisahan kokon. Pakan untuk cacing tanah mengandung gizi lengkap dan seimbang, kondisinya telah melayu, ph netral yaitu kisaran 6,8 7,2 dan kadar air 80% (CATALAN, 1981). Peternak menambahkan konsentrat kedalam pakan cacing tanah untuk mendapatkan kandungan gizi yang lengkap dan seimbang, namun jumlah pemberian konsentrat ini tidak diketahui dengan jelas. Pertimbangan lainnya adalah harga pakan tidak lebih dari Rp. 150 per kilogram. Sedangkan jumlah pemberian pakan yang diberikan sesuai dengan rekomendasi SUDIARTO (1999) yaitu jumlah pakan yang diberikan sebaiknya sama dengan berat cacing tanah yang ada di media untuk setiap hari. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata total produksi cacing tanah yang dipelihara peternak per tahun di kabupaten Bandung lebih besar dari rata-rata yang dicapai di kabupaten. Hal ini sesuai dengan produktivitas cacing tanah yang dibudidayakan lebih tinggi, tetapi masih lebih rendah dari yang dicapai oleh SUDIARTO (1999). Rendahnya rata-rata total produksi yang dicapai peternak mungkin disebabkan oleh pakan cacing tanah yang tidak sesuai dengan yang disarankan oleh CATALAN (1981). Tabel 3 menunjukkan bahwa pendapatan peternak di Kabupaten Bandung lebih tinggi dibandingkan dengan peternak di Kabupaten, karena harga bibit di Kabupaten lebih tinggi. Menurut informasi yang didapatkan dari peternak bahwa pendapatan saat ini sudah menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, karena harga jual pada 2 tahun lalu berkisar 564
antara Rp. 75.000,00 Rp. 150.000,00/kg, sedangkan harga pada saat penelitian hanya sebesar Rp. 20.000,00 Rp. 25.000,00/kg. Tabel 3. Rataan biaya produksi dan pendapatan peternak cacing tanah per tahun di Kabupaten Bandung dan Uraian : Penerimaan(Rp) Pengeluaran(Rp) Bibit Pakan Media Tenaga Penyusutan : Alat Wadah Bangunan Total Pengeluaran (Rp) Pendapatan (Rp) Bandung 1.620.200 23.800 83.000 29.000 600.000 13.750 121.500 180.000 1.051.050 569.150 Cacing tanah + Kompos 1.292.000 42.000 99.000 35.000 600.000 12.700 126.000 150.000 1.064.700 227.300 Analisis ekonomi pemeliharaan cacing tanah sebagai bahan pakan unggas dapat dikaji berdasarkan nilai titik impas (BEP) yang tercantum pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Perhitungan titik impas untuk produksi cacing tanah Rataan luas bangunan: 16 m 2 dengan harga Rp. 52.250 per m 2 = Rp 840.000 masa pakai 5 tahun. Rataan wadah pemeliharaan: 78 wadah a Rp. 3250 = Rp.253.500 dengan masa pakai 2 tahun. Biaya penyusutan bangunan dan wadah per tahun adalah: a. Bangunan = { 1 : 5 } x Rp. 840.000 = Rp. 168.000 b. Wadah = { 1 : 2 } x Rp. 253.500 = Rp. 126.750 c. Peralatan = Rp. 13.225 Biaya operasional per tahun adalah : - Gaji = 1 orang x Rp. 50.000 = Rp. 600.000 - Bibit = 1,6 kg x a Rp 20.000 = Rp. 32.000 - Pakan + Media = 1230 kg x Rp. 100 = Rp. 123.000 Biaya tetap + biaya operasional = Rp. 1.062.975 Biaya lain-lain = 5 % x Rp 1.062.975 = Rp. 53.148,75 Total biaya = Rp. 1.062.975 + Rp. 53.148,75 = Rp. 1.116.123,75 Hasil penjualan: Penjualan kascing rata-rata per tahun = 543,5 x Rp. 600 = Rp. 326.100 Penjualan cacing tanah per kg berdasarkan perhitungan BEP berikut ini: Berdasarkan produksi rata rata per tahun = 56,5 kg (Tabel 3) (1.116.123,75 326.100) : 56,5 = Rp. 13.983/kg segar. Konversi sebagai bahan pakan ternak: 1 kg cacing tanah segar 0,2 kg kering, maka titik impas (BEP) untuk 1kg cacing tanah kering = Rp. 13.983 : 0,2 = Rp. 69.914 565
Nilai yang diperoleh dari kajian titik impas adalah Rp. 69.914,00 per kilogram cacing tanah kering lebih tinggi dibandingkan dengan harga satu kilogram tepung ikan yang hanya Rp. 6000,00 Rp. 7000,00 per kilogram, walaupun kandungan proteinnya lebih tinggi. Dari hasil kajian titik impas tersebut diketahui bahwa cacing tanah belum ekonomis jika digunakan sebagai bahan pakan ternak unggas. KESIMPULAN Budidaya cacing tanah telah dilakukan secara intensif pada bangunan tertutup dengan luas 18 m 2 dan 13 m 2 yang dapat menampung 85 dan 72 kandang dengan ukuran 0,21 m 2 dan 0,18 m 2 berturut-turut di Kabupaten Bandung dan. Rata-rata bobot cacing tanah yang dimiliki masing-masing peternak adalah 14 kg di Bandung dan 36 kg di. Skala usaha di Kabupaten Bandung masih dapat ditingkatkan sebesar 27 kg. Pendapatan peternak dari usaha cacing tanah per tahun adalah Rp. 569.150,00 di Bandung dan Rp. 227.300,00 di. Nilai titik impas cacing tanah kering sebesar Rp. 69.914,00 per kilogram, sehingga cacing tanah belum ekonomis digunakan sebagai sumber bahan pakan ternak unggas. DAFTAR PUSTAKA CATALAN, G.I. 1981. Earthworm A New Source of Protein. Philippine Earthworm Center, Manila. EDWARD,C.A. and LOFTY, J.R. 1977. Biology of Eartworms. Chapman and Hall, London. KETAREN, P.P., A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, I.P. KOMPIANG dan M. AMIR. 2000. Rayap (Neotermes galbergiate ) Sebagai Pakan Ayam. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 6 (2): 100-106. LYSTYAWAN, B., SIDBERZDIK, D.A., BADRUZZAMAN, Z., dan SUDRAJAT. 1998. Teknologi VAB BL. Makalah Seminar. Bandung 18 20 Desmber 1998. MINICH, J. 1977. The Earthwom Book: How To Raise and Use Earthworms for Your Farm and Garden. Rodale Press Emmans, PA, USA. SUDIARTO. 1999. Peranan Cacing Tanah Dalam Pengelolaan Sampah dan Sebagai Sumber Pendapatan Masyarakat. Materi DIKLAT Budidaya Cacing Tanah. Makalah. 566