1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengakuan konsepsi Indonesia sebagai Negara Kepulauan merupakan sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia sebagai Negara Kepulauan telah dimulai sejak dikumandangkannya Deklarasi Djuanda 1 pada tahun 1957 dan merupakan sumbangan yang penting terhadap perkembangan suatu hukum laut internasional yang baru (a new international law of the sea). Tindakan unilateral Indonesia saat itu telah mengangkat konsepsi Negara Kepulauan dari dunia akademis ke dalam kenyataan kehidupan internasional. 2 Konsep Negara Kepulauan kemudian diterima dan diakui oleh masyarakat internasional melalui Konferensi Hukum Laut PBB yang menghasilkan The United Nations Convention on the Law of The Sea 1982 3 (selanjutnya disebut UNCLOS 1982). 4 Pengakuan Negara Kepulauan membuat Indonesia memiliki kedaulatan atas perairan kepulauan. 5 Pengakuan tersebut diimbangi dengan beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh Indonesia, yaitu menaati perjanjian yang 1 2 3 4 5 Deklarasi ini diumumkan pada tanggal 14 Desember 1957, lihat Dimyati Hartono, 1977, Hukum Laut Internasional, Pengamanan Pemagaran Yuridis Kawasan Wawasan Nusantara Negara Republik Indonesia, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, hlm. 45. Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum Laut Internasional, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan, Bandung, hlm. 205. UNCLOS 1982 berisi 320 pasal dan 9 lampiran. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, dua belas bulan setelah diperoleh 60 ratifikasi yang dipersyaratkan. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Tentang Hukum Laut), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319). Pasal 49 United Nations Convention on the Law of The Sea (United Nations, Treaty Series, vol. 1833, p. 3).
2 sudah ada sebelum tunduk terhadap UNCLOS 1982, mempertahankan kabel laut yang sudah ada dan menghormati hak perikanan tradisional 6 (traditional fishing rights). 7 Selain itu, Negara Kepulauan juga harus memberikan jaminan terhadap hak lintas damai (right of innocent passage) 8 dan hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea lanes passage). 9 Pengaturan hak perikanan tradional (traditional fishing rights) dari nelayan tradisional hanya diatur dalamis Article 51 UNCLOS 1982 yang berbunyi Without prejudice to article 49, an archipelagic State shall respect existing agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them. Such rights shall not be transferred to or shared with third States or their nationals. (Tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 49, Negara Kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah Negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah di mana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka). 6 7 8 9 Pasal 51 United Nations Convention on the Law of The Sea (United Nations, Treaty Series, vol. 1833, p. 3). Terminologi traditional fishing rights dalam UNCLOS 1982 telah diterjemahkan dalam beberapa istilah, diantaranya adalah hak penangkapan ikan tradisional, hak perikanan tradisional, hak penangkapan ikan secara tradisional dan sebagainya. Penulis akan menggunakan terminologi hak perikanan tradisional dalam penulisan hukum ini. Pasal 52 United Nations Convention on the Law of The Sea (United Nations, Treaty Series, vol. 1833, p. 3). Pasal 53 United Nations Convention on the Law of The Sea (United Nations, Treaty Series, vol. 1833, p. 3).
3 Merujuk pada ketentuan tersebut, maka sudah merupakan kewajiban bagi Negara Kepulauan untuk menghormati dan mengakui traditional fishing rights negara tetangga yang berdampingan langsung dengan Negara Kepulauan tersebut. Namun jika merunut berbagai instrumen hukum internasional, pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan tradisional dalam pelaksanaan traditional fishing rights telah dipraktikkan oleh beberapa negara sebelum diadopsinya UNCLOS 1982. 10 Hasjim Djalal secara tegas menyebutkan perlu adanya pembedaan terhadap terminologi antara traditional fishing rights dan traditional rights to fish. 11 Beliau menyebutkan bahwa traditional rights to fish atau hak tradisional atas perikanan dilaksanakan di laut lepas (high seas) berdasarkan kebebasan di laut lepas sebagaimana diatur dalam rezim hukum laut lepas. Sedangkan traditional fishing rights atau hak perikanan tradisional dilaksanakan pada bagian laut yang berada di bawah yurisdiksi negara pantai, yaitu pada perairan kepulauan dan pada ZEE. Hak ini memiliki batasan yaitu 10 11 Dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries, suatu negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak nelayan tradisional termasuk melindungi fishing ground mereka sejauh masih berada di bawah yurisdiksi nasional negara tersebut. Selain itu, Voluntary Guidelines on Securing Sustainable Small-Scale Fisheries mengatur bahwa negara harus menghormati praktik-praktik tradisional dari masyarakat adat dan etnis minoritas. Lebih lanjut, United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples menjamin masyarakat adat diseluruh dunia dalam mengklaim wilayah daratan dan lautan yang telah mereka diami sejak lama sebelum kedatangan para penjajah. Salah satu kasus yang dapat menjadi rujukan adalah Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Anglo-Norwegian Fisheries pada tahun 1951. Dalam memutus perkara tersebut, Mahkamah Internasional mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan nilai penting yang dibuktikan dengan kebiasaan jangka panjang nelayan tradisional Norwegia yang melakukan aktivitas perikanan di wilayah perairan perbatasan antara Inggris dan Norwegia. Lebih lengkap lihat Malcolm N. Shaw, 2013, Hukum Internasional, Penerbit Nusa Media Bandung, Bandung (diterjemahkan dari M.N. Shaw, 2008, International Law, Cambridge Universty Press) hlm. 551-552. Hasjim Djalal, 1995, Indonesia and the Law of the Sea, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, hlm. 17.
4 hanya diberikan kepada pihak atau negara yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan secara turun menurun, dalam kurun waktu yang lama di suatu perairan tertentu. Maka dapat dikatakan bahwa secara umum, terminologi fishing rights diartikan sebagai hak seseorang atau kelompok untuk mengklaim memiliki akses atau menangkap ikan di wilayah tertentu. 12 Dalam hal ini, traditional fishing rights didefinisikan sebagai hak menangkap ikan yang diberikan kepada kelompok nelayan tradisional suatu negara yang telah terbiasa menangkap ikan di suatu area tertentu dalam waktu yang lama dan dilakukan secara turun menurun. Hak ini wajib dilindungi oleh semua Negara Pantai (coastal states) dan tidak terbatas pada kewajiban dari Negara Kepulauan sebagaimana disebutkan dalam UNCLOS 1982. Sayangnya, sebagai salah satu negara yang berperan besar dalam membuat perubahan dalam tata kelautan dunia, banyak pihak yang beranggapan perlindungan Pemerintah Indonesia terhadap nelayan tradisional justru kurang optimal dan hanya bersifat parsial 13 sebab tidak melihat permasalahan nelayan secara keseluruhan dari hulu (penangkapan ikan) ke hilir (pengolahan dan pemasaran). Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 14 secara tegas menyebutkan perlunya 12 13 14 Philip A. Neher, dkk, 1989, Rights Based Fishing, Series E. Applied Sciences Vol. 169, Kluwer Academic Publishers, hlm. 5 Lucky Adrianto, dkk, 2011, Nelayan Tradisional di Wilayah Perbatasan Indonesia-Australia: Antara Kepentingan Ekonomi dan Sosial Budaya, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor, hlm. 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433).
5 mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Namun, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 15 (selanjutnya disebut UU Perikanan) tidak memberikan kepastian terkait identitas nelayan tradisional atau adat serta hak-hak seperti apa yang dimiliki oleh nelayan tradisional. Minimnya perlindungan terhadap nelayan tradisional membuat mereka kerap dibatasi dalam mengakses dan memiliki area atau perairan tempat mereka menangkap ikan. Hal ini menjadi penyebab sering terjadinya konflik antara nelayan yang memiliki tradisi-tradisi serta kepercayaan tertentu dalam mengelola sumber daya ikan dengan pihak luar yang merasa telah mendapat legitimasi untuk menangkap ikan di perairan manapun. Konflik ini juga menjadi penyebab tingginya percepatan degradasi sumber daya ikan, khususnya di wilayah pesisir. Dengan meningkatnya angka populasi penduduk, migrasi penduduk serta meningkatnya ekspansi dari perikanan industri skala besar (industrial fishing), maka diperlukan pengakuan dan perlindungan kepada nelayan tradisional dalam menjamin keberlangsungan aktivitas perikanan mereka. Berdasarkan pemaparan diatas, Penulis merasa penting untuk mengkaji lebih lanjut penyebab terjadinya kerenggangan antara kewajiban pemenuhan 15 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073) tidak menggunakan istilah nelayan tradisional, namun mencantumkan Nelayan Kecil sebagai nelayan yang mendapat perlakuan khusus dari Pemerintah. Namun, penggolongan Nelayan Kecil hanya terbatas pada bobot kapal dan tidak mempertimbangkan karakter-karakter tradisional dari nelayan tradisional. Pembahasan terkait hal ini akan diulas dalam bab selanjutnya.
6 hak perikanan tradisional dalam implementasinya di Indonesia. Penulisan ini memiliki fokus utama pada nelayan tradisional yang mempraktikan tradisitradisi tradisional serta memiliki wilayah penangkapan ikan di perairan Indonesia, meskipun Penulis akan tetap sedikit membahas nelayan tradisional Indonesia yang melakukan penangkapan di wilayah perbatasan. Pengkajian terhadap hal tersebut akan dibahas dalam skripsi yang berjudul Perlindungan Negara Indonesia terhadap Nelayan Tradisional dalam Pemenuhan Hak Perikanan Tradisional berdasarkan Hukum Internasional. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kesesuaian antara ketentuan hukum internasional dengan hukum nasional Indonesia terkait perlindungan kepada nelayan tradisional? 2. Faktor-faktor apakah yang berkontribusi terhadap kesesuaian atau ketidaksesuaian antara hukum internasional dengan hukum nasional Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap nelayan tradisional? 3. Bagaimanakah rekomendasi kebijakan yang mengarusutamakan perlindungan terhadap hak nelayan tradisional di Indonesia?
7 C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai Penulis melalui penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan Subjektif Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Objektif a. Untuk mengkaji kesesuaian antara peraturan hukum internasional dengan hukum nasional Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional. b. Untuk mengkaji faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kesesuaian atau ketidakseusaian antara hukum internasional dengan hukum nasional Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap nelayan tradisional. c. Untuk mengkaji rekomendasi kebijakan yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak nelayan tradisional. D. KEASLIAN PENELITIAN Sepanjang penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis, belum ditemukan karya ilmiah yang mengangkat tema mengenai perlindungan terhadap nelayan tradisional dalam pemenuhan hak perikanan tradisional. Namun demikian Penulis mendapati beberapa karya ilmiah yang memiliki
8 kesamaan dengan tema yang Penulis angkat, akan tetapi terdapat perbedaan sudut pandang dalam pembahasan. Beberapa karya ilmiah tersebut antara lain adalah: 1. Dimas Prihadi. 2006. Skripsi. Tinjauan Yuridis Terhadap Peristiwa Penangkapan Nelayan Tradisional Indonesia Oleh Angkatan Laut Australia Di Perairan Pulau Pasir Menurut Konvensi Hukum Laut 1982. Penelitian ini memiliki fokus penelitian pada perlindungan nelayan tradisional Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah Perairan Pulau Pasir dalam perspektif UNCLOS 1982 dan kesepakatan perjanjian antara Indonesia dengan Australia. Persamaan dengan penelitian Penulis adalah kesamaan kajian terhadap penerapan perlindungan nelayan tradisional dalam pemenuhan hak perikanan tradisional. Adapun perbedaan dengan penelitian Penulis adalah Penulis tidak memfokuskan perlindungan nelayan tradisional yang melakukan aktivitas perikanan di wilayah perairan perbatasan antara Indonesia dan Australia, namun nelayan tradisional Indonesia yang menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. 2. Muhamad Azhar. 2011. Tesis. Prospek Pengakuan Hak Perikanan Tradisional Dalam Penetapan Batas Perairan Wilayah Laut Antara Indonesia dan Filipina. Penelitian ini memiliki fokus penelitian pada praktek negara dalam memberikan pengakuan hak perikanan tradisional dalam penetapan batas
9 wilayah laut antara dua negara, khususnya dalam penetapan batas wilayah laut antara Indonesia dengan Filipina. Persamaan dengan penelitian Penulis adalah kesamaan kajian terhadap praktek suatu negara dalam memberikan pengakuan hak perikanan tradisional dari nelayan tradisional. Adapun perbedaan dengan penelitian Penulis adalah Penulis tidak mengkaitkan pengakuan hak perikanan tradisional dengan penetapan batas wilayah laut antara dua negara. 3. Najmu Laila. 2012. Skripsi. Pengakuan Terhadap Hak Penangkapan Ikan Tradisional (Traditional Fishing Rights) Menurut Hukum Laut Internasional. Penelitian ini memiliki fokus penelitian pada praktek negara dalam memberikan pengakuan hak perikanan tradisional dalam perspektif UNCLOS 1982, khususnya nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan di wilayah perbatasan antara dua negara. Persamaan dengan penelitian Penulis adalah kesamaan kajian terhadap praktek suatu negara dan negara Indonesia dalam memberikan pengakuan hak perikanan tradisional. Adapun perbedaan dengan penelitian Penulis adalah Penulis tidak berfokus pada pelrindungan nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan di wilayah perbatasan antara dua negara, namun pada nelayan tradisional Indonesia yang menangkap ikan di perairan Indonesia. Selain itu Penulis juga akan membandingkan kesesuaian antara hukum
10 nasional Indonesia dengan UNCLOS 1982 serta instrumen hukum internasional lainnya. Berdasarkan uraian mengenai persamaan dan perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Penulis dengan beberapa penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki kekhususan sekaligus memenuhi keaslian (otentitas) penelitian. E. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai Hukum Laut Internasional yang terkait dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak perikanan tradisional dan nelayan tradisional Indonesia. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi postitif kepada berbagai stakeholder terkait penelitian Penulis, yakni Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan mekanisme mengenai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak perikanan tradisional oleh nelayan tradisional dalam upaya terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan, demi terciptanya
11 kedaulatan pangan nasional sebagai bagian dari proses pembangunan nasional. Nelayan tradisional, sebagai entitas yang telah memberikan kontribusi besar bagi penyediaan lapangan kerja, pendapatan negara dan ketahanan pangan, dalam mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kesejahteraan sebagai upaya pemenuhan hak-hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya. Masyarakat pada umumnya untuk berperan serta dalam pembentukan peraturan serta pengawasan pelaksanaan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan tetap menjamin hak masyarakat yang berkepentingan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.