Evaluasi Atas Keberhasilan Pelaksanaan Kawin... Afghan Arif Arandi

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

COMPARISON REPRODUCTION PERFORMANCE OF IMPORTED HOLSTEIN

Hubungan Antara Umur dan Bobot Badan...Firdha Cryptana Morga

Moch. Makin, dan Dwi Suharwanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

Evaluasi Penampilan Reproduksi Sapi Perah (Studi Kasus Di Perusahaan Peternakan Sapi Perah KUD Sinarjaya)

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

PROFIL REPRODUKSI SAP1 FRIES HOLLAND DI PT TAURUS DAIRY FARM

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini menggunakan catatan reproduksi sapi FH impor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

POTENSI KERUGIAN FINANSIAL AKIBAT ABNORMALITAS SELANG BERANAK PADA USAHA TERNAK SAPI PERAH

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN

EVALUASI PERFORMA PRODUKSI SUSU SAPI PERAH FRIESHOLLAND (FH) KETURUNAN SAPI IMPOR (Studi Kasus di PT. UPBS, Pangalengan, Jawa Barat)

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

Evaluasi Penerapan Aspek Teknis Peternakan pada Usaha Peternakan Sapi Perah Sistem Individu dan Kelompok di Rejang Lebong

PERBANDINGAN PERFORMA PRODUKSI SAPI PERAH FRIES HOLLAND IMPOR DENGAN KETURUNANNYA (Studi Kasus di PT. UPBS Pangalengan)

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

EFESIENSI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DALAM MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

WILAYAH KERJA KRADENAN III, KECAMATAN KRADENAN, KABUPATEN GROBOGAN, JAWA TENGAH SKRIPSI

EVALUASI REPRODUKSI SAPI PERAH PFH PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD TANI MAKMUR KECAMATAN SENDURO KABUPATEN LUMAJANG

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

ABSTRAK. Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEBUNTINGAN (CONCEPTION RATE) PADA SAPI POTONG SETELAH DILAKUKAN SINKRONISASI ESTRUS DI KABUPATEN PRINGSEWU

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

REPRODUCTION PERFORMANCE OF LIMOUSIN CROSSBREED IN TANGGUNGGUNUNG DISTRICT TULUNGAGUNG REGENCY

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

DAMPAK PELAKSANAAN INSEMINASI BUATAN (IB) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH DI DAERAH JAWA BARAT

Kinerja Reproduksi Induk Sapi Potong pada Usaha Peternakan Rakyat di Kecamatan Mojogedang

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z)

PREFERENSI DAN TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK TENTANG TEKNOLOGI IB DI KABUPATEN BARRU. Syahdar Baba 1 dan M. Risal 2 ABSTRAK

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

Cahyo Andi Yulyanto, Trinil Susilawati dan M. Nur Ihsan. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang Jawa Timur

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN SIMMENTAL DI KABUPATEN TULUNGAGUNG JAWA TIMUR

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN

ANALISIS PEMBIAYAAN PENGADAAN CALON INDUK SAPI PERAH ANTAR WILAYAH SENTRA PENGEMBANGAN SAPI PERAH

PENDAHULUAN. (KPBS) Pangalengan. Jumlah anggota koperasi per januari 2015 sebanyak 3.420

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

PERFORMANS REPRODUKSI INDUK SAPI LOKAL PERANAKAN ONGOLE YANG DIKAWINKAN DENGAN TEKNIK INSEMINASI BUATAN DI KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI PERAH EKS-IMPOR DAN LOKAL PADA TIGA PERIODE KELAHIRAN DI SP 2 T, KUTT SUKA MAKMUR GRATI, PASURUAN

ABSTRAK ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM

Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan II Membangun Kewirausahaan Dalam Pengelolaan Kawasan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PENDAHULUAN. dari sapi betina yang telah melahirkan. Produksi susu merupakan salah satu aspek

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

KAJIAN PERFORMANS REPRODUKSI SAPI ACEH SEBAGAI INFORMASI DASAR DALAM PELESTARIAN PLASMA NUTFAH GENETIK TERNAK LOKAL

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

INDEK FERTILITAS SAPI PO DAN PERSILANGANNYA DENGAN LIMOUSIN

PENDUGAAN NILAI RIPITABILITAS DAN DAYA PRODUKSI SUSU 305 HARI SAPI PERAH FRIES HOLLAND DI PT. ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (UPBS)

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN KLABANG KABUPATEN BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR TUGAS AKHIR.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada 2 April 2014 sampai 5 Mei 2014, di Kecamatan Jati

JIMVET E-ISSN : Juni 2018, 2(3):

HUBUNGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN DENGAN SERVICE PER CONCEPTION DI WILAYAH KPSBU LEMBANG SKRIPSI EVI PUJIASTUTI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

PENGARUH VAKSINASI BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DENGAN BERBAGAI PARITAS TERHADAP EFISIENSI REPRODUKSI

PENINGKATAN ADOPSI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN LALABATA,KABUPATEN SOPPENG

EVALUASI KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN BERDASARKAN PERHITUNGAN NON RETURN RATE, CONCEPTION RATE, SERVICE PER CONCEPTION, CALVING INTERVAL

PERFORMAN REPRODUKSI KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN MALANG.

Transkripsi:

EVALUASI ATAS KEBERHASILAN PELAKSANAAN KAWIN PERTAMA SETELAH BERANAK PADA SAPI PERAH DI KPBS PANGALENGAN EVALUATION ON THE SUCCESS OF THE FIRST MATE AFTER CALVING IN DAIRY CATTLE IN KPBS PANGALENGAN Afghan Arif Arandi*, Hermawan**, Didin S. Tasripin** Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor 45363 *Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2016 **Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran e-mail : afghan.arandi@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen pencatatan reproduksi dan tingkat keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan. Metode penelitian yang digunakan adalah sensus, data dianalisis secara deskriptif. Data yang digunakan adalah data reproduksi dari tahun 2010 sampai tahun 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pencatatan di KPBS Pangalengan masih kurang baik karena data reproduksi yang valid hanya sebesar 69,35%. Tingkat keberhasilan pelaksanaan kawin pertama tertinggi di KPBS Pangalengan dicapai pada hari ke 161-180 setelah beranak dengan persentase sebesar 68,48%. Keberhasilan pelaksanaan kawin pertama dilihat dari pejantan yang digunakan berkisar antara 47%-87%. Persentase ratarata keberhasilan kawin pertama petugas inseminasi di KPBS Pangalengan adalah sebesar 64,35%. Selama enam tahun terakhir, tahun 2013 memiliki persentase keberhasilan kawin pertama yang paling tinggi yaitu sebesar 69,15%. Kata Kunci: kawin pertama, manajemen pencatatan reproduksi, pejantan, petugas inseminasi, persentase keberhasilan ABSTRACT This research have the purposes to find out the reproductive recording management and the succes rate of the first mate after calving in KPBS Pangalengan. The research method used census and the result was analyzed descriptively. The result of research showed that KPBS Pangalengan need to improve their reproductive recording management because the valid data only about 69.35%. Most succesful rate of the first mate if we look from the interval between the first mate and calving is on the day 161-180 with the percentage 68.48%. Succesful rate of the bull is about 47%-87%. The average succesful rate of the inseminator in KPBS Pangalengan is 64.35%. On the 2013, KPBS Pangalengan has the highest succesful first mate rate with 69.15%. 1

Keywords: first mate, reproductive recording management, bull, inseminator, succesful rate PENDAHULUAN Sistem tata laksana reproduksi yang tepat memegang peranan penting dalam menentukan tingkat keberhasilan produksi suatu usaha peternakan sapi perah, karena reproduksi merupakan faktor utama atas terjadinya laktasi pada ternak. Proses pembentukan air susu dalam tubuh ternak akan terjadi dengan adanya serangkaian proses reproduksi ternak, mulai dari kawin, bunting dan partus. Oleh karena itu manajemen reproduksi menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam usaha peternakan sapi perah. Manajemen reproduksi pada sapi perah mempunyai tingkat pencapaian performa sifat-sifat reproduksi, diantaranya masa banyaknya kawin per kebuntingan (S/C), masa kosong (days open) dan selang beranak (calving interval). Perkawinan pada usaha peternakan sapi perah di Indonesia sebagian besar dilakukan secara tidak alami, yakni menggunakan teknik inseminasi buatan. Inseminasi buatan dilakukan untuk menghilangkan biaya pemeliharaan pejantan, sehingga peternak dapat fokus pada usaha pemeliharaan sapi perah betina yang menghasilkan susu. Keuntungan lain dari inseminasi buatan adalah pelaksanaan kawin lebih dapat dikontrol oleh peternak daripada kawin alam yang tidak dapat dikontrol oleh peternak. Keberhasilan inseminasi buatan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pejantan atau semen yang digunakan, inseminator, ketepatan deteksi berahi betina yang menerima semen, dan waktu pelaksanaan perkawinan. Catatan reproduksi di peternak atau koperasi dapat menjadi bahan evaluasi untuk menilai tingkat keberhasilan inseminasi buatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan hewan yang melakukan inseminasi buatan. Selain menilai kinerja inseminator, dengan catatan reproduksi juga peternak dapat menilai kualitas semen yang digunakan dan selang waktu kawin pertama setelah beranak yang memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi. Kawin pertama setelah beranak memegang peranan penting dalam manajemen reproduksi karena semakin jauh selang waktu kawin pertama dengan beranak, maka akan semakin memperlebar days open dan calving interval. Semakin besar nilai days open dan calving interval maka dapat mempengaruhi efektivitas dan produktivitas produksi sapi perah. Selang waktu kawin pertama dengan beranak juga berpengaruh terhadap lama laktasi sapi perah Salah satu daerah penghasil susu terbesar di Jawa Barat adalah Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) di Kecamatan Pangalengan yang berada di Kabupaten Bandung. Populasi sapi perah di KPBS Pangalengan 12.513 ekor dengan produksi susu sebanyak 81.240 kg per hari. Kondisi cuaca yang sesuai untuk pemeliharaan sapi perah adalah salah satu alasan Kecamatan Pangalengan memiliki populasi sapi perah yang cukup banyak sehingga jumlah susu yang 2

dihasilkan dapat dikatakan sebagai salah satu yang terbanyak di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis melakukan penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan. Penelitian dilakukan di KPBS Pangalengan karena memiliki data reproduksi yang cukup lengkap dan KPBS Pangalengan merupakan salah satu koperasi peternakan terbesar yang berada di daerah Jawa Barat sehingga penelitian yang dilakukan dapat berpengaruh terhadap banyak peternak di daerah Jawa Barat pada umumnya dan khususnya peternak anggota KPBS Pangalengan. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 1. Bahan Penelitian Bahan penelitian dalam penelitian ini adalah data reproduksi ternak sapi perah yang telah beranak dan telah diinseminasi kembali oleh inseminator dan telah dilakukan pemeriksaan kebuntingan oleh inseminator di KPBS Pangalengan. 2. Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah studi kasus di KPBS Pangalengan menggunakan metode sensus dan akan dianalisis secara deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh catatan reproduksi sapi perah yang telah diinseminasi kembali setelah beranak kemudian dilakukan validasi data yang dapat dipergunakan dalam penelitian. 2.1 Analisis Data Rumus yang digunakan : % Keberhasilan kawin pertama = 100% a. Persentase keberhasilan kawin pertama akan dikelompokkan dan dihitung berdasarkan selang kawin pertama dengan tanggal beranak, pejantan yang digunakan dan inseminator untuk menganalisis tingkat keberhasilan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan. b. Persentase keberhasilan kawin pertama dihitung berdasarkan tahun untuk menganalisis perkembangan keberhasilan kawin pertama setiap tahun dari tahun 2010 sampai tahun 2015 di KPBS Pangalengan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Manajemen Pencatatan Reproduksi Pencatatan reproduksi sapi perah di KPBS Pangalengan dilakukan dengan cara komputerisasi. Peternak yang membutuhkan petugas untuk melakukan inseminasi akan menghubungi langsung petugas yang bersangkutan melalui short message service (sms) atau dengan mengisi kartu laporan birahi yang ada di komda. Petugas pelaksana inseminasi yang datang ke kandang peternak akan melakukan pengecekan birahi pada 3

Di dalam kartu laporan sapi birahi hanya mencantumkan nama peternak yang memiliki sapi yang sedang birahi, lokasi peternakan, kelompok, dan komda. Tidak tercatatnya ID sapi yang birahi dan waktu mulai birahi sapi dapat menyebabkan keterlambatan waktu pelaksanaan kawin yang dilakukan oleh petugas inseminasi sehingga berpengaruh terhadap persentase keberhasilan kawin yang akan dilakukan. Menurut Tophianong dkk. (2014), panduan waktu IB pada tingkat peternak apabila gejala estrus timbul pada pagi hari maka IB dilakukan pada siang atau sore hari pada hari yang sama, jika gejala estrus timbul pada siang hari maka IB dilakukan pada sore hari atau pagi hari pada hari berikutnya. Berdasarkan hasil penelitian, data reproduksi yang tercatat di KPBS Pangalengan masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya terdapat data sapi perah yang dikawinkan sebelum sapinya beranak, data sapi perah yang dikawinkan setelah beranak kurang dari 36 hari, dan data kawin pertama setelah beranak sapi perah yang tercatat dua kali pada periode laktasi yang sama. Kekeliruan pada data yang tercatat di KPBS Pangalengan dapat terjadi karena kesalahan pada saat proses input data ke dalam komputer yang dilakukan oleh petugas koperasi. Tabel 1. Hasil rekapitulasi validasi data reproduksi kawin pertama setelah beranak periode 2010-2015 (jumlah data = 11.686) Masalah Jumlah Persentase data Kawin pertama < 36 hari 3.724 31,86 Kawin pertama > 1 kali Data valid 218 8.105 1,86 69,35 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa data pencatatan reproduksi di KPBS Pangalengan yang bermasalah atau tidak valid sebagian besar karena waktu pelaksanaan kawin pertama yang kurang dari 36 hari. Contohnya sapi dengan ID B 5519-KPBS milik Bapak Ohim yang beranak pada tanggal 3 Februari 2014 tetapi sudah dikawinkan kembali pada tanggal 14 Februari 2014 atau hanya berjarak 11 hari dari waktu beranak. Data tersebut dinyatakan tidak valid karena waktu pelaksanaan kawin pertama kurang dari 36 hari setelah beranak. Persentase data yang bermasalah karena waktu pelaksanaan kawin kurang dari 36 hari setelah beranak yaitu sebesar 31,86%. Menurut Toelihere (1993) induk membutuhkan waktu untuk involusi uterus setelah kelahiran sehingga induk baru dapat dikawinkan kembali setelah 36 hari pasca kelahiran. Kawin pertama yang dilakukan kurang dari 36 hari setelah beranak dapat terjadi akibat kelalaian petugas koperasi pada saat memasukkan data dari bukti pelayanan ke dalam komputer. Petugas dapat keliru memasukkan data tanggal kawin pertama setelah beranak karena terdapat perbedaan format penanggalan untuk tanggal beranak dan tanggal kawin pertama setelah beranak. 4

Data kawin pertama yang dilakukan lebih dari satu kali juga tidak dapat digunakan karena tidak dapat diketahui pelaksanaan kawin yang mana yang benar. Contohnya sapi dengan ID C 5839-KPBS milik Bapak Gugun yang tercatat dikawinkan pada tanggal 2 Juni 2010 dengan petugas pelaksana Bapak Ikhsan Santika, namun sapi tersebut memiliki catatan kawin lain pada tanggal 6 Juni 2010 dengan petugas pelaksana yang berbeda yaitu Bapak Witana Sopian. Maka kedua data tersebut dinyatakan tidak valid. Dalam hal ini, persentase data yang bermasalah tidak terlalu besar yaitu hanya sebesar 1,86%. Terjadinya data kawin pertama yang dilakukan lebih dari satu kali juga dapat disebabkan oleh kelalaian petugas koperasi yang memasukkan data ke komputer karena kesalahan pencatatan ID sapi atau periode laktasi. Berdasarkan keseluruhan data reproduksi yang tercatat di KPBS Pangalengan dari tahun 2010-2015, data yang dapat dikatakan valid hanya sebesar 69,35%. Hal ini menunjukkan pencatatan reproduksi di KPBS Pangalengan masih memerlukan perbaikan sehingga pelaksanaan reproduksi untuk sapi perah milik peternak anggota KPBS Pangalengan dapat lebih optimal. Dengan memperbaiki manajemen pencatatan di tingkat peternak dan koperasi, kekeliruan dalam pencatatan akan berkurang dan data reproduksi yang dimiliki koperasi dapat lebih akurat. 2 Keberhasilan Kawin Pertama Keberhasilan kawin pertama setelah beranak akan dilihat berdasarkan selang kawin pertama setelah beranak, periode laktasi, pejantan yang digunakan dan petugas yang melakukan inseminasi. Persentase keberhasilan kawin pertama didapatkan dari jumlah kawin yang berhasil atau jumlah sapi yang bunting dari total keseluruhan kawin yang dilakukan. 2.1 Keberhasilan Kawin Pertama berdasarkan Waktu Pelaksanaan Kawin Pertama Setelah Beranak Selang kawin pertama setelah beranak dapat menentukan tingkat keberhasilan kawin pertama yang akan dilakukan oleh peternak inseminator. Waktu pelaksanaan kawin yang tepat akan memperbesar kemungkinan keberhasilan kawin yang dilakukan. Selang kawin pertama setelah beranak yang memiliki persentase keberhasilan paling besar di KPBS Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase keberhasilan kawin pertama berdasarkan waktu pelaksanaan kawin pertama setelah beranak Waktu Pelaksanaan IB Jumlah sapi yang Sapi bunting hasil IB Keberhasilan. hari < 41 41-61 di IB 200 1.176 113 710. % 56,50 60,37 5

Waktu Pelaksanaan IB Jumlah sapi yang di IB Sapi bunting hasil IB Keberhasilan 61-80 1.464 917 62,63 81-100 1.356 876 64,60 101-120 121-140 141-160 161-180 >180 1.164 851 656 422 816 789 544 441 289 544 67,78 63,92 67,22 68,48 66,66 Total 8.105 5.223 64,44 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan jika dilihat berdasarkan selang kawin pertama dengan beranak yang paling tinggi adalah pada hari ke 161 hingga hari ke 180. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Barret dan Larkin (1974) yang mengatakan masa kosong yang optimal adalah 85 hari. Namun pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan besar pada persentase keberhasilan di setiap selang kawin setelah beranak di KPBS Pangalengan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan tidak berpengaruh banyak pada persentase keberhasilan, namun perlu diperhatikan juga bahwa banyaknya kawin pertama yang dilakukan setelah ternak beranak lebih dari 100 hari menunjukkan bahwa manajemen kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan masih belum optimal. Makin (2012) menyatakan bahwa rataan kawin pertama setelah beranak pada sapi perah FH yang dilakukan di daerah Jawa Barat adalah sebesar 86,45 ±20,64 hari dengan kisaran antara 42-150 hari. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi peternakan sapi perah di KPBS Pangalengan yang memiliki rataan kawin pertama setelah beranak pada kisaran 102,6 hari. Besarnya nilai rataan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan disebabkan oleh banyaknya kawin pertama yang dilakukan lebih dari 100 hari setelah beranak. Hal ini dapat menyebabkan kerugian untuk peternak baik dari segi waktu dan juga dari segi ekonomi karena akan memperpanjang masa laktasi dan memperlebar calving interval. Menurut Setiawan dkk., (2014) beberapa peternak berpendapat bahwa menginseminasi pada bulan kedua atau ketiga setelah melahirkan, dimana produksi susu tinggi akan menurunkan produksi susu, sehingga peternak memilih untuk menunda inseminasi guna mempertahankan produksi susu. Hal ini juga terjadi di KPBS Pangalengan sehingga banyak pelaksanaan kawin pertama setelah beranak yang dilakukan lebih dari 100 hari. Rukayah (2012) berpendapat bahwa semakin panjang selang beranak mengakibatkan pendapatan aktual semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya biaya input yang dikeluarkan mengingat masa kosong ikut bertambah. Setiap penambahan masa kosong, ada penambahan biaya terutama biaya layanan inseminasi buatan dan keswan. 2.2 Keberhasilan Kawin Pertama berdasarkan Periode Laktasi 6

Selang kawin pertama setelah beranak dapat dikelompokkan berdasarkan periode laktasi untuk mengetahui perbedaan pelaksanaan kawin pertama yang optimal pada setiap periode laktasi. Persentase keberhasilan pelaksanaan kawin pertama berdasarkan selang kawin pertama dengan beranak pada setiap periode laktasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tingkat keberhasilan kawin pertama berdasarkan periode laktasi Periode Laktasi 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah sapi yang di IB 1.402 2.589 1.612 997 591 296 201 131 Keberhasilan. % 62,53 64,11 73,82 64,69 65,31 61,48 67,16 71,42 Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan jika dilihat berdasarkan selang kawin pertama setelah beranak pada setiap periode laktasi memiliki nilai yang berbeda. Periode laktasi 2 dan 3 adalah puncak produksi pada ternak sapi perah sehingga seharusnya keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setelah beranak pada laktasi 2 dan 3 lebih tinggi daripada periode yang lain. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa periode laktasi 3 memiliki persentase keberhasilan yang paling tinggi. Menurut Norman et al. (2009), kawin pertama setelah beranak pada sapi FH adalah 78-92 hari dan sapi berusia lebih tua mempunyai jarak waktu kawin pertama setelah beranak lebih panjang daripada sapi berusia lebih muda. Berdasarkan Tabel 3 dapat dinyatakan bahwa persentase keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan sesuai dengan pernyataan Norman (2009) karena semakin tua induk maka besarnya persentase keberhasilan pelaksanaan kawin pertama berada pada selang yang lebih jauh. 2.3 Keberhasilan Kawin Pertama berdasarkan Pejantan yang Digunakan Pejantan yang digunakan memiliki peran penting dalam keberhasilan pelaksanaan kawin pertama yang dilakukan di KPBS Pangalengan. Persentase keberhasilan masing-masing pejantan yang digunakan di KPBS Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase keberhasilan kawin pertama berdasarkan pejantan yang digunakan 7

No Pejantan Jumlah sapi yang di IB Sapi bunting hasil IB Keberhasilan 30687 30686 30781 31084 30780 308107 30775 307105 30698 307104 30695 309109 30693 30664 307101 10499 308103 30697 31087 312110 97HO7826 30667 30691 31089 30694 2.338 1.818 1.393 838 732 333 181 158 97 39 34 24 15 14 14 13 12 8 8 8 8 6 6 5 3 1.625 1.214 857 516 401 211 121 90 46 22 23 17 10 9 10 10 9 6 7 5 6 1 2 3 2. % 69,50 66,67 61,52 61,57 54,78 63,36 66,85 56,96 47,42 56,41 67,64 70,83 66,67 64,28 71,42 76,92 75,00 75,00 87,50 62,50 75,00 16,66 33,33 60,00 66,67 Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan masing-masing pejantan yang digunakan di KPBS Pangalengan berkisar antara 47%-87%. KPBS Pangalengan memiliki kebijakan untuk menggunakan pejantan yang sama dalam satu tahun pelaksanaan. Jika peternak menggunakan pejantan yang disediakan oleh KPBS Pangalengan tersebut maka peternak tidak perlu membayar biaya inseminasi yang dilakukan karena biaya tersebut sudah termasuk dalam dana kesehatan ternak yang disediakan oleh koperasi. Pejantan yang digunakan dalam satu tahun tersebut memiliki persentase keberhasilan yang cukup baik yaitu berkisar antara 55%-70%. Peternak dapat menggunakan pejantan lain selain yang disediakan oleh KPBS Pangalengan namun ketersediaan semen pejantan lain tersebut lebih sedikit dan peternak harus membayar biaya straw tersebut sebesar Rp 8.000,00 karena biaya tersebut tidak termasuk dalam dana kesehatan ternak yang disediakan oleh koperasi. Pejantan yang digunakan oleh beberapa peternak di KPBS Pangalengan memiliki persentase keberhasilan antara 70%-87% atau dapat dikatakan lebih baik daripada persentase keberhasilan pejantan yang disediakan oleh koperasi. Tingginya persentase keberhasilan tersebut sesuai dengan biaya yang harus 8

dikeluarkan oleh peternak sehingga peternak dapat mempersingkat masa kosong ternak yang dimilikinya. 2.4 Keberhasilan Kawin Pertama berdasarkan Petugas Inseminasi Petugas inseminasi memiliki pengaruh pada keberhasilan pelaksanaan kawin pertama yang dilakukan di KPBS Pangalengan. Keterampilan dan pengalaman petugas inseminasi menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kawin pertama. Persentase keberhasilan masing-masing petugas inseminasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase keberhasilan kawin pertama berdasarkan petugas inseminasi Petugas Jumlah sapi Sapi bunting Keberhasilan yang di IB hasil IB Dadang Permana Witana Sopian Ajang Suwandi Ikhsan Santika Sopian Wijaya Supari Yayat Ruchiat Tedi Mulyadi Hadi Kusmayadi Asep Rohmat 662 563 546 510 494 461 451 408 399 392 430 302 374 327 349 303 316 261 292 273. % 64,95 53,64 68,49 64,11 70,64 65,72 70,06 63,97 73,18 69,64 Pendi Sugandi 375 250 66,66 Ayep Waslimin 356 207 58,14 Rodiana Toto Arianto Asep Supriatna Dida Rosida Uman Suherman Yayan T Andang Suryana Budi Susanto Asep Rukman Dolih Suryana Nana 337 329 302 293 273 236 209 203 165 107 29 205 175 211 169 168 151 135 135 108 68 14 60,83 53,19 69,86 57,67 61,53 63,98 64,59 66,50 65,45 63,55 48,27 Rata-rata 289 186 64,35 Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan jika dilihat berdasarkan petugas inseminasi memiliki rata-rata keberhasilan 64,35%. Keberhasilan petugas inseminasi dipengaruhi oleh keterampilan, pengalaman, dan juga ketepatan waktu dalam melakukan inseminasi (Hastuti, 2008). Hal ini dibuktikan dengan tingginya 9

persentase keberhasilan petugas yang melakukan inseminasi lebih banyak jika dibandingkan dengan petugas yang melakukan inseminasi lebih sedikit. Keberhasilan pelaksanaan inseminasi oleh petugas juga dapat dipengaruhi oleh waktu pelaksanaan kawin yang tepat. Jika pelaksanaan kawin yang dilakukan oleh petugas inseminasi tidak pada puncak birahi maka persentase keberhasilan kawin tersebut akan mengecil. Peran peternak dalam melaporkan sapi yang sedang birahi juga berpengaruh terhadap waktu pelaksanaan kawin yang dilakukan oleh petugas. Jika peternak tidak segera melaporkan pada saat tenak birahi maka petugas inseminasi akan terlambat datang dan melewatkan puncak birahi sehingga pelaksanaan kawin akan terlambat dilakukan. Laporan dari peternak melalui kartu laporan birahi di KPBS Pangalengan kurang efektif karena tidak terdapat waktu birahi sapi sehingga dapat terjadi keterlambatan pelaksanaan inseminasi yang dilakukan oleh petugas pelaksana inseminasi yang memperbesar kemungkinan kegagalan inseminasi. Hal yang sama juga berlaku jika peternak melaporkan melalui short message service (SMS) karena peternak hanya mencamtumkan informasi bahwa ternaknya sedang birahi dan tidak menyebutkan perkiraan mulai birahinya. Untuk mengatasi masalah ini sebaiknya KPBS Pangalengan memberikan penyuluhan kepada peternak agar memberikan informasi lebih lengkap terutama mengenai waktu mulai birahi sapinya. 2.5 Perkembangan Keberhasilan Kawin Pertama Keberhasilan pelaksanaan kawin pertama sebaiknya menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Kenaikan persentase keberhasilan pelaksanaan kawin pertama menunjukkan bahwa ada perbaikan manajemen reproduksi yang dilakukan baik oleh peternak dan juga KPBS Pangalengan. Persentase keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setiap tahunnya pada periode 2010-2015 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase keberhasilan kawin pertama peroide 2010-2015 berdasarkan tahun pelaksanaan Tahun Jumlah sapi Sapi bunting Keberhasilan yang di IB hasil IB 2010 923 529. % 57,31 2011 1.230 752 61,13 2012 1.389 881 63,42 2013 2014 2015 1.738 1.861 964 1.202 1.276 583 69,15 68,56 60,53 Total 8.105 5.223 64,44 10

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 terjadi peningkatan persentase keberhasilan kawin pertama. Tahun 2013 memiliki persentase keberhasilan kawin pertama yang paling tinggi yaitu sebesar 69,15%. Pada tahun 2014 terjadi penurunan persentasi keberhasilan kawin pertama menjadi 68,56% namun penurunan ini tidak signifikan dari tahun sebelumnya sehingga hal ini tidak menjadi masalah. Persentase keberhasilan kawin pertama pada tahun 2015 cukup rendah yaitu sebesar 60,53%. Hal ini dapat terjadi karena banyak ternak yang telah dikawinkan pada tahun 2015 tetapi belum dilakukan pemeriksaan kebuntingan sehingga persentase keberhasilan di tahun ini menurun jauh dari tahun sebelumnya. Perlu diperhatikan juga bahwa belum dilakukannya pemeriksaan kebuntingan hingga penelitian ini dilakukan menunjukkan masih perlu perbaikan manajemen reproduksi di KPBS Pangalengan pasca dilakukannya perkawinan. Rata-rata keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan selama 6 tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 adalah sebesar 64,44%. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan masih perlu ditingkatkan agar siklus reproduksi sapi perah dapat berjalan dengan lebih baik dan produksi susu sapi perah anggota KPBS Pangalengan optimal. KESIMPULAN 1. Manajemen pencatatan reproduksi di KPBS Pangalengan masih perlu ditingkatkan, karena masih terdapat banyak kesalahan dalam pencatatan sehingga data reproduksi yang dimiliki koperasi kurang akurat, dengan tingkat validasi data hasil pencatatan kawin pertama setelah beranak sebesar 69,35%, 2. Tingkat keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan berdasarkan waktu pelaksanaan perkawinan hasil tertinggi dicapai pada hari ke 161-180 hari (68,48%), berdasarkan pejantan yang digunakan berkisar antara 47%-87%, dan berdasarkan petugas pelaksana inseminasi di KPBS Pangalengan memiliki persentase keberhasilan ratarata sebesar 64,35%. 3. Tingkat keberhasilan kawin pertama setelah beranak dari tahun 2010 sampai tahun 2015 berkisar antara 57%-69%, dan prestasi terbaik didapat pada tahun 2013 (69,15%). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada pembimbing utama Ir. Hermawan, MS. dan pembimbing anggota Dr. Ir. Didin S. Tasripin, M.Si yang telah memberikan banyak masukan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta Ayahanda Aun Gunawan, S.E dan Ibunda Yulis Artati, yang selalu memberikan doa, dukungan, perhatian, dan kasih sayang untuk penulis. 11

DAFTAR PUSTAKA Barret, M. A and P. J. Larkin. 1974. Milk and Beef Production in the Tropics. Oxford University Press. Oxford. Hastuti, Dewi. 2008. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Potong Ditinjau dari Angka Konsepsi dan Service per Conception. Mediagro. Semarang. Hastuti, Dewi., Sudi Nurtini, dan Rini Widiati 2008. Kajian Sosial Ekonomi Pelaksanaan Inseminasi Buatan Sapi Potong di Kabupaten Kebumen. Mediagro. Semarang. Makin, Moch. dan Dwi Suharwanto. 2012. Performa Sifat-Sifat Produksi Susu dan Reproduksi Sapi Perah Fries Holland di Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ternak Vol. 12 No. 2. Sumedang. Rukayah, Dewi Siti. 2012. Potensi Kerugian Finansial Akibat Abnormalitas Selang Beranak pada Usaha Ternak Sapi Perah. Fakultas Peternakan Unversitas Padjadjaran. Sumedang. Setiawan, Rangga., Kundrat Hidajat., dan Dwi Cipto Budinuryanto. 2014. Studi Asosiasi antara Masa Kosong (Days Open) Terhadap Produksi Susu dan Kerugian Ekonomi pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Garut. Jurnal Ilmu Ternak Vol. 1 No. 4. Sumedang. Toelihere, MR. 1993. Ilmu Kebidanan dan Kemajiran Pada Ternak Sapi dan Kerbau. Penerbit Angkasa. Bandung. Tophianong, Tarsisius Considus., Agung B., dan Arif Maha N. 2014. Tinjauan Hasil Inseminasi Buatan Berdasarkan Anestrus Pasca Inseminasi Pada Peternakan Rakyat Sapi Bali di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur. Jurnal Sain Veteriner. Kupang. 12