BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Energi dan Protein 1. Kebutuhan Energi Energi digunakan untuk pertumbuhan, sebagian kecil lain digunakan untuk aktivitas, tetapi sebagian besar dimanfaatkan untuk metabolisme dasar. Kebutuhan energi untuk bayi atau anak relatif besar bila dibandingkan dengan orang dewasa, karena pertumbuhannya yang pesat. Kebutuhan energi sehari anak pada tahun pertama kurang lebih 100-120 kkal/kg/bb (Utama,1987). Energi yang digunakan untuk melakukan pekerjaan dilepas dalam tubuh pada proses pembakaran zat-zat makanan, jika tidak melakukan kerja luar, energi yang dilepaskan dari makanan seluruhnya diubah menjadi panas yang akhirnya akan dikeluarkan dari tubuh, dengan mengukur jumlah energi yang dikeluarkan itu dapat diketahui berapa banyak makanan yang diperlukan untuk menghasilkannya (Purwosoedarmo,1985). Kalori merupakan satuan standar yang digunakan untuk mengukur nilai energi yang dikandung dalam suatu bahan makanan, kalori ini merupakan satuan yang setara dengan panas. Nilai energi yang dihasilkan oleh tubuh pada proses metabolisme ternyata lebih rendah dari pada nilai energi yang dihasilkan oleh makanan, hal ini terjadi karena proses oksidasi berjalan sempurna dan semua karbohidrat, lemak dan asam amino akan diubah menjadi gas karbohidrat, nitrogen oksida dan air. Total kebutuhan energi pada individu dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu metabolisme basal, aktivitas fisik dan efek dinamik khusus pada makanan (Nursanyoto, 1992). 12
Besar kecilnya konsumsi kalori atau energi selama masa pertumbuhan awal, yaitu sewaktu sel-sel berbagai alat tubuh yang sedang giat-giatnya melakukan pembelahan dapat mempengaruhi bahkan mengubah laju pembelahan sel tersebut, akibatnya suatu alat tubuh dapat mempunyai sel-sel yang lebih sedikit atau lebih banyak daripada yang diharapkan terjadi secara normal (Winarno,1987). Jumlah kalori yang dikeluarkan oleh tubuh dapat diukur secara langsung dengan mempergunakannya untuk memanaskan sejumlah air yang di ketahui beratnya atau secara tidak langsung dengan mengukur perbandingan antara banyaknya CO 2 yang dihasilkan dan O 2 yang diperlukan pada proses pembuatan energi tersebut, untuk pembakaran zat makanan di dalam tubuh diperlukan oksigen dan dihasilkan karbohidrat (Poerwosoedarmo,1985). Pertumbuhan mempengaruhi jumlah energi yang diperlukan, karena harus ditambahkan sejumlah protein dan lemak pada tubuh, untuk metabolisme zat-zat tersebut diperlukan energi tambahan (Poerwosoedarmo, 1985). 2. Kebutuhan Protein Protein adalah zat makanan yang mengandung nitrogen, secara praktis dapat dikatakan bahwa hampir sumber nitrogen dalam makanan sehari-hari adalah protein, untuk mengetahui jumlah nitrogen yang dikeluarkan oleh badan maka dapat diketahui berapa banyak protein yang telah digunakan dalam metabolisme tubuh, protein mengandung kurang dari 16% nitrogen sehingga setiap gram nitrogen yang dikeluarkan tubuh berasal dari 6,25 gram protein (Poerwosoedarmo,1985). Jumlah protein yang digunakan oleh tubuh dapat dihitung dengan menyusun suatu neraca antara jumlah nitrogen dengan jumlah yang dibuang dalam air seni, tinja dan keringat. Metabolisme yang diperlukan untuk 13
mempertahankan keadaan dinamik yang sehat dari tubuh, tidaklah berlangsung sempurna pada konsumsi rendah protein, sehingga dengan demikian kebutuhan teoritik sebanyak 18,75 gram protein. Protein yang terdapat dalam jumlah kecil dalam bahan makanan yang mempunyai volume besar seperti daun-daunan, tampaknya akan melalui saluran pencernaan, terlalu cepat untuk dicerna secara sempurna dan diserap ke dalam tubuh, pada anak-anak untuk menentukan nilai protein bagi pertumbuhan akan menghasilkan nilai yang tidak mempunyai arti, karena kebutuhan bagi pertumbuha n (Utama,1987). Protein banyak terdapat dalam golongan kacang-kacangan dan hasil hewani, dalam buah dan sayuran, protein hanya berkisar kurang lebih 3% nya. Pada biji-bijian dan kacangkacangan, protein terdapat sebagai jaringan penyimpanan, sedang pada buah dan sayur kebanyakan sebagai enzim (Handajani,1994). Protein adalah bagian penting dari beberapa hormon tubuh, protein juga memegang peranan dalam mengatur keseimbangan air dalam tubuh dan menjaga kenetralan cairan tubuh, jika protein tidak diperlukan tubuh untuk pembentukan dan perbaikan jaringan tubuh serta pembuatan enzim, antibody atau hormon, maka gugusan amino disingkirkan dan yang tersisa dari molekul protein diubah, jika tidak menjadi lemak, glikogen polisakarida digunakan sebagai energi (Suharjo,1985). Protein termasuk dalam golongan zat pembangun, pengatur dan juga bahan bakar tubuh, protein sebagai zat pembangun, yang dimaksud dengan zat pembangun yaitu bahwa protein merupakan zat pembentuk berbagai jaringan dalam tubuh (Poerwosoedarmo,1985). Jumlah nitrogen dalam makanan menggambarkan banyaknya protein yang tersedia, cukup tidaknya suapan protein dari makanan didasarkan pada keseimbangan antara nitrogen yang diserap dan nitrogen yang dibuang (lewat urin, tinja dan kulit), maka protein dari makanan yang diserap tidak 14
seluruhnya dapat dicerna oleh tubuh (Khumaidi,1989). Jumlah protein diperlukan oleh tubuh seseorang tergantung dari banyaknya jaringan aktif, makin besar dan berat orang itu akan semakin banyak jaringan aktifnya, sehingga akan banyak pula protein yang diperlukan untuk mempertahankan dan memelihara jaringan tubuh (Poerwosoedarmo,1985). Peranan umur dalam menentukan jumlah protein yang diperlukan terutama pada masa pertumbuhan yang sedang giat, ialah masa- masa anakanak sampai dewasa muda. Kecepatan tumbuh selama masa ini tidaklah merata, tetapi dengan kecepatan yang berubah-ubah, sehingga keperluan akan protein berubah, untuk anak-anak 2-3 gram protein untuk tiap Kg berat badan adalah jumlah yang cukup (Poerwosoedarmo,1985). Untuk pembe ntukan sesuatu jaringan, protein yang bernilai rendah diperlukan lebih banyak daripada protein hewani, karena kita memerlukan protein yang lebih banyak, jika protein makanan sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan (Poerwosoedarmo,1985). B. Pengertian Pendapatan Banyak masalah yang timbul, baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap keadaan gizi individu, keluarga maupun masyarakat. Salah satu diantaranya adalah tingkat pendapatan keluarga yang rendah (Sayogyo, dkk). Besar kecilnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi. Pola konsumsi dipengaruhi pula oleh faktor sosial budaya masyarakat, oleh karena itu bagi suatu masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah, usaha perbaikan gizi erat berhubungan dengan usaha peningkatan pendapatan dan perbaikan sumber daya manusia (Roedjito, 1986). Semakin besar jumlah penduduk, kemungkinan pendapatan per kapita justru mewujudkan desparitas pendapatan tersebut. Keperluan pangan yang pas-pasan dan ditambah dengan pengetahuan makanan bergizi yang masih kurang maka 15
pemberian makan untuk keluarga biasanya dipilih bahan-bahan yang hanya mengenyangkan perut saja, tanpa memikirkan apakah makanan itu bergizi atau tidak (Khumaidi,1989). Tingkat pendapatan juga menentukan pola makan, semakin tinggi pendapatan semakin bertambah besar pula presentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk buah-buahan, sayur-sayuran dan jenis makanan lainnya (Berg, 1990). Meningkatnya pendapatan perorangan dapat terjadi pertumbuhan dalam suatu susunan makanan, tetapi pengeluaran uang lebih banyak untuk pangan tidak terjamin lebih beragamnya konsumsi pangan, kadang-kadang perubahan yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan itu lebih mahal, karena kebiasaan pangan cenderung berubah bersama dengan naiknya pendapatan (Suharjo dkk,1985). Rata-rata pengeluaran penduduk perkapita per bulan dapat dijadikan sebagai cerminan tingkat pendapatan perkapita perbulan. Menurut BPS Kabupaten Semarang, digolongkan menjadi 2 kriteria yaitu: 1. kelompok miskin 2. kelompok non miskin Pendapatan merupakan faktor paling penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi bila terlalu rendah pendapatan seseorang, maka akan menyebabkan lemahnya daya beli dan menghalangi perbaikan gizi (Berg,1986). Keluarga dengan pendapatan rendah kemungkinan besar tidak dapat memenuhi kebutuhannya jika dalam suatu keluarga hanya ayah saja yang bekerja tentu berbeda besar pendapatannya dengan keluarga yang mengandalkan dari ayah dan ibu. (Apriyadi, 1986) 16
C. Penentuan Status Gizi Anak Sekolah Kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih baik dari pada kelompok balita. Meskipun demikian masih terdapat beberapa masalah gizi, misalnya berat badan kurang, anemia dan defisiensi vitamin C. anak usia sekolah biasanya banyak memiliki aktivitas bermain yang banyak menguras tenaga, seperti berkejar-kejaran, petak umpet, lompat tali atau bermain bola. Dengan demikian terjadi ketidak seimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar, akibatnya tubuh anak menjadi kurus. Untuk mengatasinya kontrollah waktu bermain anak sehingga anak memiliki waktu istirahat yang cukup. Untuk meningkatkan nafsu makan anak, dapat pula dengan memberikan obat penambah nafsu makan sesuai dosis yang dianjurkan. Kurangnya nafsu makan dapat pula disebabkan oleh banyak jajan, apabila jajanan yang dipilih anak ternyata kurang mengandung nilai gizi dan kebersihannya kurang terjaga, tentunya akan menimbulkan dampak yang merugikan kesehatan. Oleh karena itu alangkah baiknya apabila mereka dibawakan bekal ketika sekolah sehingga makanannya terjaga. Anak perlu pula dididik agar dapat memilih jajanan yang berkualitas. Makan pagi (sarapan) perlu pula diperhatikan agar anak lebih mudah menerima pelajaran (Lisdiana, 1998) Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain, seperti berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan/tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U), berat badan menurut tinggi badan menurut tinggi badan (BB/TB). Masing-masing indeks antropometri tersebut memiliki buku rujukan/nilai patokan untuk memperkirakan status gizi seseorang / masyarakat (Supariasa, 2001). Status gizi yang digambarkan oleh masing-masing indeks mempunyai arti yang berbeda. Jika antropometri ditujukan untuk mengukur seseorang yang kurus kering (Wasting), kecil pendek (Stunting) atau keterlambatan pertumbuhan, dan akibat tidak sehat yang menahun. Alternatif pengukuran lain dan paling banyak 17
digunakan adalah indeks BB/U, atau melakukan penilaian dengan melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan (Supariasa, 2001). Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil (Supariasa, 2001). Indikator yang dipakai berat badan menurut umur, berat badan menurut tinggi badan dan tinggi badan menurut umur titik acuannya adalah WHO NCHS (National Centre for Health Statistic) klasifikasinya sebagai berikut: TABEL 1 BAKU RUJUKAN PENILAIAN STATUS GIZI ANAK INDEKS STATUS GIZI Z- SCORE BB/U TB/U Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk Normal Pendek (Stunted) > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d + 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD > -2,0 SD baku WHO-NCHS < -2,0 SD BB/TB Gemuk Normal Kurus (Wasted) Sangat kurus > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d + 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD Sumber: Baku Antropometri (WHO-NHCS) 18
D. Kerangka Teori Sumber: Soekirman, 2000 Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi 19
E. Kerangka Konsep Pendapatan Tingkat Konsumsi Energi Status Gizi Tingkat Konsumsi Protein F. Hipotesa 1. Ada hubungan tingkat pendapatan per kapita dengan status gizi. 2. Ada hubungan tingkat konsumsi energi dengan status gizi. 3. Ada hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan status gizi. 20