HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kemampuan produksi pangan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin terbatas. Agar kecukupan pangan nasional bisa

BAB II LANDASAN TEORI. bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

beras atau sebagai diversifikasi bahan pangan, bahan baku industri dan lain sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengganti nasi. Mi termasuk produk pangan populer karena siap saji dan

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pertanian menjadi daerah permukiman, industri, dan lain-lain. Menurut BPN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan

PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN. Mie merupakan jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah. dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mie juga merupakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat banyak mengonsumsi mi sebagai makanan alternatif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Analisis Lingkungan Eksternal. Terigu adalah salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI

PEMANFAATAN JAGUNG DALAM PEMBUATAN ANEKA MACAM OLAHAN UNTUK MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. kacang tanah. Ketela pohon merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. didasarkan pada nilai-nilai karakteristik lahan sangat diperlukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

PERBANDINGAN KADAR PROTEIN DAN LEMAK MI ALTERNATIF DARI PATI GANYONG (Canna edulis Ker) DAN PATI UBI KAYU (Manihot utilissima Pohl) SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam lokasi kawasan komoditas unggulan nasional pada komoditas padi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu atau keluarga berusaha memenuhi kebutuhannya dengan. menggunakan sumberdaya yang tersedia. Kebutuhan manusia dapat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga ketersediaannya harus terjamin dan terpenuhi. Pemenuhan pangan

PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras merupakan salah satu komoditas penting dalam kehidupan sosial

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB VII HUBUNGAN PERILAKU KONSUMSI DENGAN SIKAP TERHADAP MAKANAN POKOK NON BERAS

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

PENGUATAN KOORDINASI DINAS/INSTANSI DALAM PEMANTAPAN KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Transkripsi:

31 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki karakteristik yang khas di setiap wilayahnya. Pembagian kawasan menurut UU no.22 tahun 1999 ada dua, yaitu kawasan perkotaan dan perdesaan. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Dalam penelitian ini, kawasan perkotaan berjumlah 31 kabupaten yang didapatkan dari justifikasi peneliti berdasarkan klasifikasi desa &kota BPS 2000. Begitu pula dengan kawasan perdesaan yang berjumlah 31 kabupaten dari 65 kabupaten yang tergolong kawasan perdesaan dari justifikasi peneliti berdasarkan klasifikasi desa &kota BPS 2000. Hal tersebut karena dibutuhkan jumlah contoh yang sama besarnya dari karakteristik kawasan yang berbeda tersebut. Kawasan perkotaan sebagian besar terdapat di pulau Jawa, sedangkan kawasan perdesaan tersebar di pulau-pulau besar Indonesia kecuali Maluku dan Papua. Hal tersebut menunjukkan bahwa distribusi pembangunan belum merata penyebarannya, sehingga masih terpusat di pulau Jawa. Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Salah satu pengukuran konsumsi pangan adalah dengan metode recall 24 jam. Metode Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jawaban responden untuk makanan yang dikonsumsi 1x 24 jam yang lalu. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah pangan yang dikonsumsi (kkal/hari/) (Balitbangkes 2008). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5 dan 6) konsumsi pangan sumber karbohidrat didominasi oleh beras baik di perdesaan maupun perkotaan. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan juga lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di

32 perdesaan mencapai 1118 kkal/kap/hari dan di perkotaan hanya 961 kkal/kap/hari. Berdasarkan uji beda independent sample t-test (Tabel 6) konsumsi kelompok serealia di perdesaan dan perkotaan terdapat perbedaan yang nyata. Selain itu, pada konsumsi beras juga terdapat perbedaan yang nyata di perdesaan dan perkotaan yaitu konsumsi beras di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Konsumsi beras rata-rata tahun 2007 di perdesaan adalah 109 kg/kap/tahun dan di perkotaan adalah 95 kg/kap/tahun. Jika dilihat berdasarkan tingkat konsumsinya terhadap kebutuhan ideal menurut kelompok pangan (Tabel 6), maka konsumsi beras di perdesaan dapat dikatakan telah memenuhi bahkan melebihi proporsi keragaman menurut PPH untuk konsumsi serealia (50%) yaitu mencapai 108,7%. Konsumsi beras di perkotaan berkontribusi terhadap pemenuhan 94,1% dari kebutuhan ideal menurut kelompok pangan. Tingginya konsumsi beras yang merupakan pangan pokok penduduk Indonesia menurut Bouis (1990); Hussain (1990) diacu dalam Braun, et al. (1993) dapat diasumsikan karena pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan. Tabel 5. Jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan Konsumsi kg/kap/tahun Konsumsi (kkal/kap/hari) No Jenis pangan Perdesaan Perkotaan Perdesaan Perkotaan 1 Beras 109 95 1087 941 2 Jagung 4,69 1,24 17 4 3 Ubi Kayu 2,51 3,51 11 15 4 Ubi Jalar 0,66 0,209 3 1 Total 1118 961 Sama halnya dengan konsumsi beras, konsumsi jagung di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, meskipun tidak ditunjukkan adanya perbedaan nyata (p>0,05) menurut uji beda independent sample t-test. Berdasarkan Tabel 5, Konsumsi jagung di perdesaan adalah 4,69 kg/kap/tahun dan konsumsi jagung di perkotaan adalah 1,24 kg/kap/tahun. Rendahnya tingkat

33 konsumsi jagung di menurut Mauludyani (2008) adalah karena kurang beragamnya produk olahan jagung untuk dikonsumsi. Perbandingan yang terbalik terjadi pada konsumsi ubi kayu yang lebih tinggi di perkotaan yaitu 3,51 kg/kap/tahun dibandingkan dengan di perdesaan yang hanya 2,51 kg/kap/tahun. Cukup tingginya konsumsi ubi kayu karena semakin beragamnya produk olahan ubi kayu yang dikembangkan, khususnya di wilayah perkotaan. Berdasarkan uji beda independent sample t-test tidak ditunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) untuk konsumsi ubi kayu di perdesaan dan perkotaan, namun pada kelompok pangan umbi-umbian terdapat perbedaan yang nyata konsumsi kelompok pangan tersebut di perdesaan dan perkotaan. Diantara keempat jenis karbohidrat yang diteliti, konsumsi ubi jalar merupakan jenis karbohidrat yang paling kecil angka konsumsinya (Tabel 5). Konsumsi ubi jalar di perdesaan yaitu 0,66 kg/kap/tahun sedangkan konsumsi di perkotaan lebih kecil yaitu 0,209 kg/kap/tahun. Rendahnya konsumsi ubi jalar karena pengolahan ubi jalar belum terlalu dikembangkan sehingga produk olahannya terbatas. Tabel 6. Tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan p No Jenis pangan Perdesaan Perkotaan p kelompok pangan 1 Beras 108.7 94.1 0,010** 0,000** 2 Jagung 1.7 0.4 0,070 3 Ubi Kayu 9.2 12.5 0,244 4 Ubi Jalar 2.5 0.83 0,029** **. Signifikan pada p<0,05 *. Kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan: beras& jagung= 50%, ubi kayu & ubi jalar=6% 0,032** Kontribusi jagung, ubi kayu, dan ubi jalar terhadap kebutuhan konsumsi ideal menurut kelompok pangan masih sangat kecil (Tabel 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat belum baik secara mutu keragaman (standar PPH). Konsumsi pangan sumber karbohidrat masih didominasi oleh beras sehingga pangan lainnya dikonsumsi dalam jumlah yang belum mencukupi secara mutu keragaman. Menurut Ariani (2004) diacu dalam Mauludyani (2008), terdapat beberapa alasan yang mendasari dipilihnya beras sebagai pangan pokok, yaitu cita rasa yang lebih enak, lebih cepat dan praktis diolah, dan mempunyai komposisi gizi yang relatif lebih baik dibandingkan

34 pangan pokok yang lain. Selain itu, beras diidentikkan dengan pangan pokok yang memiliki status sosial tinggi. Tabel 7. Tingkat kecukupan konsumsi menurut kelompok pangan (%) dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan Tingkat kecukupan (%) Standar berdasarkan PPH Wilayah serealia umbi-umbian serealia umbi-umbian Perdesaan 55.2 0.7 50 6 Perkotaan 47.3 0.8 50 6 Konsumsi pangan secara kualitatif ditentukan berdasarkan komposisi pangan dilihat dari keragamannya dalam memenuhi kebutuhan energi atau yang dikenal dengan istilah Pola Pangan Harapan (PPH). Komposisi pangan pada PPH digolongkan dalam 9 kelompok pangan. Berdasarkan Pola Pangan Harapan, konsumsi kelompok serealia secara ideal adalah 50% (DKP 2006). Konsumsi kelompok serealia di perdesaan telah melampaui lebih dari 50% berdasakan standar PPH. Namun di perkotaan, konsumsi kelompok serealia belum mencapai 50% berdasarkan standar PPH. Hal tersebut diduga karena masyarakat perkotaan mengkonsumsi pangan lebih beraneka ragam. Sementara itu konsumsi umbi-umbian yang idealnya adalah 6% berdasarkan data konsumsi yang didapat masih jauh dari angka ideal tersebut. Konsumsi kelompok umbiumbian bahkan belum mencapai 2% baik di perdesaan maupun perkotaan, padahal di Indonesia tersedia berbagai jenis umbi-umbian dengan harga yang relatif murah. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan raskin. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Menurut Ariani (2004) upaya diversifikasi pangan di Indonesia dinilai gagal karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini nampak dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lain seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mi dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Martianto dan Ariani (2005) diacu dalam Mauludyani (2008) menyebutkan bahwa telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan pokok, khususnya di wilayah perkotaan dan masyarakat berpendapatan sedang dan tinggi dimana peran jagung dan umbi-umbian sebagai pangan pokok kedua setelah beras digantikan

35 oleh mi. Demikian pula hasil kajian Hasibuan (2001) diacu dalam Ariani (2004) menyimpulkan bahwa mi instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras. Mengingat bahan baku mi berasal dari gandum yang bukan merupakan produksi domestik, maka diperlukan upaya-upaya khusus untuk menekan laju peningkatan konsumsi mi dan produk-produk yang berbahan baku gandum/terigu lainnya dengan meningkatkan ketersediaan pangan substitusi gandum/terigu bersumber pangan lokal, disertai dengan promosi dan advokasi kepada masyarakat tentang keunggulan pangan lokal. Karakteristik Fisik Wilayah di Perdesaan dan Perkotaan Ketersediaan Pangan Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan merupakan salah satu sub program pada program peningkatan ketahanan pangan. Program tersebut merupakan jabaran dari rencana pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dengan tujuan untuk memfasilitasi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup setiap saat, sehat, dan halal. Pada tingkat kabupaten yang merupakan unit yang diteliti, ketersediaan pangan di wilayah perdesaan lebih besar dibandingkan dengan perkotaan meskipun dengan selisih yang tidak terlalu berbeda. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji beda independent sample t-test (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa meskipun jumlah ketersediaan di perdesaan lebih tinggi namun tidak berbeda nyata (p>0,05). BerdasarkanTabel 8, ketersediaan pangan sumber karbohidrat total di Indonesia yaitu 2185 kkal/kap/hari dan di perkotaan yaitu 1934 kkal/kap/hari. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat baik di perdesaan maupun perkotaan masih didominasi oleh komoditas beras. Tabel 8. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan Ketersediaan kg/kap/tahun Ketersediaan (kkal/kap/hari) No Jenis pangan Perdesaan Perkotaan Perdesaan Perkotaan 1 Beras 177,76 167,99 1768 1671 2 Jagung 33,07 11,34 117 40 3 Ubi Kayu 58,39 45,89 246 194 4 Ubi Jalar 14,30 7,73 54 29 Total 2185 1934

36 Tabel 9. Tingkat ketersediaan pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan p No Jenis Pangan Perdesaan Perkotaan p kelompok pangan 1 Beras 160.7 151.9 0,531 0,432 2 Jagung 10.6 3.6 0,079 3 Ubi Kayu 186.7 146.7 0,336 4 Ubi Jalar 41.2 22.3 0,131 **. Signifikan pada p<0,05 *. Kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan: beras& jagung= 50%, ubi kayu & ubi jalar=6% 0,196 Ketersediaan pangan menurut kelompok pangan selain menunjukkan kecukupan jumlah juga dapat menunjukkan mutunya (Tabel 9 dan 10). Pada Tabel 9 ditunjukkan kontribusi setiap komoditas pangan terhadap kebutuhaan energi ideal menurut kelompok pangan. Ketersediaan beras dan ubi kayu memiliki kontribusi cukup banyak terhadap pemenuhan ketersediaan sesuai kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan. Jagung dan ubi jalar meskipun jumlahnya tidak sampai 100% namun memiliki kontribusi yang berarti. Tabel 10. Tingkat kecukupan ketersediaan menurut kelompok pangan (%) dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan Tingkat kecukupan (kkal/kap/hari) Standar berdasarkan PPH Wilayah serealia umbi-umbian serealia umbi-umbian Perdesaan 85.67 13.67 50 6 Perkotaan 77.76 10.14 50 6 Ketersediaan kelompok serealia baik di perdesaan dan perkotaan telah melampaui lebih dari 50% (standar mutu keragaman berdasarkan PPH). Begitu pula dengan ketersediaan umbi-umbian yang idealnya adalah 6% telah terpenuhi baik di perdesaan maupun perkotaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan pangan sumber karbohidrat telah mencukupi secara kuantitas maupun kualitas untuk dimanfaatkan oleh masyarakat perdesaan maupun perkotaan. Oleh karena itu, lahan pertanian yang ada harus dimanfaatkan dengan baik untuk pemenuhan pangan masyarakat yang berkelanjutan. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk merupakan rasio penduduk yang menempati suatu wilayah. BPS 2007 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (>1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (501-1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk sedang (101-500 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (<101 jiwa/km2). Dari hasil uji beda independent sample t-test kepadatan penduduk di perdesaan dan

37 perkotaan berbeda nyata (p<0,01), yaitu lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan. Pada Tabel 11, ditunjukkan bahwa rata-rata kepadatan penduduk di perdesaan adalah 249 jiwa/km2 yang digolongkan ke dalam kepadatan penduduk sedang menurut BPS 2007. Sementara itu, rata-rata kepadatan penduduk di perkotaan adalah 1144 jiwa/km2 atau tergolong kepadatan penduduk sangat tinggi. Tabel 11. Karakteristik fisik di perdesaan dan perkotaan No Karakteristik fisik Perdesaan Perkotaan Sig. t-test 1 Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 249 1144 0.000* 2 Kepadatan Penduduk (orang/ha) 2,49 11,44 3 Daya Dukung Lahan (orang/ha) 6,62 7,16 0,891 *. Berbeda nyata pada p<0,05 Daya Dukung Lahan Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan karena naiknya kebutuhan akan pangan, akibatnya diperpendeknya masa istirahat lahan (Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola et al. 2007). Selanjutnya, Siwi (2002) diacu dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari et al., 2005 diacu dalam Tola, et al. 2007). Berdasarkan Tabel 11, daya dukung lahan di perdesaan adalah 6,62 orang/ha sedangkan di perkotaan adalah 7,16 orang/ha. Meskipun daya dukung lahan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, namun daya dukung lahan tersebut telah dilampaui oleh kepadatan penduduknya yaitu 11,44 orang/ha. Menurut Mustari, et al. (2005) diacu dalam Tola, et al. (2007) hal tersebut menunjukkan bahwa lahan di wilayah tersebut tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu. Karakteristik Sosial Ekonomi di Perdesaan dan Perkotaan Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan di perdesaan dan perkotaan pada Tabel 12 ditunjukkan memiliki perbedaan nyata berdasarkan uji beda independent sample t-test (p<0,05). Tingkat kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di

38 perkotaan yaitu 21% dan di perkotaan yaitu 17%. Masalah kemiskinan akan berdampak pada kurangnya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan pangan maupun pelayanan kesehatan. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak mempunyai akses pangan, jika persentasenya lebih dari 20%, maka akses pangannya termasuk kategori rendah. Kemiskinan adalah indikator ketidakmampuan untuk mendapatkan cukup pangan, karena rendahnya kemampuan daya beli atau hal ini mencerminkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan lain-lain (BKP 2008). PDRB/ kapita PDRB/ kapita yang dipakai dalam penelitian ini adalah PDRB yang berasal dari sektor usaha: pertanian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan (konstruksi), perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah, kecuali sektor usaha penggalian dan pertambangan. PDRB/ kapita di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perkotaan PDRB/ kapita adalah Rp. 10,913,000.00 dan di perdesaan adalah Rp. 7,373,000.00. Menurut data BPS (2008), rata-rata PDRB/kapita penduduk Indonesia tahun 2007 adalah Rp. 12,721,000.00 sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata kabupaten di Indonesia baik di perkotaan maupun perdesaan memiliki PDRB di bawah rata-rata. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Ulfani (2010) yang menyatakan bahwa 72,1 % kabupaten/ kota di Indonesia memiliki PDRB/ kapita yang rendah yaitu kurang dari Rp. 12,128,150.00. Perbedaan nilai PDRB/ kapita di tiap wilayah dikarenakan adanya perbedaan sumberdaya alam dan pemanfaatannya dalam mendukung kegiatan perekonomian di wilayah tersebut. Menurut Zaris (1987); Yunarko (2007) diacu dalam Ulfani (2010) sumberdaya alam merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan daerah, selain pola investasi dan perkembangan prasarana transportasi. PDRB/ kapita wilayah dapat menggambarkan pendapatan rata-rata penduduk di wilayah tersebut. Pendapatan merupakan salah satu akses pangan yang dilihat dari aspek ekonomi.

39 Tabel 12. Karakteristik sosial ekonomi di perdesaan dan perkotaan No Karakteristik sosial ekonomi Perdesaan Perkotaan Sig. t-test 1 Tingkat Kemiskinan (%) 21 17 0,018* 2 PDRB/kapita (dalam ribuan Rp) 7373 10913 0,056 3 Tingkat Pendidikan (%) 72 64 0,002* *. Berbeda nyata pada p<0,05 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan di perdesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan yaitu 72 % penduduk di perdesaan hanya menamatkan pendidikan sampai sekolah dasar atau bahkan tidak menamatkannnya. Sementara itu, di perkotaan sebanyak 64% penduduk yang tidak sekolah atau setinggi-tingginya hanya sampai menamatkan sekolah dasar. Berdasarkan uji beda independent sample t- test, tingkat pendidikan di perdesaan dan perkotaan ditunjukan adanya perbedaan yang nyata yaitu p<0,05. Menurut Syarief,et al. (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi. Di suluruh negara, termasuk Indonesia, pengetahuan gizi secara formal (dari tingkat SD sampai SMU) diajarkan sebagai pendidikan gizi, bagian dari pelajaran Ekonomi Rumahtangga. Soper,et al. (1992) diacu dalam Hardinsyah (2007) telah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal secara positif berasosiasi dengan pengetahuan gizi para instruktur aerobik di Texas. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka aksesnya terhadap media massa (koran, majalah, media elektronik) juga makin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaian dengan gizi juga semakin tinggi. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi seharusnya lebih baik dalam mengatur pola makannya sesuai dengan pengetahuan gizi yang dimiliki. Faktor-Faktor yang Berhubungan dan Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat. Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan. Selain itu, dapat pula berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat

40 ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989). Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi beras a. Perdesaan Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan raskin. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan, daya dukung lahan dan tingkat pendidikan. Tabel 13. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel korelasi (r) regresi p Ketersediaan 0,474** -98 0,002* Kepadatan penduduk 0,124 Daya dukung lahan 0,403* Tingkat kemiskinan 0,243 PDRB 0,307 Tingkat pendidikan 0,443* ** Signifikan pada p<0,01 *. Signifikan pada p<0,05 R-square: 0,291 Pada Tabel 13 ditunjukkan bahwa ketersediaan beras dan daya dukung lahan memiliki hubungan dengan konsumsi beras di perdesaan, yaitu berhubungan positif. Semakin tinggi ketersediaan beras dan daya dukung lahan semakin bertambah jumlah beras yang dikonsumsi penduduk di perdesaan. Perkembangan yang menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah ada kecenderungan berubahnya pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan, yang mengarah kepada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mi kering, mi basah dan mi instan (Rachman dan Ariani 2008) Tingkat pendidikan pada Tabel 13 ditunjukkan memiliki hubungan dengan konsumsi beras.tingkat pendidikan yang dimaksud adalah presentase penduduk yang menamatkan pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD) atau

41 dikategorikan tingkat pendidikan rendah. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan konsumsi beras bernilai positif, sehingga dapat dikatakan semakin banyak penduduk dengan tingkat pendidikan rendah semakin tinggi konsumsi berasnya. Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi (Syarief et al. 1988 dalam Hardinsyah 2007). Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, para ibu dari rumah tangga berpendapatan rendah dapat lebih mampu untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki di rumahtangganya secara lebih efesien dibandingkan para ibu yang berpendidikan rendah (Behrman&Wolfe 1987; Behrman et al. 1988; World Bank 1993 diacu dalam Hardinsyah 2007). Dengan kata lain, para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengkombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Sehingga konsumsi pangan tidak hanya didominasi pangan sumber karbohidrat. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan, daya dukung lahan, dan tingkat pendidikan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa ketersediaan beras merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi beras (Tabel 13). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y1*= 1080,709-98 X1* Y1* : konsumsi beras di perdesaan (Y1) X1* : ketersediaan beras di perdesaan (disesuaikan; 1/X1) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 1080,709 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan beras maka konsumsi beras di perdesaan sebesar 1080,709. Nilai koefisien regresi ketersediaan beras sebesar -98, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, konsumsi beras akanberkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan. Nilai R squaremodel linier adalah 0,291, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 29,1% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini

42 memberikan gambaran tentang konsumsi beras di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh ketersediaan beras. Menurut Swift (1989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (1992) yang dijelaskan bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh produksi pangan (Gambar 2), namun selain faktor tersebut ada faktor lain yang berkaitan dengan konsumsi pangan, seperti modal sosial. Selain itu Jelliffe dan Jelliffe (1989) juga menggambarkan rantai pangan WHO yang menunjukkan alur pangan dari produksi pangan hingga dikonsumsi oleh masyarakat.hal tersebut menujukkan pentingnya produksi pangan sebagai awal dari rantai pangan.jika nilai produksi rendah maka besar kemungkinan sampai di akhir rantai (konsumsi pangan) nilainya pun rendah. Berdasarkan hasil regresi, dapat dilihat bahwa karakteristik fisik (ketersediaan) lebih berpengaruh daripada variabel lainnya, termasuk variabel sosial ekonomi. Hal tersebut dapat menunjukkan ketergantungan rumah tangga di perdesaan terhadap akses fisik karena kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis 1990b; Hussain 1990 diacu dalam Braun, et al. 1993). Oleh karena itu, kondisi sosial ekonomi tidak sepenuhnya menjadi pembatas pemenuhan kebutuhan pangan pokok bagi rumah tangga di perdesaan, karena kebutuhan pangan pokok merupakan kebutuhan utama mereka yang harus dipenuhi. b. Perkotaan Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan antara lain ketersediaan beras dan tingkat kemiskinan. Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa ketersediaan beras berhubungan negatif dengan konsumsi beras.semakin tinggi ketersediaan beras semakin tinggi pula konsumsi beras di perkotaan. Selain ketersediaan beras, faktor lain yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan adalah tingkat kemiskinan. Hasil analisis korelasi pearson menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan memiliki hubungan positif dengan konsumsi beras. Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan semakin tinggi pula konsumsi beras. Hal tersebut diduga karena masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih mendominasi pangannya dengan karbohidrat, khususnya beras.

43 Tabel 14. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Korelasi (r) regresi p Ketersediaan 0,581** -0,309 0,001 Kepadatan penduduk 0,200 Daya dukung lahan 0,170 Tingkat kemiskinan 0.412* 0,002 0,045 PDRB 0,183 Tingkat pendidikan 0,028 ** Signifikan pada p<0,01 *. Signifikan pada p<0,05 R-square: 0,330 Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan adalah ketersediaan dan tingkat kemiskinan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa kedua faktor yang berhubungan tersebut yaitu ketersediaan beras dan tingkat kemiskinan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi beras di perkotaan (Tabel 14). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y2*= 6,764-0,309 X1*+ 0,002 X4* Y2* : konsumsi beras di perkotaan (disesuaikan; Ln Y2) X1* : ketersediaan beras di perdesaan (disesuaikan; 1/X1) X4* : tingkat kemiskinan di perkotaan (X4) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 6,764 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan beras dan tingkat kemiskinan maka konsumsi beras (Ln Y) di perkotaan sebesar 6,764. Nilai koefisien regresi ketersediaan beras sebesar -0,309, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut (1/X1), maka konsumsi beras akan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan tersebut. Sedangkan nilai koefisien regresi tingkat kemiskinan yaitu 0,002, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut akan menaikkan nilai konsumsi beras sebesar nilai koefisien faktor tersebut pada persamaan linier. Nilai R squaremodel linier adalah 0,33, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 33% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi beras di perkotaan yang sifatnya

44 umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh ketersediaan beras dan tingkat kemiskinan. Rumah tangga miskin lebih mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Sehingga pembelian bahan makanan pokok lebih diutamakan dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Hal tersebut didukung oleh adanya beras-isasi oleh pemerintah yaitu program beras raskin, semakin mendorong masyarakat miskin untuk cenderung mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok karena harganya yang lebih terjangkau. Sementara itu, rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik cenderung mengkonsumsi pangan lebih beragam, tidak hanya pemenuhan pangan pokok yang menjadi prioritas kebutuhan pangannya tapi lebih pada pemenuhan kualitas pangan yang baik (keragaman pangan). Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi jagung a. Perdesaan Komoditas jagung dapat memiliki peran yang ganda, tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga bahan baku industri (Pasandaran&Kasryno 2005 dalam Mauludyani 2008). Jadung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan nilai gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras (Ariani& Pasandaran 2005 dalam Mauludyani 2008). Faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung di perdesaan antara lain ketersediaan jagung, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita. Tabel 15. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel korelasi (r) regresi p Ketersediaan 0,556** Kepadatan penduduk 0,200 Daya dukung lahan 0,535** Tingkat kemiskinan 0,627** 2,593 0,000* PDRB -0,552** Tingkat pendidikan 0,225 ** Signifikan pada p<0,01 *. Signifikan pada p<0,05 R-square: 0,393 Ketersediaan jagung, daya dukung lahan dan tingkat kemiskinan berhubungan positif dengan konsumsi jagung. Ketersediaan jagung, daya dukung lahan dan tingkat kemiskinan berhubungan positif dengan konsumsi

45 jagung. Semakin tinggi ketersediaan jagung, daya dukung lahan dan tingkat kemiskinan semakin tinggi konsumsi jagung. Menurut Mauludyani (2008) jenis olahan tertentu pada jagung merupakan pangan mewah bagi rumah tangga di berbagai wilayah pada berbagai tingkat pendapatan, namun pada dasarnya jagung merupakan pangan yang lebih mudah dijangkau dari segi harga. Harga jagung lebih murah daripada beras. Bahkan ada wilayah yang memiliki pangan khas nasi jagung yaitu campuran antara nasi (beras) dan jagung karena harganya lebih murah dan terjangkau, khususnya bagi penduduk berpendapatan rendah. Pada Tabel 15 dapat dilihat PDRB/kapita memiliki hubungan negatif dengan konsumsi jagung dengan kekuatan hubungan yang cukup kuat. Semakin tinggi nilai PDRB/kapita, konsumsi jagung semakin rendah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Mauludyani (2008) yaitu semakin tinggi pendapatan, kontribusi energi dari jagung cenderung mengalami penurunan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa antara jagung dan beras memiliki elastisitas silang yang menunjukkan adanya sifat substitusi. Di desa, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan beras dalam jumlah besar. Hal ini berkaitan pula dengan nilai sosial yang lebih tinggi daripada di kota. Beras dianggap memiliki nilai sosial lebih tinggi daripada pangan pokok lainnya, termasuk beras sehingga pendapatan yang meningkat tidak ikut serta meningkatkan permintaan jagung. Selain itu, jagung juga dianggap sebagai pangan inferior yang konsumsinya menurun sejalan dengan meningkatnya pendapatan. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung di perdesaan adalah ketersediaan, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan, dan PDRB/kapita. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi jagung di perdesaan yaitu tingkat kemiskinan (Tabel 15). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y3*= -38,009+ 2,593 X4* Y3* : konsumsi jagung di perdesaan (Y3) X4* : tingkat kemiskinan di perdesaan (X4) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar -38,009 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada tingkat kemiskinan maka konsumsi jagung di perdesaan sebesar -38,009. Nilai koefisien regresi

46 tingkat kemiskinan sebesar 2,593, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi jagung akanbertambah sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,393, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 39,3% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi jagung di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 2004 diacu dalam Ulfani 2010). Semakin tinggi pendapatan konsumsi jagung cenderung menurun karena jagung dianggap sebagai pangan inferior (Mauludyani 2008). b. Perkotaan Di Indonesia, jagung memegang peranan kedua setelah padi (beras). Menurut Mauludyani (2008) jagung (bentuk olahan tertentu) merupakan pangan mewah bagi rumah tangga di berbagai wilayah dan kelas pedapatan. Konsumsi jagung di perkotaan berhubungan dengan ketersediaannya dan PDRB/kapita (Tabel 16). Semakin tinggi ketersediaan jagung semakin tinggi pula konsumsinya. Ketersediaan menunjukkan jumlah bahan pangan yang siap untuk dikonsumsi, sehingga semakin banyak jumlah ketersediaan semakin banyak pula jumlah yang dapat dikonsumsi. Menurut Mauludyani (2008) konsumsi pangan di perkotaan lebih beragam termasuk konsumsi pangan yang dijadikan pangan pokok. Tabel 16. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel p korelasi (r) regresi Ketersediaan 0,607** 0,022 0,000* Kepadatan penduduk -0,046 Daya dukung lahan 0,103 Tingkat kemiskinan 0,277 PDRB -0,394* Tingkat pendidikan 0,283 **. ** Signifikan pada p<0,01 *. Signifikan pada p<0,05 R-square: 0,368

47 Selain ketersediaan jagung, faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung adalah PDRB/kapita. Seperti halnya di perdesaan, pada Tabel 16 ditunjukkan hubungan antara PDRB/kapita dengan konsumsi jagung bernilai negatif. Berdasarkan Tabel 16, PDRB/kapita yang semakin tinggi, konsumsi jagung semakin rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Mauludyani (2008) bahwa nilai elastisitas pendapatan jagung secara nasional sangat kecil bahkan mencapai angka 0,00 pada kelompok pendapatan rendah dimana hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kenaikan permintaan jagung walaupun pendapatan meningkat. Analisis korelasi pearson pada berbagai variabel menunjukkan bahwa ketersediaan jagung dan PDRB/kapita memiliki hubungan dengan konsumsi jagung di perkotaan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi jagung di perkotaan yaitu ketersediaan (Tabel 16). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y4*= -0,34 + 0,022 X1* Y4* : konsumsi jagung di perkotaan (disesuaikan; Ln Y4) X1* : ketersediaan jagung di perkotaan (X1) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar -0,34 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan jagung maka konsumsi jagung di perkotaan (Ln Y4) sebesar -0,34. Nilai koefisien regresi ketersediaan jagung sebesar 0,022, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi jagung akan bertambah sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,368, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 36,8% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi jagung di perkotaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi. Dengan tersedianya pangan maka harga pangan tersebut cenderung stabil. Sedangkan jika ketersediaan pangan berkurang maka akan

48 menyebabkan harga pangan tersebut meningkat dan menurunkan daya beli masyarakat. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu a. Perdesaan Umbi-umbian merupakan hasil tanaman karbohidrat disamping serealia. Jenis umbi-umbian antara lain ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, erut, kimpal dan lain-lain. Di Indonesia yang memegang peranan penting dari umbi-umbian tersebut adalah ketela pohon atau ubi kayu dan ubi jalar (Simanjuntak 2006). Kegunaan ubi kayu sebagai bahan pokok sudah dikenal orang sejak zaman bangsa Maya di Amerika Selatan sekitar 2000 tahun yang lalu, atau bahkan jauh sebelumnya. Prinsip-prinsip ekstraksi pati yang dikembangkan oleh bangsa Maya pada awal pembudidayaan ubi kayu masih diterapkan dalam industri pengolahan pati secara modern dewasa ini. Konsumsi ubi kayu di berbagai wilayah khususnya di perdesaan memiliki hubungan dengan faktor fisik maupun sosial ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 17) faktor fisik yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu di perdesaan antara lain ketersediaan dan kepadatan penduduk. Sedangkan faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu adalah tingkat kemiskinan dan PDRB/kapita. Ketersediaan ubi kayu dan tingkat kemiskinan berhubungan positif dengan konsumsi ubi kayu. Semakin tinggi ketersediaan ubi kayu dan tingkat kemiskinan, semakin tinggi pula konsumsi ubi kayu. Tabel 17. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel korelasi (r) regresi p Ketersediaan 0,484** Kepadatan penduduk -0,541** -0,564 0,004* Daya dukung lahan 0,251 Tingkat kemiskinan 0,377* PDRB -0,387* Tingkat pendidikan -0,024 ** Signifikan pada p<0,01 *. Signifikan pada p<0,05 R-square: 0,277 Tjokroadikoesoemo (1986) diacu dalam Simanjuntak (2006) menyatakan bahwa ubi kayu kurang diterima secara menyeluruh karena memiliki beberapa kekurangan dan lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok di daerah

49 perdesaan dan pegunungan terpencil pada musim paceklik atau sewaktu panen padi dan jagung yang kurang memuaskan. Faktor fisik dan sosial ekonomi lainnya yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu adalah kepadatan penduduk dan PDRB/kapita. Hubungan tersebut bersifat negatif yaitu semakin tinggi kepadatan penduduk dan PDRB/kapita, konsumsi ubi kayu semakin rendah. Elastisitas pendapatan pada konsumsi ubi kayu di perdesaan tergolong elastis (Mauludyani 2008). Hal tersebut diduga karena ubi kayu masih dikonsumsi oleh masyarakat perdesaan sebagai pangan sumber energi. Tidak berbeda jauh dengan jagung, bahwa ubi kayu juga merupakan pangan substitusi untuk beberapa wilayah karena saat ini di perdesaan konsumsi pangan pokok lebih didominasi oleh beras dan mi (Rachman dan Ariani 2008). Di desa, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan beras dalam jumlah besar. Hal ini berkaitan pula dengan nilai sosial yang lebih tinggi daripada di kota. Beras dianggap memiliki nilai sosial lebih tinggi daripada pangan pokok lainnya,termasuk beras sehingga pendapatan yang meningkat tidak ikut serta meningkatkan permintaan ubi kayu. Selain itu, ubi kayu juga dianggap sebagai pangan inferior sehingga peningkatan pendapatan cenderung menurunkan konsumsinya. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu di perdesaan adalah ketersediaan, kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, dan PDRB/kapita. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu di perdesaan yaitu kepadatan penduduk (Tabel 17). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y5*= 1,354-0,564 X2* Y5* : konsumsi ubi kayu di perdesaan (disesuaikan; LnY5) X2* : kepadatan penduduk di perdesaan (disesuaikan; Ln X2) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 1,354 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada kepadatan penduduk maka konsumsi ubi kayu di perdesaan sebesar 1,354. Nilai koefisien regresi kepadatan penduduk sebesar -0,564, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi kayu di perdesaan akan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut.

50 Nilai R square model linier adalah 0,277, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 27,7% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi ubi kayu di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk terkait dengan pemerataan pendapatan perkapita.semakin tinggi kepadatan penduduk semakin rendah pendapatan per kapita karena kepadatan penduduk menggambarkan rasio jumlah penduduk dalam suatu wilayah. Pendapatan yang meningkat cenderung menurunkan konsumsi ubi kayu karena ubi kayu dianggap sebagai pangan inferior. Selain itu menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989), terdapat faktor pembatas dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia di dunia. Pertambahan penduduk mendesak semakin berkurangnya lahan pertanian dan hal tersebut dapat menurunkan produksi pangan dan secara tidak langsung dapat menurunkan konsumsi pangan. Lebih berpengaruhnya karakteristik fisik terhadap konsumsi ubi kayu, khususnya di perdesaan tidak berbeda jauh dengan konsumsi beras. Ubi kayu masih menjadi salah satu pangan pokok di perdesaan maka karakteristik sosial ekonomi tidak terlalu berpengaruh terhadap konsumsinya karena rumah tangga di perdesaan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pangan pokok sebelum kebutuhan yang lainnya. b. Perkotaan Faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu di perkotaan hanya kepadatan penduduk. Pada Tabel 18 ditunjukkan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk, konsumsi ubi kayu semakin rendah. Secara logika kepadatan penduduk yang menunjukkan semakin banyaknya jumlah penduduk dan berkurangnya lahan pertanian seharusnya menurunkan konsumsi pangan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Jelliffe dan Jelliffe (1989) bahwa meskipun penelitian terkini menunjukkan bahwa produksi pangan dunia dapat mencukupi kebutuhan penduduk dunia akan tetapi terdapat faktor pembatas. Adanya wilayah yang kekurangan, yaitu kurangnya akses pangan di negara maju karena kemiskinan dan ketiadaan lahan sementara itu di saat yang sama terjadi peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya.

51 Tabel 18. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel korelasi (r) regresi p Ketersediaan 0,296 Kepadatan penduduk -0,323* -0,001* 0,019* Daya dukung lahan 0,251 Tingkat kemiskinan 0,241 PDRB 0,153 Tingkat pendidikan 0,303 ** Signifikan pada p<0,01 *. Signifikan pada p<0,05 R-square: 0,176 Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi kayu di perkotaan adalah kepadatan penduduk. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu di perkotaan adalah kepadatan penduduk (Tabel 18). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y6*= 1,330-0,001 X2* Y6* : konsumsi ubi kayu di perkotaan (disesuaikan; Ln Y6) X2* : kepadatan penduduk di perkotaan (X2) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 1,330 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada kepadatan penduduk maka konsumsi ubi kayu di perkotaan sebesar 1,330. Nilai koefisien regresi kepadatan penduduk sebesar -0,001, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi kayu akan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,176, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 17,6% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi ubi kayu di perkotaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk yang semakin meningkat menggambarkan suatu wilayah yang semakin dipenuhi oleh manusia, sehingga lahan untuk pertanian semakin berkurang. Selain itu semakin banyaknya jumlah penduduk dalam suatu wilayah semakin rendah pendapatan per kapita karena jumlah penduduk merupakan variabel pembagi dalam perhitungan pendapatan per kapita. Begitu

52 pula sebaliknya. Lebih lanjut menurut Mauludyani (2008) ubi kayu dianggap sebagai pangan inferior sehingga meningkatnya pendapatan cenderung menurunkan konsumsinya. Meskipun begitu, rumah tangga perkotaan semakin tertarik dengan berbagai pangan olahan dari ubi kayu sehingga kebutuhan untuk ketersediaannya semakin meningkat. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar a. Perdesaan Tanaman ubi jalar adalah tanaman umbi-umbian yang dikenal tua dalam sejarah umat manusia serta sering diusahakan sebagai makanan tambahan disamping jagung dan beras. Ubi jalar menempati urutan kelima setelah ubi kayu sebagai pengganti bahan makanan pokok, kecuali di Papua dan Maluku yang dikonsumsi sebagai makanan utama (Simanjuntak 2006) Di perdesaan, konsumsi ubi jalar berhubungan dengan beberapa faktor fisik dan sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut antara lain kepadatan penduduk, daya dukung lahan dan PDRB/kapita. Daya dukung lahan memiliki hubungan positif dengan konsumsi ubi jalar. Semakin tinggi daya dukung lahan semakin tinggi pula konsumsi ubi jalar. Kepadatan penduduk dan PDRB/kapita memiliki hubungan negatif dengan konsumsi ubi jalar di perdesaan. Semakin tinggi kepadatan penduduk dan PDRB, konsumsi ubi jalar di perdesaan semakin rendah. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kepadatan penduduk berkaitan dengan banyaknya penduduk yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya. Semakin banyak penduduk maka semakin banyak pula kebutuhan pangan yang harus dipenuhi sementara lahan yang tersedia semakin sempit sehingga ketersediaan berkurang dan konsumsi juga menurun. Tabel 19. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi jalar di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel korelasi (r) regresi p Ketersediaan 0,372 Kepadatan penduduk -0,403* Daya dukung lahan 0,467* -0,273 0,023* Tingkat kemiskinan -0,071 PDRB -0,427* 5,029 0,042* Tingkat pendidikan -0,303 ** Signifikan pada p<0,01 *. Signifikan pada p<0,05 R-square: 0,345

53 PDRB/kapita merupakan gambaran pendapatan rata-rata penduduk. Masyarakat di perdesaan cenderung mengkonsumsi beras dan mi sebagai pangan pokok, sehingga kenaikan harga kedua bahan pangan tersebut dapat meningkatkan permintaan ubi jalar karena sifatnya sebagai pangan substitusi. Oleh karena itu, peningkatan pendapatan justru dapat meurunkan permintaan ubi jalar karena masyarakat lebih memilih mengkonsumsi beras dan mi. Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi ubi jalar di perdesaan adalah kepadatan penduduk, daya dukung lahan dan PDRB/kapita. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar di perdesaan yaitu daya dukung lahan dan PDRB/kapita (Tabel 19). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut: Y7*= 0,584-0,273 X3* +5,029 X5* Y7* : konsumsi ubi jalar di perdesaan (Y7) X3* : daya dukung lahan di perdesaan (disesuaikan; Ln X3) X5* : PDRB/kapita di perdesaan (disesuaikan; 1/X5) Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 0,584 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada daya dukung lahan dan PDRB/kapita maka konsumsi ubi jalar di perdesaan sebesar 0,584. Nilai koefisien regresi daya dukung lahan sebesar -0,273, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi jalarakan berkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Begitu pula dengan nilai koefisien regresi PDRB/kapita sebesar 5,029 menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, maka konsumsi ubi jalar akan bertambah sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan linier tersebut. Nilai R square model linier adalah 0,345, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 34,5% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini memberikan gambaran tentang konsumsi ubi jalar di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh daya dukung lahan dan PDRB/kapita. Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan suatu wilayah untuk mendukung jumlah penduduk pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari et al. 2005 diacu dalam Tola, et al. 2007). Semakin tinggi daya dukung menunjukkan