BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

dokumen-dokumen yang mirip
REGULASI EMOSI REMAJA YANG DIASUH SECARA OTORITER OLEH ORANGTUANYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

REGULASI EMOSI PADA REMAJA YANG MEMILIKI POLA ASUH OTORITER NASKAH PUBLIKASI. Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. konflik ini melibatkan orangtua dan remaja. Konflik orangtua dan remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II LANDASAN TEORI. oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP AGRESIFITAS ANAK DI TAMAN KANAK-KANAK KARTIKA 1-61 PADANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dalam kata lain sunat adalah memotong kulup atau khitan. Budaya (2012)

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi perhatian serius bagi orang tua, praktisi pendidikan, ataupun remaja

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN KEMANDIRIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada masa kanak-kanak dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Sebaliknya, suatu negara dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah, seorang anak akan mencontoh apa yang diajarkan dan dilakukan oleh setiap anggota keluarganya. Perilaku keluarga khususnya orang tua dalam menerapkan pola asuh terhadap anak akan berpengaruh pada proses tumbuh kembang anak terutama dalam membentuk kepribadian anak. Kepribadian anak akan menjadi baik atau tidak tergantung dari pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya. Orang tua yang cenderung menuntut dan mengekang dapat memberikan dampak negatif pada anak khususnya anak yang sudah beranjak remaja. Remaja yang dalam kehidupannya cenderung dituntut dan dikekang, justru akan berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologis remaja tersebut. Orang tua diharapkan mampu menerapkan pola asuh yang sesuai pada remaja dengan memberikan contoh yang baik serta dukungannya kepada remaja dalam mengembangkan bakat dan minat yang dimilikinya. Namun kenyataannya, masih banyak orang tua yang menerapkan pola asuh yang tidak sesuai kepada remaja, seperti pola asuh otoriter, dimana orang tua cenderung menuntut remaja dan tidak memberi dukungannya pada remaja. Pola asuh otoriter adalah pola asuh dimana orang tua cenderung mengandalkan kekuasaan daripada alasan untuk menegakkan tuntutan, menciptakan disiplin yang tinggi dan perilaku pengasuhan yang rendah, menilai kepatuhan sebagai suatu kebajikan, mendukung adanya hukuman sebagai usaha untuk menegakkan tuntutan 1

2 orang tua, tidak memberikan dorongan dan penerimaan secara verbal, dan menganggap bahwa keputusan mereka bersifat final (Baumrind, 1971, dalam Lagacé-Séguin dan d entremont, 2006). Barnadib (1986, dalam Aisyah, 2010) mengungkapkan bahwa orang tua yang otoriter cenderung tidak memberikan kesempatan pada anak untuk mengutarakan pendapat dan perasaannya, sehingga pola asuh otoriter cenderung mengakibatkan perilaku agresif. Hart dkk (2003, dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa orang tua yang otoriter kemungkinan sering juga melakukan tindakan yang tidak sesuai, seperti memukul anak, menuntut anak untuk mematuhi aturan yang kaku tanpa ada penjelasan dari orang tua, serta cenderung menunjukkan rasa marahnya pada anak. Seringkali anak dengan pola asuh otoriter tidak merasakan kebahagiaan, merasa ketakutan, merasa minder jika dibandingkan dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, serta kemampuan komunikasinya tergolong rendah. Anak laki laki dengan pola asuh otoriter memiliki kemungkinan untuk berperilaku agresif. Odebunmi (2007, dalam Okorodudu, 2010) mengungkapkan bahwa hasil dari beberapa laporan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan sebagian besar dari semua kenakalan remaja berasal dari rumah yang orang tuanya kurang memiliki cinta dan perhatian. Perhatian, cinta dan kehangatan tidak ada dalam membantu perkembangan emosional dan penyesuaian pada anak. Rahayu dkk (2008) mengungkapkan penelitiannya tentang pola asuh otoriter menunjukkan bahwa dalam kebudayaan Timur yang memiliki ciri kolektivisme, pola asuh otoriter tidak selalu menunjukkan dampak negatif, sebaliknya dalam kebudayaan Barat yang justru menunjukkan dampak negatif di dalam berbagai macam aspek kehidupan.

3 Menurut Baumrind (1971, dalam Lin dan Lian, 2011), orang tua yang otoriter biasanya menyebabkan perilaku agresif dan kenakalan pada anak anak di Negara Barat, hal ini dikarenakan ketika anak tidak mampu menghadapi dan mengontrol stress, mereka cenderung memberontak dan berperilaku nakal. Akan tetapi, tidak semua anak dalam pengasuhan ini yang berperilaku memberontak dan nakal, ada beberapa anak memiliki perilaku yang baik di bawah gaya pengasuhan ini. Brook dkk (1990, dalam Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa empat dari lima juta keluarga di Amerika cenderung mengalami konflik keluarga yang serius dan membuat tertekan, dimana konflik ini melibatkan orang tua dan remaja. Konflik orang tua dan remaja yang berkepanjangan dan terus menerus cenderung dihubungkan dengan sejumlah permasalahan yang terjadi pada remaja, seperti kabur dari rumah, kenakalan remaja, putus sekolah, kehamilan pra-nikah, pernikahan dini, keanggotaan di dalam suatu kelompok agama, dan penyalagunaan obat-obatan. Ang dan Goh (2006) mengungkapkan bahwa pola asuh otoriter memiliki konotasi negatif di Negara Barat karena menghasilkan dampak yang negatif pada remaja dan anak-anak. Namun, pola asuh otoriter tidak secara luas dikaitkan dengan dampak negatif pada remaja, terutama ketika mempelajari sampel non Kaukasia. Bahkan, pola asuh otoriter menghasilkan dampak positif pada remaja di Asia. Terry (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku kenakalan. Penelitian dilakukan terhadap 38 siswa remaja yang terdiri dari 17 siswa remaja laki laki dan 21 siswa remaja perempuan, juga 18 orang tua. Rentang usia dari subjek penelitiannya antara 18 tahun sampai 43 tahun. Semua siswa diambil dari kelas psikologi dan sosiologi di Grand Valley State University. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa dengan pola asuh otoriter cenderung lebih bermasalah, selain itu siswa juga lebih temperamen.

4 Okorodudu (2010) juga melakukan penelitian mengenai pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja. Penelitian dilakukan terhadap 404 sampel remaja pada sekolah menengah di Delta Central Senatorial District. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh otoriter tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kenakalan remaja, yang berarti bahwa pola asuh otoriter tidak dapat digunakan untuk memprediksi kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan Rahmania dan Putra (2006) terhadap 144 siswa Madrasah Tsanawiyah di Malang yang berusia antara 12 sampai 13 tahun tentang hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh otoriter orang tua dengan kecenderungan pemalu pada remaja awal, menunjukkan bahwa pola asuh otoriter memiliki hubungan dengan kecenderungan pemalu pada remaja awal. Sumiani pada tahun 2007 (dalam Sumiani, 2008) melakukan penjaringan masalah pada siswa di SMK negeri 2 Malang yang berhubungan dengan masalah kegelisahan dan kecemasan dalam menghadapi keluarga. Dari penjaringan ini didapatkan hasil bahwa terdapat siswa yang merasa orang tua membedakan dirinya dengan saudara kandungnya, siswa yang merasa tertekan dan ingin melarikan diri dari tekanan orang tuanya, serta siswa yang merasa jika orang tuanya tidak memberikan perhatian, kasih sayang, bahkan melupakannya. Penjaringan ini menunjukkan bahwa anak anak yang kurang mampu dalam menjalin hubungan dengan teman adalah anak anak dengan pola asuh otoriter dan permisif, dimana pola asuh ini secara tidak langsung memberikan penekanan dan batasan batasan yang berlebihan pada anak sehingga akan berpengaruh pada kehidupan sosial anak. Taganing dan Fortuna (2008) melakukan penelitian tentang hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Dari hasil penelitiannya terhadap remaja yang berusia antara 16 sampai 18 tahun menunjukkan bahwa pola asuh otoriter

5 memiliki hubungan dengan perilaku agresif remaja. Pemaksaan dan kontrol ketat yang diterapkan orang tua dapat menyebabkan anak tidak memiliki inisiatif serta memiliki keterampilan dalam berkomunikasi yang tergolong rendah. Hal itu dapat mengakibatkan anak sulit untuk bersosialisasi dengan teman temannya sehingga anak akan merasa kesepian dan membutuhkan perhatian dari orang lain dengan cara berperilaku agresif. Penelitian yang dilakukan Asmaliyah (2009) terhadap 80 siswa kelas VIII di SMP negeri 13 Malang menunjukkan bahwa persepsi remaja awal terhadap pola asuh otoriter memiliki hubungan dengan motivasi berprestasi. Semakin positif remaja awal berpersepsi terhadap pola asuh orang tua yang otoriter, maka akan semakin rendah pula motivasi berprestasi pada remaja tersebut. Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dkk (2008) terhadap 57 pasangan orang tua dan anak remaja yang berusia 12 sampai dengan 18 tahun di Ciawi, Tasik Malaya menunjukkan bahwa pola asuh otoriter tidak memiliki hubungan dengan kesehatan mental remaja. Hartanti (2011) juga melakukan penelitian terhadap 216 siswa di SMA negeri 10 Surabaya tentang hubungan pola asuh otoriter dengan konsep diri remaja akhir, dimana penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh otoriter tidak memiliki hubungan dengan konsep diri pada remaja akhir, sebab bukan hanya pola asuh otoriter yang dapat menentukan konsep diri remaja, akan tetapi masih ada faktor faktor lain yang menjadi penentu konsep diri remaja. Perilaku perilaku remaja yang cenderung negatif sebenarnya dapat dicegah apabila remaja memiliki kemampuan untuk mengatur emosinya. Kemampuan untuk mengatur emosi yang terjadi biasanya disebut dengan regulasi emosi. Gross (1998) mendefinisikan regulasi emosi sebagai suatu proses individu dalam mempengaruhi

6 emosi yang dimilikinya, kapan individu merasakannya, dan bagaimana individu mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut. Menurut Gross (1999) proses tersebut meliputi menurunkan dan meningkatkan emosi. Hal ini dikarenakan emosi merupakan suatu proses komponensial yang berkembang dari waktu ke waktu, dimana regulasi emosi melibatkan perubahan di dalam dinamika emosi (Thomson, 1990, dalam Gross, 2002). Regulasi emosi tidak hanya melibatkan pengalamanan afektif, tetapi juga melibatkan proses kognitif, perilaku, dan fisiologis. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa regulasi emosi merupakan faktor penting pada kemampuan anak dan remaja untuk mendorong perilaku prososial dan pro-akademik (Pekrun dkk, 2002, dalam Augustyniak dkk, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Chang dkk (2003) terhadap 325 pasangan orang tua dan anak di Cina menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang keras memiliki dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap agresi anak di lingkungan sekolah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh ibu yang keras dapat mempengaruhi regulasi emosi anak, sedangkan pola asuh ayah yang keras akan berpengaruh pada agresi anak. Pola asuh ayah yang keras cenderung berdampak pada anak laki laki daripada anak perempuan, sedangkan pola asuh ibu yang keras cenderung berdampak sama pada anak laki laki maupun perempuan. Terdapat bermacam macam strategi yang dapat digunakan oleh remaja untuk meregulasi emosinya supaya tidak meledak ledak dan bergelora. Menurut Frydenberg (2008, dalam Brown, 2011), ketidakmampuan seorang remaja dalam meregulasi respon emosinya terhadap peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan akan mengakibatkan terhambatnya perkembangan perilaku sosial mereka dan keberfungsian mereka di dalam keluarga dan masyarakat.

7 Penelitian yang dilakukan oleh Ongen (2010) terhadap 146 remaja laki laki dan 124 remaja perempuan di Turki, yang terdiri dari 147 siswa kelas IX (usia rata rata 15 tahun 10 bulan) dan 123 siswa kelas XI (usia rata rata 17 tahun 9 bulan) menunjukkan bahwa remaja laki laki dan perempuan cenderung menggunakan strategi regulasi seperti pemahaman ulang, pemusatan ulang yang positif, pemusatan ulang pada perencanaan, dan penilaian ulang yang positif. Pemahaman ulang cenderung ditemukan pada remaja perempuan daripada remaja laki laki. Sedangkan remaja laki laki cenderung menggunakan pemusatan ulang yang positif, pemusatan ulang pada perencanaan, dan penilaian ulang yang positif dibandingkan dengan remaja perempuan. Pada remaja perempuan, kasastrope dan menyalahkan orang lain menjadi prediksi untuk menentukan depresi, sedangkan pemusatan ulang yang positif dapat menjadi prediksi untuk menentukan tidak depresi. Bagi remaja laki laki, menyalahkan diri sendiri, pemahaman ulang, dan kasastrope dapat menjadi prediksi untuk menentukan depresi, sedangkan pemusatan ulang yang positif menjadi prediksi dalam menentukan tidak depresi. Pada siswa kelas IX, ditemukan bahwa kasastrope digunakan untuk memprediksi kepasrahan, sedangkan pada siswa kelas XI, pemahaman ulang dijadikan sebagai prediksi kepasrahan. Selain itu, penelitian tersebut juga menghasilkan laporan bahwa siswa kelas IX cenderung menggunakan strategi regulasi emosi seperti penerimaan daripada siswa kelas XI, hal ini menunjukkan bahwa remaja yang lebih muda cenderung menerima apa yang telah terjadi dibanding remaja yang lebih tua. Eisenberg (1991, dalam Chang dkk, 2003) menyatakan bahwa disregulasi emosi yang ditunjukkan oleh orang tua melalui penerapan pola asuh yang keras atau menghukum dapat mempengaruhi kemampuan anak anak mereka dalam meregulasi emosinya.

8 Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana regulasi emosi pada remaja yang memiliki pola asuh otoriter?. Berdasarkan rumusan masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Regulasi Emosi pada Remaja yang Memiliki Pola Asuh Otoriter. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan regulasi emosi pada remaja yang memiliki pola asuh otoriter. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis Dapat digunakan dalam khazanah keilmuan dalam bidang psikologi, yaitu psikologi perkembangan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Orangtua Menambah pengetahuan orang tua tentang bagaimana cara menerapkan pola asuh yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan putra / putrinya yang berusia remaja sehingga putra / putrinya tersebut tidak mengalami gangguan emosi yang berat.

9 b. Bagi Remaja Menambah pengetahuan remaja tentang strategi regulasi emosi, sehingga remaja diharapkan mampu mengelola serta mengontrol emosi yang dialami kearah yang positif. c. Bagi Pihak Sekolah Menambah pengetahuan pihak sekolah tentang regulasi pada remaja yang memiliki pola asuh otoriter, sehingga diharapkan pihak sekolah dapat mencegah dan meminimalisir dampak buruk dari penerapan pola asuh tersebut. d. Bagi Peneliti Lain Peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan, pertimbangan, sumbangan pikiran, serta dijadikan koreksi untuk melakukan penelitian yang lebih baik.