BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Barat). Luas wilayah Kecamatan Kabila sebesar 193,45 km 2 atau sebesar. desa Dutohe Barat dan Desa Poowo.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Secara administratif Desa Tabumela terletak di wilayah Kecamatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. wilayah kerja Puskesmas Buhu yang telah melaksanakan kegiatan klinik sanitasi,

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kode. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

BAB V PEMBAHASAN. kepadatan hunian tidak menunjukkan ada hubungan yang nyata.

HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT COMMON COLD PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMALATE KOTA GORONTALO TAHUN 2012

Gambar lampiran 1: Tempat Pencucian Alat masak dan makan hanya satu bak

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian cross sectional yaitu mempelajari hubungan penyakit dan

PANDUAN WAWANCARA PENDERITA TB PARU DI KLINIK SANITASI

BAB I PENDAHULUAN. Sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango. Wilayah kerja Puskesmas Kabila Bone terdiri dari 9

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KUESIONER SURVEY MAWAS DIRI

RUMAH SEHAT. Oleh : SUYAMDI, S.H, M.M Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 26 April sampai 10 Mei 2013 di Kelurahan

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida

OLEH: IMA PUSPITA NIM:

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

KUESIONER PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Nuangan terletak di Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow. a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tutuyan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Bintauna Kecamatan Bintauna terletak kurang lebih 100 M 2 dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4,48 Ha yang meliputi 3 Kelurahan masing masing adalah Kelurahan Dembe I, Kecamatan Tilango Kab.

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

KUISIONER SURVEY MAWAS DIRI

KESEHATAN DAN SANITASI LINGKUNGAN TIM PEMBEKALAN KKN UNDIKSHA 2018

BAB III METODE PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo pada bulan 30 Mei 13 Juni Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survey analitik dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius. 5 Tb paru ini bersifat menahun

KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU TERHADAP DEMAM BERDARAH PADA MASYARAKAT DI CIMAHI TENGAH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tikupon. b) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tomini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit

HUBUNGAN KONDISI RUMAH DENGAN KELUHAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUNTUNGAN KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan. parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis (radang

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGGINYA ANGKA KEJADIAN ISPA DI RW. 03 KELURAHAN SUKAWARNA WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKAWARNA KOTA BANDUNG TAHUN

LEMBAR KUESIONER UNTUK PENJAMAH MAKANAN LAPAS KELAS IIA BINJAI. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling banyak diderita oleh masyarakat. Sebagian besar dari infeksi

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Salah satu upaya pencegahan pneumonia yang berhubungan dengan lingkungan adalah dengan menciptakan lingkungan hidup yang baik.

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB III METODE PENELITIAN

1. Pendahuluan SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DAN UPAYA PENGENDALIAN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN PADA KAWASAN KUMUH KECAMATAN MEDAN MAIMUN KOTA MEDAN

HUBUNGAN PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN ISPA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TEMON II KULON PROGO TAHUN 2012

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto terbentuk/lahir sejak tahun 1928 yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Panti Asuhan Harapan Kita. merupakan Panti Asuhan yang menampung anak-anak terlantar dan yang sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis,

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab IV ini membahas hasil penelitian yaitu analisa univariat. dan bivariat serta diakhiri dengan pembahasan.

BAB 1 : PENDAHULUAN. ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

melebihi 40-70%, pencahayaan rumah secara alami atau buatan tidak dapat menerangi seluruh ruangan dan menyebabkan bakteri muncul dengan intensitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Buol termasuk di Kecamatan Biau Kabupaten Buol Ibu Kota

ABSTRAK RESIKO KEJADIAN ISPA PADA PEROKOK PASIF DAN PENGGUNA KAYU BAKAR DI RUMAH TANGGA

PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN SIKUMANA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan manusia akan protein hewani, ini ditandai dengan peningkatan produksi daging

BAB III METODE PENELITIAN

TL-2271 Sanitasi Berbasis Masyarakat Minggu 3

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

I. PENENTUAN AREA MASALAH

Lampiran 1. Denah Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjung Gusta Medan

SUMMARY GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA TBC PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAGIMANA KECAMATAN PAGIMANA KABUPATEN BANGGAI TAHUN 2012

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG HYGIENE MAKANAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS JATIBOGOR TAHUN 2013

BAB IV HASIL PENELITIAN. Karanganyar terdapat 13 perusahaan tekstil. Salah satu perusahaan di daerah

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi 4.1.1 Keadaan Geografi Wilayah kerja Puskesmas Kabila berada di wilayah Kecamatan Kabila yang wilayahnya terdiri dari 5 Kelurahan (Kelurahan Pauwo, Tumbihe, Padengo, Oluhuta, Oluhuta Utara) dan 7 Desa (Desa Poowo, Poowo Barat, Talango, Toto Selatan, Tanggilingo, Dutohe, dan Dutohe Barat). Luas wilayah Kecamatan Kabila sebesar 193,45 km 2 atau sebesar 13,94% dari luas wilayah Kabupaten Bone Bolango, desa terluas adalah desa Dutohe Barat dan Desa Poowo. Puskesmas Kabila terletak di Kelurahan Oluhuta dengan batas wilayah kerjanya sebagai berikut: Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Tilongkabila : berbatasan dengan Kecamatan Suwawa : berbatasan dengan Kecamatan Botupingge : berbatasan langsung dengan Kota Gorontalo 4.1.2 Keadaan Demografis a. Penduduk Penduduk Kecamatan Kabila ini terus mengalami peningkatan, sehingga penduduk Kecamatan Kabila tahun 2011 berjumlah 20.627

39 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10.032 dan perempuan 10.594 jiwa dan terdiri dari 5.781 Kepala Keluarga. b. Agama Penduduk Kecamatan Kabila mayoritas memeluk Agama Islam, selain itu juga ada penganut agama Kristen, tapi mereka hidup rukun saling menghormati dan menghargai satu sama lain. a. Mata Pencaharian Sebagian besar Kecamatan Kabila adalah areal persawahan dan perkebunan, maka sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Tanggilingo bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan jagung. Ada juga sebagian masyarakat yang menggeluti profesi sebagai pengemudi bentor, kendaraan yang menjadi favorit masyarakat Gorontalo pada umumnya saat ini. Di Kecamatan Kabila juga banyak kelompok-kelompok usaha bersama yang tersebar di 5 kelurahan dan 7 desa. 4.1.3 Keadaan Sarana dan Prasarana Kesehatan a. Ketersediaan Sarana Pelayanan Kesehatan Adapun jumlah sarana kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kabila adalah sebagai berikut : 1. Puskesmas induk : 1 buah 2. Puskesmas pembantu : 1 buah 3. Posyandu : 33 buah 4. Polindes : 2 buah

40 5. Apotik : 1 buah b. Alat Transportasi : 1. Kendaraan operasional pusling : 1 buah 2. Kendaraan roda dua : 4 buah c. Klasifikasi Tenaga Kesehatan 1. Dokter umum : 5 orang 2. Dokter gigi : 1 orang 3. SKM : 1 orang 4. Petugas Gizi: 1 orang 5. Perawat : 6 orang 6. Sanitarian : 3 orang 7. Pekarya : 2 orang 8. Sopir : 1 orang 9. Bidan terlatih : 7 orang 10. Kader posyandu: 99 orang 11. Bidan desa : 6 orang 12. Guru UKS : 18 orang 7. Administrasi kesehatan: 1 orang 4.2 Hasil Penelitian Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan berupa analisis univariat maupun analisis bivariat, maka hasil penelitian tentang Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Tahun 2012 adalah sebagai berikut : 4.2.1 Analisis Univariat 4.2.1.1 Distribusi Responden Menurut Umur Di wilayah kerja Puskesmas Kabila pada hasil penelitian didapatkan distribusi responden menurut umur, dimana masing-masing

41 responden (ibu balita) memiliki umur yang berbeda.adapun klasifikasi umur responden terdiri dari umur < 20 tahun, 20-24 tahun, 25-29 tahun, 32-34 tahun, dan > 34 tahun.hal ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.1 Distribusi Responden Menurut Umur Umur (Tahun) n % < 20 7 2.4 20-24 49 16.5 25-29 89 32.0 30-34 80 27.9 > 34 72 24.2 297 100.0 Dari tabel 4.1 menunjukkan bahwa distribusi responden menurut kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 25-29 tahun yaitu sebanyak 89 orang atau 32%. Sedangkan kelompok umur yang paling sedikit adalah kelompok umur < 20 tahun sebanyak 7 orang atau 2,4%. 4.2.1.2 Distribusi Responden Menurut Kelurahan/Desa distribusi responden menurut kelurahan/desa yang terdiri dari Kelurahan Pauwo, Tumbihe, Padengo, Oluhuta, Oluhuta Utara, Desa Poowo, Poowo Barat, Talango, Toto Selatan, Tanggilingo, Dutohe, dan Dutohe Barat. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

42 Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Kelurahan/Desa Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Tahun 2012 Kelurahan/Desa n % Pauwo 48 16.2 Tumbihe 35 11.8 Oluhuta 20 6.7 Oluhuta utara 15 5.1 Poowo barat 24 8.1 Toto selatan 23 7.7 Talango 16 5.4 Poowo 24 8.1 Padengo 42 14.1 Tanggilingo 15 5.1 Dutohe barat 17 5.7 Dutohe 18 6.1 297 100.0 Dari tabel 4.2 menunjukkan bahwa distribusi responden menurut kelurahan/desayang terbanyak adalah Kelurahan Pauwo sebanyak 48 orang atau sebesar 16,2% sedangkan kelurahan/desa yang paling sedikit adalah Kelurahan Oluhuta Utara dan Desa Tanggilingo masing-masing sebanyak 15 orang atau sebesar 5,1%. 4.2.1.3 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan distribusi responden menurut pekerjaan, yang terdiri dari URT, PNS, honor, wiraswasta, dokter, dan mahasiswa. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

43 Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Pekerjaan n % URT 244 82.2 PNS 38 12.8 Honor 7 2.4 Dokter 1 0.3 Wiraswasta 4 1.3 Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa distribusi responden menurut pekerjaan yang paling banyak adalah Usaha Rumah Tangga (URT) sebanyak 244 orang atau 82,2 % dan yang paling sedikit adalah dokter sebanyak 1 orang atau 0,3%. Mahasiswa 3 1.0 297 100.0 4.2.1.4 Distribusi Responden Menurut Tipe Rumah distribusi responden menurut tipe rumah, yang terdiri dari permanen, semi permanen dan non permanen. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.4 Distribusi Responden Menurut Tipe Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Tahun 2012 Tipe Rumah n % Permanen 131 44.1 Semi Permanen 122 41.1 Non Permanen 44 14.8 297 100.0

44 Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa distribusi responden menurut tipe rumah yang terbanyak adalah tipe permanen sebanyak 131 atau 44,1% dan yang paling sedikit adalah tipe non permanen sebanyak 44 atau 14,8%. 4.2.1.5 Distribusi Balita Menurut Umur distribusi balita menurut umur, dimana masing-masing balita memiliki umur yang berbeda yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Adapun klasifikasi umur balita terdiri dari kelompok umur 0-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan dan 48-59 bulan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.5 Distribusi Balita Menurut Umur Umur (Bulan) n % 0 11 91 32.6 12 23 67 22.6 24 35 51 17.2 36 47 39 13.1 48 59 49 16.5 297 100.0 Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa distribusi balita menurut kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 0 11 bulan sebanyak 91 orang atau sebesar 32,6% sedangkan kelompok umur yang paling sedikit adalah kelompok umur 36 47 bulan sebanyak 39 orang atau sebesar 13,1%.

45 4.2.1.6 Distribusi Balita Menurut Jenis Kelamin distribusi balita menurut jenis kelamin. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.6 Distribusi Balita Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin n % Laki Laki 150 50.5 Perempuan 147 49.5 297 100.0 Dari tabel 4.6 menunjukkan bahwa distribusi balita menurut jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki sebanyak 152 orang atau sebesar 52,5% sedangkan perempuan sebanyak 147 orang atau 49,5%. 4.2.1.7 Distribusi Balita Berdasarkan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) distribusi balita berdasarkan kejadian ISPA dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.7 Distribusi Balita Berdasarkan n % Ya 232 78.1 Tidak 65 21.9 297 100.0

46 Dari tabel 4.7 menunjukkan bahwa distribusi balita menurut kejadian ISPA terbanyak adalah penderita ISPA sebanyak 232 atau sebesar 78,1% dibandingkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 65 atau 21,9%. 4.2.1.8 Distribusi Balita Berdasarkan Ventilasi Rumah distribusi balita berdasarkan ventilasi rumah. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut : Tabel 4.8 Distribusi Balita Berdasarkan Ventilasi Rumah Ventilasi Rumah n % Tidak memenuhi syarat 143 48.1 Memenuhi syarat 154 51.9 297 100.0 Dari tabel 4.8 menunjukkan bahwa distribusi balita berdasarkan ventilasi rumahyang paling banyak yaitu memenuhi syarat sebanyak 154 atau 51,9% sedangkan ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebanyak 143 atau 48,1%. 4.2.1.9 Distribusi Balita Berdasarkan Pencahayaan Alami distribusi balita berdasarkan pencahayaan alami. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut :

47 Tabel 4.9 Distribusi Balita Berdasarkan Pencahayaan Alami Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Tahun 2012 Pencahayaan Alami Dari tabel 4.9 menunjukkan bahwa distribusi balita berdasarkan pencahayaan alami yang paling banyak yaitu pencahyaan alami yang baik sebanyak 252 atau 84,8% sedangkan yang tidak baik pencahayaannya sebanyak 45 atau 15,2%. n % Tidak baik 45 15.2 Baik 252 84.8 297 100.0 4.2.1.10 Distribusi Balita Berdasarkan Kepadatan Hunian distribusi balita berdasarkan kepadatan hunian. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 4.10 Distribusi Balita Berdasarkan Kepadatan Hunian Kepadatan Hunian n % Padat 171 57.6 Tidak padat 126 42.4 297 100.0 Dari tabel 4.10 menunjukkan bahwa distribusi balita berdasarkan kepadatan hunian yang paling banyak yaitu terjadi kepadatan sebanyak 171atau 57,6% sedangkan untuk yang tidak padat sebanyak 127 atau 42,4%.

48 4.2.1.11 Distribusi Balita Berdasarkan Keterpaparan Asap Rokok distribusi balita berdasarkan keterpaparan asap rokok. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut : Tabel 4.11 Distribusi Balita Berdasarkan Keterpaparan Asap Rokok Keterpaparan asap rokok n % Terpapar 244 82.2 Tidak terpapar 53 17.8 297 100.0 Dari tabel 4.11 menunjukkan bahwa distribusi balita berdasarkan adanya paparan asap rokok dalam rumah yang paling banyak yaitu 244 atau 82,2% dibandingkan dengan tidak adanya paparan asap rokok (17,8%). 4.2.1.12 Distribusi Balita Berdasarkan Bahan Bakar Memasak distribusi balita berdasarkanbahan bakar memasak yang terdiri dari kayu dan kompor (minyak tanah, gas). Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut : Tabel 4.12 Distribusi Balita Berdasarkan Bahan Bakar Memasak Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Tahun 2012 Bahan Bakar Memasak n % Kayu 150 52.5 Kompor(minyak tanah, gas) 147 49.5 297 100.0

49 Dari tabel 4.12 menunjukkan bahwa distribusi balita berdasarkan bahan bakar memasak, dimana kayu bakar yang digunakan paling banyak yaitu 152 atau 52,5% dibandingkan yang menggunakan komporminyak tanah atau elpiji sebanyak 147 atau 49,5%. 4.2.1.13 Distribusi Balita Berdasarkan Penggunaan Anti Nyamuk distribusi balita berdasarkan penggunaan anti nyamuk yang terdiri dari anti nyamuk bakar dan elektrik, semprotan nyamuk, lotion dan kelambu. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut : Tabel 4.13 Distribusi Balita Berdasarkan Penggunaan Anti Nyamuk Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Tahun 2012 Penggunaan Anti Nyamuk n % Bakar 158 53.2 Elektrik, semprotan, dll 139 46.8 297 100.0 Dari tabel 4.13 menunjukkan bahwa distribusi balita berdasarkanpenggunaan anti nyamuk, dimana obat nyamuk bakar yang paling banyak yaitu 158 atau 53,2% dan yang menggunakan anti nyamuk elektrik, semprotan nyamuk, lotion dan kelambu sebanyak 139 atau 46,8%. 4.2.1.14 Distribusi Balita Berdasarkan Cara Pembuangan Sampah distribusi balita berdasarkan cara pembuangan sampah yaitu sampah dengan

50 cara dibakar dan sampah dengan cara dibuang ke tempat sampah (tanpa dibakar). Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut : Tabel 4.14 Distribusi Balita Berdasarkan Cara Pembuangan Sampah Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Tahun 2012 Cara Pembuangan Sampah n % Dibakar 167 56.2 Dibuang 130 43.8 297 100.0 Dari tabel 4.14 menunjukkan bahwa distribusi balita berdasarkan cara pembuangan sampah, dimanasampah dengan cara dibakar yang paling banyak yaitu 167 atau 56,2% dibandingkan yang membuang sampah tanpa dibakar sebanyak 132 atau 43,8%. 4.2.1.15 Distribusi Berdasarkan Umur Responden distribusi kejadian ISPA berdasarkan umur responden. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut :

51 Tabel 4.15 Distribusi Berdasarkan Umur Responden Umur Responden Ya Tidak (Tahun) n % n % n % < 20 5 71.4 2 28.6 7 2.4 20-24 37 75.5 12 24.5 49 16.5 25-29 74 83.1 15 16.9 89 32.0 30-34 57 71.3 23 28.8 80 27.9 > 34 59 81.9 13 18.1 72 24.2 232 78,1 65 21,9 297 100 Berdasarkan tabel 4.15 terlihat bahwa jumlah balita yang menderita ISPA yang tinggal dengan responden berumur 25 29 tahun sebesar 83,1% lebih banyak dibandingkan dengan umur responden yang lain. 4.2.1.16 Distribusi Berdasarkan Pekerjaan Responden distribusi kejadian ISPA berdasarkan pekerjaan responden. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut :

52 Tabel 4.16 Distribusi Berdasarkan Pekerjaan Responden Pekerjaan Ya Tidak n % n % n % URT 195 79,9 49 20,1 244 82.2 PNS 25 65,8 13 34,2 38 12.8 Honor 5 71,4 2 28,6 7 2.4 Dokter 1 100 0 0 1 0.3 Wiraswasta 3 75 1 25 4 1.3 Mahasiswa 3 100 0 0 3 1.0 232 78,1 65 21,9 297 100 Berdasarkan tabel 4.16 terlihat bahwa jumlah balita yang menderita ISPA dengan pekerjaan responden dokter sebesar 100% lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan responden yang lain. 4.2.1.17 Distribusi Berdasarkan Umur Balita distribusi kejadian ISPA berdasarkan umur balita. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut :

53 Tabel 4.17 Distribusi Berdasarkan Umur Balita Umur Balita Ya Tidak (Bulan) n % n % n % 0 11 59 64,8 32 35,2 91 32.6 12 23 59 88,1 8 11,9 67 22.6 24 35 44 86,3 7 13,7 51 17.2 36 47 30 76,9 9 23,1 39 13.1 48 59 40 81,6 9 18,4 49 16.5 232 78,1 65 21,9 297 100 Berdasarkan tabel 4.17 terlihat bahwa jumlah balita yang menderita ISPA lebih banyak balita yang berumur 12 23 bulan atau setara dengan umur 2 tahun sebesar 88,1% dibandingkan dengan umur balita yang lain. 4.2.1.18 Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin Balita distribusi kejadian ISPA berdasarkan jenis kelamin balita. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut : Tabel 4.18 Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin Balita Jenis Kelamin Ya Tidak n % n % n % Laki - laki 118 78,7 32 21,3 150 50.5 Perempuan 114 77,6 33 22,4 147 49.5 232 78,1 65 21,9 297 100

54 Berdasarkan tabel 4.18 terlihat bahwa jumlah balita yang menderita ISPA lebih banyak jenis kelamin balitalaki laki sebesar 78,7% dibandingkan dengan perempuan. 4.2.1.19 Distribusi Berdasarkan Alamat Responden distribusi kejadian ISPA berdasarkan alamat responden. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut : Tabel 4.19 Distribusi Berdasarkan Alamat Responden Alamat Ya Tidak n % n % n % Pauwo 37 77,1 11 22,9 48 16.2 Tumbihe 22 62,9 13 37,1 35 11.8 Oluhuta 17 85,0 3 15,0 20 6.7 Oluhuta utara 9 60 6 40 15 5.1 Poowo barat 21 87,5 3 12,5 24 8.1 Toto selatan 17 73,9 6 26,1 23 7.7 Talango 15 93,8 1 6,3 16 5.4 Poowo 21 87,5 3 12,5 24 8.1 Padengo 32 76,2 10 23,8 42 14.1 Tanggilingo 13 86,7 2 13,3 15 5.1 Dutohe barat 15 88,2 2 11,8 17 5.7 Dutohe 13 72,2 5 27,8 18 6.1 232 78,1 65 21,9 297 100 Berdasarkan tabel 4.19 terlihat bahwa jumlah balita yang menderita ISPA lebih banyak tinggal di desa Talango sebesar 93,8% dibandingkan dengan desa/kelurahan yang lain.

55 4.2.1.20 Distribusi Berdasarkan Tipe Rumah distribusi kejadian ISPA berdasarkan tipe rumah. Hal ini dapat terlihat pada tabel berikut : Tipe Rumah Tabel 4.20 Distribusi Berdasarkan Tipe Rumah Ya Tidak n % n % n % Permanen 104 79,4 27 20,6 131 44.1 Semi Permanen 91 74,6 31 25,4 122 41.1 Non Permanen 37 84,1 7 15,9 44 14.8 232 78,1 65 21,9 297 100 Berdasarkan tabel 4.20 terlihat bahwa jumlah balita yang menderita ISPA lebih banyak tinggal di rumah yang tipe non permanen sebesar 84,1% dibandingkan dengan tipe rumah permanen dan semi permanen. 4.2.2 Analisis Bivariat 4.2.2.1 Distribusi Berdasarkan Ventilasi Rumah pola hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita dapat digambarkan pada tabel berikut ini :

56 Tabel 4.21 Distribusi Berdasarkan Ventilasi Rumah Ventilasi Rumah Ya Tidak χ 2 n % n % n % Tidak memenuhi syarat 111 77,6 32 22,4 143 48,1 Memenuhi syarat 121 78,6 33 21,4 154 51,9 232 78,1 65 21,9 297 100,0 hitung 0,039 Berdasarkan tabel 4.21 terlihat bahwa jumlah balita yang tinggal di rumah memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar 77,6% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (22,4%), sedangkan jumlah balita yang tinggal di rumah memiliki ventilasi yang memenuhi syarat sebesar 78,6% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (21,4%). Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini. 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% 77.6% 78.6% Tidak memenuhi syarat 22.4% 21.4% Memenuhi syarat ISPA Tidak ISPA Ventilasi Rumah Gambar 4.1 Distribusi Berdasarkan Ventilasi Rumah Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.21 diperoleh dari uji Chi square bahwa χ 2 hitung (0,039) < dari χ 2 tabel(3,841), yang berarti H 0 diterima

57 yaitu tidak ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita. 4.2.2.2 Distribusi Berdasarkan Pencahayaan Alami Di wilayah kerja Puskesmas Kabila pada hasil penelitian didapatkan pola hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada balita dapat digambarkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.22 Distribusi Berdasarkan Pencahayaan Alami Pencahayaan Alami Ya Tidak χ 2 n % n % n % Tidak baik 36 80 9 20 45 15,2 Baik 196 77,8 56 22,2 252 84,8 232 78,1 65 21,9 297 100,0 hitung 0,110 Berdasarkan tabel 4.22 terlihat bahwa bahwa jumlah balita yang tinggal di rumah memiliki pencahayaan alami yang tidak baik sebesar 80% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (20%), sedangkan jumlah balita yang tinggal di rumah memiliki pencahayaan alami yang baik sebesar 77,8% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (22,2%). Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini.

58 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% 80.0% 77.8% 20.0% 22.2% Tidak Baik Baik ISPA Tidak ISPA Pencahayaan Alami Gambar 4.2 Distribusi Berdasarkan Pencahayaan Alami Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.16 diperoleh dari uji Chi square bahwa χ 2 hitung (0,110) < dari χ 2 tabel (3,841), yang berarti H 0 diterima yaitu tidak ada hubungan pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada balita. 4.2.2.3 Distribusi Berdasarkan Kepadatan Hunian Di wilayah kerja Puskesmas Kabila pada hasil penelitian didapatkan pola hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita dapat digambarkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.23 Distribusi Berdasarkan Kepadatan Hunian Kepadatan Hunian Ya Tidak χ 2 n % n % n % Padat 138 80,7 33 19,3 171 57,6 Tidak Padat 94 74,6 32 25,4 126 42,4 232 78,1 65 21,9 297 100,0 hitung 1,578

59 Berdasarkan tabel 4.23 terlihat bahwa bahwa jumlah balita yang tinggal di rumah yang tergolong padat sebesar 80,7% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (19,3%), sedangkan jumlah balita yang tinggal di rumah yang tergolong tidak padat sebesar 74,6% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (25,4%). Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini. 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% 80.7% 74.6% 19.3% 25.4% Padat Tidak Padat ISPA Tidak ISPA Kepadatan Hunian Gambar 4.3 Distribusi Berdasarkan Kepadatan Hunian Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.23 diperoleh dari uji Chi square bahwa χ 2 hitung (1,578) < dari χ 2 tabel (3,841), yang berarti H 0 diterima yaitu tidak ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. 4.2.2.4 Distribusi Berdasarkan Keterpaparan Asap Rokok Di wilayah kerja Puskesmas Kabila pada hasil penelitian didapatkan pola hubungan antara keterpaparan asap rokok dengan kejadian penyakit ISPA pada balita dapat digambarkan pada tabel berikut ini :

60 Tabel 4.24 Distribusi Berdasarkan Keterpaparan Asap Rokok Keterpaparan asap rokok Ya Tidak n % n % n % χ 2 Terpapar 192 78,7 52 21,3 244 82,2 Tidak terpapar 40 75,5 13 24,5 53 17,8 232 78,1 65 21,9 297 100,0 hitung 0,264 Berdasarkan tabel 4.24 terlihat bahwa jumlah balita yang terpapar dengan asap rokok sebesar 78,7% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (21,3%), sedangkan jumlah balita yang tidak terpapar asap rokok sebesar 75,5% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (24,5%). Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini. 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% 78.7% 75.5% 21.3% 25.0% Ada Tidak Ada ISPA Tidak ISPA Keterpaparan Asap Rokok Gambar 4.4 Distribusi Berdasarkan Keterpaparan Asap Rokok Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.24 diperoleh dari uji Chi square bahwa χ 2 hitung (0,264) < dari χ 2 tabel (3,841), yang berarti H 0 diterima

61 yaitu tidak ada hubungan keterpaparan asap rokok dengan kejadian ISPA pada balita. 4.2.2.5 Distribusi Berdasarkan Bahan Bakar Memasak Di wilayah kerja Puskesmas Kabila pada hasil penelitian didapatkan pola hubungan antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita dapat digambarkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.25 Distribusi Berdasarkan Bahan Bakar Memasak Bahan Bakar Memasak Ya Tidak n % n % n % Kayu 123 82 27 18 150 50,2 Kompor 109 74,1 38 25,9 147 49,5 232 78,1 65 21,9 297 100,0 χ 2 hitung 2,676 Berdasarkan tabel 4.25 terlihat bahwa bahwa jumlah balita yang tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar kayu sebesar 82% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (18%), sedangkan jumlah balita yang tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar kompor sebesar 74,1% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (25,9%). Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini.

62 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 82.0% 18.0% 74.1% 25.9% ISPA Tidak ISPA 0.0% Kayu Kompor Bahan Bakar Masak Gambar 4.5 Distribusi Berdasarkan Bahan Bakar Memasak Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.25 diperoleh dari uji Chi square bahwa χ 2 hitung (2,676) < dari χ 2 tabel (3,841), yang berarti H 0 diterima yaitu tidak ada hubungan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita. 4.2.2.6 Distribusi Berdasarkan Penggunaan Anti Nyamuk Di wilayah kerja Puskesmas Kabila pada hasil penelitian didapatkan pola hubungan antara penggunaan anti nyamuk dengan kejadian penyakit ISPA pada balita dapat digambarkan pada tabel berikut : Tabel 4.26 Distribusi Berdasarkan Penggunaan Anti Nyamuk Penggunaan Anti Nyamuk Ya Tidak n % n % n % χ 2 hitung ρ value Bakar 131 82,9 27 17,1 158 53,2 4,544 Elektrik, dll 101 72,7 38 27,3 139 46,8 0,033 232 78,1 65 21,9 297 100,0

63 Berdasarkan tabel 4.26 terlihat bahwa jumlah balita yang tinggal di rumah yang menggunakan anti nyamuk bakar sebesar 82,9% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (17,1%), sedangkan jumlah balita yang tinggal di rumah yang menggunakan anti nyamuk elektrik dan lain sebagainya sebesar 72,7% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (27,3%). Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini. 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% 82.9% 17.1% Bakar 72.7% 27.3% Elektrik, dll ISPA Tidak ISPA Penggunaan Anti Nyamuk Gambar 4.6 Distribusi Berdasarkan Penggunaan Anti Nyamuk Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.26 diperoleh dari uji Chi square bahwa χ 2 hitung (4,544) > dari χ 2 tabel (3,841), yang berarti H 0 ditolak yaitu ada hubungan penggunaan anti nyamuk dengan kejadian ISPA pada balita. 4.2.2.7 Distribusi Berdasarkan Cara Pembuangan Sampah Di wilayah kerja Puskesmas Kabila pada hasil penelitian didapatkan pola hubungan antara cara pembuangan sampah dengan

64 kejadian penyakit ISPA pada balita dapat digambarkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.27 Distribusi Berdasarkan Cara Pembuangan Sampah Cara Pembuangan Sampah Ya Tidak χ 2 n % n % n % Dibakar 132 79 35 21 167 56,2 Dibuang 100 76,9 30 23,1 130 43,8 232 78,1 65 21,9 297 100,0 hitung 0,192 Berdasarkan tabel 4.27 terlihat bahwa jumlah balita yang tinggal di rumah yang membuang sampah dengan cara dibakar sebesar 79% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (21%), sedangkan jumlah balita yang tinggal di rumah yang membuang sampah dengan cara dibuang tanpa dibakar sebesar 76,9% lebih banyak terdistribusi pada penderita ISPA dibandingkan yang tidak menderita ISPA (23,1%). Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut ini. 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0% 79.0% 76.9% 21.0% 23.1% Dibakar Dibuang ISPA Tidak ISPA Cara Pembuangan Sampah Gambar 4.7 Distribusi Berdasarkan Cara Pembuangan Sampah

65 Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.27 diperoleh dari uji Chi square bahwa χ 2 hitung (0,192) < dari χ 2 tabel (3,841), yang berarti H 0 diterima yaitu tidak ada hubungan cara pembuangan sampah dengan kejadian ISPA pada balita. 4.3 Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan faktor lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabila, selanjutnya akan dibahas sesuai dengan variabel yang diteliti. 4.3.1 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena berfungsi sebagai sarana untuk menjamin kualitas dan sirkulasi masuk keluarnya udara dalam ruangan, menjaga agar aliran udara di dalam ruangan tetap segar, bersih dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen (Notoatmodjo, 2003). Dari hasil analisis uji Chi square untuk hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabila, didapatkan nilai χ 2 hitung (0,039) < dari χ 2 tabel (3,841) atau nilai p(0,843)>α (0,05), yang berarti tidak ada hubungan signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan observasi di lapangan bahwa sebagian besar (78,6%) rumah responden memiliki ventilasi rumah yang memenuhi syarat yang sering

66 terjadi pada penderita ISPA. Hal ini karena pengetahuan orang tua yang memadai mengenai syarat rumah sehat, narnun banyak balita yang menderita ISPA dikarenakan adanya faktor perubahan musim sehingga kondisi daya tahan tubuh anak lemah dapat memicu terjadinya ISPA. Gangguan batuk sering timbul pada saat pergantian musim (pancaroba) atau pada musim hujan atau cuaca dingin. Hal ini karena virus dan bakteri penyebab ISPA lebih tahan pada suhu yang dingin, sehingga infeksi saluran pemapasan sangat mudah menular, terutama melalui udara. Disamping itu, anak laki-laki biasanya mandi hujan, masuk angin, serta bau kotoran ternak jika responden memiliki kandang ternak. Hal ini dapat menentukan besar kecilnya risiko terjadinya ISPA dan menunjukkan tidak ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Oktaviani (2009) yang menyimpulkan bahwa ventilasi rumah sangat berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita, sebab kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O 2 (oksigen) di dalam rumah yang berarti kadar CO 2 (karbondioksida) yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. 4.3.2 Hubungan Pencahayaan Alami dengan Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya TBC, ISPA. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup (Notoatmodjo, 2007: 171).

67 Dari hasil analisis uji Chi square untuk hubungan pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabila, didapatkan nilai χ 2 hitung (0,110) < dari χ 2 tabel (3,841) atau nilai p (0,740) > α (0,05), yang berarti tidak ada hubungan signifikan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian ISPA. Berdasarkan observasi di lapangan bahwa sebagian besar (80%) responden memiliki pencahayaan alami yang buruk, paling banyak terdistribusi pada penderita ISPA. Hal ini karena terjadi kepadatan rumah di suatu wilayah sehingga sinar matahari sulit masuk melalui ventilasi rumah yang terhalang oleh pohon besar dan rumah yang berdekatan. Namun, hal ini tidak ada hubungan dengan pencahayaan alami yang buruk, sebab sebagian besar (84,1%) rumah non permanen yang sering mengalami penyakit ISPA pada balita. Oleh karena itu, rumah tersebut terbuat dari papan/bambu jika terjadi hujan maka kondisi rumah menjadi lembab sehingga menimbulkan pertumbuhan bakteri pathogen dalam rumah. Selain itu, karena kurangnya kelengkapan imunisasi pada anak, faktor debu rumah, terutama anak alergi terhadap debu, dan kebiasaan anak minum es pada siang hari. Disamping itu juga dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan orang tua tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan syarat rumah sehat. Hal ini dengan adanya kebiasaan buruk dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higienis dapat memperbesar risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita serta tidak terdapat hubungan pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada balita.

68 Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Yunita (2010), yang menyimpulkan bahwa ada hubungan pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada pembuat gula aren di Kecamatan Pandanarum, sebab kebiasaan penghuni rumah yang tidak membuka jendela kamar dan dibiarkan tertutup sehingga cahaya matahari tidak dapat masuk ke dalam kamar akibatnya ruangan menjadi lembab, dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri penyakit sehingga akan mempengaruhi terjadinya penularan ISPA. 4.3.3 Hubungan Kepadatan Hunian Dengan Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa untuk ketetapan luas rumah, jumlah, dan ukuran ruangan harus disesuaikan dengan jumlah orang yang akan menempati rumah tersebut agar tidak terjadi kelebihan jumlah penghuni rumah. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan perjubelan (over crowded). Dari hasil analisis uji Chi square untuk hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabila, didapatkan nilai χ 2 hitung (1,578) < dari χ 2 tabel (3,841) atau nilai p(0,209) >α (0,05), yang berarti tidak ada hubungan signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA. Berdasarkan observasi di lapangan bahwa sebagian besar (80,7%) kepadatan hunian responden masih padat dan ISPA sering terjadi pada anak.

69 Hal ini memungkinkan anggota keluarga responden yang tinggal dalam satu rumah itu tidak menetap karena sebagian dari mereka bekerja di luar kota sehingga tidak terjadi kepadatan hunian yang berkepanjangan. Selain itu, kebiasaan anak sering bermain dengan binatang kesayangannya, sering memasukkan ke dalam mulut barang-barang mainan yang dipegang, banyaknya perabot-perabot rumah dan banyak baju yang digantung dengan luas bangunannya yang kecil mengakibatkan sesak didalamnya, kebiasaan memasang kipas angin bila ruangannya panas bahkan anak balita pun sering tidur di lantai yang berdebu. Hal ini, tanpa disadari kebiasaan buruk tersebut merupakan proses masuknya virus dan bakteri atau proses penularan terjangkitnya penyakit ISPA pada anak balita dan ternyata tidak ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Naria (2008) menyimpulkan bahwa kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian ISPA dan merupakan faktor risiko kejadian ISPA, sebab penghuni yang terlalu padat bila ada penghuni yang sakit maka dapat mempercepat penularan penyakit tersebut. 4.3.4 Hubungan Keterpaparan Asap Rokok Dengan Berbagai penelitian membuktikan asap rokok yang ditebarkan orang lain, imbasnya bisa menyebabkan berbagai penyakit, bukan saja pada orang dewasa, tapi terutama pada bayi dan anak-anak. Mulai dari aneka gangguan

70 pernapasan pada bayi, infeksi paru dan telinga, gangguan pertumbuhan, sampai kolik (gangguan pada saluran pencernaan bayi) (Meta, 2008). Dari hasil analisis uji Chi square untuk hubungan keterpaparan asap rokok dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabila, didapatkan nilai χ 2 hitung (0,264) < dari χ 2 tabel (3,841) atau nilai p (0,608) >α (0,05), dengan demikian tidak ada hubungan signifikan antara keterpaparan asap rokok dengan kejadian ISPA. Sesuai hasil pengamatan di lapangan bahwa anggota keluarga responden (78,7%) banyak yang merokok terutama banyak didominasi oleh bapak, hal ini dimungkinkan karena kebiasaan anak-anak bermain di luar rumah atau di tempat keramaian dimana orang-orang sedang merokok akibatnya anak tersebut mudah terpapar dengan asap rokok secara langsung. Selain itu, karena ada faktor genetik sebab orang tuanya perokok dan pernah mengalami batuk kronis sehingga dapat menularkan pada janin yang dikandung Ibu umumnya anak menderita infeksi telinga dan jika anak dilahirkan akan mengalami berat badan lahir rendah sebab asupan gizinya kurang, serta sistem imun balita pun rendah sehingga anak sangat rentan terjadinya penyakit ISPA. Hal ini berarti tidak ada hubungan keterpaparan asap rokok di sekitar lingkungan dengan kejadian ISPA pada anak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Permatasari (2009) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara anggota keluarga yang merokok dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kota Depok. Berbeda dengan penelitian Naria (2008) menunjukkan bahwa

71 kebiasaan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah memberikan pengaruh pada anggota keluarga lainnya yang tidak merokok. Asap rokok sangat berbahaya bagi kesehatan, khususnya terhadap balita karena bahanbahan toksik yang terkandung dalam rokok. 4.3.5 Hubungan Bahan Bakar Memasak Dengan Pembakaran yang terjadi di dapur rumah merupakan aktivitas manusia yang menjadi sumber pengotoran atau pencemaran udara. Apabila kadar zat pengotor meningkat maka udara telah tercemar. Pengaruh zat kimia ini pertama-tama akan ditemukan pada sistem pernafasan dan kulit serta selaput lendir, selanjutnya apabila zat pencemar dapat memasuki peredaran darah maka efek sistemik tidak dapat dihindari (Soemirat, 2000 dalam Suhandayani, 2007). Dari hasil analisis uji Chi square untuk hubungan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabila, didapatkan nilai χ 2 hitung (2,676) < dari χ 2 tabel (3,841) atau nilai p (0,102) > dari α (0,05), dengan demikian tidak ada hubungan signifikan antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa sebagian besar (82%) responden cenderung menggunakan bahan bakar kayu untuk memasak, hal ini memungkinkan responden sering memasak di luar rumah, kondisi dapur tidak higienis dan lantainya terbuat dari tanah, masuknya asap-asap pencemar yang berasal dari rumah lain yang berdekatan. Sedangkan

72 responden (74,1%) yang menggunakan bahan bakar minyak tanah atau gas yang berada dalam ruangan dapur itu memiliki jendela dan cerobong asap sehingga asap tersebut keluar melalui jendela dan cerobong asap, serta anak balita juga tidak sering bermain di dapur. Disamping itu, sebagian besar responden memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang dapat mempengaruhi status gizi anak, terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasikan dengan kondisi lingkungan yang buruk dapat meningkatkan risiko terjadinya ISPA pada balita. Hal ini berarti tidak ada hubungan ISPA dengan bahan bakar masak yang digunakan responden. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Suhandayani (2007), menyatakan bahwa tidak ada hubungan jenis bahan bakar masak dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Pati 1 di Kabupaten Pati. Berbeda dengan hasil penelitian Nurmaini (2005) yang menyimpulkan bahwa gangguan pernapasan pada balita yang tinggal pada rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah lebih tinggi dari rumah yang menggunakan bahan bakar gas. Hal ini dimungkinkan karena ibu balita pada saat memasak di dapur menggendong anaknya, sehingga asap bahan bakar tersebut terhirup oleh balita. Pemaparan yang terjadi dalam rumah juga tergantung pada lamanya orang berada di dapur atau ruang lainnya yang telah terpapar oleh bahan pencemar. Kebanyakan ibu dan anak-anak potensial mempunyai resiko lebih tinggi menderita gangguan pernapasan karena lebih sering berada di dapur.

73 4.3.6 Hubungan Penggunaan Anti Nyamuk Dengan Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan (Nurmaini, 2005). Dari hasil analisis uji Chi square untuk hubungan penggunaan anti nyamuk dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabila, didapatkan nilai χ 2 hitung (4,544) > dari χ 2 tabel (3,841) atau nilai p (0,033) < dari α (0,05), yang berarti ada hubungan signifikan antara penggunaan anti nyamuk dengan kejadian ISPA. Berdasarkan observasi di lapangan bahwa sebagian besar (82,9%) kebiasaan responden menggunakan anti nyamuk bakar dan banyak terjadi pada anak yang menderita ISPA. Hal ini karena adanya obat nyamuk bakar yang digunakan dan dipasang di dekat balita dimana anak tersebut tidur pada malam hari sehingga dapat menghasilkan bau tidak sedap dan asap terkumpul pada ruangan kamar balita dan merupakan faktor pemicu terjadinya ISPA. Selain asap dan bau yang mengganggu kesehatan dan kenyamanan seseorang, dapat juga dipakai sebagai petunjuk adanya pencemaran racun-racun di udara. Walaupun secara fisik balita telah terbiasa mencium bau yang tidak enak, karena beradaptasi dengan rasa bau tadi seolah-olah hilang. Akan tetapi, secara hygiene umumnya keadaan ini tetap tidak berubah.

74 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Naria, dkk (2008), menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara bahan pengendali serangga (nyamuk) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan. 4.3.7 Hubungan Cara Pembuangan Sampah Dengan Menurut Permatasari (2009) bahwa pembuangan sampah dengan cara dibakar bisa menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, asap dari pembakaran dapat meningkatakan resiko terjadinya penyakit ISPA. Dari hasil analisis uji Chi square untuk hubungan cara pembuangan sampah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabila, didapatkan nilai χ 2 hitung (0,192) < dari χ 2 tabel (3,841) atau nilai p (0,661) > dari α(0,05), dengan demikian tidak ada hubungan signifikan antara cara pembuangan sampah dengan kejadian ISPA. Berdasarkan observasi di lapangan bahwa sebagian besar (79%) responden membuang sampah dengan cara dibakar langsung di halaman rumah, sehingga memungkinkan asap dari pembakaran tersebut tidak dapat berlangsung lama sebab tidak setiap hari membakar sampah dan kemungkinan sedikit terpapar jika anak bermain di sekitar halaman. Sedangkan sebagian responden yang lain membuang sampah tanpa dibakar, karena setiap hari ada mobil angkutan sampah yang mengangkut sampah responden yang tinggal di Kelurahan Pauwo, Tumbihe, Oluhuta, Oluhuta Utara dan Padengo. Namun, ada tetangga lain juga sering membakar sampah sehingga anak responden

75 mudah terpapar dengan asap pembakaran. Disamping itu, karena kurangnya pemeliharaan kebersihan rumah yaitu banyak tikus, lalat, dan nyamuk yang bersarang didalamnya. Hal ini bersamaan dengan faktor daya tahan tubuh anak juga dapat menentukan besar kecilnya risiko terjadinya ISPA dan berarti tidak ada hubungan cara pembuangan sampah dengan kejadian ISPA. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Permatasari (2009), menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara cara pembuangan sampah dengan gejala ISPA ringan pada baduta di Kota Depok, karena cara pembuangan sampah tanpa dibakar lebih tinggi daripada pembuangan sampah dibakar.