BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4.

BAB III METODE PENELITIAN

Oleh: Iskandar Muda, S.H., M.H. Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi DLB Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

A. LATAR BELAKANG MASALAH

. METODE PENELITIAN. yang digunakan sebagai dasar ketentuan hukum untuk menganalisis tentang apakah

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Ringkasan Putusan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

BAB I PENDAHULUAN. perdata maupun putusan yang bersifat erga omnes seperti putusan Mahkamah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB III METODE PENELITIAN. menggali, mengelola dan merumuskan bahan-bahan hukum dalam menjawab

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

JIME, Vol. 3. No. 2 ISSN Oktober 2017 PROBLEMATIK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTIUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

III. METODE PENELITIAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 29/PUU-XII/2014 Hak Politik Bagi Mantan Terpidana Politik

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PENGUJIAN UU BPJS TERHADAP UUD (Keterangan Ahli Dalam Sidang Pengujian UU BPJS di MKRI. tanggal 10 Februari 2015)

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka menghadapi. Dikeluarkannya Perpu oleh Presiden harus memuat unsur hal ihwal

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

BAB I PENDAHULUAN. dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia. perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.

I. PENDAHULUAN. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 61/PUU.D-VIII/2010 Tentang Perlindungan dan Penghargaan Terhadap Hak-Hak Buruh

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya Putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum langsung mengikat dan berlaku semenjak putusan tersebut dibacakan. Namun dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi pernah melakukan penundaan pelaksanaan putusan yang telah diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013. Pada tanggal 19 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi menunda Pelaksanaan Putusan terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi menyatakan keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan dualisme peradilan. Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun kepada pembuat Undang-Undang (Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah) untuk membentuk Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-Undang baru itu harus mengatur 1

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi. Apabila pada tanggal 19 Desember 2009 Dewan Perwakilan Rakyat belum juga mengesahkan Undang-Undang baru, maka Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinilai tidak lagi memiliki kewenangan. Akibatnya, seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. 1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 ini mendapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi H.M Laica Marzuki. Laica berpendapat bahwa Putusan Mahkamah berkekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde) sejak diucapkan, serta tidak ada lagi upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan tersebut. Daya tidak mengikat putusan dimaksud bersamaan dengan pengucapan putusan. Akibat hukum putusan Mahkamah bermula sejak diucapkan dan keberlakuan suatu norma materi, muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah tidak boleh lagi direntang ulur ke depan. Permohonan pengujian terhadap Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seyogianya dikabulkan, dan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat sejak diputuskan. 2 1 http://majelisdhuha.wordpress.com/2011/03/15pasal-53-uu-kpk-tetap-berkekuatanhukum-mengikat-paling-lambat-tiga-tahun-2/ 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Dissenting Opinion oleh Hakim Konstitusi H.M Laica Marzuki, hlm. 294-295. 2

Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan menghormati dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 53 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam jumpa pers yang digelar di kantor KPK Jl Veteran III, (22/12/2006) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riana mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pembentukan pengadilan Tipikor secara tersendiri hingga kini secara yuridis formal tidak mempengaruhi kasus-kasus yang sedang diusut KPK. Erry berharap, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah segera mengagendakan penyusunan Undang-Undang tentang pengadilan tipikor tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi juga siap memberikan masukan agar Undang-Undang tersebut segera disusun. 3 Kemudian pada tanggal 23 Januari 2014 Mahkamah Konstitusi kembali melakukan Penundaan Pelaksanaan Putusan terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak yang digagas oleh Effendi Ghazali. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan sebagian permohonan pemohon terhadap Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, namun Mahkamah menyatakan putusan tersebut berlaku untuk 3 http://majelisdhuha.wordpress.com/2011/03/15pasal-53-uu-kpk-tetap-berkekuatanhukum-mengikat-paling-lambat-tiga-tahun-2/ 3

penyelenggaraan pemilihan umum Tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya. Putusan Mahkamah Konstitusi atas pemilu serentak untuk pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya menjadi polemik. Sebab, banyak pihak yang mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi, tapi ada juga pihak-pihak yang menyatakan kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi. 4 Eva Kusuma Sundari, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Komisi III dari Fraksi PDI- Perjuangan mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi memberlakukan Pemilu serentak pada 2019 ini dianggap sebagai jalan tengah, di satu sisi amanat konstitusi dimenangkan, tapi di sisi lainnya tahapan pemilu yang tinggal eksekusi tidak diganggu. Sementara itu, petinggi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Surya Paloh yang sempat mengemukakan penolakan terkait uji materi Undang- Undang Pilpres ini jusru mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai putusan yang arif dan bijaksana. Nasdem menyambut baik langkah MK ini. Putusan ini saya katakan sebagai putusan yang tepat, arif dan bijaksana. Hal tersebut disampaikannya karena dengan pelaksanaan Pemilu 2019, maka persiapan dan sosialisasi kepada masyarakat memiliki waktu yang lebih panjang. Sehingga persiapannya dapat lebih matang dan diharapkan tidak terulang kembali sejumlah permasalahan yang sempat terjadi pada Tahun 2014. 5 Di sisi lain, Wasekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfudz Siddiq turut mempertanyakan alasan mengapa Mahkamah Konstitusi menyatakan putusan Pemilu serentak baru berlaku pada Tahun 2019. Padahal seharusnya putusan 4 http://m.bisnis.com/quick-news/read20140123/15/198999/pemilu-serentak-2019-initanggapan-pro-kontra-dari-parpol 5 Ibid. 4

Mahkamah Konstitusi itu diberlakukan pada 2014 yaitu sejak putusan telah dibacakan. 6 Adapun, Peserta Konvensi capres Partai Demokrat yang juga ketua DPR RI, Marzuki Alie menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Karena itulah, seluruh pihak perlu mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, putusan Mahkamah Konstitusi layak untuk dikritisi. Apalagi saat Mahkamah Konstitusi menyatakan pemilu serentak, tapi baru diberlakukan pada 2019. MK itu hanya berhak menerima atau menolak, MK cukup mengatakan Undang- Undang Pilpres melanggar konstitusi. Selebihnya, urusan Komisi Pemilihan Umum, Pemerintah semua yang terkait. Mahkamah Konstitusi tak boleh ikut menentukan kapan pemilu serentak digelar karena hal itu wewenang Penyelenggara Pemilu. 7 Terhadap kalimat penundaan pelaksanaan putusan yang tidak dituangkan secara tertulis oleh Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 dan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dapat diperkuat dengan opini yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Harjono di ruang kerjanya pada hari jum at tanggal 24 Januari 2014. Harjono menjelaskan pertimbangan putusan penundaan pemilu serentak itu tidak hanya murni berpikir secara hukum. Akan tetapi, memikirkan asas manfaat yang menjamin pelaksanaan dari putusan itu agar tidak 6 Ibid. 7 http://m.beritasatu.com/nasional/163037-marzuki-alie-kritisi-putusan-mk.html 5

menimbulkan kekacauan. Terlebih, Mahkamah Konstitusi bukan hanya kali ini memutuskan pengujian Undang-Undang yang tidak bisa langsung diterapkan ketika putusan selesai dibacakan. Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang harus dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, paling lambat tiga tahun sejak Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan. 8 Asas kemanfaatan itu lebih melihat kepada tujuan atau kegunaan dari hukum itu kepada masyarakat, karena hakikat sesungguhnya dari hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. 9 Penundaan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditunda dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan Penundaan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilhan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang ditunda dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, perlu dipertanyakan Konstitusionalitasnya terhadap Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dalam bunyi pasal tersebut menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum mengikat dan 8 http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt52e298a3f0b40/mk-bantah-putusan-pemiluserentak-bernuansa-politis 9 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim: Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, 2011, hlm. 134. 6

berlaku semenjak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sementara pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Mahkamah menunda pelaksanaan atas putusan tersebut, jarak waktu atas penundaan pelaksanaan putusan juga berbeda-beda. Kedua Putusan tersebut telah memicu terjadinya pro dan kontra dari kalangan masyarakat, Kemandirian Hakim Konstitusi dipertanyakan, bagaimana mungkin lembaga yang berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk dinyatakan konstitusional atau inkonstitusional serta mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak, melakukan penundaan pelaksaanan putusan yang berbedabeda jangka waktunya, padahal Putusan Mahkamah Konstitusi jelas memperoleh kekuatan hukum mengikat semenjak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. B. Perumusan Masalah Dalam Penundaan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka dapat dilihat adanya permasalahan terhadap Putusan tersebut yakni : 1. Apakah penundaan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dibenarkan menurut Hukum? 7

2. Apa dampak penundaan Putusan terhadap Pemenuhan Hak Konstitutional pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apakah penundaan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dibenarkan menurut hukum. 2. Untuk mengetahui Bagaimana Dampak penundaan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pemenuhan hak konstitusional pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian yang berbentuk skripsi ini diharapkan dapat bermanfaaat, baik bersifat secara teoritis maupun bersifat praktis. Secara teoritis yakni: 1. Untuk memperluas cakrawala berfikir penulis dan melatih kemampuan dalam melakukan penelitian hukum dan menuangkannya dalam bentuk karya tulis ilmiah. 2. Untuk memperkaya khasanah ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara serta dapat menerapkan ilmu yang telah didapat selama proses perkuliahan sehingga dapat melakukan penelitian hukum dengan baik. 3. Untuk melatih kemampuan menganalisa dan menjawab keingintahuan penulis berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini sekaligus 8

diharapkan juga bermanfaat memberikan kontribusi dalam menunjang perkembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara. Secara praktis 1. Memberikan kontribusi dalam menunjang pengetahuan bagi individu, masyarakat, maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam menambah pengetahuan ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. E. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian untuk membahas masalah yang dirumuskan di atas sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Tipe penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 10 2. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdiri atas beberapa pendekatan, yaitu pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). 11 Dari beberapa pendekatan tersebut, 10 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, 2010, hlm. 13. 11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, 2010, hlm. 93. 9

pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Kemudian penelitian ini juga didukung dengan pendekatan kasus (case approach), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. 12 3. Bahan Hukum Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1) Bahan hukum Primer Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mepunyai otoritas (autoratif). Bahan hukum terdiri atas: (a) peraturan perundang-undangan; (b) catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan; dan (c) putusan hakim 13 yang terkait dengan penelitian ini, antara lain: a) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 b) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahakamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- 12 Ibid, hlm. 94. 13 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, 2011, hlm. 47. 10

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan d) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden e) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi f) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi g) Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas: (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, (b) kamus-kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum, dan (d) komentar komentar atas putusan hakim. 14 14 Ibid. hlm. 54 11

4. Teknik Pengumpulan Bahan Teknik Pengumpulan Bahan yang digunakan adalah Teknik Penelitian Kepustakaan yaitu Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian. 15 5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Pengolahan dan analisa bahan hukum merupakan proses pencarian dan perencanaan secara sistematis, terhadap semua dokumen dan bahan lain yang telah dikumpulkan agar peneliti memahami apa yang telah ditemukan dan dapat menyajikannya pada orang lain secara jelas. 15 Ibid. hlm. 176 12