III. KERANGKA PEMIKIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Pada dasarnya tataniaga memiliki pengertian yang sama dengan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Istilah pangsa pasar sering digunakan dalam ekonomi perusahan ataupun

METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung khususnya di PTPN VII UU

BAB II KAJIAN PUSTAKA

III KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA KONSEPTUAL

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke

IV. METODE PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

III. METODOLOGI PENELITIAN. yang terletak di Jalan Taman Cut Mutiah nomor 11, Menteng, Jakarta Pusat

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi opersional ini mencakup pengertian yang digunakan

BAB IV METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

Kinerja Pasar Komoditas Pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN

SISTEM PEMASARAN BERAS DI KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR

3 METODOLOGI PENELITIAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kerangka Teoritis Kelayakan Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Usahatani dan Pemasaran Kembang Kol

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis 2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

BAB II LANDASAN TEORITIS. Pengertian pasar telah banyak didefinisikan oleh ahli-ahli ekonomi. Pasar

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor

Lanjutan Pemasaran Hasil Pertanian

Sosio Ekonomika Bisnis Vol 18. (2) 2015 ISSN Tinur Sulastri Situmorang¹, Zulkifli Alamsyah² dan Saidin Nainggolan²

ANALISIS TATANIAGA BERAS

III. METODE PENELITIAN. Usahatani dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana. produksi danpendapatanyang diinginkan pada waktu tertentu.

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN UBI KAYU DI PROVINSI LAMPUNG. (Analysis of Marketing Efficiency of Cassava in Lampung Province)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

11. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN PENAMPILAN PASAR OUTPUT DAN PASAR INPUT KEDELAI LOKAL DI DESA MLORAH PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN IKAN MAS DI KECAMATAN PAGELARAN, KABUPATEN TANGGAMUS, PROVINSI LAMPUNG

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


Agriekonomika, ISSN ANALISIS INTEGRASI PASAR BAWANG MERAH DI KABUPATEN PAMEKASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Duku merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Indonesia. Sekarang

margin pemasaran dapat dihitung dengan rumus matematis sebagai berikut:

III. KERANGKA PENELITIAN

PROSIDING ISSN: E-ISSN:

3 KERANGKA PEMIKIRAN

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Responden

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L)

MINGGU 6. MARKETING MARGIN

TINJAUAN PUSTAKA. Tomat (Lycopersicum Esculentum L. Mill.) Di Desa Bangun Rejo Kecamatan

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN JAGUNG (Zea mays) DI KABUPATEN GROBOGAN (Studi Kasus di Kecamatan Geyer)

IV. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan atau berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Berdasarkan konsep teoritis tersebut akan disusunlah kerangka konsep yang menjembatani peneliti dengan konsep penelitiannya. 3.1.1. Konsep Tataniaga Tataniaga adalah kegiatan perdagangan yang merupakan penggabungan antara aliran barang-barang dan jasa-jasa dari tingkat produksi sampai ke konsumsi (Abbott, 1987). Menurut Kotler (2002), pemasaran adalah suatu proses sosial yang didalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Kohls dan Uhl (1990), mendefinisikan tataniaga pertanian merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir, yang mencakup aspek input dan output pertanian. Untuk menganalisis sistem tataniaga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Fungsi (The Functional Approach), yang terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (standardisasi, pembiayaan, risiko dan informasi pasar). 2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach), yang terdiri dari pedagang perantara, pedagang spekulan, pengolah dan organisasiorganisasi yang memberikan fasilitas pemasaran. 3. Pendekatan Perilaku (The Behavioral System Approach). Pendekatan ini merupakan pelengkap dari kedua fungsi di atas, yaitu menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses pemasaran seperti perubahan dan perilaku lembaga pemasaran. Pendekatan perilaku ini terdiri dari 20

pendekatan input-output, power, communication, dan adaptive behaviour sistem. Sistem tataniaga pertanian merupakan kesatuan sistem dari aktivitas ekonomi yang dimulai dari proses produksi barang-barang pertanian sampai dengan tingkat konsumsi (Purcell, 1979). Fungsi ekonomi dalam sistem tataniaga ini berjalan secara interaktif dan terkoordinasi untuk menciptakan saluran pemasaran yang ringkas, sehingga penyediaan produk menjadi efektif dan efisien. Sistem ini disusun oleh komponen-komponen terkecil yang disebut dengan subsistem. Komponen-komponen ini bekerjasama dalam suatu kesatuan yang terorganisasi dan saling tergantung antara bagian satu dengan bagian yang lain. Sistem pemasaran terdiri dari sistem komunikasi (communication system), sistem teknis (technical system), dan sistem kekuatan (power system). 3.1.2. Saluran Tataniaga Menurut Kotler (1997), saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling bergantung dan bekerjasama dalam proses (usaha) menyampaikan barang atau jasa dari produsen ke konsumen sehingga siap digunakan atau dikonsumsi, yang didalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga yang menjalankan fungsi-fungsi tataniaga. Saluran tataniaga pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Penyaluran Langsung Saluran tataniaga seperti ini disebut juga saluran tataniaga nol tingkat, karena tidak ada perantara dalam sistem ini, produk langsung disalurkan ke konsumen. 2. Penyaluran Semi Langsung Saluran tataniaga ini disebut juga saluran tataniaga satu tingkat, karena dalam sistem ini terdapat satu perantara. Biasanya yang bertindak sebagai perantara adalah para pedagang pengecer. 3. Penyaluran Tidak Langsung Sistem saluran seperti ini disebut juga saluran pemasaran dua tingkat, dimana terdapat dua perantara yaitu pedagang besar dan pedagang pengecer. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006), panjang pendeknya saluran tataniaga tergantung pada : (a) Jarak antara produsen dan konsumen, semakin jauh 21

jarak antara produsen dan konsumen, maka makin panjang saluran tataniaga yang terjadi, (b) Skala produksi, semakin kecil skala produksi, saluran yang terjadi cenderung panjang karena memerlukan pedagang perantara dalam penyalurannya, (c) Cepat tidaknya produk rusak, produk yang mudah rusak menghendaki saluran pemasaran yang pendek, karena harus segera diterima konsumen, (d) Posisi keuangan pengusaha, pedagang yang posisi keuangannya kuat cenderung dapat melakukan lebih banyak fungsi pemasaran dan memperpendek saluran pemasaran. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987), yaitu : 1. Pertimbangan pasar, yang meliputi konsumen sasaran akhir mencakup pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, volume pesanan, dan kebiasaan pembeli. 2. Pertimbangan barang, yang meliputi nilai barang per unit, besar dan berat barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, dan apakah barang tersebut untuk memenuhi pesanan atau pasar. 3. Pertimbangan internal perusahaan, yang meliputi sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan penyaluran, dan pelayanan penjualan. 4. Pertimbangan terhadap lembaga perantara, yang meliputi pelayanan lembaga perantara, kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan produsen, dan pertimbangan biaya. 3.1.3. Lembaga Tataniaga Hanafiah dan Saefuddin (2006), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Tugas lembaga tataniaga adalah menjalankan fungsi-fungsi tataniaga serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga tataniaga berupa marjin tataniaga. Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah suatu badan atau lembaga yang berusaha dalam bidang tataniaga, 22

mendistribusikan barang dari produsen hingga ke konsumen melalui proses perdagangan. Produsen memiliki peranan utama dalam menghasilkan produk dan sering melakukan sebagian kegiatan tataniaga. Sedangkan pedagang melakukan penyaluran produk dalam waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan oleh konsumen dalam saluran tataniaga. Penggolongan lembaga tataniaga yang didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta bentuk usahanya, yaitu: 1. Berdasarkan fungsi yang dilakukan : a. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer, grosir, dan lembaga perantara lainnya. b. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik seperti pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan. c. Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga seperti informasi pasar, kredit desa, KUD, Bank Unit Desa, dan lain-lain. 2. Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang : a. Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul, dan lain-lain. b. Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti agen, broker, lembaga pelelangan, dan lain-lain. c. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti lembaga pengangkutan, pengolahan, dan perkreditan. 3. Berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar : a. Lembaga tataniaga bersaing sempurna seperti pengecer beras, pengecer rokok, dan lain-lain. b. Lembaga tataniaga monopolistis seperti pedagang bibit dan benih. c. Lembaga tataniaga oligopolis seperti importir cengkeh dan lain-lain. d. Lembaga tataniaga monopolis seperti perusahan kereta api, perusahaan pos dan giro, dan lain-lain. 4. Berdasarkan bentuk usahanya : a. Berbadan hukum seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi. b. Tidak berbadan hukum seperti perusahaan perorangan, pedagang pengecer, tengkulak, dan sebagainya. 23

Terdapat tiga kelompok yang secara langsung terlibat dalam penyaluran barang atau jasa mulai dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, yaitu (1) pihak produsen, (2) lembaga perantara, (3) pihak konsumen akhir. Pihak produsen adalah pihak yang memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan. Pihak lembaga perantara adalah yang memberikan pelayanan dalam hubungannya dengan pembelian atau penjualan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, yaitu pedagang besar (wholeseller) dan pedagang pengecer (retailer). Sedangkan konsumen akhir adalah pihak yang langsung menggunakan barang dan jasa yang dipasarkan (Limbong dan Sitorus, 1987). 3.1.4. Struktur Pasar Struktur pasar adalah dimensi yang menjelaskan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi pasar, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat-syarat masuk pasar. Ada tiga hal yang perlu diketahui agar produsen dan konsumen dapat melakukan sistem tataniaga yang efisien, yaitu : (1) konsentrasi pasar dan jumlah produsen, (2) sistem keluar masuk barang yang terjadi di pasar dan (3) diferensiasi produk (Limbong dan Sitorus, 1987). Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan. Pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu produsen dan konsumen. Dilihat dari sisi produsen terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopoli, duopoli, dan oligopoli, sedangkan dari sisi pembeli (konsumen) terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan oligopsoni (Dahl dan Hammond, 1977). Struktur pasar sangat diperlukan dalam analisis sistem tataniaga karena melalui analisis struktur pasar, secara otomatis akan dapat dijelaskan bagaimana perilaku partisipan yang terlibat (market conduct) dan akan menunjukkan keragaan yang terjadi akibat dari struktur dan perilaku pasar yang akan dalam 24

sistem tataniaga tersebut (market performance). Karakteristik masing-masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Struktur Pasar No Jumlah pembeli Jumlah penjual Karakteristik Sifat produk Pengetahuan informasi pasar Hambatan keluar masuk pasar Sisi pembeli Struktur pasar Sisi penjual 1 Banyak Banyak Homogen Sedikit Rendah Persaingan murni Persaingan murni 2 Banyak Banyak Diferensiasi Sedikit Tinggi Persaingan monopsonistik Persaingan monopolistik 3 Sedikit Sedikit Homogen Banyak Tinggi Oligopsoni murni Oligopoli murni 4 Sedikit Sedikit Diferensiasi Banyak Tinggi Oligopsoni diferensiasi Oligopoli diferensiasi 5 Satu Satu Unik Banyak Tinggi Monopsoni Monopoli Sumber: Dahl dan Hammond, 1977 3.1.5. Konsep Perilaku Pasar Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam mengahadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien dan terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya. 3.1.6. Konsep Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond (1977), efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi, 25

aktivitas fisik, dan fasilitas. Menurut Kohls dan Uhl (1990), salah satu cara meningkatkatkan efisiensi operasional adalah dengan penerapan teknologi baru termasuk substitusi modal kerja. Pendekatan efisiensi harga dianalisis melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui marjin tataniaga, farmer s share, dan rasio biaya dan keuntungan tataniaga. Efisiensi pemasaran dapat tercapai jika sistem tataniaga tersebut dapat memberikan kepuasan pada pihak-pihak yang terlibat yaitu produsen, konsumen akhir, dan lembaga-lembaga pemasaran. Kegiatan pemasaran dikatakan efisien apabila biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan adanya kompetisi pasar yang sehat (Soekartawi, 2002). Purcell (1979) dalam Hermansyah (2008), mengungkapkan bahwa efisiensi operasional dapat ditunjukkan pada kondisi : 1. Menurunkan biaya tanpa menurunkan kepuasan konsumen 2. Meningkatkan kepuasan konsumen tanpa meningkatkan biaya 3. Meningkatkan biaya dan meningkatkan kepuasan tapi jumlah output lebih besar daripada jumlah input Sementara itu, terdapat tiga kondisi efisiensi harga yaitu : 1. Tersedia alternatif pada konsumen 2. Perbedaan harga yang terjadi merupakan refleksi daripada biaya. 3. Perusahaan relatif bebas masuk atau keluar pasar sebagai respon dari laba atau kerugian akibat adanya perbedaan harga 3.1.6.1. Konsep Marjin Tataniaga Insentif ekonomi merupakan salah satu faktor yang mampu memotivasi petani dalam melakukan kegiatan produksi. Insentif ekonomi tersebut dapat diketahui melalui besarnya keragaan dan perkembangan marjin tataniaga. Kohls dan Uhl (1990) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Marjin tataniaga 26

ini terdiri dari dua komponen yaitu besarnya biaya pemasaran (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing profit). Setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan atau imbalan dari pengorbanan yang diberikan. Artinya, dengan pengorbanan tertentu yang disumbangkan, akan diusahakan untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan maksimal atau dengan keuntungan tertentu akan diusahakan meminimumkan pengorbanannya. Perbedaan harga jual dari lembaga yang satu dengan lembaga yang lain sampai ke tingkat konsumen akhir disebabkan karena adanya perbedaan kegiatan dari setiap lembaga. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai ke titik konsumen, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di titik produsen dibandingkan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen. Perbedaan harga yang terjadi antara lembaga tataniaga satu dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran tataniaga suatu komoditas yang sama disebut sebagai marjin tataniaga. Definisi marjin tataniaga menurut Kohls dan Uhl (1990) juga digambarkan oleh kurva marjin tataniaga (Gambar 4). Gambar 4. Proses Terjadinya Marjin dan Nilai Marjin Tataniaga Keterangan: Pf : Harga di tingkat produsen Pr : Harga di tingkat konsumen Df : Kurva permintaan produsen Dr : Kurva permintaan konsumen Sf : Kurva penawaran produsen Sr : Kurva penawaran konsumen Qr,f : Jumlah keseimbangan di tingkat produsen dan konsumen (Pr-Pf) : Marjin tataniaga (Pr-Pf)Qr,f : Nilai marketing marjin yang merupakan hasil kali antara jumlah yang terjual dengan selisih harga di tingkat konsumen dan harga di tingkat produsen 27

Selama barang bergerak dari petani sampai ke konsumen terjadi pertambahan nilai pada barang yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga sehingga tingkat kepuasan konsumen dapat ditingkatkan. Perlakuan yang diberikan oleh lembaga-lembaga tataniaga terdiri dari beberapa komponen seperti tenaga kerja, modal, dan manajemen yang masing-masing memberikan proporsi tertentu. Jumlah dari komponen ini jika ditambah dengan keuntungan dari lembaga tataniaga disebut marjin tataniaga bagi lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian, marjin tataniaga secara keseluruhan dari produsen ke konsumen adalah jumlah saluran marjin tataniaga dari lembaga tataniaga. Rendahnya marjin tataniaga suatu komoditi belum tentu dapat mencerminkan efisiensi yang tinggi. Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi kegiatan tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmers s share) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir. 3.1.6.2. Konsep Farmer s Share Farmer s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Kohls dan Uhl (1990) mendefinisikan farmer s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Nilai farmer s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan konsumen (Pr). Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : Fsi = x 100% Keterangan : Fs : Farmer s Share Pf : Harga di tingkat petani Pr : Harga di tingkat konsumen Saluran tataniaga yang tidak efisien akan memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan ke konsumen melalui harga beli sehingga harga yang tataniaga yang tinggi menyebabkan besarnya perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen sehingga akan menurunkan nilai farmer s share. 28

3.1.6.3. Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya Rasio keuntungan dan biaya tataniaga merupakan besarnya keuntungan yang diterima lembaga tataniaga sebagai imbalan atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya, dengan meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien. Untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masingmasing lembaga pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut : Rasio keuntungan biaya (R/C) = Keterangan : Li : keuntungan lembaga pemasaran Ci : biaya pemasaran 3.1.6.4. Analisis Keterpaduan Pasar Menurut Azzaino (1982), keterpaduan pasar menekankan pada keterkaitan harga antar berbagai tingkat lembaga tataniaga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen yang disebabkan karena adanya perubahan tempat, waktu maupun bentuk komoditas. Efisiensi harga dapat dicerminkan oleh besarnya koefisien korelasi harga. Kunci dari keadaan efisiensi tersebut adalah adanya sebaran dan ketersediaan informasi pasar yang lancar serta akurat. Hubungan harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir dapat didekati dengan pendekatan korelasi harga dan model keterpaduan pasar yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan dilanjutkan oleh Heytens (1986). Heytens (1986) mengemukakan bahwa dalam suatu pasar yang terintegrasi secara efisien, terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar yang berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lain. Keterpaduan pasar dapat terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar adalah menggunakan metode autoregresive distributed lag yang dapat mengatasi masalah kelemahan model regresi sederhana, yang menganggap perubahan harga 29

di tingkat konsumen dan produsen bergerak pada waktu yang sama. Model ini dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986). Model ini didasarkan apda hubungan bedakala (lag) bersebaran autoregresive antara harga di suatu pasar tertentu dengan harga di pasar lainnya. Analisis ini menerangkan adanya hubungan antara perubahan harga di suatu pasar tertentu dengan harga di pasar lain. Model statistik yang mampu menjelaskan perubahan harga bulanan pada pasar lokal sebagai fungsi dari beberapa variabel bebas menurut Heytens (1986) adalah sebagai berikut : Pit Pit-1 = β 0 + (1+β 1 )Pit-1 + β 2 (Pjt Pjt-1) + β 3 Pjt-1 + β 4 Xt + e t...(1) Dimana : Pit = Harga di tingkat pasar lokal (ke-i) pada waktu ke-t Pit-1 = Harga di tingkat pasar lokal pada waktu sebelumnya (t-1) Pjt = Harga di tingkat pasar acuan untuk waktu ke-t Pjt-1 = Harga di tingkat pasar acuan pada waktu sebelumnya (t-1) Xt = Peubah exogenus (musim panen atau regional) e t = Random error β t = Parameter estimasi Jika diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan mempunyai pola musim yang sama, maka tidak perlu memasukkan peubah (Xt) untuk musim setempat. Untuk memudahkan interpretasi hasil maka persamaan di atas disederhanakan lagi menjadi : Pit = β 0 + (1+β 1 )Pit-1 + β 2 (Pjt Pjt-1) + ( β 3 - β 1 ) Pjt-1+ et...(2) Dimana model akan diduga dengan menggunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) sebagai berikut : Dimana : b 1 = b 2 = b 3 = Pit = b 0 + b 1 Pit-1 + b 2 (Pjt Pjt-1) + b 3 Pjt-1+ et...(3) b 1 = 1 + β1 b 2 = β2 b 3 = β3 β1 Koefisien perubahan harga di tingkat pasar lokal Koefisien perubahan margin harga di tingkat pasar acuan Koefisien perubahan harga di tingkat pasar acuan 30

Secara umum persamaan di atas menunjukkan bagaimana harga disuatu pasar (pasar rujukan) mempengaruhi pembentukan harga di pasar lainnya (pasar lokal), dengan mempertimbangkan harga yang lalu (t-1) dan harga yang sekarang (t). Berdasarkan persamaan (3) dapat diketahui bahwa koefisien b 2 mengukur bagaimana perubahan harga di pasar rujukan diteruskan ke pasar lokal. Keterpaduan pasar dalam jangka panjang dicapai jika b 2 = 1, maka perubahan harga yang terjadi bersifat netral dan proposional dengan persentase yang sama. Tentunya b 2 tidak harus sama dengan satu, meskipun informasi perubahan harga di tingkat pasar acuan secara langsung diteruskan ke pasar lokal. Jika Pjt Pjt-1 = 0, maka pasar acuan berada pada keseimbangan jangka pendek, berarti koefisien b 2 dikeluarkan dari persamaan. Koefisien yang menghubungkan dua bentuk harga (1+β 1 ) dan (β 3 - β 1 ) menjelaskan kontribusi relatif dari pasar lokal pada saat diinginkan. Kedua bentuk harga yang diperoleh ini dapat digunakan untuk mengetahui indeks keterpaduan pasar (IMC = Index Market connection). IMC merupakan rasio dari kedua bentuk harga tersebut, yaitu bentuk harga pasar lokal terhadap bentuk harga pasar rujukannya. Nilai IMC ini dapat digunakan untuk mengetahui keterpaduan pasar dalam jangka pendek. Secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut : IMC =...(4) Jika harga yang terjadi di pasar rujukan pada waktu sebelumnya merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di suatu pasar lokal tertentu, berarti kedua pasar tersebut terhubungkan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa informasi permintaan dan penawaran di pasar rujukan diteruskan ke pasar lokal dan akan mempengaruhi harga yang terjadi di pasar lokal tersebut. Jika koefisien b 1 = 0 dan b 3 > 0 maka nilai IMC = 0 artinya harga ditingkat pasar produsen pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga yang diterima pada pasar produsen sekarang. Hal ini berarti pasar tersebut berada dalam keadaan integrasi jangka pendek yang kuat. Jika koefisien b 1 > 0 dan koefisien b 3 = 0, maka IMC menjadi tak hingga. Hal ini menunjukkan pasar tersebut mengalami segmentasi pasar. Integrasi pasar jangka pendek akan cenderung terjadi pada kondisi dimana b 1 < b 3 sehingga nilai IMC antara 0 dan 1. Semakin mendekati nol maka derajat integrasi pasar jangka pendek relatif tinggi. 31

Jika nilai b 2 = 1 berarti bahwa pasar berada dalam keseimbangan jangka panjang yang kuat dimana kenaikan harga di pasar rujukan akan segera diteruskan ke pasar lokal. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa koefisien b 2 digunakan untuk mengetahui keterpaduan jangka panjang dan IMC untuk mengetahui keterpaduan pasar jangka pendek. Keterpaduan jangka pendek disebut juga keterkaitan pasar dalam menjelaskan bagaimana pelaku pemasaran berhasil menghubungkan pasar-pasar yang secara geografis terpisah melalui aliran informasi dan komoditas. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Kayu manis merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Kerinci. Kayu manis diusahakan hampir sebagian besar petani di Kerinci. Kayu manis masih sangat potensial, mengingat permintaannya yang terus meningkat seiring dengan berkembangnya industri yang memanfaatkan kulit manis sebagai salah satu bahan baku. Selain itu adanya sertifikat organik, dan kekhasan tersendiri menjadikan kayu manis Kerinci sangat diminati oleh konsumen luar negeri. Harga kulit manis masih dinilai rendah oleh petani, sehingga terjadinya konversi lahan dengan tanaman semusim. Jikapun ada kenaikan harga, petani kurang merasakan dampaknya. Adanya informasi pasar yang tidak sempurna, menyebabkan petani hanya bisa bertindak sebagai price taker. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini menganalisis tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci. Analisis tataniaga yang digunakan berupa analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif terkait dengan Analisis Saluran Tataniaga dan pendekatan SCP (Structure, Performance, Conduct). Sementara analisis kuantitatif meliputi analisis ratio keuntungan dan biaya, analisis marjin tataniaga, analisis farmer s share,dan analisis keterpaduan pasar. Secara ringkas, pemikiran operasional dapat dilihat pada bagan berikut : 32

Harga yang relatif rendah Rendahnya posisi tawar petani Informasi pasar tidak tersedia Belum efektifnya industri pengolahan Analisis Tataniaga Kayu Manis di Kabupaten Kerinci Analisis kualitatif Analisis kuantitatif Analisis Saluran Tataniaga Pendekatan SCP (Structure, performance, conduct) Analisis ratio keuntungan dan biaya Analisis marjin Tataniaga Analisis Farmer s Share Analisis Keterpaduan Pasar Saluran pemasaran yang efisien Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di Kabupaten Kerinci Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional 33