BAB I PENDAHULUAN. berlimpahnya berbagai informasi menuntut seseorang untuk dapat memiliki

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU no. 20 tahun 2004, pendidikan merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan cepat dan pesat sering kali terjadi dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir kritis. Menurut Maulana

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional) Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, karena pendidikan yang berkualitas dapat menghasilkan tenaga-tenaga

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu matematika sampai saat ini, seperti Pythagoras, Plato,

BAB I PENDAHULUAN. Berpikir merupakan kemampuan alamiah yang dimiliki manusia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung sejak lama dan sudah dilalui beberapa pembuat kebijakan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan,

BAB I PENDAHULUAN. kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Aktivitas matematika seperti problem solving dan looking for

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam upaya

I. PENDAHULUAN. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini semakin pesat.

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya peradaban dunia membawa perubahan terhadap budaya,

I. PENDAHULUAN. Dalam menghadapi perkembangan zaman, siswa dituntut menjadi individu yang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Angie (Uno : 2009) menyatakan tanpa disadari

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Yaitu sumber daya yang dapat bersaing dan. menetapkan keputusan dengan daya nalar yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan penting guna meningkatkan kualitas dan potensi

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

I. PENDAHULUAN. dan kritis (Suherman dkk, 2003). Hal serupa juga disampaikan oleh Shadiq (2003)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

KURIKULUM MATEMATIKA TAHUN 1984 DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK. Tatang Herman

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam

BAB I PENDAHULUAN. dinamik dan generatif. Melalui kegiatan matematika (doing math), matematika

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini akan diuraikan pada

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Salah satu upaya untuk

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu dasar yang penting untuk dipelajari, karena

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Siswa melalui Pembelajaran Matematika Realistik

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dasar merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berat. Salah satu tantangannya adalah menghadapi persaingan ekonomi global.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penting saat ini pada pendidikan matematika adalah hasil

KAJIAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASARKAN PADA TEORI BELAJAR DARI BRUNER, APOS, TERAPI GESTALT, DAN RME

BAB I PENDAHULUAN. kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di semua bidang, salah satunya membangun sumber daya manusia.

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS SISWA SD KELAS III MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERBASIS PERMAINAN TRAD ISIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Hani Handayani, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah sarana dan alat yang tepat dalam membentuk

TINJAUAN PUSTAKA. dan sasarannya. Efektivitas merujuk pada kemampuan untuk memiliki tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern sehingga mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin

BAB I PENDAHULUAN. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang

PENERAPAN MODEL TREFFINGER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia. Lebih lanjut matematika dapat memberi bekal kepada siswa. matematika siswa secara umum belum menggembirakan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kurikulum merupakan suatu program yang berupa rencana tertulis yang

B A B I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nadia Dezira Hasan, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Irvan Noortsani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan aspek penting dalam menciptakan sumber daya

Siti Chotimah Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa di Madrasah Tsanawiyah Kota Tangerang Selatan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diiringi dengan berlimpahnya berbagai informasi menuntut seseorang untuk dapat memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi, serta memanfaatkan informasi tersebut untuk membuat suatu keputusan. Kemampuan-kemampuan tersebut membutuhkan kemampuan berpikir yang kritis, sistematis, logis, dan kreatif. Pengembangan kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan kreatif dapat dilakukan melalui suatu program pendidikan, karena pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu program pendidikan yang dilaksanakan di sekolah adalah pembelajaran matematika. Menurut Wittgenstein (Suriasumantri, 2003) matematika adalah metode berpikir logis. Plato (Dahlan, 2004) mengatakan bahwa seseorang yang baik dalam matematika akan cenderung baik dalam berpikir dan seseorang yang dilatih dalam belajar matematika, maka akan menjadi seorang pemikir yang baik dalam kaitan dengan pemunculan ide dan konsep matematika. Dengan demikian salah satu program pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir tersebut adalah pembelajaran matematika.

2 Pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis menurut Wahab (1996), karena empat alasan yaitu: (1) tuntutan zaman yang menghendaki warga negara dapat mencari, memilih, dan menggunakan informasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara; (2) setiap warga negara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif; (3) kemampuan memandang sesuatu dengan cara yang berbeda dalam memecahkan masalah; dan (4) berpikir kritis merupakan aspek dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar peserta didik dapat bersaing secara adil dan mampu bekerja sama dengan bangsa lain. Begitu pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis, maka berpikir kritis merupakan bagian kemampuan berpikir yang tercantum dalam salah satu Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran matematika (Depdiknas, 2006) yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerjasama. Kusumah (2008) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis, sebagai bagian dari kemampuan berpikir matematis, amat penting, mengingat dalam kemampuan ini terkandung kemampuan memberikan argumentasi, menggunakan silogisme, melakukan inferensi, dan melakukan evaluasi. Kemampuan berpikir kritis itu penting, akan tetapi beberapa penelitian masih mengindikasikan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia. Hasil penelitian Suryanto dan Somerset (Zulkardi, 2001)

3 terhadap 16 SLTP pada beberapa propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa sangat rendah, utamanya pada soal cerita matematika (aplikasi matematika). Kemampuan aplikasi merupakan bagian dari domain kognitif yang lebih rendah daripada kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi. Ketiga kemampuan tersebut digolongkan oleh Bloom (Duron, dkk., 2006) dalam kemampuan berpikir kritis. Hasil penelitian Priatna (2003) menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa SMP di kota Bandung masih belum memuaskan, yaitu hanya mencapai sekitar 49% dari skor ideal. Suryadi (2005) menemukan bahwa siswa kelas dua SMP di kota dan kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam kemampuan mengajukan argumentasi, menerapkan konsep yang relevan, serta menemukan pola dan bentuk umumnya (kemampuan induksi). Hasil penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) (Gonzales, P., dkk., 2008) menunjukan bahwa kemampuan matematika siswa kelas dua (eight grade) Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 48 negara. Rendahnya peringkat ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan sampel siswa Indonesia dalam menjawab soal-soal matematika tidak rutin yang meliputi pengetahuan, aplikasi, dan penalaran. Hal ini menunjukkan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa, karena menurut Krulik dan Rudnick (Rohayati, 2005) bahwa penalaran mencakup berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking).

4 Rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa terungkap dari hasil penelitian Mayadiana (2005) bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai 36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa berlatar belakang non-ipa, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. Hal serupa juga dikatakan Maulana (2007), dikatakan bahwa nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa program D2 PGSD kurang dari 50% skor maksimal. Kemampuan berpikir kritis, menurut Ennis (Nitko & Brookhart, 2007) adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada pemutusan terhadap apa yang harus diyakini atau dilakukan. Berpikir kritis menurut Ennis dan Norris (Nitko & Brookhart, 2007), memiliki dua komponen yaitu: komponen kemampuan dan komponen disposisi. Kemampuan berpikir kritis merupakan keterampilan kognitif spesifik yang digunakan ketika siswa sedang menunjukan perilaku berpikir kritis. Contohnya kemampuan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan mempertimbangkan kredibilitas sumber. Sedangkan disposisi berpikir kritis merupakan kecenderungan atau kebiasaan berpikir untuk sering kali menggunakan perilaku berpikir kritis yang sesuai. Berikut ini yang termasuk disposisi berpikir kritis antara lain: berpikir terbuka dan berusaha untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar. Orang yang memiliki disposisi berpikir kritis adalah orang yang sensitif terhadap kesempatan berpikir kritis, merasa terdorong untuk berpikir kritis dan memiliki kemampuan dasar untuk melaksanakan berpikir kritis.

5 Walaupun dimasukan unsur kemampuan dalam konsep disposisi, Perkins, (Syukur, 2004) menyebutkan bahwa pada kenyataanya yang digunakan dalam disposisi berpikir kritis hanya unsur kecenderungan dan kepekaan saja. Unsur kemampuan hanya menjadi petunjuk bahwa orang yang memiliki disposisi berpikir kritis harus pula memiliki kemampuan berpikir kritis. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, Zohar, Wiberger dan Tamir (Syukur, 2004) menyarankan agar pembelajaran matematika berpusat pada siswa (student-centered). Dikatakan, Student centered classroom appear to set the condition that promote the development of critical thinking. Melalui pembelajaran yang berpusat pada siswa, siswa memiliki banyak kesempatan untuk berpikir, khususnya dalam memahami pengetahuan dan memecahkan masalah. Siswa berkesempatan untuk memperoleh pengetahuan dengan jalan mengkonstruksinya sendiri. Siswa juga leluasa untuk berinteraksi dengan sesamanya. Siswa pun dapat memperkaya pengetahuan dan menghindari hambatan sosial yang dapat menghambat proses berpikirnya melalui berbagi pendapat dengan sesamanya. Pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa memberikan keleluasan berpikir kepada siswa diduga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Peran guru dalam pembelajaran ini tidak hanya sebagai penyampai informasi saja, melainkan fasilitator, motivator, dan pembimbing yang memberikan kesempatan berkembangya kemampuan berpikir siswa. Ironisnya, pelaksanaan pembelajaran matematika selama ini masih berpusat pada guru. Wahyudin (1999) menemukan bahwa selama ini

6 pembelajaran matematika didominasi oleh guru melalui metode ceramah dan ekspositorinya. Selain itu, menurutnya, guru jarang mengajak siswa untuk menganalisis secara mendalam tentang konsep dan jarang mendorong siswa menggunakan penalaran logis yang tinggi seperti kemampuan membuktikan atau memperlihatkan suatu konsep. Hal senada dikemukakan pula oleh Syaban (2008), kemampuan matematika siswa SMA kurang dikembangkan. Pembelajaran yang dilakukan guru-guru lebih berorientasi pada penyiapan siswa untuk menghadapi ujian nasional dan tes seleksi masuk perguruan tinggi. Selain itu Rohaeti (2008) mengemukakan bahwa proses pembelajaran hingga dewasa ini masih didominasi guru dan kurang memberikan akses bagi siswa untuk berkembang secara mandiri melalui belajar yang mengutamakan penemuan. Seto (Gulo, 2009) mengemukakan bahwa kemampuan prosesproses pemikiran yang dilatih di sekolah-sekolah terbatas pada kognisi, ingatan, dan berpikir konvergen. Sedangkan dalam taksonomi Bloom, mengingat merupakan kemampuan berpikir yang paling rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu pembaharuan pembelajaran yaitu pembelajaran matematika yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis berupa pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir seluas-luasnya. Pendekatan pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran matematika realistik. Ruseffendi (Saragih, 2007) menyatakan bahwa untuk membudayakan berpikir logis atau kemampuan

7 penalaran serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik. Pembelajaran matematika realistik mencerminkan pandangan matematika mengenai bagaimana anak belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan. Karakteristik utama dari pembelajaran matematika realistik adalah Mathematization. Seperti apa yang dikemukakan Freudenthal (Sulastri, 2009) What humans have to learn is not mathematics as a closed system, but rather as an activity, the process of mathematizing mathematics. Menurut de Lange (Sulastri, 2009), Proses mathematization akan memaksa siswa untuk mengeksplorasi situasi mencari dan mengidentifikasi matematika yang relevan, menskemakan, memvisualisasikan, untuk menemukan dan mengembangkan model yang menghasilkan konsep matematika. Dengan merefleksi dan menggeneralisasikan, siswa akan mengembangkan konsep yang lebih lengkap. Matematisasi dalam pembelajaran matematika realistik menurut Treffers (de Lange, 1987) dibedakan ke dalam dua macam, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Matematisasi horisontal dapat diidentifikasikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memindahkan suatu masalah ke dalam masalah yang dinyatakan secara matematis. Melalui skematisasi dan visualisasi diusahakan untuk menemukan keteraturan dan hubungan, yang diperlukan untuk mengidentifikasi matematika tertentu dalam konteks yang umum.

8 Menurut de Lange (1987) beberapa kegiatan dalam matematisasi horizontal meliputi: pengidentifikasian matematika khusus dalam konteks umum, penskemaan, perumusan dan pemvisualan masalah dalam cara yang berbeda, penemuan relasi (hubungan), penemuan keteraturan, pengenalan aspek isomorfic dalam masalah-masalah yang berbeda, pentransferan real world problem ke dalam mathematical problem, pentransferan real world problem ke dalam suatu model matematika yang diketahui. Setelah masalah disajikan dalam masalah matematis, selanjutnya dilakukan kegiatan matematisasi vertikal. Kegiatan ini meliputi penggunaan perangkat penyelesaian matematika. Kegiatan matematisasi vertikal meliputi: menyatakan suatu hubungan dalam suatu rumus, pembuktian keteraturan, perbaikan dan penyesuaian model, penggunaan model-model yang berbeda, menggabungkan dan menyatukan model-model, perumusan suatu konsep matematika baru, dan penggeneralisasian. Penerapan suatu pendekatan pembelajaran, termasuk diantaranya pembelajaran matematika realistik, menurut Darhim (2004), seyogyanya selalu mempertimbangkan perbedaan kemampuan dasar yang dimiliki siswa. Dengan kemampuan dasar tersebut diharapkan siswa bisa belajar mandiri dan dalam proses belajarnya mereka terbantu oleh kemampuan dasar yang telah dimilikinya. Kemampuan dari sekelompok siswa yang tidak dipilih khusus (termasuk dalam matematika) akan selalu didapat siswa berkemampuan pandai, sedang, dan kurang yang menyebar secara normal. Hal ini

9 berdasarkan pendapat Galton (Ruseffendi, 1991) dikatakan bahwa perbedaan kemampuan... bila dibuat distribusinya maka akan berupa distribusi yang pada masa kini disebut distribusi normal. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak semata-mata ditentukan oleh tinggi atau rendahnya intelegensi siswa tersebut, sebab intelegensi pun bisa ditingkatkan melalui pengalaman (Ruseffendi, 1991). Pengalaman belajar matematika siswa melalui pembelajaran matematika realistik yang lebih mementingkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran, diharapkan dapat mempengaruhi siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Darhim (2004) mengatakan bahwa ada kemungkinan siswa yang kemampuannya kurang, apabila pendekatan pembelajaran yang digunakan menarik, kontekstual, dan sesuai dengan tingkat kematangan siswanya, maka pemahaman mereka akan lebih cepat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika. Mungkin akan terjadi sebaliknya untuk siswa pandai, pengaruh pembelajaran terhadap pemahaman matematika yang dipelajarinya agak kurang. Akibatnya, pengaruh pembelajaran tersebut terhadap kemampuan berpikir kritis siswa tidak terlalu besar. Ini bisa terjadi karena para siswa pandai dimungkinkan lebih cepat memahami topik matematika yang dipelajari (karena kepandaiannya), walaupun tanpa menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran yang menarik dan kontekstual. Pembelajaran matematika realistik memusatkan perhatiannya pada proses matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Melalui

10 proses matematisasi siswa diberikan kesempatan selalu berpikir tentang suatu persoalan dan mereka mencari sendiri cara penyelesaiannya. Kegiatan matematisasi ini menjadikan pembelajaran lebih didominasi oleh siswa sehingga pembelajaran cenderung berpusat pada siswa. Sebagaimana Suryadi (2005) mengatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik merupakan pembelajaran yang berbasis masalah, berorientasi pada siswa, serta guru lebih berperan sebagai fasilitator. Hal ini berarti pembelajaran matematika realistik dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Oleh karena pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis, dan temuan pembelajaran matematika saat ini yang belum mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, serta kelebihan pembelajaran matematika realistik, maka penulis melakukan penelitian terhadap pembelajaran matematika realistik yang berjudul Peningkatan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Matematika Realistik. B. Rumusan Masalah Penelitian ini membahas peningkatan kemampuan berpikir kritis, tetapi masalahnya dibatasi pada pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran matematika realistik. Penelusuran peningkatan kemampuan berpikir kritis dibatasi melalui perolehan data dari tes kemampuan dan skala disposisi berpikir kritis.

11 Rumusan masalah penelitian ini mengarah kepada peningkatan kedua komponen berpikir kritis yakni kemampuan dan disposisi berpikir kritis. Rumusan masalah juga mengarah kepada peningkatan komponen kemampuan berpikir kritis pada siswa pandai, sedang, dan kurang. Rumusan masalahnya dinyatakan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik memiliki peningkatan kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa? 2. Apakah siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik mencapai disposisi berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa? 3. Apakah pembelajaran matematika realistik menyebabkan terjadinya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kemampuan pandai, sedang, dan kurang? C. Tujuan Penelitian Dengan berpedoman pada rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menelaah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran matematika realistik. 2. Menelaah peningkatan disposisi berpikir kritis siswa melalui pembelajaran matematika realistik.

12 3. Menelaah pengaruh pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kemampuan pandai, sedang, dan kurang. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat diketahui efektifitas pembelajaran matematika realistik dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat mengatasi masalah mengenai kurang berkembangnya kemampuan berpikir kritis siswa, serta dapat memberi informasi mengenai cara meningkatkan kemampuan berpikir kritis tersebut. E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian permasalahan yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka dalam penelitian ini diajukan sejumlah hipotesis sebagai berikut: 1. Siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik memiliki peningkatan kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. 2. Siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik mencapai disposisi berpikir kritis lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

13 3. Pembelajaran matematika realistik menyebabkan terjadinya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa kemampuan pandai, sedang, dan kurang. F. Definisi Operasional Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilahistilah yang digunakan pada penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut: 1. Berpikir kritis adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada pemutusan terhadap apa yang harus diyakini atau dilakukan. 2. Indikator kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini adalah kemampuan: a. Memberikan penjelasan sederhana. b. Membangun keterampilan dasar. c. Membuat kesimpulan. d. Membuat penjelasan lebih lanjut. e. Mengatur strategi dan taktik. 3. Indikator disposisi berpikir kritis dalam penelitian ini meliputi: (1) menggunakan pertimbangan yang baik dan benar, (2) berpikir terbuka, (3) memperhatikan situasi, (4) berusaha untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar, (5) mencoba hal-hal yang diperbolehkan seteliti mungkin, (6) menampilkan suatu cara yang sesuai dengan bagianbagian keseluruhan yang kompleks, (7) memperhatikan alternatifalternatif yang lain, (8) mencari alasan-alasan, (9) mencari kejelasan

14 baik dalam pernyataan isu maupun pernyataan yang mendukung alasan-alasan, (10) mengingat hal-hal yang mendasar. 4. Pembelajaran matematika realistik adalah pembelajaran matematika yang memiliki karakteristik: a. Menggunakan masalah realistik, b. Menggunakan model, c. Menggunakan kontribusi siswa, d. Interaktifitas, e. Keterkaitan antar topik.