BAB I. PENDAHULUAN. terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di daerah kolon distal pada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Meissner dan pleksus mienterikus Auerbach. Sembilan puluh persen kelainan ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Hirschsprung (HSCR) merupakan kelainan. kongenital yang terjadi pada sistem persarafan di usus

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan bawaan berupa aganglionosis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan. perkembangan dari sistem saraf enterik dengan ciri-ciri

TEKNIK OPERASI DUA TAHAP PADA KASUS PENYAKIT HIRSCHSPRUNG DIAGNOSIS TERLAMBAT DI RSUP SANGLAH: STUDI DESKRIPTIF TAHUN

*Department of Pediatric Surgery, Medical Faculty, Hasanuddin University,

METODE DIAGNOSIS PENYAKIT HIRSCPRUNG

BAB I PENDAHULUAN. Megacolon kongenital merupakan Penyakit bawaan sejak lahir,bagian tubuh

MEGACOLON CONGENITAL RD-Collection2002

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HIRSCHSPRUNG DI RUMAH SAKIT PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan submucosal

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

BAB II. Mega kolon adalah dilatasi dan atonikolon yang disebabkan olah. Mega kolon suatu osbtruksi kolon yang disebabkan tidak adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Pasien Hirschprung Disease Pada Anak Usia 0-15 Bulan di RSUD Dr.Pirngadi Medan Pada Tahun

O L E H : D R. YO H A N E S S A N TO S A H.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lokal di perut bagian kanan bawah (Anderson, 2002). Apendisitis

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I. PENDAHULUAN. Duodenum merupakan bagian yang paling sering terjadi obstruksi. Obstruksi duodenum

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

MAKALAH ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA ATRESIA ANI DAN ATRESIA REKTAL

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tempat terjadinya inflamasi primer akut. 3. yang akhirnya dapat menyebabkan apendisitis. 1

SAKIT PERUT PADA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

DEFINISI Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar.

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30

BAB I PENDAHULUAN. Intususepsi merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi usus dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatnya angka harapan hidup pada negara negara berkembang, begitu pula

Modul 22 SIGMOIDEKTOMI, RESEKSI ANTERIOR, LOW RESEKSI ANTERIOR (No. ICOPIM: 5-455)

BAB I PENDAHULUAN. penyebab mikrobiologi (Cristin Hancock, 2003). Gastroentritis adalah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks, suatu organ

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. walaupun pemeriksaan untuk apendisitis semakin canggih namun masih sering terjadi

BAB 4 HASIL. 23 Universitas Indonesia. Gambar 4.1 Sel-sel radang akut di lapisan mukosa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

Key words : Hirschsprung disease, characterictics of baby, RSUP H. Adam Malik Medan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

Modul 9. (No. ICOPIM: 5-461)

KONSEP TEORI. 1. Pengertian

Hipoalbuminemia prabedah sebagai faktor prognostik enterokolitis pascabedah penderita megakolon kongenital (Hirschsprung s disease)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit membran hialin (PMH) atau dikenal juga dengan hyaline

Peran Pemeriksaan Barium Enema pada Penderita Megacolon Congenital (Hirschprung Diseases)

HUBUNGAN ANTARA GOLONGAN DARAH SISTEM ABO DENGAN KEJADIAN APENDISITIS AKUT DI RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2009

PERGERAKAN MAKANAN MELALUI SALURAN PENCERNAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar

Gambaran Radiologi Tumor Kolon

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

PYLORUS STENOSIS HYPERTROPHY

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mortalitas pascaoperasi (postoperative mortality) adalah kematian yang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. A DENGAN POST APPENDIKTOMI HARI KE II DI RUANG CEMPAKA RSUD PANDANARAN BOYOLALI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: POST APPENDIKTOMY DI RUANG MELATI I RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Invaginasi disebut juga intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. priyanto,2008). Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

JURNAL KESEHATAN TENTANG ATRESIA ANI

BAB 1 PENDAHULUAN. mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009).

BAB 4 HASIL. Tabel 4.1 Hasil Penelitian Serabut Saraf Ektopik Terhadap Apendisitis Akut/Kronik. Tipe Radang Apendisitis.

BAB 2 PEMBAHASAN. Badan kesehatan dunia (World health organization) dan badan PBB yang

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

2. POKOK BAHASAN / SUB POKOK BAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kulit hipoalergenik untuk mempertahankan integritas kulit peristomal. Kantong

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi dari organ tempat sel tersebut tumbuh. 1 Empat belas juta kasus baru

PENDAHULUAN Sekitar 1% dari bayi lahir menderita kelainan jantung bawaan. Sebagian bayi lahir tanpa gejala dan gejala baru tampak pada masa kanak- kan

BAB I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang. Salah satu dari tujuan Millenium Development. Goal(MDGs) adalah menurunkan angka kematian balita

PERAWATAN KOLOSTOMI Pengertian Jenis jenis kolostomi Pendidikan pada pasien

KEBUTUHAN ELIMINASI BOWEL

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Periode neonatus merupakan masa kritis kehidupan bayi. Empat juta bayi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan

Tinjauan Pustaka. Tanda dan Gejala

BAB I PENDAHULUAN. Morbiditas dan mortalitas ibu dan anak meningkat pada kasus persalinan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Patent duktus arteriosus (PDA) merupakan salah satu penyakit jantung

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. B DENGAN POST OP HEMOROIDECTOMI DI RUANG MELATI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. 1,2 Kolelitiasis

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kajian epidemiologi menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang. non modifiable yang merupakan konsekuensi genetik yang tak dapat

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

Gastrointestinal Disorder in Infant Born with Small for Gestational Age

Transkripsi:

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus mienterikus Aurbachi. Sembilan puluh persen kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid. Penyakit ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu keduabelas kehamilan untuk membentuk system saraf intestinal. Kelainan ini bersifat genetik yang berkaitan dengan perkembangan sel ganglion usus dengan panjang yang bervariasi, mulai dari anus, sfingter ani interna kearah proksimal, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Rochadi, 2012; Kartono, 2010; Langer, 2005). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga penyakit Hirschsprung dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rektosigmoid paling sering terkena, sekitar 75% kasus, fleksura lienalis atau kolon transversum pada 17% kasus. Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya penyakit 1

Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis dibandingkan oleh ayah (Kartono, 2010; Holscneider, 2005). Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti terjadinya konstipasi, enterokolitis, perforasi usus serta sepsis yang dapat menyebabkan kematian. Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen dengan foto polos abdomen maupun barium enema, pemeriksaan histokimia, pemeriksaan manometri serta pemeriksaan patologi anatom. Manifestasi penyakit Hirschsprung terlihat pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran meconium pertama yang lebih dari 24 jam. Kemudian diikuti tanda-tanda obstruksi, muntah, kembung, gangguan defekasi seperti konstipasi, diare dan akhirnya disertai kebiasaan defekasi yang tidak teratur (Rochadi, 2012; Kartono, 2010; Langer, 2005). Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut yang kembung, gambaran usus pada dinding abdomen dan bila kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur, feses akan keluar menyemprot dan gejala tersebut akan segera hilang. Pada pemeriksaan enema barium didapatkan tanda-tanda khas penyakit ini, yaitu : adanya gambaran zone spastik, zone transisi serta zone dilatasi. Gambaran mukosa yang tidak teratur menunjukkan adanya enterokolitis. Adanya gambaran zone transisi akan menunjukkan ketinggian kolon yang aganglionik dengan akurasi 90%. Penyakit Hirschsprung terdapat kenaikan aktivitas asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam lamina propia dan muskularis 2

mukosa. Pewarnaan untuk asetilkolineserase dengan tehnik Karnovsky dan Roots akan dapat membantu menemukan sel ganglion di submukosa atau pada lapisan muskularis khususnya dalam segmen usus yang hipoganglionosis. Pemeriksaan elektromanometri dilakukan dengan memasukkan balon kecil ke dalam rektum dan kolon, dengan kedalaman yang berbeda-beda akan didapatkan kontraksi pada segmen aganglionik yang tidak berhubungan dengan kontraksi pada segmen yang ganglionik. Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan dengan memeriksa material yang didapatkan dari biopi rektum yang dilakukan dengan cara biopsi hisap maupun biopsi manual. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion Meissner dan sel ganglion Auerbach serta ditemukan penebalan serabut saraf (Rochadi, 2012; Kartono, 2010; Holscneider, 2005). Bila hasil pemeriksaan klinis dan radiologis enema barium ditemukan tanda khas penyakit Hirschsprung, maka tidak seorang pasienpun yang tidak menderita penyakit Hirschsprung. Insiden penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5.000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan (Kartono, 2010; Langer, 2005). Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis (Rochadi, 2012; Kartono, 2010). 3

Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung (Rochadi, 2012; Kartono, 2010). Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan Hirschsprung ini telah diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill (1946) berupa prosedur rektosigmoidektomi, Duhamel (1956) berupa prosedur retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur endorektal ekstramukosa serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection. Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik komplikasi dini berupa infeksi, dehisiensi luka, abses pelvik dan kebocoran anastomose, maupun komplikasi lambat berupa obstipasi, inkontinensia dan enterokolitis. Namun secara umum diperoleh gambaran hasil penelitian bahwa ke-empat prosedur bedah definitif diatas memberikan komplikasi yang hampir sama, namun masing-masing prosedur memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan prosedur lainnya, tergantung keahlian dan pengalaman operator yang mengerjakannya (Rochadi, 2012; Kartono, 2010). Costa et al. (2006) menyatakan bahwa enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya dan merupakan penyebab utama terjadinya mortalitas maupun morbiditas pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi definitif. Keadaan ini diakibatkan oleh karena stasis usus yang memicu 4

proliferasi bakteri didalam lumen usus diikuti invasi ke mukosa sehingga terjadilah inflamasi lokal maupun sistemik (Kartono, 2010). B. Rumusan Masalah Angka kejadian enterokolitis dan konstipasi pada penderita Hirschsprung di dapatkan cukup tinggi baik pada pra operasi maupun pasca operasi, hal ini menimbulkan pertanyaan adakah keterkaitan antara kejadian enterokolitis pra operasi dengan enterokolitis pasca operasi dan konstipasi pra operasi dan konstipasi pasca operasi. Disamping itu perlu juga diketahui adanya faktor risiko apa saja yang mempengaruhi kejadian enterokolitis dan konstipasi, berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas dirumuskan suatu permasalahan : Faktor prognostik apa saja yang berpengaruh terhadap munculnya komplikasi dini enterokolitis dan konstipasi pada pasien penyakit Hirschsprung yang di operasi dengan tehnik ERPT di Rumah Sakit Sardjito. C. Tujuan Penelitian Mengetahui hubungan antara kejadian enterokolitis dan konstipasi pra operasi terhadap enterokolitis dan konstipasi pasca operasi pada pasien penyakit Hirschsprung yang dioperasi menggunakan prosedur Soave di bagian Bedah Anak RSUP Dr. Sardjito Jogyakarta, disamping mengetahui faktor prognostik apa saja yang mempengaruhi terjadinya enterokolitis dan konstipasi pada penderita penyakit Hirschsprung. 5

D. Manfaat Penelitian Diharapkan dari penelitian ini diperoleh data base angka kejadian enterokolitis dan konstipasi pada penderita penyakit Hirschsprung yang dioperasi menggunakan prosedur Soave di bagian Bedah Anak RSUP Dr. Sardjito Jogyakarta, sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan perolehan data adanya faktor-faktor prognostik yang mempengaruhi kejadian enterokolitis dan konstipasi pra operasi maupun pasca operasi, yang nantinya dapat dijadikan pedoman acuan dalam pemulihan pasca operasi pasca operasi di RS Dr. Sardjito Yogyakarta. E. Keaslian Penelitian Di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta telah dilakukan penelitian berkaitan dengan tehnik Endorektal Pull-Through antara lain: 1. Kertiyasa, pada tahun 1994 melakukan penelitian dengan judul : Evaluasi Hasil Operasi Endorektal Pull-Through Soave modifikasi Soewarno di RS Sardjito Yogyakarta. 2. Ismunanto, pada tahun 2002 melakukan penelitian dengan judul : Evaluasi hasil operasi Endorektal Pull-Through Soave modifikasi Soewarno di RS Sardjito Yogyakarta. 3. Surya Alam, pada tahun 2006 melakukan penelitian dengan judul : Pengaruh Kolostomi pada Hasil Operasi Endorektal Pull-Through Soave modifikasi Soewarno di RS Sardjito Yogyakarta. 6

4. Masrun Fatanah, pada tahun 2007 melakukan penelitian dengan judul : Evaluasi Outcome operasi Endorektal Pull-Through Soave modifikasi Soewarno di RS Sardjito Yogyakarta. 5. Tri Atmaja di RS Dr Sardjito/ FK UGM Yogyakarta melakukan penelitian dengan rancangan analitik before dan after yaitu melihat kejadian enterokolitis pra operasi serta faktor-faktor prognostik yang berperan dan mengamati ada tidaknya kejadian enterokolitis 3 bulan pasca operasi sebagai salah satu outcome keberhasilan operasi. 6. Ali Setiawan tahun 2010 di RS Dr Sardjito/ FK UGM Yogyakarta melakukan penelitian tentang evaluasi enterokolitis pre operasi dan pasca operasi pada penyakit Hirschsprung yang diterapi dengan prosedur SOAVE. 7. Zadrak Anderias tahun 2011 melakukan penelitian tentang Faktor Prognostik yang Mempengaruhi terjadinya Konstipasi pada Pasien Hirschsprung Pasca Operasi SOAVE di RSUP DR Sardjito. Dari Penelitian-penelitian yang sudah ada tersebut belum pernah ditulis mengenai factor-faktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya enterokolitis dan konstipasi pada pasien Megacolon (Hirschsprung s disease) pasca operasi endorectal pull-through Soave. 7