ANALISIS DAMPAK FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN KEBIJAKAN SUBSIDI DI INDONESIA (PERIODE )

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Inflasi Definisi Inflasi. Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya tingkat harga secara

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

III. METODE PENELITIAN. tahun 1980 hingga kuartal keempat tahun Tabel 3.1 Variabel, Notasi, dan Sumber Data

BAB I PENDAHULUAN. minyak dunia yang turun, dollar yang menguat dan revolusi shale gas oleh Amerika

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)

Skripsi ANALISA PENGARUH CAPITAL INFLOW DAN VOLATILITASNYA TERHADAP NILAI TUKAR DI INDONESIA OLEH : MURTINI

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah ekonomi seperti rendahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya tingkat

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. negara. Inflasi itu sendiri yaitu kecenderungan dari harga-harga untuk menaik

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7,

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi sehingga dapat meningkatkan taraf pertumbuhan ekonomi

Jenis-Jenis Inflasi. Berdasarkan Tingkat Keparahan;

TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu

Indikator Inflasi Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;.

BAB I PENDAHULUAN. didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang lazim digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ekonomi. untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1. Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Inung Oni Setiadi Irim Rismi Hastyorini. Dibuat oleh:

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

TINJAUAN PUSTAKA. minyak bumi. Berdasarkan undang-undang no.8 tahun 1971, pertamina

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal

BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pasar Modal 2.2 Harga Minyak Mentah Dunia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Boediono (2000) Inflasi dapat diartikan sebagai kecenderungan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

PENGUKURAN INFLASI. Dalam menghitung Inflasi secara umum digunakan rumus: P P

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada tingkat pengangguran seperti yang dijelaskan oleh teori trade-off

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regressive (VAR) perlu melakukan uji stasioneritas. Uji

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME PENYERAPAN UTANG LUAR NEGERI DI INDONESIA OLEH DUNGDANG P HUTAPEA H

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (excess demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG OLEH NOVA MARDIANTI H

Cakupan Teori Ekonomi Makro, Output, Inflasi, Pengangguran, dan Variabel ekonomi Makro lainnya

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

INFLATION. Izza Mafruhah, SE, MSi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian

STABILITAS MONETER PADA SISTEM PERBANKAN GANDA DI INDONESIA OLEH HENI HASANAH H

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan stabilitas di bidang ekonomi yang sehat dan dinamis, pemeliharaan di bidang ekonomi akan tercipta melalui pencapaian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya masalah ekonomi itu adalah tentang bagaimana manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian.

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mankiw, 2006: 145). Ini tidak berarti bahwa harga harga berbagai macam

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis

BAB I PENDAHULUAN. Uang merupakan suatu alat tukar yang memiliki peranan penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. besar bagi neraca berjalan maupun bagi variabel-variabel makroekonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) DAN KINERJA BANK TERHADAP LABA PERBANKAN OLEH LIA AMALIA H

Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutu pada karet remah (crumb

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. materi tersebut disampaikan secara berurutan, sebagai berikut.

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1)

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian

ANALISIS PENGARUH UANG TERHADAP BUSINESS CYCLE INDONESIA OLEH SITI MASYITHO H

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

DAN JANGKA PENDEK H DEPARTEMEN MEN. Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SUKU BUNGA DEPOSITO PADA BANK-BANK UMUM PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH FEBRI DWIASTUTI H

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit

Transkripsi:

ANALISIS DAMPAK FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN KEBIJAKAN SUBSIDI DI INDONESIA (PERIODE 1980-2010) OLEH FANNY APRILTA H14070110 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN FANNY APRILTA, Analisis Dampak Fluktuasi Harga Minyak terhadap Variabel Makroekonomi dan Kebijakan Subsidi di Indonesia : Periode 1980-2010 (dibimbing oleh TONNY IRAWAN dan TANTI NOVIANTI) Peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan maupun untuk konsumsi di tingkat rumah tangga. Sebagian besar negara di dunia sangat bergantung terhadap bahan bakar minyak untuk menggerakkan perekonomian. Indonesia merupakan salah satu dari negara di dunia yang tingkat kebergantungan terhadap minyak yang tinggi (Oil Highly Dependency). Data dari Bank Dunia menyatakan konsumsi minyak Indonesia mencapai 46 persen dari total konsumsi energi nasional pada tahun 1980 dan terus mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2010 perbandingan konsumsi minyak menjadi 66 persen dari total konsumsi enegi nasional. Minyak merupakan salah satu komoditi yang penting dalam perekonomian ekonomi Indonesia. Peranannya sangat besar karena memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penerimaan pemerintah. Minyak menjadi andalan Indonesia dalam kegiatan perdagangan internasional. Pada era 1980 hingga awal tahun 1990 pertumbuhan ekonomi Indonesia begitu pesat, hal ini disebabkan oleh meningkatnya harga minyak dunia. Indonesia sangat diuntungkan pada masa itu karena merupakan salah satu pengekspor minyak terbesar di dunia. Kenyataan berubah sejak tahun 2004 Indonesia beralih menjadi net importir minyak dan terlepas dari keanggotaan OPEC sejak tahun 2009. Dalam beberapa dekade harga minyak memiliki trend yang berfluktuasi. Hal ini sangat berdampak dalam kegiatan perekonomian dunia. Fluktuasi harga minyak dunia akan memengaruhi perekonomian Indonesia sebagai negara dengan sistem ekonomi terbuka kecil (small-open economy). Pengaruh yang diterima oleh Indonesia tercermin dari variabel makroekonominya seperti tingkat inflasi, tingkat pertumbuhan output nasional, nilai tukar mata uang, dan tingkat suku bunga. Selain variabel makroekonomi, fluktuasi harga minyak dunia juga mempengaruhi kebijakan subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak premium, kerosin, dan solar sebagai produk turunan dari minyak itu sendiri. Variabel makroekonomi yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah tingkat inflasi dan pertumbuhan output nasional. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak fluktuasi harga minyak dunia terhadap tingkat inflasi, pertumbuhan output nasional, dan kebijakan subsidi bahan bakar minyak Indonesia pada periode tahun 1980-2010. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Vector Autoregressions (VAR) yang dilanjutkan dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM) karena memiliki hubungan kointegrasi yang terkandung dalam model penelitian ini. Pengujian kestasioneran data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada uji Augmented Dickey-Fuller (ADF test), uji penetapan lag optimal didasarkan pada uji Schwarz Information Criterion (SC) dan uji kointegrasinya berdasarkan pendekatan Johansen. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Indeks Harga Konsume (INFLASI); Produk Domestik Bruto/ Output nasional (GDP); Tingkat suku bunga (SB); (HARGAMINYAK); Nilai tukar nominal rupiah terhadap dollar

Amerika Serikat (ER); Subsidi Bahan Bakar Minyak (SUBSIDI). Seluruh data yang dipergunakan dalam penelitian ini sejak kuartal pertama tahun 1980 hingga kuartal keempat tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak dunia memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia. Dalam jangka pendek fluktuasi harga minyak dunia tidak mempengaruhi pertumbuhan output nasional, tingkat inflasi, dan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara signifikan. Pada jangka panjang fluktuasi harga minyak secara signifikan mempengaruhi output nasional, tingkat inflasi, dan subsidi BBM. Selama periode tahun 1980-2010 fluktuasi harga minyak dunia mempengaruhi output nasional dan tingkat inflasi secara positif. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa peningkatan minyak sebagai sumber energi yang vital dalam kegiatan produksi akan meningkatkan tingkat harga (Cost-Push Inflation) secara umum. Hal inilah yang kemudian menyebabkan peningkatan tingkat inflasi dalam jangka panjang di Indonesia. Dalam penelitian ini juga terjadi hubungan yang positif antara fluktuasi harga minyak dunia dengan subsidi BBM yang diberikan oleh pemerintah. Artinya, apabila terjadi peningkatan harga minyak dunia maka pemerintah akan memberikan respon kebijakan berupa peningkatan besaran subsidi BBM kepada masyarakat. Pertumbuhan output nasional juga berhubungan positif terhadap fluktuasi harga minyak dunia dalam jangka panjang. Selama periode 1980-2004 Indonesia masih sebagai net eksportir minyak. Sehingga surplus dari kegiatan perdagangan internasional mendorong peningkatan pada output nasional Indonesia. Sementara dalam enam tahun terakhir ketika Indonesia beralih menjadi net importir minyak belum berpengaruh secara signifikan pada pertumbuhan output nasional Indonesia.

ANALISIS DAMPAK FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN KEBIJAKAN SUBSIDI DI INDONESIA (PERIODE 1980-2010) Oleh FANNY APRILTA H14070110 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Judul Skripsi : ANALISIS DAMPAK FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA TERHADAP VARIABEL MAKROEKONOMI DAN KEBIJAKAN SUBSIDI DI INDONESIA (PERIODE 1980-2010) Nama NIM : Fanny Aprilta : H14070110 Menyetujui, Dosen Pembimbing Tanti Novianti, M.Si NIP. 1972 1117 199802 2 005 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec NIP. 19641022 198903 1 003 Tanggal Kelulusan :

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Agustus 2011 Fanny Aprilta H14070110

RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Fanny Aprilta lahir pada tanggal 1 April 1991 di Bandung. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Hajiro Sinaga dan Dormaully Sagala. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN Pabuaran VII Cibinong, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Cibinong dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1 Cibinong dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama di IPB, penulis mengikuti lomba karya tulis mahasiswa tingkat nasional. Penulis meraih Juara II LKTI di Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Komisi Pelayanan Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (KPS UKM PMK IPB). Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitian Natal Civitas Akademika IPB tahun 2010 dan HIPOTEX-R pada tahun 2009.

KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Dampak Fluktuasi Harga Minyak Dunia Terhadap Variabel Makroekonomi dan Kebijakan Subsidi di Indonesia. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada: 1) Ibunda Dormaully Sagala dan Ayahanda Hajiro Sinaga yang telah memberikan doa, motivasi, pengorbanan, dan kasih sayang tidak terhingga kepada penulis. Adik - adik penulis Susi Deby Caroline dan Yosua Saurmatio yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Nenek penulis Sinta br. Limbong yang selalu mendukung penulis dalam doa. 2) Tony Irawan M. App. Ec dan Tanti Novianti, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3) Dr. Alla Asmara selaku Dosen Penguji Utama yang telah banyak memberikan saran dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 4) Dr. Muhammad Findi Alexandi selaku Dosen Penguji Komisi Pendidikan yang telah memberikan masukan dan saran dalamn penulisan skripsi ini. 5) Damayanti, M.Ec dan Ginanjar S.E dari Kementerian Keuangan RI yang telah berkenan membantu penulis dalam pencarian data. 6) Segenap dosen di Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah mengajar penulis selama masa perkuliahan yang begitu berkesan. 7) Seluruh jajaran staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang dengan sabar membentu segala proses administrasi yang terkait dalam penulisan skripsi ini.

8) Keluarga besar Pomparan Op. Raja ni Alum Sinaga, atas doa, dukungan, serta motivasi yang diberikan kepada penulis. 9) Teman-teman satu bimbingan, Rini Hindrasyah, Meditiari Wikan, dan Yesika Sihombing atas kritik, saran, dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 10) Seluruh keluarga besar Ilmu Ekonomi 44, khususnya Marissa, Solihin, Nono, atas motivasi dan kebersamaannya selama perkuliahan di IPB. 11) Segenap keluarga besar Komisi Pelayanan Siswa UKM PMK IPB, terkhusus Hadasa, Novrika, Satchie, Vera, Andreas, Motto, Elsye, Leo, Erti, atas doa, dukungan, kebersamaan, dan kasih persaudaraan dalam pelayanan yang penulis rasakan. 12) Seluruh sahabat penulis sejak TPB Sella, Febri, Ayu, Merlinda, Priskila, Hana, Anti, Vita, Janet atas kebersamaan dan keceriaan yang diberikan selama masa studi penulis di IPB. 13) Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung. Bogor, Agustus 2011 Fanny Aprilta H14070110

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 9 1.3 Tujuan Penelitian... 11 1.4 Manfaat Penelitian... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 13 2.1 Teori Inflasi... 13 2.1.1 Definisi Inflasi... 13 2.1.2 Jenis Inflasi... 15 2.1.3 Dampak Inflasi... 18 2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi... 19 2.2.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi... 19 2.2.2 Ringkasan Teori Pertumbuhan Ekonomi... 21 2.3 Teori Suku Bunga... 23 2.4 Teori Kebijakan Subsidi... 24 2.5 Pengantar Fluktuasi Ekonomi... 26 2.6 Penelitian-Penelitian Terdahulu... 28 2.7 Kerangka Pemikiran... 33 III. METODE PENELITIAN... 35 3.1 Jenis dan Sumber Data... 35 3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data... 35 3.2.1 Metode Vector Autoregression (VAR)... 36 3.2.2 Metode Vector Error Correction Model (VECM)... 40 3.2.3 Tahapan Pembentukan Sistem Persamaan... 41 3.2.4 Impulse Response Function... 44 3.2.5 Forecast Error Variance Decomposition... 44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 46 4.1 Hasil Uji Pra Estimasi... 46 4.1.1 Uji Kestasioneritasan Data... 46 4.1.2 Uji Lag Optimal... 47 4.1.3 Uji Stabilitas VAR... 49 4.1.4 Uji Kointegrasi... 49 4.1.5 Uji Kausalitas Granger... 51 4.2 Hasil Estimasi Vector Error Correction... 52 4.3 Analisis Impulse Respon Function... 60 4.4 Analisis Forecast Error Variance Decomposition... 63 4.5 Respon Kebijakan Indonesia dan Beberapa Negara Terhadap Fluktuasi Harga Minyak Dunia... 69 V. KESIMPULAN DAN SARAN... 78 5.1 Kesimpulan... 78 5.2 Saran... 78 DAFTAR PUSTAKA... 80 LAMPIRAN... 82

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 3.1 Variabel, Notasi, dan Sumber Data... 35 4.1 Hasil Uji Stasioneritas... 47 4.2 Hasil Uji Lag Optimal... 48 4.3 Hasil Uji Stabilitas VAR... 49 4.4 Hasil Uji Kointegrasi Johansen... 50 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger... 51 4.6 Hasil Estimasi VECM 1... 53 4.7 Hasil Estimasi VECM 2... 57 4.8 Hasil Estimasi VECM 3... 58 4.9 Tipe Pemberian Subsidi... 74

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.1 Indonesia Energy Statistic... 2 1.2 Harga Minyak Dunia... 3 1.3 Rasio Subsidi Minyak terhadap Tahun 1980-2010... 4 1.4 Realokasi APBN Bagi Kegiatan Sosial... 7 1.5 Persentase Rumah Tangga Pengguna BBM Bersubsidi... 8 2.1 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Agregate Demand... 26 2.2 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Agregate Supply... 27 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian... 34 4.1 Skema Pemberian Subsidi BBM... 60 4.2 Respon SUBSIDI, GDP, SB, INFLASI, ER Terhadap Guncangan dari HARGAMINYAK... 63 4.3 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) GDP... 64 4.4 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) INFLASI... 65 4.5 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) ER... 66 4.6 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) SUBSIDI... 67 4.7 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) HARGAMINYAK 67 4.8 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) SB... 68 4.9 Tingkat Suku Bunga Indonesia... 71 4.10 Kebijakan Stabilisasi... 72 4.11 Daftar Negara Pemberi Subsidi pada Sumber Energi (Miliar Dollar).. 74

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil Uji Stasioneritas... 83 2. Hasil Uji Lag Optimal... 87 3. Hasil Uji Kointegrasi... 87 4. Hasil Uji Stabilitas VAR... 88 5. Hasil Uji Kausalitas Granger... 88 6. Hasil Estimasi VECM... 89 7. Impulse Response Function... 93 8. Forecast Error Variance Decomposition... 94

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk konsumsi di tingkat rumah tangga. Sebagian besar negara di dunia sangat bergantung terhadap bahan bakar minyak untuk menggerakkan ekonominya. Bagi negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang yang unggul dalam industri dan manufaktur sangat memerlukan minyak sebagai input produksi. Sejak tahun 1970 Indonesia mulai diperhitungkan sebagai salah satu negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia. Minyak bumi menjadi komoditi penting dalam kegiatan perdagangan internasional. Di masa itu perekonomian Indonesia sangat bertumpu pada komoditas minyak. Sejak tahun 1980 hingga awal 1990 pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat pesat hingga mencapai level sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle economy karena pertumbuhan ekonomi yang begitu fantastis. Indonesia awalnya sebagai salah satu pengekspor minyak bumi terbesar dunia dan tergabung menjadi anggota OPEC. Namun sejak tahun 2004 hingga kini beralih menjadi net importir minyak untuk menutupi kebutuhan minyak di dalam negeri. Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang tinggi akan bahan bakar minyak. Pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ke-17 dunia dengan konsumsi minyak sebesar 1.115.000 barrel per hari. (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010)

Gambar 1.1 Indonesia Energy Statistic Gambar 1.1 menunjukkan bahwa penawaran minyak Indonesia memiliki trend yang menurun dalam periode 1999-2009. Pada awal tahun 1999 supply minyak Indonesia sebesar 1.600.000 barrel per hari, dan terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2009 supply minyak menjadi hanya sebesar 1.000.000 barrel per hari. Pada Gambar 1.1 juga terlihat pola konsumsi minyak nasional dalam periode 1999-2009. Berbeda dengan penawaran minyak, konsumsi minyak justru selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 konsumsi minyak nasional sebesar 1.000.000.000 barrel per hari. Konsumsi minyak nasional memiliki trend yang meningkat sehingga pada tahun 2009 konsumsi minyak nasional menjadi 1.200.000 barrel per hari. Pola konsumsi minyak yang terus mengalami peningkatan tidak mampu ditutupi oleh produksi minyak dari dalam negeri. Sejak tahun 2004 Indonesia sudah beralih menjadi net importir minyak, dan pada tahun 2009 Indonesia sudah secara resmi keluar dari keanggotaan OPEC. Dalam beberapa dekade harga minyak memiliki trend yang terus meningkat. Pada tahun 2005 terjadi fluktuasi yang signifikan dari harga minyak

dunia hingga 61,2 US$ per barrel yang sebelumnya hanya berkisar antara 25 sampai dengan 30 US$ per barrel. Sejak kuartal kedua tahun 2005 harga minyak dunia terus mengalami peningkatan. Harga minyak dunia mencapai nilai yang tertinngi di level 145,13 US$ per barrel di bulan Juli tahun 2008 (Energy International Administration, 2011). Krisis finansial global yang terjadi pada kuartal keempat tahun 2008 juga memberi dampak terhadap tingkat harga minyak dunia. Lesunya perekonomian dunia mengakibatkan penurunan terhadap permintaan minyak. Harga minyak dunia mengalami penurunan secara drastis hingga menyentuh level 38 US$ per barrel. Pasca krisis finansial global perekonomian dunia mengalami pemulihan secara perlahan. Pemulihan perekonomian ditandai dengan kembali berjalannya aktivitas perekonomian di setiap negara baik negara industri maupun negara berkembang (Energy International Administration, 2011). Sumber : U. S Energy Information Administration (2011) Gambar 1.2 Harga Minyak Dunia Roubini dan Setser (2004) menyatakan bahwa fluktuasi maupun peningkatan harga minyak dunia akan memberikan dampak bagi perekonomian setiap negara di dunia. Besarnya pengaruh yang diberikan tergantung dari

beberapa hal seperti besarnya guncangan harga minyak, durasi atau lamanya guncangan tersebut berlangsung, dependensi dari negara tersebut dalam penggunaan minyak dalam kegiatan ekonomi, serta respon kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di negara tersebut. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka kecil pasti terpengaruh dengan kondisi ekonomi dunia. Salah satunya adalah terlihat bagaimana harga minyak dunia mempengaruhi perekonomian dalam negeri. Harga minyak dunia yang berfluktuasi juga akan mempengaruhi harga dari produk turunan minyak yang biasa di konsumsi oleh masyarakat yakni bahan bakar minyak seperti premium, solar, kerosen, dan pertamax. Mengingat pentingnya keberadaan bahan bakar minyak dalam perekonomian sehingga bahan bakar minyak memerlukan intervensi pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga bahan bakar minyak supaya dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Bentuk intervensi yang diberikan oleh pemerintah bagi penyediaan bahan bakar minyak saat ini berupa pemberian subsidi. Subsidi bagi bahan bakar minyak sudah dilakukan sejak pemerintahan orde baru. Hingga saat ini subsidi masih diberlakukan dan menjadi salah satu pengeluaran rutin dalam APBN. Untuk menjamin harga bahan bakar minyak disaat harga minyak dunia sedang melambung tinggi, pemerintah melakukan kebijakan pemberian subsidi. Dimulai sejak tahun 2005 APBN sangat terbebani dengan pemberian subsidi tersebut karena adanya fluktuasi harga minyak dunia berupa peningkatan yan sangat tinggi hingga menyentuh level 145 US$ per barrel di tahun 2008.

Gambar 1.4 menunjukkan rasio antara subsidi yang diberikan oleh pemerintah dan GDP. Nilai rasio subsidi dan GDP menjadi besar ketika sedang terjadi krisis perekonomian. Pada tahun 2000 rasio subsidi terhadap GDP yang tertinggi sebesar 0,11 persen. Hal ini disebabkan oleh perekonomian Indonesia yang melemah sebagai akibat dari krisis moneter. Sumber : International Financial Statistic dan Kementerian Keuangan RI (2011) Gambar 1.3 Rasio Subsidi Minyak terhadap GDP Tahun 1980-2010 (diolah) Harga dan kuantitas dari bahan bakar minyak yang beredar di masyarakat tidak ditentukan oleh kekuatan mekanisme pasar melainkan memerlukan intervensi dari pemerintah dalam penyediaanya. Harga minyak dunia terus mengalami trend peningkatan sejak tahun 2004 dan mencapai 136,32 US$/barrell di tahun 2005. Untuk merespon harga minyak yang semakin tinggi ini pemerintah mengambil kebijakan untuk meningkatkan harga jual bahan bakar minyak. Pada tahun 2002 pemerintah pernah mengizinkan bahan bakar minyak untuk mengikuti harga keseimbangan yang berasal dari harga minyak internasional. Kebijakan ini diikuti dengan meningkatkan harga bahan bakar minyak domestik agar bisa mengikuti harga minyak internasional dan tidak memberatkan APBN karena pemerintah harus memberikan subsidi lebih banyak. Namun kebijakan ini kurang

dikomunikasikan kepada publik sehingga banyak mengundang protes dari masyarakat dan terjadi ketidakstabilan keamanan dalam negeri. Untuk menjamin daya beli masyarakat pada saat harga minyak dunia sedang melambung tinggi, pemerintah tetap melakukan kebijakan pemberian subsidi. Beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah semakin besar ketika harga minyak terus meningkat. Peningkatan harga minyak di tahun 2004 pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikan harga jual bahan bakar minyak kepada masyarakat ke level Rp. 2400,00 per liter untuk premium. Pada tanggal 30 September 2005 pemerintah mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. Regulasi ini menjelaskan bahwa jenis bahan bakar yang akan diberikan subsidi adalah jenis bensin premium, kerosin, dan minyak solar. Regulasi ini menetapkan harga jual eceran minyak tanah bagi rumah tangga dan usaha kecil sebesar Rp.2000,00 per liter. Harga eceran bensin premium menjadi Rp. 4.500,00 per liter dan minyak solar menjadi Rp.4.300,00 per liter. Ketiga jenis bahan bakar minyak yang diberikan subsidi ini hanya diperuntukkan bagi usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum. Harga yang ditetapkan dalam regulasi ini tidak berlaku bagi industri (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010). Kebijakan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah pada awalnya ditujukan untuk menjaga kestabilan perekonomian. Namun dalam realitanya pengeluaran pemerintah untuk memberikan subsidi bagi energi dalam hal ini bahan bakar dan listrik jauh lebih besar dibandingkan belanja investasi modal dan pembiayaan untuk program sosial bagi masyarakat.

Sumber : Bulman et. al (2008) Gambar 1.4 Realokasi APBN Bagi Kegiatan Sosial (Milliar US Dollar) Pada saat terjadi krisis keuangan global di tahun 2008 dan terjadi fluktuasi harga minyak dunia seperti yang nampak pada Gambar 1.4 menjelaskan perbandingan anggaran belanja negara didominasi oleh pengeluran untuk subsidi BBM sebesar 14 milliar US dollar, sedangkan untuk belanja investasi modal hanya sebesar 9,5 milliar US dollar. Alokasi pengeluaran pemerintah untuk kegiatan sosial lebih kecil lagi yakni sebesar 7,5 miliar US dollar. Karakteristik perekonomian Indonesia yang kesejahteraan masyarakatnya memiliki ketimpangan yang sangat jauh. Masyarakat di kota-kota besar relatif memiliki kesejahteraan yang lebih baik, ditandai dengan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sementara di bagian Indonesia yang lain tidak mendapatkan akses yang sama. Seharusnya anggaran APBN lebih difokuskan kepada peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pada awal tahun 2011 tedapat wacana untuk membatasi kuantitas BBM bersubsidi karena semakin besarnya pengeluaran pemerintah terhadap subsidi. Sementara kebijakan kenaikan harga tidak mungkin diberlakukan karena dapat

menyebabkan respon anarkis dan ketidakstabilan keamanan dalam negeri. Pembatasan kuantitas BBM ini juga ditujukkan agar penyaluran BBM bersubsidi tepat bagi masyarakat yang tergolong kurang mampu. Sebab selama ini penggunaan BBM bersubsidi justru didominasi oleh masyarakat dengan pendapatan menengah keatas. Sumber : Bulman et al (2008) Gambar 1.5 Persentase Rumah Tangga Pengguna BBM Bersubsidi Banyak penelitian yang menjelaskan dampak dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi bagi negara importir minyak yang tergolong dalam kategori negara industri maju. Namun masih jarang penelitian yang mengangkat dampak dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi untuk kasus negara berkembang terkhusus bagi Indonesia yang baru sejak tahun 2004 menjadi importir minyak. Penelitian terdahulu banyak yang lebih berfokus kepada variabel moneter seperti nilai tukar, suku bunga, dan tingkat inflasi yang dipengaruhi oleh volatilitas harga minyak namun belum ada yang memasukan variabel subsidi dalam model penelitian yang terdahulu.

1.2 Perumusan Masalah Pada saat masih tergabung dalam OPEC, Indonesia sudah memberikan subsidi bagi produk minyak bumi dalam negeri. Kebijakan pemberian subsidi minyak ini merupakan insentif untuk menumbuhkan dan mendorong kegiatan industrialisasi domestik. Pada masa itu perekonomian Indonesia sedang berorientasi pada industri subtitusi impor yakni mengupayakan kemandirian dalam penyediaan barang dan jasa untuk dihasilkan di dalam negeri dan mengurangi kegiatan impor dari luar negeri. Proses industrialisasi ini banyak membutuhkan bahan bakar minyak sebagai sumber energi dan faktor produksi penting dalam industri. Fluktuasi harga minyak ini sangat mempengaruhi perekonomian. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir harga minyak memiliki trend yang meningkat. Peningkatan harga minyak disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan keamanan di negara kawasan Timur-Tengah yang merupakan kawasan penghasil minyak terbesar di dunia. Trend peningkatan harga minyak dunia ini juga diakibatkan oleh tingginya permintaan akan minyak itu sendiri. Permintaan yang tinggi terhadap minyak dalam suatu negara mengindikasikan ketergantungannya terhadap ketersediaan minyak domestik dalam kegiatan perekonomiannya. Harga minyak yang terus meningkat ini memberikan dampak terhadap perekonomian secara mikro maupun makro di suatu negara. Secara mikro dengan meningkatkan ongkos produksi dalam kegiatan ekonomi berimbas pada naiknya harga jual produk. Peningkatan harga jual ini menurunkan tingkat permintaan konsumen sehingga perusahaan mengalami kerugian karena barang yang

diproduksi tidak mampu diserap sepenuhnya oleh pasar. Kerugian yang dialami oleh perusahaan disikapi dengan mengurangi kuantitas produksi. Hal ini mengakibatkan perusahaan harus mengambil tindakan efisiensi biaya produksi berupa pengurangan jumlah pekerja agar tetap memperoleh laba dari proses produksi. Pada saat itu akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada pekerja dan meningkatkan jumlah pengangguran. Secara makro perekonomian mengalami guncangan akibat peningkatan harga minyak secara terus-menerus. Hal yang terjadi di tingkat perusahaan diakumulasikan secara agregat dalam perekonomian berarti memicu terjadinya inflasi dalam perekonomian yang ditandai dengan menurunnya tingkat daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang terus menurun ini berdampak terhadap produk domestik dan pertumbuhan ekononomi yang berjalan sangat lambat. Sebab konsumsi masyarakat merupakan salah satu penyusun produk domestik. Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbuka kecil, segala guncangan yang terjadi dalam perekonomian dunia akan memberikan dampak kepada perekonomian Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti guncangan dari harga minyak dunia dalam periode lima tahun terakhir ini memberi dampak kepada perekonomian nasional Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kestabilan variabel ekonomi dalam negeri seperti tingkat inflasi dan pertumbuhan output nasional. Berdasarkan uraian diatas maka masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi yaitu tingkat inflasi, dan pertumbuhan output nasional di Indonesia? b. Bagaimanakah dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi harga minyak terhadap kebijakan subsidi di Indonesia? c. Bagaimanakah respon kebijakan Indonesia serta perbandingan kebijakan dengan negara lain dalam merespon kenaikan harga minyak? 1.3 Tujuan Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk : a. Menganalisis dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi yaitu tingkat inflasi, dan pertumbuhan output nasional di Indonesia b. Menganalisis dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fluktuasi harga minyak terhadap kebijakan subsidi di Indonesia c. Membandingkan respon kebijakan Indonesia dan kebijakan dengan negara lain dalam merespon kenaikan harga minyak. 1.4 Manfaat Penulisan a. Penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan fiskal maupun moneter dalam merespon harga minyak yang berfluktuasi. b. Penelitian ini juga bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan masukan, dan literatur bagi penelitian selanjutnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Inflasi 2.1.1 Definisi Inflasi Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya tingkat harga secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar harga barang-barang lain. Menurut teori uang klasik, perubahan dalam tingkat harga keseluruhan adalah seperti perubahan dalam unit-unit ukuran. Karena sesungguhnya kesejahteraan ekonomi masyarakat bergantung pada harga relatif, bukan pada seluruh tingkat harga (Mankiw, 2007). Definisi lain dari inflasi adalah kenaikan rata-rata semua tingkat harga semua barang dan jasa dimana kenaikan harga-harga tersebut berlangsung dalam waktu yang berkepanjangan dan secara terus-menerus. Menurut Milton Friedman, inflasi merupakan sebuah fenomena moneter yang selalu terjadi dimanapun dan tidak dapat dihindari. Inflasi dikatakan sebagai fenomena moneter hanya jika terjadi peningkatan harga yang berlangsung secara cepat dan terus-menerus. pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran monetaris (Mishkin, 2004). Kenaikan harga secara terus-menerus yang menyebabkan inflasi dapat disebabkan oleh naiknya nilai tukar mata uang luar negeri secara signifikan terhadap mata uang dalam negeri. Inflasi menurut teori Keynes terjadi karena masyarakat hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Teori ini menyoroti bagaimana perebutan sumber ekonomi antar golongan masyarakat bisa menimbulkan permintaan agregat yang lebih besar daripada jumlah barang yang

tersedia. Dalam teori strukturalis inflasi berasal dari kekakuan struktur ekonomi khususnya supply bahan bakar minyak, dan bahan makanan yang mengakibatkan kenaikan harga pada barang lain. Menurut Samuelson (1989) tingkat inflasi dapat yang ditentukan dengan menghitung selisih tingkat harga tahun tertentu dengan tingkat harga tahun sebelumnya dan dibandingkan tengan tingkat harga tahun ini dan dikalikan dengan seratus persen. price( t) price( t 1) Inflation ( t) x100 price( t 1) Perhitungan inflasi dilakukan melalui dua pendekatan yakni Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen (IHP). Indeks Harga Konsumen yang dikenal sebagai IHK atau CPI yang mengukur biaya dari pasar konsumsi barang dan jasa. Biasanya inflasi didasarkan kepada harga bahan pangan, pakaian, perumahan, bahan bakar minyak, transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan dan komoditi lainnya yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Sedangkan Indeks Harga Produsen atau yang biasa dikenal sebagai PPI merupakan pendekatan yang digunakan dalam mengukur tingkat inflasi berdasarkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh produsen. Indeks ini berguna karena memberikan penjelasan yang lebih baik bagi dunia usaha (Samuelson, 1989) Lebih lanjut Samuelson (1989), menambahkan ada pendekatan lain yang dapat menjadi pendekatan lain dalam mengukur tingkat inflasi selain Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen yakni GNP Deflator. GNP Deflator

merupakan rasio GNP nominal dan GNP rill. GNP yang merupakan pendapatan nasional ini tersusun dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor suatu negara. Seringkali timbul kesalahpahaman mengenai konsep inflasi di tengah masyarakat. Kesalapahaman yang ada dimasyarakat seperti anggapan tingkat inflasi membuat harga barang semakin mahal, dan inflasi yang tinggi sebagai pertanda bahwa masyarakat menjadi semakin miskin. Samuelson (1989) menjelaskan bahwa sesungguhnya inflasi berarti rata-rata tingkat harga mengalami peningkatan. Inflasi juga tidak selalu membuat masyarakat menjadi miskin apabila diikuti oleh peningkatan pendapatan masyarakat selama masa terjadinya inflasi. Sehingga pendapatan rill untuk kebutuhan hidup sehari-hari mungkin saja meningkat atau menurun selama masa inflasi. 2.1.2 Jenis Inflasi Inflasi terbagi kedalam tiga jenis inflasi yakni : (1) Inflasi menurut tingkat keparahannya, yakni : Inflasi ringan (dibawah 10 persen setahun), inflasi sedang (antara 10-30 persen setahun), inflasi berat (antara 30-100 persen setahun), hiperinflasi (diatas 100 persen setahun). Sedangkan Samuelson (1989) mengklasifikasikan inflasi menurut tingkat keparahannya menjadi tiga jenis inflasi, yaitu: a. Moderate Inflation Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga secara perlahan. Relatif kecil dengan kenaikan satu digit persen tingkat inflasi per tahun. Ketika harga relatif stabil, masyarakat mempercai nilai uang dan mau

menyimpannya karena tidak akan berkurang nilainya secara cepat. Inflasi jenis ini mendorong masyarakat untuk melakukan investasi portofolio jangka panjang, karena percaya adanya peningkatan harga aset investasi di masa depan. b. Galloping Inflation Jika inflasi ditandai dengan peningkatan harga dua sampai tiga digit persen tingkat inflasi per tahun. Ketika inflasi meningkat mengakibatkan distorsi dalam ekonomi. Secara umum investasi akan beralih ke mata uang asing, karena mata uang dalam negeri mengalami penurunan yang sangat cepat dan ditandai dengan tingkat suku bunga yang menyentuh level minus. Namun dengan manajemen yang baik, inflasi jenis ini masih dapat dipulihkan seperti yang terjadi di Amerika Latin di tahun 1980an. c. Hyperinflation Merupakan tipe inflasi yang terparah seperti yang terjadi di Jerman pada tahun 1920-1923 dan yang terjadi di Cina dan Hungaria pasca perang dunia kedua. Tipe inflasi ini juga pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1963, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk mendanai proyek mercusuar dengan mencetak uang secara terus-menerus. Hal ini yang menyebabkan nilai uang menjadi sangat rendah. Tingkat inflasi pada masa itu mencapai 600 persen sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai Rupiah dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah. (2) Inflasi menurut penyebab terjadinya, yakni: a. Demand-Pull Inflation

Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi telah dalam keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir penuh. Jika kondisi kesempatan kerja penuh atau full employmentsudah terjadi, kenaikan permintaan total hanya akan meningkatkan harga di pasar. Inflasi jenis ini disebut sebagai inflasi murni. b. Cost-Push Inflation Inflasi yang terjadi disertai turunnya tingkat produksi. Jadi inflasi jenis ini diikuti resesi dalam perekonomian. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat dari kenaikan biaya produksi. (3) Inflasi menurut asalnya, yakni: a. Domestic Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri. Penyebab dari inflasi jenis ini misalnya dari defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan mengeluarkan kebijakan moneter menambah jumlah uang yang beredar berupa pencetakan uang baru, gagal panen dari bahan makannan pokok, dan sebagainya. b. Imported Inflation, yaitu inflasi yang berasal dari luar negeri. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan ekomomi terbuka kecil, sehingga sangat dipengaruhi oleh perekonomian global termasuk tingkat inflasi. Imported inflation juga dapat disebabkan karena peningkatan dari harga di luar negeri yang dialami oleh mitra dagang Indonesia. Kenaikan harga barang-barang impor yang masuk ke Indonesia akan mengakibatkan (1) kenaikan indeks harga konsumen karena sebagian dari

kebutuhan sehari-hari masyarakat berasal barang-barang impor tersebut, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga produsen karena beberapa input produksi berasal dari barang-barang import, (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan penurunan penerimaan pemerintah dari tarif impor yang dibebankan pada produk impor yang permintaannya mengalami penurunan. 2.1.3 Dampak Inflasi Selama periode inflasi terjadi, tingkat harga dan upah tidak bergerak dalam tingkatan yang sama, maka inflasi akan memberikan dampak redistribusi pendapatan dan kekayaan diantara golonag ekonomi dalam masyarakat. Serta menimbulkan terjadinya distorsi dalam harga relatif, output, dan kesempatan kerja, dan ekonomi secara keseluruhan (Samuelson,1989). Dampak inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat terbagi menjadi dua yakni dampak psitif dan dampak negatif. Dampak positif dari inflasi menyebabkan peredaran dan perputaran barang lebih cepat di masyarakat sehingga produksi barang-barang bertambah, dan keuntungan pengusaha bertambah. Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi yang tercipta berarti membuka banyak lapangan kerja baru sehingga masalah pengangguran dapat berkurang. Ketika inflasinya terkendali dan diikuti dengan pendapatan nominal yang bertambah, maka pendapatan rill masyarakat meningkat. Inflasi pun memberikan dampak yang negatif terhadap perekonomian seperti kenaikan harga kebutuhan hidup, nilai dan kepercayaan terhadap uang

akan berkurang. Menimbulkan tindakan spekulasi terhadap investasi portofolio terutama portofolio asing yang paling diminati sehingga berdampak terhadap melemahnya nilai tukar mata uang domestik. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar karena tidak sanggup membayar input dalam proyek yang harganya mengalami peningkatan. Dengan terjadinya inflasi menjadikan minat menabung masyarakat berkurang sebagai akibat dari turunnya nilai mata uang jika hal ini terjadi secara terus-menerus maka akan mematikan industri perbankan nasional. 2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi 2.3.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi Prof. Simon Kuznets memenangkan Hadiah Nobel di tahun 1971 atas analisisnya mengenai batasan mengenai pertumbuhan ekonomi di suatu negara sebagai tumbuhnya kemampuan untuk meningkatkan penawaran berbagai bendabenda ekonomi dalam jangka waktu yang lama bagi penduduknya. Kenaikan itu sendiri beberapa faktor dalam negara itu sendiri seperti : (1) akumulasi kapital yang mencakup semua investasi baru berupa tanah dan sumberdaya manusia; (2) pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja; dan (3) kemajuan teknologi (Todaro, 1985). Prof. Kuznets dalam Todaro (1985) menambahkan definisi pertumbuhan ekonomi memiliki 3 komponen pokok, yakni : meningkatnya output nasional secara terus-menerus, adanya perkembangan teknologi, dan padanya penyesuaian lembaga-lembaga dan inovasi di bidang sosial. Dalam analisanya Prof. Kuznets juga menjelaskan 6 karaktreistik mengenai gambaran atau proses pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh beberapa negara maju, yaitu:

a. Laju pertumbuhan output perkapita yang tinggi dan pertambahan penduduk. b. Produktivitas tenaga kerja yang meningkat dengan pesat. c. Transformasi struktural ekonomi yang tinggi. d. Transformasi sosial dan ideologi yang tinggi. e. Kecenderungan negara maju untuk melakukan ekspansi ke belahan dunia yang lain untuk pemasaran output dan eksplorasi sumber bahan mentah. f. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya meliputi sepertiga penduduk dunia saja. Pertumbuhan ekonomi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan output perkapita jangka panjang yang terjadi apabila ada kecenderungan output naik yang bersumber dari kekuatan yang berada dalam perekonomian itu sendiri, bukan berasal dari luar atau bersifat sementara. Sasaran pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan utama suatu negara dan merupakan suatu determinan penting dalam menilai kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Perhitungan pertumbuhan ekonomi diperoleh dengan persamaan di bawah ini : GDP( t) GDP( t 1) GDPgrowth GDP( t 1) Dimana GDP merupakan akumulasi dari konsumsi masyarakat (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor netto yakni selisih dari ekspor dan impor (X-M). 2.3.2 Ringkasan Teori Pertumbuhan Ekonomi Teori ekonomi klasik yang dipelopori oleh Adam Smith menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan terjadi apabila ada peningkatan jumlah kapital

dan spesialisasi kerja. Teori David Ricardo pada umumnya sama dengan teori Adam Smith secara garis besar tapi lebih menekankan faktor keterbatasan lahan dan pertumbuhan penduduk. Teori pertumbuhan ekonomi menurut Solow menunjukkan bagaimana persediaan modal (K), pertumbuhan angkatan kerja (L), dan kemajuan teknologi (E) berinteraksi dalam perekonomian. Tingkat kemajuan teknologi yang terlihat dari peningkatan keterampilan atau kemajuan teknik sehingga produktivitas perkapita meningkat. Fungsi produksi ditambahkan satu variabel E yakni teknologi sebagai faktor eksternal dalam teori Solow. Dengan adanya kemajuan teknologi, model Solow menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar hidup masyarakat dengan fungsi produksi sebagai berikut : Y f ( K, L, E) Teori pertumbuhan ekonomi menurut Harrod-Domar menyatakan setiap penambahan stok modal melalui investasi masyarakat akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Sedangkan Rostow membagi tahapan pertumbuhan ekonomi kedalam lima tahapan yakni : a. Masyarakat tradisional, yakni masyarakat yang pola kehidupannya masih menggunakan cara-cara sangat sederhana dan tingkat produktivitasnya sangat terbatas. b. Masyarakat prasyarat untuk lepas landas, yakni masyarakat yang mulai sadar akan pembangunan ekonomi, terdapat peranan ilmu pengetahuan yang aktif.

c. Masyarakat lepas landas, yakni perkembangan IPTEK digunakan dalam menunjang kegiatan perekonomian. Sudah mulai mengembangkan industri dan jasa yang diikuti dengan penggunaan sumberdaya secara optimal. d. Masyarakat tingkat kematangan, yakni sudah dapat mengatasi ketergantungan kepada negara lain. Kehidupan perekonomiann ditopang dengan penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya alam yang matang. e. Masyarakat konsumsi tinggi, yakni masyarakat yang pendapatan perkapitanya sangat tinggi. 2.3 Teori Suku Bunga Suku bunga merupakan harga yang dibayar atas kepemilikan sejumlah dana atau modal. Suku bunga menurut Irving Fisher membedakan suku bunga dalam dua jenis yakni suku bunga nominal (nominal interest rate) dan suku bunga rill (real interest rate). Suku bunga nominal adalah suku bunga yang masih mengandung faktor inflasi sedangkan suku bunga rill merupakan tingkat suku bunga yang didapat dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar keuangan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : i r dimana, i = suku bunga nominal,

r = suku bunga rill, π = tingkat inflasi. Untuk kasus di Indonesia yang memiliki sistem ekonomi terbuka kecil, yakni terbuka akan mobilisasi sumber kapital global walau peranannya kecil dalam perekonomian global, cenderung dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di negara ekonomi terbuka besar. Dalam sistem ekonomi terbuka kecil tingkat besaran suku bunga yang berlaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni : a. Domestic money market Besaran suku bunga ditentukan dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar keuangan domestik. Pasar keuangan yang stabil akan mendorong terciptanya keseimbangan tingkat suku bunga. Dengan pasar uang yang stabil juga mendorong terjadinya efisiensi dalam pasar uang. b. Expected rate of devaluation Harapan akan menguatnya nilai uang di masa yang akan datang juga akan menentukan besaran suku bunga sebab ekspektasi terhadap nilai mata uang yang akan lebih besar di masa yang akan datang akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk memegang uang. Hal ini akan meningkatkan besaran suku bunga dengan asumsi jumlah uang yang beredar tetap, cateris paribus. c. Expected inflation Harapan akan meningkatnya tingkat harga ditandai dengan terjadinya infalasi di waktu yang akan datang, akan meningkatkan permintaan terhadap uang. Hal ini

akan meningkatkan besaran suku bunga dengan asumsi jumlah uang yang beredar tidak berubah, cateris paribus. d. Imported interest rate Mengingat Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbuka kecil pasti akan ikut terpengaruhi oleh peerkonomian internasional. Termasuk variabel suku bunga yang akan ditetapkan sebagai suku bunga nasional. 2.4 Teori Kebijakan Subsidi Mahzab neoklasik ekonomi modern mendasarkan perekonomian seperti pasar persaingan sempurna, yakni terjadi efisiensi paling optimal dalam perekonomian dengan efisiensi penggunaan sumberdaya dan terciptanaya harga dan kuantitas produksi dalam keseimbanagan sehingga intervensi pemerintah tidak diperlukan. Namun kenyataannya hal tersebut tidaklah terjadi, di belahan dunia manapun perekonomian tidak selalu dalam kondisi keseimbangan yang mengakibatkan terjadinya kegagalan pasar. Maka diperlukan intervensi dari pemerintah dalam menanggulangi kegagalan pasar tersebut (Amegashie, 2006) Lebih lanjut Amegashie (2006) menambahkan kegagalan pasar yang kerap terjadi di negara berkembang seperi distorsi pasar dimana pembeli tidak mendapatkan informasi yang sempurna, jumlah perusahan yang kecil, barang publik, lemahnya perlindungan terhadap hak cipta suatu barang dalam perekonimian. Untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi untuk mereduksi inefisiensi di pasar. Dengan adanya subsidi akan meningkatkan permintaan terhadap barang tersebut dan kemudian direspon oleh perusahaan dengan meningkatkan produksinya.

Bentuk subsidi yang diberikan oleh pemerintah biasanya kepada barangbarang publik dimana pihak swasta tidak mau menyediakannya sementara daya beli masyarakat sangat rendah sehingga tidak mampu membeli barang-barang dengan harga pasar. Untuk itu pemerintah memberikan subsidi untuk menekan harga barang publik, sehingga harga barang menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat. Contoh pemberian subsidi di Indonesia adalah subsidi pupuk bagi petani, subsidi pendidikan dan kesehatan, serta subsidi bahan bakar minyak bagi nelayan dan masyarakat. 2.5 Pengantar Fluktuasi Ekonomi Fluktuasi ekonomi menunjukkan masalah yang sedang terjadi bagi para ekonom dan pembuat kebijakan. Secara rata-rata GDP Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Tapi rata-rata dalam jangka panjang menyembunyikan fakta bahwa terkadang output nasional tidak tumbuh dengan stabil. Terkadang tumbuh pesat dibeberapa tahun, terkadang pula tumbuh lambat di beberapa tahun yang lain. Ekonom menyebut fluktuasi jangka pendek pada output nasional dan pengangguran sebagai siklus bisnis (bussiness cycle). Fluktuasi dalam perekonomian mempengaruhi Aggregate Demand dan Agregate Supply baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Fluktuasi dalam perekonomian dapat menurukan dan menaikkan Aggregate Demand dan juga dapat menurunkan dan menaikkan Aggregate Supply.

(a) (b) Sumber : Mankiw (2007) Gambar 2.1 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Aggregate Demand Gambar 2.1 (a) menunjukkan adanya peningkatan aggregat demand dalam jangka panjang yang disebabkan oleh peningkatan jumlah uang yang beredar sehingga akan menghasilkan peningkatan harga. Kondisi tersebut terjadi karena dalam jangka panjang perekonomian sudah dalam kondisi full-employment sehingga upaya untuk meningkatkan aggregat demand hanya akan menghasilkan inflasi dan tidak menambah output. Gambar 2.1 (b) menunjukkan adanya peningkatan aggregat demand dalam jangka pendek sehingga menghasilkan peningkatan output sebesar. Kondisi tersebut terjadi karena dalam jangka pendek harga bersifat kaku dan perekonomian belum dalam kondisi full-employment sehingga peningkatan aggregat demand tidak menghasilkan inflasi.

Sumber : Mankiw (2007) Gambar 2.2 Fluktuasi Perekonomian yang Mempengaruhi Aggregate Supply Gambar 2.2 menunjukkan bahwa fluktuasi ekonomi yang mengakibatkan penurunan Aggregate Supply dalam jangka pendek akan menurunkan keseimbangan dalam perekonomian yang semula di titik B menjadi turun ke titik A. Fluktuasi jenis ini contohnya terjadi karena ada peningkatan harga minyak yang merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam perekonomian. Peningkatan harga minyak dunia akan menurunkan penawaran secara agregat sehingga memberi dampak yang buruk bagi perekonomian yakni penurunan output nasional dan peningkatan harga. 2. 6 Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2005) tentang Analisis Pengaruh Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia periode waktu penelitian antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2004. Penelitian ini menggunakan metode regresi linear berganda yang diestmasi dengan metode ordinary least square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi dipengaruhi secara signifikan oleh uang kartal, nilai tukar rill, harga bahan bakar minyak, dan uang kartal

periode sebelumnya pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil estimasi menunjukkan bahwa jiika ada peningkatan harga bahan bakar minyak sebesar satu persen akan menyebabkan inflasi meningkat sebesar 0,11 persen. Hal ini berarti selama periode tahun 1990 sampai 2004 harga bahan bakar minyak berkorelasi positif terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Yu Hsing pada tahun 2007 ini menjelaskan tentang peningkatan harga minyak dunia terhadap kondisi makroekonomi dan pertumbuhan output di Jerman sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia yang tingkat ketergantungannya terhadap minyak sangat tinggi. Periode pengamatan Yu Hsing sejak triwulan ketiga tahun 1991 hingga triwulan keempat tahun 2006. Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square dalam selang kepercayaan 95 persen. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan harga minyak dunia tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan output nasional di Jerman walaupun Jerman merupakan negara importir minyak yang besar. Penelitian ini pun mengungkapkan bahwa sesungguhnya perekonomian Jerman dapaat tumbuh dengan pesat bukan dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak dunia tetapi berasal dari tingginya harga saham, rendahnya tingkat suku bunga, dan rendahnya tingkat inflasi. Penelitian Farzanegan (2007) menjelaskan bahwa dengan adanya fluktuasi harga minyak akan meningkatkan tingkat inflasi dan juga peningkatan GDP. Namun dampak dari peningkatan GDP tidak dapat diidentifikasikan secara signifikan karena didorong oleh peningkatan pengeluaran pemerintah melalui

pemberian subsidi. Dalam pelaksanaannya kebijakan pemberian subsidi ini meningkatkan perilaku rent-seeking dari birokrat. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini juga banyak yang dialokasikan pada aktivitas yang tidak produktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terjadi penemuan yang menarik dari penelitian Farzanegan di Iran ini karena statusnya sebagai net importir minyak juga diikuti dengan meningkatnya volume impor masyarakat terhadap komoditi lain. Hal ini disebabkan oleh melemahnya nilai mata uang luar negeri terhadap nilai mata uang domestik. Dengan kata lain dengan adanya fluktuasi harga minyak mengakibatkan menguatnya niali mata uang domestik Iran. Penelitian yang dilakukan oleh Katsuya Ito (2008) mengenai keterkaitan fluktuasi harga minyak dunia terhadap perekonomian Russia sebagai negara eksportir minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Periode penelitian ini dimulai sejak triwulan pertama tahun 1997 samap triwulan keempat tahun 2007. Penelitian ini menggunakan data deret waktu dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) sehingga dapat meramalkan kondisi pada jangka panjang. Penelitian Ito (2008) menunjukkan dampak dari harga minyak dan guncangan moneter terhadap perekonomian Russia. Apabila terjadi perubahan harga minyak dunia sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan GDP Russia sebesar 0,25 persen dan peningkatan tingkat inflasi sebesar 0,36 persen pada dua belas triwulan berikutnya. Penelitian ini juga menegaskan guncangan

moneter melalui saluran suku bunga akan mempengaruhi tingkat inflasi dan GDP rill. Penelitian Ito (2008) terhadap Russia sebagai salah satu net eksportir minyak, berbeda dengan hasil temuan Jalil di tahun yang sama menyatakan bahwa Malaysia sebagai negara net eksportir untuk komoditi minyak memberikan subsidi untuk konsumsi minyak dalam negerinya. Pembiayaan subsidi diperoleh dari surplus perdagangan Malaysia atas komoditi minyak itu sendiri. Hal ini pun pernah berlaku di Indonesia sewaktu Indonesia menjadi salah satu anggota OPEC. Pemerintah Malaysia merasa perlu untuk mengintervensi minyak di dalam negeri mengingat minyak adalah sumber energi utama yang digunakan dalam kegiatan perekonomian di negara tersebut. Ketika terjadi kenaikan harga minyak akan diikuti dengan meningkatnya harga-harga barang. Lebih lanjut Jalil (2008) menjelaskan bahwa fluktuasi harga minyak di Malaysia lebih mempengaruhi perekonomian Malaysia. Hasil penelitian Jalil menemukan bahwa fluktuasi harga minyak lebih mempengaruhi pendapatan nasional (GNP) dan tingkat pengangguran dibandingkan kebijakan fiskal maupun kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintahnya. Penelitian Aliyu (2008) bermaksud untuk mengetahui dampak bagi pertumbuhan ekonomi Nigeria yang disebabkan oleh guncangan harga minyak dan volatilitas nilai tukar mata uang di Nigeria sebagai salah satu negara net eksportir untuk komoditi minyak. Penelitian ini menggunakan data deret waktu dengan metode Vector Error Correction Model dalam estimasi agar diketahui

dampaknya dalam jangka panjang. Periode pengamatan dimulai dari triwulan pertama tahun 1986 hingga triwulan keempat tahun 2007. Hasil penelitian Aliyu (2008) menemukan bahwa untuk kasus Nigeria pertumbuhan GDP lebih dipengaruhi oleh peningkatan harga minyak dibandingkan apresiasi nilai tukar mata uang di negara ini. Hasil estimasi dalam jangka panjang menunjukkan apabila harga minyak dunia meningkat sebesar 10 persen maka akan diikuti dengan peningkatan GDP rill Nigeria meningkat sebesar 7,73 persen. Sedangkan apabila nilai tukar mata uang meningkat sebesar 10 persen hanya akan meningkatkan GDP sebesar 0,35 persen. Christensson (2009) meneliti seberapa besar pengaruh guncangan harga minyak sebagai penyebab inflasi di Amerika Serikat. Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang cakupan permasalahannya pada tingkat perekonomian nasional. Namun penelitian ini justru menganalisis pengaruh guncangan harga minyak bagi inflasi di tingkat regional di Amerika Serikat. Penelitian ini menemukan bahwa bagian barat Amerika memiliki pengaruh yang lebih rendah dari guncangan harga minyak terhadap inflasi dibandingkan dengan daerah lainnya di Amerika Serikat secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan minyak yang efisien, rendahnya tingkat inflasi, dan nilai tukar yang lebih rendah di bagian Barat Amerika dibandingkan dengan daerah lainnya. Fayoumi (2009) meneliti hubungan antara volatilitas harga minyak dunia dengan tingkat pengembalian di pasar saham (stock market returns) yang terjadi di tiga negara kawasan Timur-Tengah yakni Turki, Tunisia, dan Yordania. Walaupun ketiga negara tersebut berada di kawasan Timur-Tengah namun ketiga

negara ini merupakan importir minyak. Penelitian ini menggunakan data bulanan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM). Periode pengamatan dimulai dari Desember tahun 1997 hingga Maret 2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak tidak secara langsung mempengaruhi pasar saham ketiga negara tersebut. Tingkat pengembalian di pasar saham lebih dipengaruhi oleh indikator makroekonomi domestik masing-masing negara dibandingkan oleh harga minyak. Indikator makroekonomi yang berpengaruh tersebut adalah tingkat suku bunga dan produktivitas industri. 2.7 Kerangka Pemikiran Penelitian ini menganalisis pengaruh fluktuasi harga minyak dunia terhadap perekonomian Indonesia yang tercermin dalam variabel makroekonominya seperti tingkat inflasi, GDP, nilai tukar, dan suku bunga. Fluktuasi harga minyak dunia juga mempengaruhi kebijakan fiskal berupa kebijakan subsidi pemerintah terhadap Bahan Bakar Minyak selama periode tahun 1980-2010. Fluktuasi harga minyak dunia mempengaruhi tingkat inflasi. Peningkatan maupun penurunan harga minyak dunia akan mempengaruhi tingkat harga barang dan jasa. Ketika harga minyak befluktuasi maka akan mempengaruhi fungsi produksi karena minyak merupakan sumber energi yang digunakan selama proses produksi. Pada saaat harga minyak meningkat, produsen akan meresponnya dengan mengurangi kuantitas produksinya. Jumlah supply output yang berkurang akan meningkatkan harga barang dan jasa di masyarakat.

Indonesia sebagai net importir memiliki ketergantungan yang besar terhadap penggunaan minyak dan produk turunannya. Penggunaan minyak yang besar tersebut dikarenakan tingginnya konsumsi masyarakat akan minyak. Penggunaan minyak besar sebagain sumber energi dan konsumsi langsung oleh masyarakat.dampak yang di berikan oleh fluktuasi harga minyak dunia baik dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap variabel-variabel makroekonomi dan subsidi Bahan Bakar Minyak sanagt membutuhkan kebijakan pemerintah yang tepat untuk menghindari ketidakstabilan ekonomi dan sosial di masyarakat. Fluktuasi Harga Minyak Variabel Makroekonomi Kebijakan Fiskal Tingkat Inflasi GDP Nilai Tukar Suku Bunga Kebijakan Subsidi VECM Dampak pada Perekonomian Jangka Panjang Jangka Pendek Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data kuartalan. Periode waktu penelitian ini dimulai dari kuartal pertama tahun 1980 hingga kuartal keempat tahun 2010. Tabel 3.1 Variabel, Notasi, dan Sumber Data Variabel Notasi Satuan Sumber Data Consumer Price Index Gross Domestic Bruto Interest Rate Crude Price Oil Exchange Rate Oil Subsidy INFLASI Indeks International Financial Statistics IMF GDP SB HARGAMINYAK ER SUBSIDI Miliar Rupiah Persen per Tahun Billion US. Dollars Rupiah/ US Dollar Miliar Rupiah International Financial Statistics IMF International Financial Statistics IMF International Financial Statistics IMF International Financial Statistics IMF Kementerian Keuangan RI 3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Vector Autoregression (VAR) yang dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM). Penggunaan persamaan VAR memudahkan pemecahan masalah dalam perekonomian karena kemampuannya dalam deskripsi data, peramalaan, infrensi struktural, dan analisis kebijakan. Spesifikasi dalam penggunaan metode VAR ini variabel yang akan diestimasi harus bersifat stasioner. Oleh karena itu diperlukan pengujian stasioneritas terhadap variabel

untuk menghindari masalah regresi palsu atau sporious regression ketika variabel yang bersifat tidak stasioner diregresikan. Penelitian ini menggunakan metode VAR untuk mengetahui pengaruh dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel-variabel makroekonomi seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, tukar mata uang serta mengetahui dampak fluktuasi harga minyak terhadap kebijakan fiskal berupa subsidi terhadap bahan bakar minyak di Indonesia. Disamping itu, metode VAR-VECM ini juga digunakan untuk menganalisi respon variabel-variabel tersebut terhadap harga minyak dalam jangka panjang. 3.2.1 Metode Vector Autoregression (VAR) Model VAR ini pertama kali dikembangkan oleh Sims (1980) yang kemudian menjadi dasar bagi munculnya metode kointegrasi Johansen (1989). Menurut Pasaribu (2005) metode VAR sangat berguna dalam menentukan tingkat eksogenitas suatu variabel ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi di mana terjadi saling ketergantungan antar variabel dalam ekonomi. Metode ini sangat baik dalam menjelaskan perilaku variabel dalam perekonomian. Model VAR secara matematis dapat diwakili oleh: (3.1) dimana Z t adalah vektor dari variabel-variabel yang dijelaskan sebanyak n, X t adalah vektor dari variabel-variabel yang menjelaskan sebanyak n termasuk di

dalamnya konstanta (intercept). A 1,..., A n, dan B adalah matriks-matriks koefisien yang akan diestimasi, dan t adalah vektor dari residual. Z t-1 merupakan vektor dari variabel yang eksogen pada periode sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa variabel endogen dipengaruhi oleh variabel itu sendiri dari periode waktu sebelumnya atau yang dikenal sebagai kondisi random walk. Selain spesifikasi metode VAR harus meliputi pemilihan variabel yang stasioner, model ini juga harus memiliki pemilihan selang yang optimal. Sesuai dengan metodologi Sims (1980) variabel yang digunakan dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan model ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal kemudian akan memanfaatkan kriteria informasi seperti Akaike Information Criteria (AIC), Schwarz Criteria (SC) yang paling minimum, serta informasi dari Hannan-Quinn Information (HQ) (Arsana, 2006) Menurut Amisano dan Gianini dalam Apriani (2007), menyebutkan bahwa metode VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan terhadap model persamaan simultan yaitu : a. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasarkan pada agregasi dari model keseimbangan parsial. b. Struktur dinamis pada model sering kali dispesifikasikan dengan tujuan untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural. Gujarati (2003) menyatakan semua variabel dalam persamaan simultan harus diperlakukan sama sehingga tidak ada pembatasan antara variabel endogen maupun variabel eksogennya. Pada suatu model persamaan simultan terdapat

justifikasi terhadap variabel yang akan menjadi variabel endogen atau variabel eksogen berdasarkan pertimbangn dari peneliti, namun dengan pendekatan VAR berusaha membiarkan data tersebut berbicara ( let the data speak for themselves ) dengan membuat semua variabel berpotensi menjadi variabel endogen. Model VAR memiliki beberapa keunggulan yakni: (1) memiliki metode yang sederhana, karena tidak perlu menjustifikasi variabel yang menjadi variabel endogen atau variabel eksogennya. (2) estimasi yang sederhana karena metode OLS dapat diaplikasikan dalam persamaan. (3) Peramalan dengan menggunakan model VAR dibeberapa kasus lebih baik dibandingkan dengan persamaan simultan yang lebih kompleks (Gujarati, 2003) Selain memiliki beberapa keunggulan, Model VAR juga memiliki beberapa kelemahan (Gujarati, 2003) yakni: a. Tidak seperti persamaan simultan, metode VAR bersifat sangat teoritik karena sedikit informasi yang tersedia. b. Karena berfokus pada peramalan, sehingga metode VAR kurang cocok untuk menganalisis suatu kebijakan. c. Tantangan terbesar dalam metode VAR adalah menentukan panjang lag yang optimal. Proses estimasi untuk ukuran sampel yang besar akan mengurangi derajat bebasnya. d. Dalam kenyataannya data dalam level sering tidak stasioner, sehingga memiliki kesulitan dalam mentransformasi data. e. Koefisien yang diestimasi dalam VAR terkadang sulit untuk diinterpretasikan.

3.2.1.1 Model Penelitian Hsio dalam Apriani (2007) memberikan contoh gambaran definisi hubungan kausalitas antara tida contoh variabel (X,Y,Z). Berikut adalah susunan hubungan antar variabel yang dimasukkan dalam bentuk matriks untuk mempermudah analisis dan intrepretasi hubungan antar variabel yang akan diestimasi. = + (3.2) Dalam penelitian Hsio ini terdapat asumsi yang harus dipenui agar hubungan antar variabel dapat terdefinisi secara jelas, yakni : 1. Bila variabel X tidak mempengaruhi Z, syaratnya adalah = 0. 2. Bila variabel X mempengaruhi Z, syaratnya = 0. 3. Hubungan timbal balik antar variabel X dan Z, jika dan 0. 4. Hubungan tidak langsung dari variabel X dan Z melalui Y, syaratnya = 0 ; 0 ; 0. 5. Hubungan semu jenis I dari variabel X terhadap variabel Z jika dan hanya jika terdapat kondisi = 0 ; 0, untuk semua jenis lag. 6. Hubungan semu jenis II dari variabel X terhadap Z jika dan hanya jika terdapat kondisi : = 0 ; = 0, untuk semua panjang lag k dan 0 ; 0 untuk semua panjang lag k.

Dalam penelitian ini bertujuan mengetahui dampak dari fluktuasi harga minyak dunia terhadap variabel makroekonomi seperti tingkat inflasi, tingkat pertumbuhan output nasional, tingkat suku bunga, nilai tukar rill mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, dan kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia selama periode 1980 hingga tahn 2010. Pembahasan dalam penelitian ini hanya melihat dampak dari fluktuasi harga minyak terhadap variabel makroekonomi dan bukan sebaliknya. Model yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: = + 3.2.2 Metode Vector Error Correction Model (VECM) VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi maksudnya adalah suatu persamaan yang bentuk datanya tidak stasioner, padahal dalam model ini data baru bisa diestimasi jika bersifat stasioner masih dapat diestimasi karena memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hibungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan data jangka pendeknya yang dinamis. 3.2.3 Tahapan Pembentukan Sistem Persamaan 1. Uji Stasioneritas Data

Menurut Gujarati (2003), data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi disekitar nilai rata-ratanya. Data time series pada umumnya mengandung akar unit (unit root) dan nilai rata-rata serta variansnya berubah sepanjang waktu. Nilai yang mengandung unit root atau tidak stasioner, apabila dimasukan dalam perhitungan statistik pada model regresi sederhana, maka kemungkinan besar estimasi akan gagal mencapai nilai yang sebenarnya atau disebut sebagai spourious estimation. Untuk menguji ada atau tidaknya akar unit pada data yang di gunakan, dalam penelitian ini digunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Menurut Gujarati (2003), uji stasioneritas data dengan menggunakan uji Dickey-Fuller, dimulai dari sebuah proses autoregresi orde pertama. Jika hasil pengujian menyatakan bahwa data bersifat stasioner, maka dapat langsung menggunakan metode VAR. Tetapi jika data ternyata tidak stasioner pada orde pertama maka data tersebut harus diubah dahulu kedalam berntuk diferensialnya atau menngunakan metode VECM karena adanya indikasi memiliki sifat kointegrasi dalam data yang tidak stasioner. 2. Penentuan Lag Optimal Dalam menentukan lag optimal dapat dilakukan dengan 3 tahapan pengujian yakni: a. Melihat lag maksimum dari sistem VAR yang membuat stabil saaat diestimasi. Stabilitasnya dapat dilihat dari nilai invers roots karakteristik AR polinominalnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil atau stasioner jika

seluruh rootsnya memiliki modulus yang lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. b. Melihat panjang lag optimal dengan melihat kriteria informasi yang tersedia menurut Likelihood Ratio (LR), Final prediction Error (FPE), Akaikke Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ) c. Melihat panjang lag optimal dengan memperbandingkan nilai adjusted R square dari variabel-variabel penting dalam persamaan VAR tersebut. Lag optimal akan dipilih dari sistem VAR dengan lag tertentu yang menghasilkan nilai adjusted R square terbesar pada variabel-variabel penting dalam persamaan. 3. Uji stabilitas model VAR Penilaian stabilitas model VAR dilihat dari nilai akar-akar dari karakteristik AR polinomialnya atau yang dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya kurang dari 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil sehingga analisis IRF (Impulse Response Function) dan FEVD (Forecast Error Variance Decomposition) dapat dilakukan selanjutnya. 4. Pengujian Hubungan Kointegrasi Konsep kointegrasi pertama kali di kemukakan oleh Johansen pada tahun 1988. Konsep kointegrasi ini menjelaskan bahwa dari kombinasi linear dari beberapa variabel yang memiliki akar unit atau bersifat tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Pengujian hubungan kointegrasi dilakukan

untuk mengetahui variabel yang tidak stasioner terkointegrasi dalam jangka panjang. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpetasi sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Persamaan matematis dari uji kointegrasi Johansen ini adalah: (3.2) 5. Uji Granger Kausalitas Uji Granger kausalitas berguna untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara variabel yang digunakan dalam model yang akan diestimasi. Hubungan sebab akibat ini dapat dilihat dengan membandingkan probabilitas dengan nilai kritis yang digunakan. Pada penelitian ini probabilitas yang digunakan adalah lima persen untuk setiap variabel, sehingga hasil pengujian kausalitas Granger dengan nilai probabilitas kurang dari 0,05 dikatakan memiliki hubungan sebab akibat. 3.2.4 Impulse Response Function (IRF) Impulse Response Function menunjukkan bagaimana suatu variabel endogen bereaksi terhadap guncangan dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF mengukur pengaruh dari guncangan pada waktu tersebut dan pengaruhnya di masa yang akan datang. 3.2.5 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Enders (2004) menyatakan bahwa forecast error variance decomposition mampu menjelaskan proporsi pergerakan dari suatu varibabel yang disebabkan

oleh guncangan dari variabel itu sendiri dan membandingkan dengan pergerakan yang dialami oleh variabel yang lain dalam suatu persamaan Berbeda dengan dengan Impulse Raspons Function, Forecast Error Variance Decomposition menunjukkan bagaiman perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance. Metode ini menunjukkan struktur yang dinamis dalam model VAR. Dimana dalam metode ini dapat diketahui kelemahan dan kekuatan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam persamaan untuk kurun waktu jangka panjang.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pra Estimasi 4.1.1 Uji Kestasioneritasan Data Sebelum mengestimasi variabel dengan data time series dan menggunakan metode Vector Auto Regressive (VAR) perlu melakukan uji stasioneritas. Uji stasioneritas diperlukan untuk mengalisis ada atau tidaknya unit root yang terkandung dalam variabel yang akan diestimasi. Apabila variabel yang akan diestimasi memiliki unit root akan menghasilkan regresi palsu atau spurious regression. Spurious regression mengindikasikan persamaan seolah-olah variabel memiliki hubungan, tetapi sesungguhnya hubungan antar variabel bersifat tidak valid. Uji stasioneritas dilakukan kepada setiap variabel yang akan diestimasi hubungannya. Untuk melihat ada atau tidaknya unit root dapt menggunakan metode Augmented Dicky Fuller dan atau Philip Perron test. Ketasioneritasan suatu variabel dapat dilihat dengan membandingkan nilai stasistik Augmented Dicky Fuller dengan nilai kritis Mc Kinnon. Apabila nilai statistik Augmented Dicky Fuller lebih kecil daripada nilai kritis Mc Kinnon maka variabel tersebut dinyatakan stasioner. Dalam metode Augmented Dicky Fuller memiliki hipotesis: H 0 : µ=0 (data mengandung unit root sehingga tidak stasioner) H 1 : µ<0 (data tidak mengandung unit root sehingga stasioner)

Hasil pengujian akar unit seperti terlihat dalam Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa seluruh variabel yang akan diestimasi pada tingkat level yakni : nilai tukar, tingkat pertumbuhan output nasional atau GDP, suku bunga, harga minyak, subsidi minyak dan inflasi tidak stasioner. Seluruh variabel dinyatakan tidak stasioner pada level karena memiliki nilai statistik Augmented Dicky-Fuller yang lebih besar daripada nilai kritis Mc Kinnon. Sedangkan pengujian akar unit dalam tingkat first difference semua variabel yang akan diestimasi tidak mengandung akar unit sehingga bersifat stasioner. Seluruh variabel dinyatakan karena memiliki nilai statistik Augmented Dicky-Fuller yang lebih kecil daripada nilai kritis Mc Kinnon. Tabel 4.1 Hasil Uji Stasioneritas Variable Level First Difference Nilai ADF Keterangan Nilai ADF Keterangan ER -1.355636 Tidak -8.639760 (0.6018) stasioner (0.0000) Stasioner GDP 1.489785 Tidak -3.403850 (0.9992) stasioner (0.0127) Stasioner HARGAMINYAK -1.853835 Tidak -11.60624 (0.3531) stasioner (0.0000) Stasioner INFLASI 2.570940 Tidak -5.798585 (1.0000) stasioner (0.0000) Stasioner SB -1.646230 Tidak -7.713688 ( 0.4559) stasioner ( 0.0000) Stasioner SUBSIDI -1.036190 Tidak -7.997249 ( 0.7385) stasioner (0.0000) Stasioner Sumber : Lampiran 1 Keterangan : Probabilitias : 5% 4.1.2 Uji Lag Optimal Setelah melakukan uji kestasioneritasan data tahapan selanjutnya adalah menentukkan lag optimal yang akan digunakan dalam variabel yang akan dianalisis. Penentuan lag optimal dapat menggunakan informasi yang di sediakan

oleh Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaikke Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini didasarkan pada informasi dari Criterion (SC) dengan lag yang paling minimum sehingga lag optimal VAR untuk model dalam penelitian ini yaitu pada lag satu. Pemilihan lag satu sebagai lag optimum dalam penelitian ini bedasarkan perbandingan nilai adjusted R-square dari variabel-variabel yang diestimasi dalam persamaan yakni tingkat pertumbuhan output nasional, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar, harga minyak dunia, dan subsidi Bahan Bakar Minyak. Lag satu dipilih dari sistem VAR yang menghasilkan nilai adjusted R square terbesar pada variabel-variabel penting dalam persamaan yakni sebesar 99 persen. Artinya bahwa model mampu menjelaskan hubungan antar variabel dalam persamaan dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen, sementara sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Tabel 4.2 Hasil Uji Lag Optimal Lag AIC SC HQ 0 16.39984 16.54226 16.45766 1 0.856925 1.853915* 1.261646 2 0.378093 2.229645 1.129718* 3 0.379868 3.085982 1.478395 4 0.088145 3.648822 1.533576 5 0.177175 4.592415 1.969510 6 0.070226* 5.340028 2.209464 Sumber : Lampiran 2 4.1.3 Uji Stabilitas VAR Model VAR dinyatakan stabil apabalila dalam penentuan lag optimum seluruh variabel memiliki nilai Modulus Roots of Characteristic Polynominal

yang lebih kecil dari satu. Setelah uji kestabilan VAR maka dapat dilakukan estimasi terhadap VECM. Dalam penelitian ini model VAR bersifat stabil seperti yang ditunjukan oleh Tabel 4.3 Tabel 4.3 Hasil Uji Stabilitas VAR Root Modulus 0.999788-0.020314i 0.999994 0.999788 + 0.020314i 0.999994 0.930858 0.930858 0.779640-0.054971i 0.781576 0.779640 + 0.054971i 0.781576-0.368652 0.368652 Sumber : Lampiran 3 4.1.4 Uji Kointegrasi Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui hubungan jangka panjang antar variabel yang akan dianalisis. Syarat semua variabel agar diketahui hubungan jangka panjangnya adalah harus stasioner pada derajat yang sama. Dalam penelitian ini seluruh variabel sudah stasioner pada derajat first difference sehingga dapat diketahui hubungan jangka panjangnya. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan test Johansen s Trace Statistic dengan panjang lag optimum satu. Hypothesized No. Of CE (s) Tabel 4.4 Hasil Uji Kointegrasi Johansen Eigenvalue Trace Statistic 0,05 Critical Value Probability None* 0,559827 200,2129 95,75366 0,0000 At most 1* 0,343122 100,1014 69,81889 0,0000 At most 2* 0,144932 48,82996 47,85613 0,0404 Sumber : Lampiran 4 Keterangan : Probabilitias : 5%

Uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen Cointegration Test ini untuk mengetahui jumlah persamaan kointegrasi yang terdapat dalam sistem. Hipotesis dalam metode Johansen Cointegration Test adalah: H 0 : sistem tidak memiliki persamaan kointegrasi H 1 : sistem memiliki persamaan kointegrasi Apabila Hasil Johansen Cointegration Test menunjukkan bahwa nilai Trace Statistic memiliki nilai yang lebih besar daripada Critical Valuenya maka H 0 dapat ditolak yang berarti sistem memiliki persamaan kointegrasi. Menurut hasil estimasi pada Tabel 4.4 terdapat tiga persamaaan yang memiliki persamaan kointegrasi, sehingga terdapat tiga persamaan dalam sistem yang memiliki hubungan jangka panjang, dan berdasarkan ketiga persamaan inilah maka model Vector Error Cointegration Model (VECM) yang akan digunakan dalam penelitian ini. 4.1.5 Uji Kausalitas Granger Uji kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara variabel dalam model yang akan diestimasi. Uji kausalitas Granger memiliki hipotesis yakni : H 0 adalah tidak adanya hubungan kausalitas H 1 adalah adanya hubungan kausalitas. Apabila nilai probalitiasnya lebih kecil dari critical value maka H 0 ditolak yang berarti terdapat hubungan kausalitas antar variabel. Tetapi apabila nilai

probabilitasnya lebih besar dari critical value berarti tidak terdapat hubungan kausalitas antara variabel tersebut. Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger Variabel Subsidi GDP Harga Suku Nilai Inflasi Minyak Bunga Tukar Subsidi - 0.5877** 0.8538** 0.2707** 4.E-11* 0.5060** GDP 1.E-11* - 0.1265** 0.1234** 0.0004 * 0.6020** Harga 0.3400* 0.1190** 0.2037** - 0.7533** Minyak * 0.7233** Suku Bunga 0.4159** 0.0337* 0.0348* - 5.E-05* 0.6292** Inflasi 4.E-11 * 0.0006* 0.0667** 0.0352 * - 0,4898** Nilai Tukar 2.E-11* 0.0102 * 0.4016** 0.3288** 3.E-05* - Sumber : Lampiran 5 Keterangan : Probabilitias : 5% Catatan : * (memiliki hubungan kausalitas), **(tidak memiliki hubungan kausalitas) Pada Tabel 4.5 terlihat beberapa variabel yang menyebabkan variabel yang lain. Variabel tersebut memiliki nilai probabilitas yang lebih kecil dari Critical Value lima persen sehingga dinyatakan memiliki hubungan kausalitas. Dalam hasil pengujian diatas terdapat tujuh belas hubungan satu arah antara variabel dan juga terdapat tiga hubungan kausalitas dua arah antara variabel di dalam sistem yakin inflasi menyebabkan subsidi dan sebaliknya subsidi menyebabkan inflasi. Dilanjutkan dengan inflasi yang menyebabkan GDP dan begitu pula sebaliknya GDP menyebabkan inflasi. Kemudian inflasi yang menyebabkan suku bunga dan suku bunga juga menyebabkan inflasi. 4.2 Hasil Estimasi Vector Error Correction Setelah melakukan serangkaian uji terhadap variabel yang dimulai dengan uji kestasioneritasan data, uji penentuan lag optimal, uji kointegrasi Johansen, dan uji kausalitas Granger. Tahapan selanjutnya adalah melihat hasil estimasi Vector

Error Correction pada model mengingat hasil dari uji kointegrasi Johansen menyatakan bahwa terdapat persamaan kointegrasi yang mengindikasikan adanya keseimbangan jangka panjang. VECM merupakan model yang mampu melihat keseimbangan jangka panjang dari sistem. Untuk model yang tidak terkointegrasi tidak dapat dilihat keseimbangan jangka panjang melainkan hanya mampu dilihat hubungan keseimbangan jangka pendek dengan menggunakan VAR pada tingkat first difference. 4.2.1 Estimasi Vector Error Correction untuk GDP Pada estimasi VECM yang pertama variabel GDP menjadi variabel yang diamati sedangkan variabel yang lain sebagai variabel penjelasnya. Pada jangka pendek variabel subsidi mempengaruhi GDP secara signifikan. Terdapat hubungan positif antara variabel subsidi dan GDP dalam jangka pendek. Dalam jangka pendek juga ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara GDP dengan inflasi dan subsidi secara signifikan. Tabel 4.6 Hasil Estimasi VECM 1 Variabel Koefisien T-statistik Jangka Panjang INFLASI(-1) 0.005321-1.36140 ER(-1) 1.739774-9.85368* SUBSIDI(-1) -0.249067 12.3831* HARGAMINYAK(-1) 1.220010-6.82549* SB(-1) 0.047280 0.28647 C 10.32502 - Jangka Pendek CointEq -0.026956-3.91915* D(GDP(-1)) - 0.207702-1.99766* D(INFLASI(-1)) 0.005028 2.26409* D(ER(-1)) 0.060654 1.90128 D(SUBSIDI(-1)) 0.004472 4.50322* D(HARGAMINYAK(-1)) 0.013054 0.65539 D(SB(-1)) -0.003385-0.13720 C 0.030130 6.75876*

Sumber : Lampiran 6 Keterangan : Probabilitias : 5% Hal ini terlihat dari koefisien subsidi dalam estimasi sebesar 0,00472 persen. Artinya, apabila terjadi peningkatan subsidi sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan GDP sebesar 0,00472 persen. Hal ini terjadi ketika pemerintah menaikan subsidi bagi BBM akan meningkatkan pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek yang merupakan salah satu komponen penyusun GDP. Dalam jangka pendek hubungan antara GDP dan inflasi bernilai positif secara signifikan sebesar nilai koefisien 0,005028. Artinya apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka akan mengakibatkan peningkatan GDP sebesar 0,005028 persen. Dalam jangka panjang terdapat hubungan jangka panjang antara GDP dan nilai tukar. GDP dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif secara signifikan dalam jangka panjang sebesar 1,739774. Artinya, ketika ada kenaikan nilai tukar sebesar satu persen akan meningkatkan GDP sebesar 1,739774 persen dalam jangka panjang. Sementara variabel harga minyak mempengaruhi GDP jangka panjang secara signifikan. Terdapat hubungan yang positif antara harga minyak dan GDP. Hal ini terlihat dari koefisien estimasi sebesar 1,220010 yangberarti bahwa setiap kenailan harga minyak sebesar satu persen akan direspon peningkatan GDP sebesar 1,220010 persen. Hasil temuan dalam penelitian ini berbeda dengan literatur yang menyebutkan bahwa dengan adanya fluktuasi atau guncangan harga minyak dunia justru berbanding terbalik dengan pertumbuhan output nasional. Secara teoritis dalam jangka pendek dimana harga bersifat kaku, maupun dalam jangka panjang

ketika harga bersifat fleksibel, guncangan harga minyak dunia akan mempengaruhi fungsi produksi yang mengakibatkan berkurangnya supply. Ketika supply mengalami penurunan maka output nasional juga akan mengalami penurunan dan tidak berada posisi full-employment. Dalam penelitian ini terlihat bahwa fluktuasi harga minyak berbanding lurus dengan tingkat output nasional pada tahun 1980 hingga tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh variabel penyusun GDP yang lain seperti konsumsi masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah, dan surplus perdagangan internasional Indonesia yang mengalami peningkatan. Hasil temuan dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Jalil (2008) yang menyatakan bahwa fluktuasi harga minyak dunia memiliki hubungan yang positif dengan pertumbuhan output nasional di Malaysia. Peningkatan output nasional Malaysia ini juga didorong oleh adanya surplus perdagangan (net export) selama periode estimasi. 4.2.2 Estimasi Vector Error Correction untuk INFLASI Pada estimasi VECM yang kedua variabel inflasi menjadi variabel dependen sedangkan variabel yang lain sebagai variabel indipendennya. Pada jangka pendek variabel nilai tukar memengaruhi inflasi secara signifikan. Terdapat hubungan positif antara variabel inflasi dan nilai tukar dalam jangka pendek. Hal ini terlihat dari koefisien nilai tukar dalam estimasi sebesar 4,914319 persen. Artinya apabila terjadi peningkatan nilai tukar sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan inflasi sebesar 4,914319 persen. Pada jangka panjang variabel GDP merupakan variabel yang signifikan dalam mempengaruhi tingkat inflasi. GDP memiliki hubungan negatif terhadap

tingkat inflasi dalam jangka panjang sebesar 187,9293. Artinya, apabila terjadi kenaikan GDP sebesar satu persen maka akan menurunkan tingkat inflasi sebesar 187,9293 persen pada jangka panjang. Sama seperti variabel GDP, variabel inflasi juga memiliki hubungan yang positif dengan variabel subsidi dan variabel harga minyak secara signifikan. Dari hasil estimasi ditemukan bahwa koefisien subsidi sebesar 46,80703. Hal ini menunjukkan apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka akan subsidi memeberi respon berupa peningkatan sebesar sebesar 46,80703 persen. Hal ini sesusai dengan Variabel harga minyak juga merespon positif sebesar 229,2756 persen ketika ada peningkatan inflasi sebesar satu persen. Dalam penelitian ini dihasilkan suatu penemuan bahwa dalam jangka panjang nilai tukar berpengaruh negatif terhadap tingkat inflasi secara signifikan. Hal ini berkebalikan dengan yang terjadi pada jangka pendek. Hal ini ditandai dengan koefisien variabel nilai tukar sebesar -326,9546. Artinya apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka akan menyebabkan penurunan nilai tukar sebesar 326,9546 persen dalam jangka panjang. Hubungan positif antara fluktuasi harga minyak dan inflasi dalam jangka panjang sesuai dengan literatur. Apabila terjadi peningkatan harga minyak dunia akan menurunkan fungsi produksi. Secara agregat penurunan produksi akan menurunkan penawaran dalam perekonomian sehingga pasar akan memberikan respon berupa peningkatan harga-harga barang (Mankiw, 2007). Hasil temuan dalam penelitian ini juga sesuai dengan penelitian dari Ito (2008) di Russia yang menyatakan bahwa apabila terjadi perubahan harga minyak

dunia sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan GDP Russia sebesar 0,25 persen dan peningkatan tingkat inflasi sebesar 0,36 persen pada dua belas triwulan berikutnya. Tabel 4.7 Hasil Estimasi VECM 2 Variabel Koefisien T-statistik Jangka Panjang GDP(-1) 187.9293-4.98659* ER(-1) -326.9546 6.40123* SUBSIDI(-1) 46.80703-11.7046* HARGAMINYAK(-1) 229.2756 5.96468* SB(-1) 8.885362-0.29061 C -1940.375 - Jangka Pendek CointEq 0.000176 0.12647 D(INFLASI(-1)) 0.533465 6.32055* D(GDP(-1)) 1.833357 0.46393 D(ER(-1)) 4.914319 4.05292* D(SUBSIDI(-1)) 0.059243 1.56962 D(HARGAMINYAK(-1)) 0.596327 0.78771 D(SB(-1)) -0.018609-0.01984 C 0.384372 2.26850 Sumber : Lampiran 6 Keterangan : Probabilitias : 5% 4.2.3 Estimasi Vector Error Correction untuk SUBSIDI Variabel SUBSIDI adalah besaran subsidi yang dbayar oleh pemerintah. Pembayaran subsidi oleh pemerintah kepada PERTAMINA sebagai badan usaha yang ditujuk dalam penyediaan dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri sesuai dengan PP Nomor 71 Tahun 2005. Untuk estimasi VECM yang ketiga variabel subsidi menjadi variabel yang diamati sedangkan variabel yang lain sebagai variabel penjelasnya. Pada jangka pendek variabel GDP memengaruhi subsidi secara signifikan. Pada jangka pendek variabel GDP berbanding lurus dengan subsidi sebesar 31,44898. Artinya apabila

terjadi peningkatan GDP sebesar satu persen akan meningkatkan subsidi sebesar 31,44898 persen dalam jangka pendek. Dalam jangka pendek juga ditemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara variabel subsidi dan variabel inflasi secara signifikan. Dari hasil estimasi hubungan yang berbanding terbalik ini ditandai dengan koefisien variabel inflasi sebesar -0,718957. Hal ini berarti apabila variabel inflasi mengalami peningkatan sebesar satu persen maka akan diikuti dengan penurunan subsidi sebesar 0,718957 persen. Tabel 4.8 Hasil Estimasi VECM 3 Variabel Koefisien T-statistik Jangka Panjang GDP(-1) -4.014981 3.74614* INFLASI(-1) 0.021364-0.96671 ER(-1) 6.985161-7.59483* HARGAMINYAK(-1) 4.898316-6.95479* SB(-1) -0.189830 0.28451 C 41.45477 - Jangka Pendek CointEq -1.243893-7.72254* D(GDP(-1)) 31.44898 3.21696* D(INFLASI(-1)) -0.718957-3.44342* D(ER(-1)) -2.971579-0.99067 D(SUBSIDI(-1)) -0.008756-0.09377 D(HARGAMINYAK(-1)) -0.701262-0.37446 D(SB(-1)) 2.128342 0.91750 C -0.000691-0.00165 Sumber : Lampiran 6 Keterangan : Probabilitias : 5% Pada jangka pendek juga ditemukan bahwa variabel subsidi berbanding lurus dengan variabel GDP secara signifikan. Apabila variabel GDP mengalami peningkatan sebesar satu persen dalam jangka pendek maka akan meningkatkan subsidi sebesar 31,44898 persen.

Pada jangka panjang variabel nilai tukar, GDP, dan variabel harga minyak mempengaruhi besaran subsidi. Hubungan antara nilai tukar, GDP, dan harga minyak dan subsidi bersifat positif secara signifikan dalam jangka panjang. Jika ada peningkatan nilai tukar sebesar satu persen akan mengakikabatkan peningkatan subsidi sebesar 6,985161 persen. Peningkatan subsidi sebesar satu persen akan diikuti dengan peningkatan GDP sebesar 4,014981 persen. Dalam jangka panjang apabila harga minyak mengalami peningkatan sebesar satu persen maka akan meningkatkan subsidi sebesar 4,898316 persen. Fluktuasi harga minyak akan mempengaruhi kebijikan subsidi dalam jangka panjang. Kementerian Keuangan merupakan lembaga yang diberi wewenang dalam masalah penyaluran dana subsidi sedangkan Pertamina sebagai yang badan usaha yang ditujuk oleh pemerintah dalam penyediaan dan distribusi BBM bersubsidi. Kementerian keuangan akan membayarkan dana subsidi kepada Pertamina setelah konsumsi dilakukan. Artinya apabila BBM bersubsidi dikonsumsi saat ini, Kementerian Keuangan baru akan mengucurkan dana subsisi pada bulan berikutnya. Besarnya subsidi dipengaruhi oleh MPOS yang merupakan harga transaksi jual-beli pada bursa minyak di Singapura. Karena berpatokan dengan harga yang berlaku dari luar negeri sehingga besaran subsidi juga sangat dipengaruhi oleh nilai tukar pada jangka panjang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa nilai tukar memiliki hubungan positif dengan subsidi secara signifikan dalam jangka panjang. Hal ini berarti ketika nilai tukar meningkat menunjukkan melemahnya nilai mata uang domestik terhadap mata uang luar

negeri. Semakin tinggi nilai tukar maka beban subsidi yang harus dibayarkan oleh pemerintah semakin besar. Subsidi = (π x Ω) Pajak Sumber : Kementerian Keuangan RI dan PP No 71 Tahun 2005 Keterangan : *Jika ada **MPOS (Mid Oil Plant s Singapore) Gambar 4.1 Skema Pemberian Subsidi BBM 4.3 Analisis Impulse Respon Function (IRF) Analisis Impulse Respon Function menjelaskan perbandingan respon pada variabel subsidi, Gross Domestic Product (GDP), suku bunga, inflasi, dan nilai tukar apabila terjadi guncangan dari variabel harga minyak. Pada penelitian ini guncangan dilakukan pada harga minyak dan akan dianalisis pengaruhnya

terhadap variabel yang lain dalam enam puluh kuartal atau lima belas tahun yang akan datang. Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of GDP to HARGAMINYAK Response of INFLASI to HARGAMINYAK.008.12.006.08.04.004.00.002 -.04.000 10 20 30 40 50 60 -.08 10 20 30 40 50 60.00 Response of ER to HARGAMINYAK 1.0 Response of SUBSIDI to HARGAMINYAK -.01 0.8 -.02 -.03 0.6 0.4 0.2 -.04 10 20 30 40 50 60 0.0 10 20 30 40 50 60 Response of SB to HARGAMINYAK -.010 -.015 -.020 -.025 -.030 -.035 10 20 30 40 50 60 Sumber : Lampiran 7 Gambar 4.2 Respon SUBSIDI, GDP, SB, INFLASI, ER Terhadap Guncangan dari HARGAMINYAK Pada Gambar 4.2 dapat dilihat pengaruh dari guncangan harga minyak terhadap GDP. Pada periode awal guncangan pada harga minyak akan mempengaruhi GDP. GDP akan stabil pada periode ke sembilan sebesar 0,0036. Artinya apa bila harga minyak berguncang sebesar satu standar deviasi maka akan menyebabkan GDP meningkat sebesar koefisien yang sama. Pada akhir periode guncangan harga minyak terhadap GDP tetap berpengaruh positif.

Guncangan harga minyak dunia mempengaruhi variabel inflasi. Respon inflasi bersifat positif pada empat kuartal awal atau satu tahun pertama terjadinya guncangan harga minyak. Setelah periode tersebut guncangan harga minyak justru akan memberikan dampak yang negatif terhadap inflasi. Respon permanen inflasi terhadap guncangan harga minyak baru terjadi sejak periode ke sebelas yakni sebesar -0,057. Maksudnya adalah apabila harga minyak berubah sebesar satu standar deviasi maka inflasi akan berkurang sebesar 0,057 standar deviasi sebagai respon dari guncangan harga minyak hingga akhir periode. Guncangan harga minyak dunia mempengaruhi variabel nilai tukar. Respon yang dialami oleh nilai tukar adalah bersifat negatif terhadap guncangan harga minyak. Respon permanen nilai tukar terhadap guncangan dari harga minyak pada periode ke enam adalah sebesar -0,032. Artinya, apabila ada guncangan terhadap harga minyak sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan penurunan tingkat nilai tukar sebesar 0,032 standar deviasi sejak periode ke enam hingga akhir periode di tahun ke lima belas. Guncangan harga minyak dunia mempengaruhi variabel subsidi. Untuk setiap guncangan yang dialami oleh harga minyak akan direspon oleh subsidi berupa peningkatan secara stabil yang berada direspon yang bernilai permanen - 0,508 pada periode ke dua belas atau tahun ke tiga. Artinya sejak tahun ketiga setiap guncangan harga minyak sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan harga minyak sebesar 0,508 standar deviasi hingga akhir periode di tahun ke lima belas. Guncangan harga minyak dunia mempengaruhi variabel subsidi. Nilai respon permanen dari suku bunga dalam meresponi guncangan harga minyak

sebesar 0,028 pada periode ke sembilan. Hal ini menandakan apabila terjadi guncangan harga minyak sebesar satu standar deviasi maka suku bunga akan mengalami peningkatan sebesar 0,028 standar deviasi sejak periode ke sembilan hingga periode ke enam puluh. Dari hasil analisis impulse respon pada semua variabel terhadap guncangan yang diberikan dari volatilitas harga minyak, terlihat bahwa variabel subsidi paling cepat mencapai kestabilan saat terjadi guncangan pada variabel harga minyak berupa respon yang bernilai positif secara stabil di enam puluh periode yang akan datang. Hal ini menyimpulkan bahwa variabel inflasi terpengaruh paling stabil dibandingkan dengan variabel lainnya ketika mendapat guncangan harga minyak dunia. 4.4 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Analisis FEVD berguna untuk mengetahui gambaran kontribusi pengaruh variabel lain terhadap suatu variabel dalam sistem. a. Forecast Error Variance Decomposition dari GDP Pada periode pertama variabel GDP hanya dipengaruhi oleh variabel harga GDP itu sendiri sebesar 100 persen. Pada periode kedua paling dipengaruhi oleh GDP itu sendiri sebesar 92,90 persen. Pada periode akhir variabel GDP mempengaruhi variabel itu sendiri sebesar 79,98, persen. Variabel harga minyak hanya mempengaruhi GDP sebesar 2,06 persen pada periode ke dua, dan terus mengalami penurunan hingga periode ke lima puluh. Secara keseluruhan dalam jangka panjang yakni lima puluh periode yang akan datang variabel GDP dipengaruhi oleh variabel GDP, nilai tukar, subsidi, inflasi, suku bunga, dan harga minyak secara berurutan.

Gambar 4.3 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) GDP b. Forecast Error Variance Decomposition dari INFLASI Pada keseluruhan enam puluh periode estimasi peramalan variabel inflasi dipengaruhi oleh variabel subsidi itu sendiri sebesar 76,70 persen. Seiring periode mengalami penurunan hal ini dibuktikan dengan pengaruh dari inflasi terhadap dirinya sendiri pada periode ke enam puluh hanya sebesar 44,29 persen. Gambar 4.4 terlihat jelas bawa inflasi dipengaruhi oleh variabel inflasi itu sendiri, GDP, nilai tukar mata uang, tingkat suku bunga, subsidi, dan harga minyak secara berurutan. Variabel harga minyak mempengaruhi variabel inflasi sebesar 0,16 persen pada awal periode. Pada variabel ke enam puluh pengaruh variabel harga minyak terhadap inflasi mengalami penurunan menjadi sebesar 0,03 persen.

Gambar 4.4 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) INFLASI c. Forecast Error Variance Decomposition dari ER Pada periode pertama variabel nilai tukar paling dipengaruhi oleh variabel nilai tukar itu sendiri sebesar 92,80 persen. Terjadi penurunan pengaruh variabel inflasi terhadap dirinya sendiri di jangka panjang. Secara keseluruhan seperti Gambar 4.5 variabel nilai tukar paling dipengaruhi oleh variabel nilai tukar itu sendiri, inflasi, GDP, harga minyak, dan suku bunga secara berurutan. Tren pengaruh semua variabel terhadap variabel inflasi cenderung stabil kecuali inflasi yang memiliki tren peningkatan yang cukup signifikan hingga akhir periode. Harga minyak memiliki tren pengaruh yang meningkat, pada periode awal harga minyak mempengaruhi nilai tukar sebesar 3,64 persen. Pada periode ke enam puluh pengaruh harga minyak terhadap nilai tukar meningkat menjadi sebesar 5,92 persen.

Gambar 4.5 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) ER d. Forecast Error Variance Decomposition dari SUBSIDI Seperti yang terlihat pada gambar 4.6 secara keseluruhan variabel subsidi paling dipengaruhi oleh variabel subsidi itu sendiri sebesar 81,41 persen. Sementara pada periode pertama variabel harga minyak tidak mempengaruhi variabel subsidi. Pada periode ke enam puluh variabel subsidi berkurang pengaruhnya hingga mencapai 19,52 persen terhadap variabel subsidi itu sendiri. Pada jangka panjang variabel nilai tukar lebih berpengaruh terhadap variabel subsidi itu sendiri yakni sebesar 34,17 persen. Pada Gambar 4.6 nampak bahwa harga minyak memiliki pengaruh yang meningkat terhadap variabel subsidi, yakni hanya sebesar 30,06 persen pada periode ke enam puluh. Secara umum variabel nilai tukar dalam jangka panjang dipengaruhi oleh variabel nilai tukar itu sendiri, harga minyak, subsidi, inflasi, GDP, dan suku bunga. Variabel nilai tukar sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai subsidi Bahan Bakar Minyak karena minyak merupakan komoditi dalam perdagangan internasional.

Gambar 4.6 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) SUBSIDI e. Forecast Error Variance Decomposition dari HARGAMINYAK Dalam jangka pendek yakni dalam periode pertama variabel harga minyak paling dipengaruhi oleh variabel harga minyak itu sendiri sebesar 89,96 persen. Pada periode pertama bahkan variabel suku bunga tidak berpengaruh terhadap variabel harga minyak. Gambar 4.7 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) HARGAMINYAK

Pada jangka panjang yakni pada periode ke enam puluh terjadi penurunan pengaruh dari variabel harga minyak terhadap dirinya sendiri yakni menjadi sebesar 86,71 persen. Dari Gambar 4.7 juga dapat kita ketahui bahwa variabel harga minyak dipengaruhi oleh variabel harga minyak itu sendiri, subsidi, nilai tukar, GDP, suku bunga, dan inflasi secara berurutan. f. Forecast Error Variance Decomposition dari SB Variabel yang paling memberi pengaruh pada variabel suku bunga adalah variabel nilai suku bunga sendiri sebesar 72, 95 persen. Pada akhir periode variabel suku bunga mengalami tren penurunan di level 45,39 persen, namun masih tetap dominan jika dibandingkan dengan variabel yang lainnya. Gambar 4.8 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) SB Seperti yang nampak pada Gambar 4.8, variabel harga minyak mempengaruhi variabel suku bunga sebesar 0,67 persen pada awal periode. Dalam jangka panjang yakni pada periode ke enam puluh variabel harga minyak mengalami peningkatan pengaruh yakni menjadi sebesar 2,31 persen. Secara umum dalam jangka panjang variabel suku bunga dipengaruhi oleh variabel suku bunga itu sendiri, nilai tukar, GDP, harga minyak, inflasi, dan subsidi berurutan.