HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Desa IDT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA

Sekapur Sirih. Jakarta, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Ahmad Koswara, MA

V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR. Tabel. 22 Dasar Perwilayahan di Kabupaten Bogor

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pola Spasial Pembangunan Manusia dan Sosial. Sumberdaya Manusia

TABEL 1 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Konstan Tahun

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2015

PERATURAN BUPATI TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PAJAK DAERAH PADA BADAN PENGELOLAAN PENDAPATAN DAERAH

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS PERAN KECAMATAN CIBINONG SEBAGAI PUSAT PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN BOGOR

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

DATA UMUM 1. KONDISI GEOGRAFIS

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Bogor Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

VI. KINERJA PEMBANGUNAN PERDESAAN KABUPATEN BOGOR TAHUN 2011

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Hasil pendugaan selang prediksi dari data simulasi yang menyebar Gamma dengan D i = 1 dan tanpa peubah penyerta

ARAHAN PEMANFAATAN DAYA DUKUNG LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA CIBINONG Nomor : W10-A24/3122a/Hk.00.4/XII/2010

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Hirarki Wilayah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SKPD : DINAS ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL

KEADAAN UMUM LOKASI. Gambar 2. Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor. tanah di wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Rumusan Kebutuhan Program dan Kegiatan Tahun Indikator Rencana Tahun 2013

Rencana Strategis Dinas Pertanian dan Kehutanan

PENGADILAN AGAMA CIBINONG

KABUPATEN BOGOR DALAM ANGKA 2008 BOGOR REGENCY IN FIGURES 2008

Gambar. 4 Peta Lokasi Kabupaten Bogor

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

Prakiraan Maju Rencana Tahun 2014 Urusan/Bidang Urusan Pemerintahan Daerah dan Kode. Kebutuhan Dana/ Kebutuhan Dana/ Program/Kegiatan.

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PENYULUH KABUPATEN BOGOR

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

REALISASI PROGRAM DAN KEGIATAN DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BOGOR 2013

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH

III. METODOLOGI PENELITIAN

Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU) 3. Sistem Informasi Perumahan di Seksi Pembangunan di Kabupaten Bogor

Simpulan dan Saran. Simpulan

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDEKATAN SPASIAL UNTUK SINKRONISASI DATA ADMINISTRASI WILAYAH SPATIAL APPROACH FOR SYNCHRONIZING REGIONAL ADMINISTRATIVE DATA

V. GAMBARAN UMUM. Kota Bogor mempunyai luas wilayah km 2 atau 0.27 persen dari

Bismillaahirrohmanirrohiim Assalamu`alaikum WR.WB.

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

TABEL 5.2 RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS DAERAH TAHUN 2014 TAHUN 2014

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Jarak dari Kecamatan Megamendung ke Desa Megamendung adalah 8 km,

DAFTAR ISI DATA UMUM KONDISI GEOGRAFIS, PEMERINTAHAN DAN DEMOGRAFIS SERTA INDIKATOR KINERJA MAKRO

LAMPIRAN 1. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor

BAB V KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

TATA LOKA VOLUME 19 NOMOR 1, FEBRUARI 2017, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP P ISSN E ISSN

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rancangan Awal Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor Tahun I - 1

METODE PENELITIAN. Perumusan Indikator Wilayah yang Layak Dicadangkan untuk Kawasan Produksi Beras

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Rumusan Rencana Program dan Kegiatan SKPD Tahun 2013 dan Prakiraan Maju 2014 Kabupaten Bogor

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR BADAN PENGELOLAAN PENDAPATAN DAERAH DRAFT AWAL RANCANGAN RENCANA STRATEGIS BADAN PENGELOLAAN PENDAPATAN DAERAH

V. GAMBARAN UMUM. Secara astronomi, Kota Depok terletak pada koordinat 6 o sampai

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Kabupaten Bogor B. Pembangunan Sistem Informasi 1. Investigasi Sistem

TARGET KINERJA PROGRAM DAN KERANGKA PENDANAAN KONDISI KINERJA PADA AKHIR PERIODE RENSTRA SKPD (2013) UNIT KERJA

BAB III GAMBARAN UMUM DAN PERILAKU PENDUDUK

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

PERUBAHAN PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Tingkat Disparitas di Sumatera Barat Disparitas Antar Wilayah

IV. METODE PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR...1 DAFTAR ISI...3 PENDAHULUAN...I Latar Belakang Landasan Hukum...

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

LAPORAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR TAHUN ANGGARAN 2017

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) DINAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BOGOR TAHUN

III. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Desa IDT Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bogor, terdapat 80 desa yang tergolong pada desa tertinggal berdasarkan kriteria indeks desa tertinggal (IDT) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Jika dilihat berdasarkan wilayah pembangunannya, di Kabupaten Bogor wilayah barat terdapat 36 desa tertinggal, di wilayah tengah terdapat 31 desa dan 13 desa lainnya berada di wilayah timur seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria dari BPS, wilayah barat relatif lebih tertinggal dibandingkan di wilayah tengah dan timur. Ketertinggalan wilayah barat tersebut disebabkan karena rendahnya nilai wilayah ini dari beberapa variabel penilaian yang digunakan, antara lain jalan utama desa, lapangan usaha mayoritas penduduk, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, sarana komunikasi, kepadatan penduduk per km 2, persentase rumah tangga listrik, persentase rumah tangga yang mempunyai TV, persentase rumahtangga pertanian, persentase rumahtangga yang memiliki kendaraan bermotor serta aksesibilitas baik terhadap puskesmas, pasar permanen maupun pertokoan. Jika dikaitkan dengan densitas jalan yang ada, desa-desa ini berada di wilayah yang memiliki densitas jalan yang rendah (0.64%) dan berada pada bentuk lahan (landform) yang datar, terutama di wilayah barat tengah, hingga bergelombang dan berbukit. Berdasarkan data penggunaan lahan di Kabupaten Bogor seperti yang terdapat pada Tabel 5, terlihat bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah barat masih tertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan, dengan kepadatan penduduk rata-rata yang relatif rendah (< 500 per km 2 ) di beberapa kecamatan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya desa yang masuk dalam katagori IDT di wilayah barat. Selain itu, ketersediaan berbagai sarana dan fasilitas pelayanan umum yang relatif rendah, seperti sarana pendidikan (rata-rata jumlah SMA 0.35 per desa), fasilitas tenaga dan sarana kesehatan, juga sangat mempengaruhi masuknya desa-desa di wilayah barat menjadi desa IDT.

54 Selain dari variabel di atas, adanya hutan baik di wilayah barat terutama hutan lindung yang ada di wilayah barat bagian selatan serta di wilayah timur diduga turut menyebabkan wilayah ini menjadi tertinggal. Adanya kawasan hutan di suatu wilayah tentu memberikan beberapa konsekuensi, yaitu pertama, wilayah ini tentunya mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih rendah dibanding wilayah lainnya sehingga relatif tidak memerlukan sarana dan prasarana yang banyak. Kedua, sebagai kawasan hutan, aksesibilitas yang tersedia relatif lebih terbatas. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kawasan hutan dari kerusakan yang disebabkan oleh perambahan. Dengan rendahnya aksesibilitas maka tingkat interaksi masyarakat yang ada di wilayah tersebut juga relatif lebih terbatas sehingga perkembangan wilayah tersebut relatif lebih lambat dibanding daerah yang tingkat interaksinya lebih tinggi. Ketiga, kawasan hutan umumnya lebih ditujukan sebagai kawasan konservasi, terutama di daerah-daerah yang mempunyai tingkat kelerengan yang tinggi sehingga upaya budidaya masyarakat di daerah tersebut menjadi lebih terbatas. Hasil Analisis Skalogram Hasil analisis skalogram akan menentukan struktur pusat pelayanan menurut hirarki wilayah. Penentuan hirarki didasarkan atas tingkat perkembangan dan kapasitas pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu wilayah. Tingkat hirarki ini penting dalam penentuan kapasitas suatu wilayah, apakah suatu wilayah merupakan pusat/inti atau hinterland. Perkembangan pembangunan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya akan berdampak pada adanya struktur hirarki pada wilayahwilayah tersebut yang dicerminkan dari adanya pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah. Wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk yang relatif tinggi dan yang relatif lebih maju akan membutuhkan berbagai sarana dan prasarana serta pelayanan sosial ekonomi yang lebih dari wilayah dengan kepadatan penduduk yang lebih rendah dan yang relatif belum maju. Contohnya dalam hal prasarana pendidik dan kesehatan serta sarana dan prasarana transportasi.

55 9320000 660000 680000 700000 720000 740000 9320000 9240000 9260000 9280000 9300000 9300000 9280000 9260000 9240000 660000 740000 Keterangan : Batas Kecamatan Batas Wilayah Pemerintahan Desa-desa IDT di Wilayah Barat Desa-desa IDT di Wilayah Tengah Desa-desa IDT di Wilayah Timur Peta Penyebaran Desa IDT Berdasarkan Wilayah Pemerintahan 7 0 7 14 Km W N S E Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006 Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor Gambar 4 Peta penyebaran desa IDT menurut wilayah pembangunan

56 Tingkat perkembangan desa-desa di Kabupaten Bogor ditentukan dengan metode skalogram yang dimodifikasi dan dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD). Semakin tinggi nilai IPD, umumnya akan semakin tinggi pula kapasitas pelayanan suatu desa dan tingkat perkembangannya. Dari hasil perhitungan skalogram, diperoleh kisaran nilai IPD antara 2.30 hingga 177.78 yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Nilai IPD tertinggi 177.78 diperoleh oleh Desa Pabuaran di Kecamatan Cibinong dan nilai IPD terendahl diperoleh oleh Desa Tangkil di Citerureup. Berdasarkan hasil perhitungan analisis skalogram untuk menentukan hirarki wilayah menurut jumlah dan jenis fasilitas pelayanan atau infrastruktur, diperoleh hasil kelompok sebagai berikut : a. Wilayah yang termasuk pada hirarki I merupakan desa-desa yang mempunyai tingkat perkembangan yang paling tinggi dengan jumlah sebanyak 24 desa (5.65% dari seluruh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 12 kecamatan, yaitu Cibinong (tujuh desa), Megamendung (satu desa), Bojonggede (dua desa), Cileungsi (dua desa), Citeureup (tiga desa), Gunung Putri (tiga desa), Jonggol, Dramaga, Leuwiliang, Sukaraja, Parung, Cariu masing-masing satu desa. Desa-desa dalam tingkat hirarki ini mempunyai nilai IPD antara 64.40 177.78. Desa-desa ini umumnya mempunyai tingkat ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan umum yang lebih tinggi dan lebih memadai dibandingkan desa-desa dengan hirarki yang lebih rendah. Adapun sarana dan prasarana yang lebih terutama dalam hal sarana pendidikan, sarana kesehatan (termasuk tenaga kesehatan) dan aksesibilitas terhadap pusat pemerintahan. Ciri-ciri lain yang menonjol dari wilayah desadesa hirarki I ini adalah mempunyai landform yang relatif datar dan merupakan daerah urban dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi serta tidak lagi mengandalkan pada sektor pertanian. b. Wilayah yang termasuk pada hirarki II yang merupakan wilayah desa-desa dengan tingkat perkembangan yang sedang dengan jumlah 188 desa (44.24% dari selueuh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 34 kecamatan, yaitu Babakan Madang (empat desa), Bojonggede (sebelas desa), Caringin (enam desa), Cariu (satu desa), Ciampea (sebelas desa), Ciawi (sembilan

57 desa), Cibinong (lima desa), Cibungbulang (satu desa), Cigudeg (empat desa), Cijeruk (enam desa), Cileungsi (enam desa), Ciomas (enam desa). Cisarua (sembilan desa), Ciseeng (enam desa), Citeureup (delapan desa), Dramaga (empat desa), Gunung Puteri (enam desa), Gunung Sindur (lima desa), Jasinga (dua desa), Jonggol (empat desa), Kemang (delapan desa), Klapanunggal (empat desa), Leuwiliang (sepuluh desa), Megamendung (empat desa), Nanggung (dua desa), Pamijahan (tujuh desa), Parung (lima desa), Parung Panjang (lima desa), Rancabunngur (tiga desa), Rumpin (sembilan desa), Sukamakmur (dua desa), Sukaraja (tujuh desa), Taman Sari (empat desa), dan Tenjo (empat desa). Desa-desa yang termasuk dalam tingkat hirarki ini mempunyai IPD antara 24.67 60.24. Ciri-ciri dari wilayah desa-desa ini adalah mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan yang relatif lebih rendah dari hirarki I, berada di dekat desa-desa yang berhirarki I, dan masih mengandalkan pada sektor pertanian. c. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan yang paling rendah dengan jumlah sebanyak 213 desa (50.12% dari seluruh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 34 kecamatan yaitu Babakan Madang (lima desa), Bojonggede (tiga desa), Caringin (enam desa), Cariu (18 desa), Ciampea (delapan desa), Ciawi (empat desa), Cibungbulang (14 desa), Cigudeg (sebelas desa), Cijeruk (12 desa), Cileungsi (empat desa), Ciomas (lima desa). Cisarua (satu desa), Ciseeng (empat desa), Citeureup (tiga desa), Dramaga (lima desa), Gunung Puteri (satu desa), Gunung Sindur (lima desa), Jasinga (15 desa), Jonggol (delapan desa), Kemang (satu desa), Klapanunggal (lima desa), Leuwiliang (delapan desa), Megamendung (enam desa), Nanggung (delapan desa), Pamijahan (delapan desa), Parung (tiga desa), Parung Panjang (enam desa), Rancabunngur (tiga desa), Rumpin (empat desa), Sukajaya (tujuh desa), Sukamakmur (delapan desa), Sukaraja (lima desa), Taman Sari (empat desa), dan Tenjo (tiga desa). Desa-desa yang termasuk pada tingkat hirarki ini mempunyai IPD antara 2.30 24.64. Adapun ciri-ciri yang menonjol dari desa-desa ini adalah ketersediaan sarana yang relatif kurang dibandingkan desa-desa pada hirarki yang lebih tinggi, mempunyai akses terhadap pusat yang jauh lebih sulit,

58 berada pada daerah dengan tingkat kelerengan yang lebih tinggi dan berada dekat dengan kawasan hutan. 660000 680000 700000 720000 740000 Tenjo Parungpanjang Gunung Sindur Gunung Putri Cileungsi Parung Rumpin Jasinga Ciseeng Jonggol Cibinong Cigudeg Bojonggede Klapanunggal Kemang Citeureup Sukajaya Dramaga Cibungbulang Sukaraja Leuwiliang Ciomas Babakan Madang Ciampea Sukamakmur Tamansari Nanggung Pamijahan Megamendung Cijeruk Caringin Cisarua Ciawi Cariu 9240000 9300000 9280000 9300000 9280000 9260000 9260000 9240000 660000 680000 700000 720000 740000 Keterangan : Batas Kecamatan Kec. Bojonggede Kec. Cariu Kec. Cibinong Kec. Cileungsi Kec. Citeureup Kec. Dramaga Kec. Gunung Putri Kec. Jonggol Kec. Leuwiliang Kec. Megamendung Kec. Parung Kec. Sukaraja Peta Penyebaran Desa Berhirarki I Menurut Kecamatan 7 0 7 14 Km W N S E Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006 Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor Gambar 5 Penyebaran Desa Berhirarki I Menurut Kecamatan

59 Berdasarkan hasil pengelompokkan di atas terlihat bahwa sebagian besar (50.12%) desa-desa yang ada di Kabupaten Bogor berada di hirarki III dan 44.24% berada di hirarki II. Hanya 5.65% yang berada di Hirarki I. Hal ini menunjukkan struktur hirarki yang jelas di Kabupaten Bogor dan penyebaran fasilitas yang ada cenderung memusat di pusat-pusat pertumbuhan yang ada di sekitar Kecamatan Cibinong, yang masuk pada wilayah tengah dari Kabupaten Bogor terus ke arah timur (menuju Kecamatan Cileungsi dan Gunung Putri) sedangkan di daerah-daerah lain ketersediaan fasilitas ini relatif masih kurang. Jika dilihat sebaran dari hirarki I maka terlihat bahwa pusat hirarki terletak di tengah utara, yaitu di Kecamatan Cibinong. Hal ini dapat dimengerti karena Cibinong merupakan ibukota dari Kabupaten Bogor dimana sebagai pusat pemerintahan biasanya diikuti dengan berkumpulnya berbagai fasilitas dan pelayanan sosial. Lokasi yang terletak pada poros Bogor-Jakarta juga turut mempercepat perkembangan wilayah ini. Selain itu, wilayah timur laut Kabupaten Bogor juga merupakan lokasi industri yang menandakan wilayah ini mempunyai infrastruktur yang relatif lebih baik daripada wilayah-wilayah lainnya. Selain itu, adanya aksesibilitas jalan yang baik, dengan adanya jalan tol, juga sangat menunjang perkembangan wilayah ini. Untuk wilayah Kabupaten Bogor bagian barat, daerah yang mempunyai hirarki I hanya terdapat di Kecamatan Leuwiliang. Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Leuwiliang merupakan pusat pelayanan bagi wilayah barat Kabupaten Bogor dan sudah lebih berkembang dibandingkan daerah-daerah lain di wilayah ini sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya belum berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan dari faktor lokasi yang relatif lebih dekat dengan pusat pertumbuhan seperti Kota Bogor dan mempunyai aksesibilitas yang lebih baik dibanding wilayah lain dimana Kecamatan Leuwiliang ini dilalui oleh jalur lalulintas dari arah Bogor menuju Kabupaten Pandeglang. Hal ini selain menunjukkan masih kurangnya penyediaan sarana pelayanan sosial secara umum di Kabupaten Bogor bagian barat juga menunjukkan adanya disparitas perkembangan wilayah dimana wilayah tengah dan timur dari Kabupaten Bogor mempunyai perkembangan yang lebih baik dibandingkan wilayah barat. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan lahan yang ada seperti pada Tabel 10 berikut.

60 Tabel 10 Persen penggunaan lahan berdasarkan wilayah pembangunan Jenis Penggunaan Lahan Persen (%) Berdasarkan Wilayah Pembangunan Barat Tengah Timur Belukar 3.09 0.59 1.03 Hutan 19.28 5.49 16.34 Tegalan/Ladang 18.08 11.37 9.54 Sawah 20.98 20.00 20.18 Pemukiman 6.64 21.57 8.64 Kebun/Perkebunan 1.05 2.65 4.37 Rumput/Tanah Terbuka 6.45 8.36 17.68 Luas Wilayah (hektar) 129 790 86 051 82 183 Kepadatan Penduduk (jiwa/km 2 ) 1 041 2 370 934 Sumber : Peta Landuse, diolah kembali. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa wilayah terbangun di Kabupaten Bogor bagian tengah relatif lebih besar dibandingkan daerah lain dan di wilayah barat, tingginya persentasi belukar memperlihatkan masih banyaknya lahan-lahan yang belum termanfaatkan dengan optimal. Selain itu adanya kawasan lindung di sebelah barat daya dan tengah yang merupakan hutan lindung menyebabkan kawasan tersebut relatif menjadi lebih sulit untuk dikembangkan. Pada wilayah tengah, persen wilayah terbangun yang ditunjukkan dari persentasi penggunaan lahan untuk pemukiman menunjukkan bahwa wilayah tersebut relatif lebih berkembang karena untuk membangun suatu kawasan pemukiman tentu membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai baik berupa sarana jalan, jaringan listrik, telepon ataupun air bersih serta mempunyai aksesibilitas yang baik terhadap sarana-sarana pelayanan sosial seperti sarana pendidikan, kesehatan ataupun pemerintahan. Perkembangan wilayah ini juga ditunjang oleh adanya jalur transportasi utama antara Bogor Jakarta baik melalui kendaraan maupun kereta api yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan kawasan perumahan di wilayah ini. Dari Tabel 10 di atas juga terlihat bahwa walaupun wilayah tengah mempunyai persentase penggunaan lahan untuk pemukiman yang paling tinggi tetapi juga mempunyai persentase penggunaan lahan untuk tegalan/ladang serta

61 kebun/perkebunan yang juga relatif tinggi. Kedua jenis penggunaan lahan ini terutama berada di sebelah barat daya dan timur dari wilayah ini. Untuk wilayah Kabupaten Bogor bagian Timur, daerah yang mempunyai hirarki I terdapat di beberapa kecamatan, yaitu Cariu, Jonggol, Cileungsi dan Gunung Putri. Ini menunjukkan bahwa di wilayah timur, perkembangan wilayah sudah lebih maju dengan infrastruktur yang lebih baik. Hal ini ditunjang dengan arahan pengembangan industri yang cenderung lebih mengarah ke wilayah timur. Selain itu, adanya jalur alternatif dari Jakarta menuju Bandung melalui Jonggol dan Cariu menjadikan daerah ini mempunyai tingkat interaksi yang relatif lebih tinggi. Jika dilihat dari Gambar 1, sebagian besar dari Kabupaten Bogor wilayah barat ini mempunyai tingkat densitas jalan yang rendah. Hal ini membawa dampak yang kurang baik dalam perkembangan wilayah karena aksesibilitas ini sangat penting untuk adanya interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Jika aksesibilitas masih relatif rendah maka interaksi wilayah akan relatif rendah sehingga perkembangan wilayah tersebut akan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai interaksi antar wilayah yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil ovelay peta densitas jalan dengan wilayah berhirarki III seperti pada Gambar 6, terlihat bahwa rendahnya aksesibilitas yang ditunjukkan oleh tingkat densitas jalan yang rendah ternyata sangat berpengaruh terhadap penyediaan infrastruktur wilayah. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar desa-desa yang berada pada hirarki III (135 desa atau 63.4%) berada di wilayah dengan densitas jalan yang rendah (kurang dari 22.54 meter per hektar) dan 66 desa (31%) berada pada wilayah dengan densitas jalan sedang (antara 22.54 47.04 meter per hektar). Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengembangkan suatu wilayah, ketersediaan prasarana transportasi mempunyai peranan yang penting. Lain halnya dengan desa-desa yang berhirarki I dimana hanya (37.5%) saja dari dari desa-desa tersebut yang berada pada densitas jalan yang tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 7. Hal ini diduga bahwa perkembangan daerah-

62 daerah tersebut lebih didukung oleh faktor lokasinya terhadap pusat-pusat pertumbuhan atau pada simpul-simpul pertumbuhan. 660000 680000 700000 720000 740000 9240000 9260000 9280000 9300000 9320000 9320000 9300000 9280000 9260000 9240000 660000 680000 700000 720000 740000 Keterangan : Desa-desa berhirarki III Densitas Jalan Rendah Densitas jalan sedang Peta Overlay Desa Berhirarki III Dengan Densitas Jalan 7 0 7 14 Km N W E S Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006 Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor Gambar 6 Peta Overlay Densitas Jalan dengan Desa berhirarki III

63 Secara lokasi, letak kecamatan yang mempunyai desa-desa yang berhirarki I memang sesuai dengan pusat-pusat pertumbuhan di masing-masing wilayah pembangunan, yaitu Leuwiliang di wilayah barat, Cibinong di wilayah tengah dan Cileungsi di wilayah timur. 660000 680000 700000 720000 740000 9300000 9280000 Tenjo Parungpanjang Gunung Sindur Gunung Putri Cileungsi Parung Rumpin Jasinga Ciseeng Cibinong Jonggol Cigudeg Bojonggede Klapanunggal Kemang Citeureup 9260000 Sukajaya Dramaga Cibungbulang Sukaraja Leuwiliang Ciomas Babakan Madang Ciampea Sukamakmur Tamansari Nanggung Pamijahan Megamendung Cijeruk Caringin Cisarua Ciawi Cariu 9240000 9320000 9320000 9300000 9280000 9260000 9240000 660000 680000 700000 720000 740000 Keterangan : Batas Kecamatan Densitas Jalan Tinggi Desa-desa Berhirarki I Peta Overlay Desa Berhirarki I Dengan Densitas Jalan 7 0 7 14 Km N W E S Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006 Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor Gambar 7 Peta Hasil Overlay Wilayah Hirarki I dengan Densitas Jalan Desa-desa yang berhirarki II, sebanyak 110 desa (58,5%) berada di wilayah tengah, 55 desa (29.3%) berada di wilayah barat dan 23 desa (12.2%)

64 berada di wilayah timur. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran fasilitas pelayanan sosial di wilayah tengah sudah jauh lebih merata sedangkan di wilayah lainnya relatif masih kurang baik. Penyebaran desa-desa berhirarki II dapat dilihat pada Gambar 8. 9320000 660000 680000 700000 720000 740000 9320000 9240000 9260000 9280000 9300000 9300000 9280000 9260000 9240000 660000 680000 700000 720000 740000 Keterangan : Batas Wilayah Pemerintahan Desa-desa Berhirarki II di Wilayah Barat Desa- desa Berhirarki II di Wilayah Tengah Peta Penyebaran Desa Berhirarki II Menurut Wilayah Pemerintahan 7 0 7 14 Km N Desa-desa Berhirarki II di Wilayah Timur W E S Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006 Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor Gambar 8 Peta Penyebaran Desa Berhiraraki II menurut Wilayah pembangunan

65 Penyebaran desa-desa berhirarki II yang lebih banyak di wilayah tengah menunjukkan bahwa secara umum, fasilitas pelayanan yang ada di wilayah ini sudah lebih merata. Ini disebabkan adanya kemudahan akses terhadap pusat-pusat pertumbuhan baik terhadap Jakarta melalui jalan tol, jalan nasional maupun jalan kereta maupun terhadap Kota Bogor. Keadaan ini telah menyebabkan banyak daerah di wilayah ini menjadi satelit, baik bagi Jakarta, Kota Bogor maupun Cibinong sendiri. Keterkaitan Antar Variabel Untuk mengetahui keterkaitan antar variabel maka dilakukan analisa korelasi antar variabel. Hasil analisa korelasi ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil analisa korelasi, variabel Keluarga Pertanian (KP) paling banyak berkorelasi dengan variabel lainnya. Variabel ini berkorelasi positif dengan variabel Jumlah SD, Jumlah Masjid, Jarak ke Jakarta, Jarak ke Bogor, Hutan dan Lereng 8-25%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah keluarga pertanian semakin banyak pula jumlah masjid yang ada. Keluarga pertanian cenderung berada di wilayah-wilayah rural yang relatif lebih jauh dari pusat kota (Jakarta dan Bogor) atau di sekitar hutan dan berada di wilayah dengan tingkat kelerengan 8 25%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan Tingkat Kepadatan Penduduk, PAD per Kapita, Sarana Perbelanjaan, Lembaga Keuangan, Sarana Komunikasi, Sarana Kesehatan, Sarana Pendidikan (jumlah SMP, SMA, jumlah siswa SD, SMP dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan SMA), Sarana transportasi (roda dua, roda empat dan densitas jalan), jarak terhadap ibukota kecamatan yang membahawi, jarak terhadap ibukota Kabupaten yang membawahi dan jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat, kawasan bukan hutan dan wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8%. Hasil ini menunjukkan bahwa keluarga pertanian cenderung berada di wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah, mempunyai PAD per kapita yang relatif rendah, mempunyai sarana perbelanjaan, sarana komunikasi dan lembaga keuangan yang lebih sedikit, jumlah sarana pendidikan menengah yang lebih sedikit, sarana transportasi yang lebih terbatas dan tingkat densitas jalan yang rendah.

66 Variabel kepadatan penduduk berkorelasi positif dengan sarana perbelanjaan, lembaga keuangan, sarana komunikasi, jumlah SMA, jumlah siswa SMA, jumlah guru SMA dan SMA, jumlah masjid, jumlah sarana dan prasarana transportasi (roda dua, roda empat dan densitas jalan), kawasan bukan hutan, wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8% dan densitas sungai. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin padat suatu wilayah akan membutuhkan sarana atau fasilitas pelayanan sosial yang semakin banyak, baik sarana perbelanjaan, lembaga keuangan maupun sarana komunikasi, sarana pendidikan tingkat menengah, sarana ibadah, sarana dan prasarana trnasportasi, berada di areal yang relatif datar dan mempunyai sungai yang mengalir di kawasan tersebut. Variabel ini mempunyai korelasi negatif dengan variabel jumlah SD, jarak ke Bogor, luas hutan lindung dan hutan lainnya, wilayah dengan tingkat kelerengan 8 25% dan diatas 25%. Hasil ini menunjukkan bahwa pada wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi maka akan semakin rendah jumlah sekolah dasar, semakin jauh jaraknya dari pusat (Bogor), semakin sedikit jumlah hutan yang ada dan bentuk wilayahnya akan relatif semakin datar. Variabel angkatan kerja kerja berkorelasi positif dengan variabel tenaga kesehatan, jumlah siswa SD dan luas hutan. Variabel PAD per kapita berkorelasi positif dengan variabel sarana komunikasi, densitas jalan dan luas hutan lindung serta berkorelasi negatif dengan variabel wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8%. Variabel Sarana Perbelanjaan mempunyai korelasi positif dengan variabel lembaga keuangan, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan (jumlah SMP, SMA, jumlah siswa SD, SMA, jumlah guru SD, SMA), sarana transportasi, jarak ke ibukota kabupaten yang membawahi, luas kawasan bukan hutan dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 8%. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan sarana perbelanjaan sangat terkait dengan adanya lembaga keuangan dan juga sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana transportasi, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan bentuk wilayah yang relatif datar. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor dan kelerengan 8 25%.

67 Variabel sarana komunikasi berkorelasi positif dengan variabel sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana transportasi, jarak terhadap ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten yang membawahi, luas kawasan bukan hutan, wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8 % dan densitas sungai. Hasil ini menunjukkan bahwa sarana komunikasi merupakan cerminan ketersediaan sarana pelayanan sosial di suatu wilayah. Semakin tinggi ketersediaan sarana komunikasi akan seiring dengan semakin banyaknya ketersediaan sarana kesehatan, pendidikan dan transportasi. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jumlah SD, jarak ke jakarta, jarak ke bogor, luas hutan, persen luas wilayah dengan kelerengan 25% atau lebih dan persen luas wilayah dengan kelerengan 8 25%. Variabel tenaga kesehatan berkorelasi positif dengan sarana kesehatan, sarana pendidikan, jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi dan jarak ke Jakarta. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan tenaga kesehatan sangat terkait dengan keberadaan sarana kesehatan, sarana pendidikan dan relatif dekat dengan ibukota kecamatan dan lebih terkonsentrasi di wilayah yang lebih dekat dengan Jakarta. Variabel sarana kesehatan berkorelasi positif dengan variabel jumlah SMP, jumlah siswa SD dan SMP, jumlah guru SD dan SMP dan berkorelasi negatif dengan jumlah masjid. Variabel jumlah SD berkorelasi positif dengan jumlah SMP, jumlah siswa SD, jumlah guru SD, jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor, luasan hutan lindung atau hutan lain, persen luas wilayah dengan kelerengan 8 25%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan densitas jalan dan bukan kawasan hutan. Variabel jumlah SMP berkorelasi positif dengan jumlah SMA, jumlah siswa SD, SMP dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan SMA, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 8%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, luas kawasan hutan lindung dan persen luas wilayah dengan kelerengan 8 25%. Variabel jumlah SMA berkorelasi positif dengan variabel jumlah siswa SD dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan SMA, sarana transportasi roda dua, jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi, kawasan bukan hutan dan persen

68 luas wilayah dengan kelerengan 0 8%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, luas kawasan hutan dan persen luas wilayah dengan kelerengan 8 25%. Variabel roda dua berkorelasi positif dengan variabel jumlah kendaraan roda empat, jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi, kawasan bukan hutan dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 8%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor, kawasan hutan, persen luas wilayah dengan kelerengan 8 25% dan densitas sungai. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah kendaraan roda dua lebih banyak berada dekat dengan ibukota kecamatan dan di daerah bukan hutan yang relatif datar. Variabel kendaraan roda empat berkorelasi positif dengan variabel jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi dan jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan densitas jalan. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta dan jarak ke Bogor. Hasil ini menunjukkan bahwa ketersediaan prasarana transportasi sangat menentukan keberadaan kendaraan roda empat dan cenderung terkonsentrasi di ibukota kecamatan atau kabupaten. Hasil Analisa Komponen Utama Dalam melakukan analisis komponen utama (PCA), dilakukan beberapa kali analisis untuk menghasilkan nilai akar ciri (eigenvalues) yang baik. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan beberapa kali analisa, maka untuk menghasilkan nilai akar ciri yang baik jumlah variabel yang ada dikurangi (dengan penggabungan beberapa variabel) sehingga dari 71 variabel direduksi menjadi 27 variabel (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5). Hasil analisis komponen utama terhadap 27 variabel awal ini menghasilkan komponen utama sebanyak sepuluh faktor yang sudah saling ortogonal. Melalui analisis ini, variabel asal dikelompokkan ke dalam faktor-faktor baru berdasarkan nilai factor loading-nya. Nilai kumulatif eigenvalue atau akar ciri dari faktor baru yang dihasilkan adalah 70.09% seperti yang tertera pada tabel di bawah, yang artinya nilai total keragaman yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang baru adalah 70,09%. Nilai ini sudah memenuhi syarat proporsi keragaman yang dapat dijelaskan.

69 Tabel 12 memperlihatkan nilai factor loading dari variabel asal terhadap komponen-komponen utamanya. Nilai factor loading dianggap sebagai peubah penciri komponen utamanya adalah pada nilai lebih dari 70% sehingga apabila suatu variabel asal memiliki nilai factor loading lebih dari 70% maka variabel itu termasuk ke dalam faktor tersebut. Tabel 11 Eigenvalue komponen-komponen utama Faktor Eigenvalue % Total Cumulative Cumulative variance Eigenvalue % 1 5.116133 18.94864 5.11613 18.94864 2 2.980967 11.04062 8.0971 29.98926 3 2.08284 7.71422 10.17994 37.70348 4 1.882338 6.97162 12.06228 44.6751 5 1.432006 5.30372 13.49428 49.97883 6 1.306886 4.84032 14.80117 54.81915 7 1.24334 4.60496 16.04451 59.42411 8 1.084358 4.01614 17.12887 63.44025 9 1.008992 3.73701 18.13786 67.17726 10 1.006349 3.72722 19.14421 70.90448 Berdasarkan hasil analisa komponen utama, masing-masing faktor yang diperoleh adalah sebagai berikut : Faktor 1 terdiri dari empat variabel asal, yaitu luas kawasan hutan, persen luas wilayah dengan kelerengan 25% atau lebih, persen luas wilayah dengan kelerengan 8 25% dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 8%. Faktor 1 ini dapat dikategorikan sebagai faktor tingkat kelerengan rendah. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 1 adalah sebesar 18.95%. Faktor 2 terdiri dari lima variabel asal, yaitu jumlah SMP, jumlah SMA, jumlah siswa SMP, jumlah guru SMP dan jumlah guru SMA. Berdasarkan hasil analisa, faktor 2 dapat dikategorikan sebagai penciri fasilitas pendidikan tingkat menengah. Nilai keragaman yang dapat dijelaskan oleh faktor 2 adalah sebesar 11.04% Faktor 3 terdiri dari dua variabel asal, yaitu kepadatan penduduk dan jarak dari Kota Bogor. Faktor 3 ini dapat dikategorikan sebagai daerah dengan kepadatan yang tinggi dan berlokasi yang relatif lebih jauh dari Kota Bogor. Korelasi kependudukan yang positif dan jarak dari kota Bogor

70 yang negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi kependudukannya maka akan semakin mendekati Kota Bogor. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 2 adalah sebesar 7.71%. Tabel 12 Factor Loading dari hasil Factor Analysis Variabel Faktor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 KP -0.06-0.16-0.57-0.41 0.21-0.21-0.11-0.06 0.02 0.21 Kpdtn 0.25 0.06 0.76 0.02-0.18 0.07 0.03 0.01-0.13 0.05 Angker -0.06 0.01-0.13 0.03-0.13 0.06-0.15-0.01 0.77-0.03 PADK -0.08 0.01 0.12 0.07-0.01-0.04 0.25 0.68 0.25-0.22 Kom 0.08 0.24 0.55 0.44-0.14 0.17 0.02 0.06-0.06-0.12 Tkes -0.03 0.07 0.06 0.21 0.06 0.02-0.77 0.02 0.20 0.08 SD -0.08 0.03-0.60 0.29 0.03 0.12-0.01 0.15-0.16 0.31 SMP 0.07 0.71 0.06 0.16 0.09 0.12 0.21 0.05 0.12 0.29 SMA 0.07 0.72-0.01-0.05-0.14 0.06 0.16 0.01-0.19 0.06 SSD 0.01 0.05-0.12 0.87 0.00-0.04-0.16-0.04 0.10 0.01 SSMP 0.02 0.80 0.16 0.13 0.07-0.12-0.11-0.02 0.21-0.02 SSMA 0.10 0.67-0.08 0.03-0.17 0.05-0.26-0.11-0.36-0.32 GSD 0.09 0.20 0.00 0.85-0.04 0.05-0.02 0.00-0.02 0.05 GSMP 0.04 0.80 0.17 0.17 0.08-0.08-0.04-0.01 0.26 0.02 GSMA 0.10 0.77-0.09 0.09-0.20 0.11-0.19-0.10-0.25-0.27 R2 0.06 0.01 0.15 0.07-0.85-0.02 0.04-0.03 0.12 0.04 R4 0.00 0.06 0.11 0.00-0.82 0.06 0.03 0.06 0.00-0.05 jrk2 0.05 0.05 0.20 0.09-0.10 0.79 0.03-0.09 0.06-0.06 jrk3 0.09-0.02 0.05-0.03 0.04 0.81-0.02 0.04-0.01 0.05 Denjl 0.07 0.00 0.23-0.01 0.00 0.01 0.11 0.07 0.03-0.74 jjkt -0.36-0.10 0.07-0.21 0.16-0.23-0.42 0.32-0.26 0.28 jbgr -0.12-0.01-0.71 0.15 0.01-0.14 0.13 0.02 0.06 0.05 hl -0.05-0.07-0.14-0.05-0.04 0.01-0.22 0.72-0.17 0.09 htn -0.78-0.03-0.19-0.07 0.03-0.07 0.01-0.14 0.07 0.16 lrg25-0.77 0.00 0.01 0.06-0.03-0.04 0.13-0.03 0.02 0.16 lrg8-0.76-0.15-0.20-0.10 0.06-0.04-0.18 0.22 0.00-0.18 lrg0 0.91 0.12 0.16 0.06-0.04 0.04 0.10-0.17 0.00 0.09 Expl.Var 2.91 3.53 2.46 2.17 1.66 1.52 1.22 1.25 1.22 1.21 Prp.Totl 0.11 0.13 0.09 0.08 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.04 Sumber : Hasil Analisa Faktor 4 terdiri dari dua variabel asal, yaitu jumlah siswa SD dan rasio guru SD terhadap murid. Faktor 4 dapat dikategorikan sebagai penciri pendidikan tingkat dasar. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa semakin banyak murid SD yang bersekolah akan meningkatkan rasio jumlah guru terhadap murid. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 4 adalah sebesar 6.97%.

71 Faktor 5 terdiri dari dua variabel asal, yaitu jumlah kendaraan roda dua dan roda empat. Faktor 5 dikategorikan sebagai penciri dari ketersediaan sarana transportasi. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 5 adalah sebesar 5.30%. Faktor 6 terdiri dari dua variabel asal, yaitu invers jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan invers jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat Korelasi antara komponen utama dengan variabel asal menunjukkan nilai yang positif. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 6 adalah sebesar 4.84%. Faktor 7 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio tenaga kesehatan per jumlah penduduk. Variabel tenaga kesehatan ini merupakan gabungan dari jumlah dokter, bidan dan dukun bayi. Faktor 7 ini dikategorikan sebagai penciri tenaga kesehatan. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa wilayah yang lebih maju cenderung akan memiliki tenaga kesehatan yang lebih banyak. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 7 adalah sebesar 4.60%. Faktor 8 terdiri dari satu variabel asal, yaitu luas hutan lindung per luas desa. Faktor 7 ini dikategorikan sebagai penciri ketersediaan kawasan lindung. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 8 adalah sebesar 4.02%. Faktor 9 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio angkatan kerja terhadap jumlah penduduk. Faktor 9 ini dikategorikan sebagai penciri penduduk di usia produktif. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa wilayah yang lebih maju cenderung akan mempunyai jumlah angkatan kerja yang lebih tinggi. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 9 adalah sebesar 3.74%. Faktor 10 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio panjang jalan terhadap luas wilayah. Faktor 10 ini dikategorikan sebagai penciri aksesibilitas. Korelasinya menunjukkan nilai yang negatif dan nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 10 adalah sebesar 3.73%.

72 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan desa yang dicirikan oleh Indeks Perkembangan Desa (IPD) maka dilakukan analisis regresi berganda metode Forward Stepwise yang diawali dengan analisis komponen utama (PCA). Hasil PCA berupa nilai-nilai pada tabel faktor skor inilah yang selanjutnya digunakan untuk analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda bertujuan untuk menentukan model persamaan yang menjelaskan hubungan antara IPD sebagai variabel tujuan (dependent variable) dengan faktor-faktor yang (diduga) mempengaruhi tingkat perkembangan sebagai variabel penjelas (independent variable). Variabelvariabel penduganya adalah variabel-variabel baru hasil PCA atau faktor, yaitu : 1) landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8% (F1) 2) fasilitas pendidikan tingkat menengah (F2) 3) kepadatan penduduk dan aksesibilitas (F3) 4) pendidikan tingkat dasar (F4) 5) sarana transportasi (F5) 6) invers jarak terhadap pusat (F6) 7) tenaga kesehatan (F7) 8) hutan lindung (F8) 9) tenaga kerja (F9) 10) aksesibilitas (F10) Hasil analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise menunjukkan bahwa dari sepuluh variabel penduga, hanya tujuh variabel saja yang berpengaruh nyata terhadap variabel tujuan/respon (IPD) pada taraf nyata α sebesar 0.1. Variabel-variabel tersebut adalah F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, F8 dan F10 (Tabel 11). Variabel-variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap respon karena mempunyai nilai p-level yang lebih kecil dari taraf nyata α. Sedangkan variabel F9 tidak berpengaruh nyata karena mempunyai nilai p-level yang lebih besar dari taraf nyata α. Hasil selengkapnya dari analisa regresi berganda ini disajikan pada Lampiran 8.

73 Tabel 13 Komponen Utama yang Mempengaruhi IPD Variabel Koefisien p-level Intercept 29.20 F1= landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8% 2.55 0.00 F2 = sarana pendidikan tingkat menengah 7.02 0.00 F3 = kepadatan penduduk dan aksesibilitas 6.51 0.00 F4 = pendidikan tingkat dasar 5.35 0.00 F5 = sarana transportasi 5.17 0.00 F6 = invers jarak terhadap pusat 4.30 0.00 F7 = tenaga kesehatan 2.09 0.00 F8 = hutan lindung - 1.14 0.061 F10 = aksesibilitas - 1.19 0.051 Sumber : Hasil Analisis Nilai R 2 (R-square) dari persamaan tersebut adalah 0.5424 yang artinya bahwa model persamaan tersebut mampu menjelaskan keragaman data sebesar 54.24%. Persamaan yang dihasilkan dari analisis regresi berganda dengan metode Forward Stepwise (dengan nilai α = 0,1) adalah sebagai berikut : Y = 29.20 + 2.55F1 + 7.02F2 + 6.51F3 + 5.35F4 + 5.17F5 + 4.30F6 + 2.09F7 1.14F8 1.19F10 dimana : Y = Indeks Perkembangan Desa (IPD) F1 = landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8% F2 = Fasilitas pendidikan tingkat menengah F3 = Kepadatan penduduk dan aksesibilitas F4 = Pendidikan tingkat dasar F5 = Sarana transportasi F6 = Invers jarak terhadap pusat F7 = Tenaga kesehatan F8 = Hutan lindung F10 = Aksesibilitas Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap indeks perkembangan desa adalah pendidikan tingkat menengah, diikuti oleh kependudukan, pendidikan tingkat dasar dan yang paling kecil pengaruhnya adalah tenaga kesehatan.

74 Besarnya pengaruh variabel-variabel penduga terhadap respon dapat diinterpretasikan berdasarkan koefisisen regresi yang dimilikinya. Model persamaan hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa nilai koefisien F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, F8, dan F10 merupakan faktor-faktor yang diduga besar dalam mempengaruhi IPD. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi respon secara searah (positif) adalah faktor F1, F2, F3, F4, F5, F6, dan F7 yang berarti peningkatan nilai IPD dipengaruhi oleh peningkatan nilai F1, F2, F3, F4, F5, F6, dan/atau F7; dan sebaliknya. Sedangkan untuk faktor F8 dan F10 mempunyai koefisien yang berlawanan arah (negatif) yang berarti bahwa peningkatan nilai IPD dipengaruhi oleh semakin kecilnya nilai F8 dan F10. Landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8% (F1) Variabel Landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 8% mempengaruhi IPD secara searah karena memiliki nilai koefisien positif. Hal ini mengindikasikan bahwa desa-desa yang lebih berkembang berada pada tingkat kelerengan yang rendah (daerah yang datar). Desa-desa yang mempunyai tingkat kelerengan yang rendah akan lebih mudah dalam penyediaan berbagai fasilitas sarana dan prasarana, baik prasarana transportasi maupun penyediaan area untuk produksi, tempat tinggal serta berbagai sarana lainnya sehingga akan lebih mudah berkembang. Fasilitas pendidikan tingkat menengah (F2) Variabel fasilitas pendidikan tingkat menengah mempunyai korelasi positif yang berarti bahwa peningkatan nilai IPD searah dengan peningkatan ketersediaan saran pendidikan tingkat menengah (SMP dan SMA atau sederajat) baik dalam bangunannya maupun tenaga pengajarnya. Variabel ini juga mempunyai nilai koefisien yang paling besar yang berarti mempunyai pengaruh yang paling besar dalam meningkatkan nilai IPD. Hal ini berarti bahwa desa-desa yang lebih berkembang mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan tingkat menengah yang lebih baik atau dengan kata lain, desa-desa yang lebih berkembang mempunyai kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik yang ditunjang oleh ketersediaan sarana dan sarana pendidikan untuk tingkat menengah yang memadai.

75 Kepadatan penduduk dan aksesibilitas (F3) Variabel kepadatan penduduk dan aksesibilitas mempunyai nilai koefisien yang positif yang berarti bahwa desa-desa dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi akan mempunyai indeks perkembangan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lebih banyak terkonsentrasi di daerah yang lebih berkembang (pusat) daripada di daerah hinterland. Adanya korelasi positif antara variabel kependudukan dengan IPD dapat disebabkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan untuk penduduk yang lebih baik di pusat serta aksesibilitas terhadap pusat yang kurang baik dari wilayah hinterland sehingga penduduk merasa lebih baik untuk tinggal di pusat dibandingkan di daerah hinterland. Pendidikan Tingkat Dasar (F4) Variabel pendidikan tingkat dasar mempunyai nilai koefisien yang positif. Hal ini berarti bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi mempunyai sarana dan prasrana pendidikan tingkat dasar yang lebih baik. Perkembangan suatu wilayah yang baik akan sangat memperhatikan juga sarana pendidikan tingkat dasar karena disadari bahwa semakin baik pendidikan di tingkat dasar akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan selanjutnya dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Sarana Transportasi (F5) Variabel sarana transportasi mempunyai nilai koefisien yang positif yang berarti bahwa desa-desa yang mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi akan mempunyai sarana transportasi yang lebih memadai, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Akan tetapi hasil ini berlawanan dengan hasil factor loading dan merupakan satu anomali yang dapat disebabkan faktor yang belum dapat dijelaskan. Keberadaan sarana transportasi memang sangat mendukung dalam perkembangan suatu wilayah karena fungsinya dalam mendukung interaksi antar wilayah. Semakin tinggi tingkat perkembangan suatu wilayah maka kebutuhan akan sarana transportasi untuk interaksi dengan wilayah lain juga akan semakin tinggi.

76 Invers Jarak Terhadap Pusat (F6) Variabel invers jarak terhadap pusat mempunyai nilai koefisien yang positif yang artinya bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi berada lebih dekat kepada inti/pusat pemerintahan. Hal ini jelas terlihat dari penyebaran desa-desa yang berhirarki I yang memang terletak lebih dekat kepada pusat pemerintahan (dalam hal ini ibukota kabupaten). Kondisi tersebut juga menandakan bahwa secara spasial, kedekatan terhadap pusat ternyata membawa pengaruh yang besar dalam mendukung perkembangan suatu desa, disamping perlu juga didukung oleh berbagai sarana dan prasarana lainnya. Tenaga Kesehatan (F7) Variabel tenaga kesehatan mempunyai nilai koefisien yang positif yang artinya bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi mempunyai ketersediaan tenaga kesehatan (mencakup dokter, bidan dan tenga kesehatan lainnya). Tingkat perkembangan desa yang tinggi dicirikan oleh kebutuhan masyarakat akan berbagai sarana dan fasilitas pelayanan, termasuk pelayanan kesehatan. Semakin tinggi tingkat perkembangan suatu desa maka akan semakin meningkat pula kebutuhan akan pelayanan kesehatan, karena itu maka tenaga kesehatan lebih banyak dijumpai di wilayah yang mempunyai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Hutan Lindung (F8) Variabel hutan lindung mempunyai nilai koefisien yang negatif. Hal ini berarti bahwa desa-desa yang mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi cenderung tidak mempunyai areal hutan lindung atau berada di areal hutan lindung.. Keberadaan suatu kawasan lindung (termasuk hutan lindung) di suatu wilayah akan berdampak pada keterbatasan dalam mengembangakan wilayah tersebut karena pada dasarnya kawasan lindung memang merupakan kawasan dengan fungsi konservasi bukan kawasan untuk budidaya. Karena itu maka perkembangan wilayah dengan persentase areal kawasan lindung yang tinggi

77 memang akan berakibat pada tingkat perkembangan wilayah yang lebih rendah dibandingkan wilayah lain yang tidak mempunyai kawasan lindung. Aksesibilitas (F10) Variabel aksesibilitas mempunyai nilai koefisien yang negatif. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat aksesibilitas (dalam hal ini densitas jalan) akan menurunkan nilai indeks pembangunan desa. Hal ini disebabkan oleh nilai yang digunakan dalam faktor aksesibilitas ini merupakan nilai rasio panjang jalan terhadap luas wilayah. Tingkat aksesibilitas suatu wilayah merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan wilayah dan merupakan salah satu penciri tingkat perkembangan wilayah. Wilayah dengan aksesibilitas yang baik akan mempunyai beberapa kelebihan, yaitu lebih mudah dalam melakukan interaksi dengan wilayah lain yang ada di sekitarnya maupun di dalam wilayah itu sendiri, lebih mudah dalam melakukan pembangunan berbagai fasilitas pelayanan serta dapat mendorong timbulnya berbagai aktivitas ekonomi lainnya melalui distribusi barang dan jasa yang lebih baik. Tipologi Desa-desa di Kabupaten Bogor Untuk menentukan tipologi desa-desa yang ada di Kabupaten Bogor, dilakukan dengan melakukan analisis gerombol (clustering analysis) terhadap seluruh desa di Kabupaten Bogor. Tipologi wilayah ini bertujuan untuk menggabungkan beberapa unit wilayah ke dalam kelas yang sama berdasarkan persamaan karakteristiknya. Teknik analisis yang digunakan dalam menentukan tipologi wilayah dimulai dengan melakukan standardisasi data (dari 35 variabel) lalu dilakukan analisis gerombol dengan membagi desa-desa di Kabupaten Bogor menjadi tiga gerombol (cluster) dan terakhir dilakukan analisis diskriminan. Hasil analisis gerombol selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari hasil penggerombolan terhadap variabel-variabel yang diukur, dapat dilihat pola perbedaan karakteristik antara tiga kelompok desa yang terlihat pada

78 Gambar 10 yang merupakan grafik nilai tengah dari setiap variabel untuk masingmasing kelompok desa. Klaster satu merupakan wilayah yang relatif maju yang dicirikan oleh mempunyai persen keluarga pertanian yang rendah dan tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi, keberadaan sarana perbelanjaan, sarana komunikasi serta tenaga kesehatan dan sarana kesehatan yang tinggi. Tingkat pendidikan penduduknya juga relatif tinggi dengan ketersediaan sarana dan tenaga pendidikan yang paling banyak. Dengan aksesibilitas yang baik, sarana transportasi juga relatif lebih banyak tersedia. Klaster ini merupakan daerah-daerah yang relatif dekat dengan pusat-pusat pemerintahan dan lebih dekat dengan Jakarta ataupun Kota Bogor. Klaster ini merupakan wilayah dimana lahan-lahan pertanian yang relatif telah banyak mengalami perubahan fungsi lahan menjadi penggunaan lain, terutama untuk menyediakan lahan pemukiman. Bentuk lahannya relatif datar dan bukan merupakan kawasan hutan. Jumlah desa yang termasuk pada klaster ini sebanyak 86 desa. 2.5 Plot of Means for Each Cluster 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0-0.5-1.0-1.5-2.0-2.5 PADK Tkes SMA GSD R2 jrk3 jbgr lrg25 Variables Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Gambar 9 Hasil clustering variabel-variabel yang diukur

79 Klaster dua merupakan wilayah yang relatif masih berkembang yang dicirikan oleh persentase keluarga pertanian yang masih tinggi, tingkat kepadatan penduduk yang sudah mulai tinggi akan tetapi cenderung tidak pada usia produktif (<15 atau >55 tahun), potensi desa cenderung rendah yang ditunjukkan oleh PAD per kapita yang rendah. Klaster ini cenderung merupakan wilayah sub urban yang relatif tidak terlalu jauh dari pusat-pusat pemerintahan, memiliki aksesibilitas yang sedang dan memiliki bentuk lahan yang relatif datar hingga bergelombang. Tingkat pendidikan penduduk masih relatif rendah, terutama rasio siswa SD yang bersekolah yang paling rendah. Jumlah desa yang termasuk dalam klaster ini sebanyak 239 desa. Klaster tiga merupakan wilayah yang paling tertinggal yang dicirikan oleh keberadaan keluarga pertanian yang paling tinggi, tingkat kepadatan penduduk yang paling rendah, ketersediaan sarana perbelanjaan, sarana komunikasi dan lembaga-lembaga keuangan yang masih kurang. Fasilitas pendidikan juga masih relatif rendah, terutama ketersediaan guru pengajar yang paling rendah. Wilayah ini adalah yang berada paling jauh dari Jakarta dan Kota Bogor dengan bentuk lahan yang didominasi oleh perbukitan dan berada di sekitar kawasan hutan atau hutan lindung. Jumlah desa yang termasuk dalam klaster ini sebanyak 100 desa. Jika dilihat dari pola penyebaran klaster-klaster tersebut, klaster satu sebagian besar berada di sekitar tengah utara yang termasuk Kecamatan Cibinong, Bojonggede dan Gunung Putri. Ketiga kecamatan ini memang merupakan pusat pertumbuhan dan memang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi (Cibinong dan Bojonggede). Sebagian lainnya, yaitu sebanyak 14 desa berada di bagian tengah selatan yang merupakan poros Bogor Bandung melalui Puncak atau Sukabumi. Daerah ini merupakan daerah tujuan wisata utama bagi warga Bogor dan Jakarta sehingga mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana yang relatif cukup, baik aksesibilitas maupun sarana lainnya. Klaster tiga cenderung berada di wilayah selatan dan terbentang dari Barat hingga ke timur. Daerah ini memang mempunyai bentuk lahan yang mempunyai luas lahan dengan tingkat kelerengan tinggi yang relatif tinggi dan merupakan kawasan hutan atau kawasan lindung. Sedangkan klaster dua cenderung menyebar dan merata di setiap wilayah pembangunan.

80 9320000 660000 680000 700000 720000 740000 9320000 9240000 9260000 9280000 9300000 9300000 9280000 9260000 9240000 660000 680000 700000 720000 740000 Keterangan: Klaster 1 (Wilayah Paling Maju) Klaster 2 (Wilayah Sedang Berkembang) Klaster 3 (Wilayah Tertinggal) Peta Penyebaran Setiap Klaster 7 0 7 14 Km N W E S Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006 Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor Gambar 10 Pola penyebaran setiap klaster

81 Hasil Analisis Diskriminan Analisis fungsi diskriminan merupakan analisis lanjutan setelah dilakukan pengelompokkan. Analisis ini berfungsi untuk memilih faktor-faktor yang paling mencirikan tipologi wilayah yang didapat dari hasil analisis kelompok atau dengan kata lain, faktor-faktor mana saja yang menjadi penciri atau yang paling berpengaruh terhadap masing-masing tipologi tersebut. Dalam analisis fungsi diskriminan ini, data yang digunakan adalah data dari variabel asalnya akan tetapi untuk menjaga agar matriks yang terbentuk tidak menjadi ill-condition, maka dilakukan pengurangan variabel menjadi hanya 32 variabel. Sedangkan yang menjadi dasar pengelompokkan tidak hanya hasil analisis gerombol tapi juga hasil dari analisis skalogram. Hal ini untuk melihat perbedaan dasar pengelompokkan yang dilakukan oleh kedua metode pengelompokkan tersebut. Tabel. 14 Hasil Dugaan Klasifikasi Kelompok Berdasarkan Klaster dan Hirarki Klaster % Ketepatan Hasil G_1:1 G_2:2 G_3:3 Klasifikasi p=.20235 p=.56235 p=.23529 1 90.698 78 7 1 2 99.163 1 237 1 3 95.000 0 5 95 Total 96.471 79 249 97 Hirarki G_1:1 G_2:2 G_3:3 p=.05647 p=.44235 p=.50118 I 75.000 18 6 0 II 64.894 10 122 56 III 85.446 0 31 182 Total 75.765 28 159 238 Sumber : Hasil Analisa Hasil di atas memperlihatkan bahwa ketepatan pengelompokan yang dilakukan pada analisis klaster mencapai 96.47%. Ketidaktepatan yang paling banyak terjadi justru pada klaster 1. Hal ini mungkin disebabkan karena secara fisik, ada daerah-daerah yang mirip dengan klaster 1 akan tetapi secara fasilitas belum mencerminkan sebagai klaster 1. Demikian juga untuk klaster 3, ada delapan desa yang sebenarnya bisa masuk ke dalam klaster 2, akan tetapi mungkin secara fisik lebih mirip dengan klaster 3.