BAB I PENDAHULUAN. Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang mempelajari gejala-gejala

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di sekolah dimaksudkan untuk menanamkan. keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengembangkan keterampilan sikap

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. siswa (membaca, menulis, ceramah dan mengerjakan soal). Menurut Komala

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan orang-orang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada hari Jum at, tanggal 25 November

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan alam sekitar beserta permasalahan di dalamnya. Mempelajari IPA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB I PENDAHULUAN. bahasan fisika kelas VII B semester ganjil di salah satu SMPN di Kabupaten

I. PENDAHULUAN. dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pembelajaran fisika

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan studi lapangan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mencakup tiga segmen

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu mata pelajaran sains yang diberikan pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Bumi berputar pada porosnya dengan kecepatan yang konstan dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang. Ratih Leni Herlina, 2014

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan peserta didik yang berkualitas, baik dilihat dari prestasi bidang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pengetahuan IPA yang sering disebut sebagai produk dari sains, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan seluruh aspek pribadi siswa secara utuh. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) yang

BAB I PENDAHULUAN. Biologi merupakan suatu cabang ilmu yang banyak mengandung konsep

PENINGKATAN KECAKAPAN AKADEMIK SISWA SMA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembelajaran IPA di SMP Negeri 3 Pacitan khususnya pada

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan dasar

BAB I PENDAHULUAN. yang paling tepat untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (IPA) yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami dan menemukan sendiri apa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Atamik B, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

Oleh: Mulyani SD Negeri 3 Karanggandu, Watulimo, Trenggalek

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis praktikum,

BAB I PENDAHULUAN. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Elly Hafsah, 2013

BAB III METODE PENELITIAN. Menurut Nana (2009: 52) metode penelitian merupakan rangkaian cara

I. PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif. luas kedepan untuk mencapai suatu cita-cita yang diharapkan dan mampu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Neni Trisiwi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan dari

BAB I PENDAHULUAN. menuntut lembaga pendidikan untuk lebih dapat menyesuaikan dengan

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN. kurikulum yang berlaku di jenjang sekolah menengah adalah kurikulum

PENGEMBANGAN BUKU PETUNJUK PRAKTIKUM IPA TERPADU SMP BERBASIS HOME MATERIALS UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman yang semakin pesat menuntut adanya sumber daya manusia. Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya

Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) Vol. 2 No. 1 ISSN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. perubahan. Pada era globalisasi, dituntut suatu mutu lulusan yang disiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Akan tetapi yang perlu diingat bahwa pendidikan akan berhasil dengan. negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan diuraikan temuan penelitian dan pembahasan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelajaran fisika merupakan salah satu wahana untuk menumbuhkan kemampuan

I. PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa pendidikan dalam pembangunan nasional berupa. seutuhnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kelompok pada materi Keanekaragaman Makhluk Hidup yang meliputi data (1)

sekolah dasar (SD/MI). IPA merupakan konsep pembelajaran alam dan Pembelajaran IPA sangat berperan dalam proses pendidikan dan juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan sarana dan wahana yang strategis di dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Mella Pratiwi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nelly Fitriani, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran dengan lebih efektif, dinamis, efisien, dan positif yang ditandai

I. PENDAHULUAN. Pelajaran IPA fisika pada umumnya dianggap siswa sebagai pelajaran yang sulit

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan mata pelajaran fisika pada jenjang Sekolah Menengah Atas. (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan

BAB I BAB I PENDAHULUAN. peserta didik ataupun dengan gurunya maka proses pembelajaran akan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan

BAB I PENDAHULUAN. dianggap sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap individu karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eva Agustina,2013

yang ditetapkan di sekolah yaitu 100% siswa memperoleh nilai 65.

BAB I. PENDAHULUAN. belajar. Membelajarkan siswa yaitu membimbing kegiatan siswa belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran fisika masih menjadi pelajaran yang tidak disukai oleh

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai salah satu lembaga formal memiliki tugas dan wewenang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

I. PENDAHULUAN. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut perubahan. berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Trianto, 2007:3).

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati.

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi kurikulum, tetapi banyak juga yang mengemukakan bahwa pembelajaran itu sendiri merupakan kurikulum sebagai kegiatan. Sejak tahun 2006 kurikulum yang berlaku di Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, disingkat dengan KTSP. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikemukakan oleh pusat kurikulum Balitbang Depdiknas (2006: 377) yang menyatakan bahwa mata pelajaran IPA di SMP bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2) Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, konsep dan prinsip IPA yang bermanfaat; 3) Mengembangkan sikap positif dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat; 4) Melakukan inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah; 5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan; 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan keteraturannya, dan; 7) Meningkatkan pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Berkaitan dengan mata pelajaran fisika yang tergabung dalam rumpun IPA, KTSP menyatakan bahwa : Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk 1

2 memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitar. (Depdiknas, 2006:377). Sejalan dengan pernyataan diatas, Anita Lie (2007: 5) yang mengemukakan teori, penelitian dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa guru dan dosen sudah harus mengubah paradigma pengajaran, pendidik perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan beberapa pokok pikiran, yaitu: 1) Pengetahuan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa; 2) Siswa membangun pengetahuan secara aktif; 3) Pengajar perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa, dan 4) pendidik memerlukan interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa. Dari uraian di atas tampak bahwa penyelenggaraan pembelajaran fisika dalam KTSP diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk melatih kemampuan berpikir, penguasaan pengetahuan, konsep, prinsip fisika, dan keterampilan melalui pengembangan kompetensi yang dimiliki siswa, berdasarkan fakta-fakta dari suatu proses penemuan. Agar proses pembelajaran fisika dapat benar-benar berperan seperti demikian, maka penerapan pembelajaran IPA-Fisika di kelas menuntut keterlibatan siswa secara aktif dalam mengembangkan potensinya secara optimal. Namun, kenyataan di lapangan siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemukan masalah dalam kehidupan sehari-hari, hal ini menyebabkan hasil belajar IPA-Fisika siswa masih rendah. Bahkan tidak sedikit siswa yang kurang mampu mengkomunikasikan pengetahuan dan pengalamannya dalam memperoleh pengajaran di sekolah, akibat kurang adanya latihan dan dorongan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat.

3 Rendahnya hasil belajar IPA-Fisika juga terjadi di salah satu SMP di Kabupaten Bandung Barat. Hal ini sejalan dengan hasil studi pendahuluan pembelajaran fisika di SMP tersebut. Studi pendahuluan ini dibuktikan dengan surat keterangan telah melakukan studi pendahuluan nomor 421/654-SMP.3/2010 dan dapat dilihat pada lampiran G.3. Dalam studi pendahuluan yang telah dilakukan, teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, kuesioner, wawancara dengan guru mata pelajaran IPA dan studi dokumentasi. instrumen studi pendahuluan dapat dilihat pada lampiran A.1. Setelah dilakukan analisis terhadap data-data hasil studi pendahuluan tersebut diperoleh informasi sebagai berikut: 1. Dari hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas diperoleh informasi bahwa proses pembelajaran yang dilakukan di kelas lebih sering didominasi oleh guru. Guru lebih menekankan pada penyampaian materi pembelajaran secara utuh dengan sesekali melemparkan pertanyaan kepada siswa, namun hanya dua orang siswa yang berani untuk menjawab pertanyaan guru, kebanyak siswa yang lain hanya diam saja dan disela-sela guru menyampaikan materi guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya, namun hanya ada satu orang siswa yang bertanya, dan tidak terjadi diskusi sesama siswa. Berdasarkan data dan analisis data hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, peneliti menyimpulkan bahwa metode pembelajaran yang digunakan guru adalah metode ceramah, tanya jawab. Peneliti juga berpendapat bahwa pembelajaran kurang interaktif, karena selama pembelajaran jarang terjadi interaksi antara siswa

4 dengan guru. Hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dapat dilihat pada lampiran A.2.a dan A.3.a. 2. Dari hasil penyebaran angket diperoleh informasi: pertama, 54,1% siswa (responden) menyatakan bahwa pelajaran fisika banyak rumus. Kedua, 59,5% siswa (responden) menyatakan bahwa ketika pembejaran fisika mereka jarang bertanya. Ketiga, 51,4% siswa (responden) menyatakan bahwa ketika pembejaran fisika mereka jarang berdiskusi. Keempat, 59,5% siswa (response) menyatakan bahwa ketika pembejaran fisika mereka jarang mengemukakan pendapat. Dan kelima, 67,6% siswa (responden) menyatakan bahwa cara pembelajaran dikelas saat belajar fisika dengan metode ceramah. Berdasarkan data dan analisis data hasil angket, peneliti menyimpulkan bahwa selama pembelajaran kegiatan kooperatif siswa masih lemah dan keterampilan siswa dalam berkomunikasi lisan masih kurang. Selain itu juga mayoritas siswa menyatakan bahwa cara pembelajaran fisika yang sering dilakukan guru adalah metode ceramah. Hasil angket dan analisisnya dapat dilihat pada lampiran A.2.b dan A.3.b. 3. Dari hasil wawancara dengan guru diperoleh informasi bahwa hasil belajar siswa untuk mata pelajaran IPA-Fisika masih masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan perolehan nilai rata-rata ulangan harian IPA-Fisika salah satu kelas sebesar 59,17 dan sebanyak 51,3% dari keseluruhan siswa kelas VII yang ada di sekolah tersebut mendapatkan nilai ulangan harian IPA-Fisika di bawah KKM kompetensi dasar yang diujikan yaitu sebesar 60 (data nilai ulangan harian siswa

5 dapat dilihat pada lampiran A.4). Selain itu juga, dari hasil wawancara ini diperoleh informasi bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep-konsep fisika yang kebanyakan bersifat abstrak. Kendala guru untuk melakukan eksperimen atau demonstrasi adalah karena keterbatasan alat, waktu, biaya serta belum memiliki laboratorium sendiri. Berdasarkan data dan analisis data hasil wawancara dan dokumen, peneliti menyimpulkan bahwa hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA-Fisika di sekolah tersebut masih rendah. Peneliti menduga salah satu penyebab rendahnya hasil belajar siswa adalah proses pembelajaran yang belum tepat, dalam pembelajaran guru jarang melakukan eksperimen atau demontrasi. Hasil analisis wawancara dan dokumen nilai ulangan harian siswa dapat dilihat pada lampiran A.2.c., A.3.c, dan A.4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti beranggapan bahwa hasil belajar siswa rendah dan kegiatan kooperatif siswa lemah. Hal ini menjadi indikator rendahnya penguasaan konsep fisika dan kurangnya keterampilan berkomunikasi lisan siswa. rendahnya penguasaan konsep fisika dan kurangnya keterampilan berkomunikasi lisan siswa diduga karena proses pembelajaran yang dilaksanaan belum tepat. Kebanyakan metode yang digunakan guru dalam mengajar adalah ceramah dan tanya jawab, sehingga pembelajaran kurang interaktif. Mengacu pada data dan fakta hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, ada peluang untuk meneliti bagaimana meningkatkan penguasaan konsep fisika dan profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Salah satu alternatif yang diharapkan dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan

6 siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang memberikan ruang gerak yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan segala potensi serta keterampilan yang ada dalam dirinya. Saat ini telah banyak dikembangkan model pembelajaran yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran serta pengembangan kemampuan berpikir dan keterampilan siswa, salah satunya yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square. Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square merupakan salah satu teknik yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Dalam model pembelaran kooperatif tipe Think- Pair-Square, guru membagi kelompok secara heterogen yang beranggotakan empat orang dan menentukan pasangan diskusi, pemberian tugas yang sama kepada setiap siswa, siswa mengerjakan tugas secara individu (fase think), siswa berdiskusi dengan pasangan dalam kelompoknya (fase pair), selanjutnya kedua pasangan berdiskusi dalam satu kelompok (fase square) (Lie, 2007: 58). Dalam tahapan Think-Pair- Square, siswa akan lebih banyak berdiskusi, baik pada saat berpasangan, dalam kelompok berempat, maupun dalam diskusi kelas, sehingga akan lebih banyak ide yang dikeluarkan siswa dan akan lebih mudah untuk merekontruksi pengetahuannya. Dari setiap tahapan pada model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, diharapkan penguasaan konsep fisika siswa meningkat menjadi lebih baik dan siswa terdorong untuk aktif dalam diskusi dan pemecahan masalah secara bersama, sehingga dapat melatih keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Hal ini dikarenakan

7 proses pembelajaran memberikan peluang kepada siswa agar mau mengemukakan dan membahas suatu pandangan serta memiliki motivasi yang tinggi karena dorongan dan dukungan rekan sebaya. Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini diberi judul: Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika dan Mengetahui Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa SMP. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan pada penelitian ini adalah Bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa?. Agar penelitian lebih terarah, maka permasalahan diatas dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana peningkatan penguasaan kosep fisika siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think- Pair-Square? 2. Bagaimana profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think- Pair-Square? 3. Bagaimana efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa?

8 C. Batasan Masalah Untuk memfokuskan masalah yang akan di kaji, dalam penelitian ini dibatasi pada permasalahan: 1. Peningkatan penguasaan konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif menurut taksonomi Bloom yang hanya meliputi hafalan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), dan analisis (C4). Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep yang terjadi dilihat dari gain ternormalisasi hasil pretest dan posttest tiap pertemuan. 2. Profil keterampilan berkomunikasi lisan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prosentase keterampilan siswa dalam mengajukan pertanyaan, menyampaikan pendapat, menanggapi pendapat dan menyampaikan hasil diskusi kelompok dalam setiap pertemuan. 3. Efektivitas pembelajaran dalam penelitian ini adalah efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatan penguasaan konsep fisika siswa. Efektivitas pembelajaran ditunjukkan oleh skor rata-rata gain yang dinormalisasi hasil pretest dan posttest setiap pertemuan dengan kategori minimal sedang. D. Variabel Penelitian Variabel yang akan diteliti meliputi dua variabel, yaitu: 1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerapan pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square.

9 2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan. E. Definisi operasional 1. Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square merupakan model pembelajaran yang menggunakan kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4 orang yang dalam proses pembelajarannya dilakukan melalui 4 fase, yaitu fase pemberian masalah, fase Think (berpikir), fase Pair (berbagi berpasangan), dan fase Square (berempat) (Lie, 2007:58). Keterlaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square akan diukur dengan menggunakan lembar observasi terhadap kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran dilaksanakan. 2. Penguasaan konsep dimaksudkan sebagai tingkatan dimana seorang siswa tidak sekedar mengetahui konsep-konsep fisika, melainkan benar-benar memahaminya dengan baik, yang ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan, baik yang terkait dengan konsep itu sendiri maupun penerapannya dalam situasi baru. Penguasaan konsep yang dimaksud adalah kemampuan kognitif menurut taksonomi Bloom (Munaf, 2001: 68) yang dibatasi pada aspek hafalan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), dan analisis (C4). Penguasaan konsep akan diukur dengan pretest dan posttest setiap pertemuan. 3. Keterampilan berkomunikasi lisan yang dimaksud dalam penelitiann ini adalah kemampuan siswa dalam mengungkapkan satu gagasan, ide atau konsep fisika secara lisan yang dapat dilakukan dengan cara tanya-jawab, mengemukakan

10 pendapat dan melakukan presentasi. Keterampilan berkomunikasi lisan akan diukur dengan menggunakan lembar observasi yang memuat indikator-indikator. 4. Efektivitas pembelajaran yang dimaksud adalah efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatan penguasaan konsep fisika siswa. Efektivitas ditunjukkan oleh skor rata-rata gain yang dinormalisasi hasil pretest dan posttest setiap pertemuan. F. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Jika dijabarkan, maka tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui peningkatan penguasaan kosep fisika siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think- Pair-Square? 2. Untuk mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square? 3. Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa?

11 G. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di sebuah SMP yang berada di Kabupaten Bandung Barat tahun pelajaran 2010/2011, sedangkan sampelnya adalah sejumlah siswa di salah satu kelas dari keseluruhan populasi. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Arikunto, 2006: 139-140). Adapun pertimbangan yang dimaksud berkaitan dengan keterbatasan peneliti yang tidak bisa melakukan sampling secara acak di sekolah tempat penelitian, karena pihak sekolah tidak mengizinkan formasi kelas yang telah terbentuk diacakacak.