BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2016 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2016 sebesar Rp 354.084,- per kapita per bulan. Sementara garis kemiskinan pada sebesar Rp 335.886,- per kapita per bulan, atau garis kemiskinan mengalami kenaikan sekitar 5,42 persen. Bila dibandingkan kondisi ember yang sebesar Rp 347.721,- per kapita per bulan maka dalam kurun satu semester terjadi kenaikan sebesar 1,83 persen. Peran komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada 2016, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 71,25 persen. Jumlah penduduk miskin, yaitu penduduk yang konsumsinya berada di bawah garis kemiskinan, pada 2016 di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 494,94 ribu orang. Bila dibandingkan dengan keadaan yang jumlah penduduk miskinnya mencapai 550,23 ribu orang, maka selama satu tahun terjadi penurunan sebesar 55,29 ribu jiwa. Tingkat kemiskinan yaitu persentase penduduk miskin dari seluruh penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2016 sebesar 13,34 persen. Apabila dibandingkan dengan keadaan ember yang besarnya 13,16 persen berarti ada kenaikan sebesar 0,18 poin selama setengah tahun. Sedangkan bila dibandingkan dengan kondisi dengan persentase penduduk miskin sebesar 14,91 persen, terjadi penurunan sebesar 1,57 poin. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2) pada periode - 2016 mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati dari garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin menyempit. 1. Garis Kemiskinan - Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi kehidupan dimana terdapat sejumlah penduduk tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic needs) minimum dan mereka hidup di bawah tingkat kebutuhan minimum Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016 1
tersebut (Todaro dan Smith, 2007). Konsep yang dipakai BPS dalam mengukur kemiskinan juga berdasarkan kebutuhan dasar (basic needs approach). Nilai kebutuhan dasar minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK), yaitu batas minimum pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan non makanan, yang memisahkan seseorang tergolong miskin atau tidak. Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2016 adalah Rp 354.084,- per kapita per bulan. Jika dibandingkan dengan kondisi yang garis kemiskinannya sebesar Rp 335.886,- per kapita per bulan, terjadi kenaikan sebesar 5,42 persen dan jika dibandingkan dengan kondisi ember yang besarnya Rp 347.721,- per kapita per bulan, maka tampak adanya kenaikan garis kemiskinan sebesar 1,83 persen. Terjadinya peningkatan garis kemiskinan ini sejalan dengan terjadinya inflasi ke 2016 yang sebesar 3,69 persen, serta inflasi ember - 2016 sebesar 1,56 persen. Tabel 1. Garis Kemiskinan menurut Tipe Daerah 2016 Daerah/Tahun Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan) Makanan Bukan Makanan Total Perkotaan 238 042 109 745 347 787 248 320 110 150 359 470 2016 254 284 110 502 364 786 Perdesaan 236 342 75 907 312 249 241 725 82 662 324 386 2016 246 960 84 348 331 308 Kota+Desa 237 473 98 413 335 886 246 776 100 945 347 721 2016 252 284 101 800 354 084 Sumber: BPS, Susenas, ember, 2016 Bila dilihat komponen Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada sumbangan GKM terhadap GK sebesar 70,70 persen dan 71,25 persen pada 2016. Pada 2016 garis kemiskinan di daerah perkotaan sebesar Rp 364.786,- per kapita per bulan, mengalami kenaikan 4,89 persen dibanding keadaan yang sebesar Rp 347.787,- per kapita per bulan. Garis kemiskinan di daerah perdesaan pada 2016 sebesar Rp 331.308,- per kapita per bulan, mengalami kenaikan 6,10 persen dibanding keadaan yang mencapai Rp 312.249,- per kapita per bulan. Berdasarkan komoditas makanan, terdapat lima komoditas yang secara persentase memberikan kontribusi yang cukup besar pada garis kemiskinan makanan di perkotaan yaitu beras, 2 Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016
rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, dan mie instan. Lima komoditi makanan yang berpengaruh cukup besar terhadap garis kemiskinan di perdesaan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, dan gula pasir. Komoditi non makanan yang memberikan sumbangan besar pada garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan yaitu perumahan, bensin, dan listrik. Komoditi lainnya yang termasuk dalam posisi lima terbesar di perkotaan adalah pendidikan dan perlengkapan mandi, sedangkan di perdesaan adalah kayu bakar dan kesehatan. Tabel 2. Lima Kontribusi Terbesar Garis Kemiskinan menurut Tipe Daerah 2016 (Persen) Makanan Jenis Komoditi Perkotaan Jenis Komoditi Perdesaan Beras 26,57 Beras 32,89 Rokok kretek filter 10,79 Rokok kretek filter 6,88 Telur ayam ras 5,63 Telur ayam ras 5,25 Daging ayam ras 5,37 Daging ayam ras 5,01 Mie instan 3,88 Gula pasir 3,93 Non Makanan Perumahan 30,68 Perumahan 26,79 Bensin 13,43 Bensin 12,82 Pendidikan 8,53 Kayu bakar 7,42 Listrik 7,44 Listrik 5,74 Perlengkapan mandi 4,88 Kesehatan 5,52 Sumber: BPS, Susenas 2016 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta Jumlah penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode - 2016 mengalami fluktuasi. Pada periode - cenderung mengalami kenaikan dan turun kembali sampai periode. Jumlah penduduk miskin pada sebesar 562,70 ribu, dan pada bulan jumlah penduduk miskin naik menjadi 568,35 ribu. Sementara pada periode ember - mengalami fluktuasi. Perkembangan jumlah penduduk miskin seperti terlihat pada Gambar 1. Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016 3
Gambar 1. Jumlah Penduduk Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta - 2016 (dalam ribuan orang) 562,70 568,05 568,35 565,73 553,07 541,95 544,87 532,59 550,23 485,56 494,94 2016 Sumber: BPS, Susenas 2016 Penduduk miskin tersebar di perkotaan (60,15 persen) maupun perdesaan (39,85 persen). Jumlah penduduk miskin di perkotaan pada 2016 sebanyak 297,71 ribu orang, berkurang 31,94 ribu orang bila dibandingkan keadaan yang mencapai 329,65 ribu orang. Jumlah penduduk miskin di perdesaan pada 2016 sebanyak 197,23 ribu orang, mengalami penurunan sekitar 23,34 ribu dari keadaan yang jumlahnya mencapai 220,57 ribu orang (Tabel 3). 4 Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin menurut Tipe Daerah, - 2016 Daerah/Tahun Jumlah penduduk miskin (000) Persentase penduduk miskin Perkotaan ember 2016 Perdesaan ember 2016 Kota+Desa ember 2016 329,65 292,64 297,71 220,57 192,92 197,23 550,23 485,56 494,94 13,43 11,93 11,79 17,85 15,62 16,63 14,91 13,16 13,34 Sumber: BPS, Susenas, ember, dan 2016 3. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta Tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode - 2016 cenderung mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin pada sebesar 16,08 persen, turun menjadi 13,34 persen pada 2016. Perkembangan tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta 2016 17 16 15 16,08 16,14 16,05 15,88 15,43 15,03 15,00 14,55 14,91 14 13,16 13,34 13 12 Mar 2016 Sumber: BPS, Susenas - 2016 Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016 5
Tingkat kemiskinan di perkotaan lebih kecil daripada di perdesaan. Persentase penduduk miskin di perkotaan pada 2016 sebesar 11,79 persen mengalami penurunan 1,64 poin jika dibandingkan dengan keadaan yang besarnya mencapai 13,43 persen. Persentase penduduk miskin di perdesaan pada 2016 sebesar 16,63 persen, mengalami penurunan 1,22 poin jika dibandingkan dengan keadaan yang mencapai 17,85 persen. 4. Kualitas Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta Persoalan kemiskinan bukan hanya berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman/poverty gap index dan tingkat keparahan/poverty severity index dari kemiskinan. Artinya, selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan berkaitan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan itu. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada periode - 2016 sedikit mengalami penurunan. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 2,93 pada menjadi 2,30 pada 2016. Demikian pula Indeks keparahan kemiskinan turun dari 0,83 menjadi 0,59 pada periode yang sama (Tabel 4). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin menyempit. Tabel 4. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut Daerah, - 2016 Tahun Kota Desa Kota + Desa Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1 ) 2,55 3,70 2,93 ember 2,19 2,57 2,32 2016 1,78 3,41 2,30 Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2 ) 0,71 1,09 0,83 ember 0,60 0,68 0,63 2016 0,38 1,05 0,59 Sumber: BPS, Susenas, ember dan 2016 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada 2016 di perdesaan lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan 2016 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perdesaan mencapai 3,41 sementara di perkotaan mencapai 1,78. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di perdesaan 1,05 sementara di perkotaan mencapai 0,38. Ini berarti rata-rata pengeluaran konsumsi penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di perdesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Kesenjangan pengeluaran konsumsi antar penduduk miskin di perdesaan juga lebih lebar dibandingkan dengan di perkotaan. 6 Berita Resmi Statistik D.I. Yogyakarta No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016