BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak diundangkannya UUPA maka pengertian jual-beli tanah

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. menjadi komoditas dan faktor produksi yang dicari oleh manusia.

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Boedi Harsono, Hukum Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 560

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB 1 PENDAHULUAN. Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Djambatan, 2005), hal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini karena hampir sebagian besar aktivitas dan kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. yang satu ke orang lain.tanah sebagai benda yang bersifat permanen tetap, banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

Pendayagunaan tanah secara berlebihan serta ditambah pengaruh-pengaruh alam akan menyebabkan instabilitas kemampuan tanah. 1 Jumlah tanah yang statis

BAB I PENDAHULUAN. berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah disini bukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih.

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan segala aktifitasnya berada diatas tanah.

BAB I PENDAHULUAN. bisa digunakan manusia untuk dipakai sebagai usaha. Sedangkan hak atas

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya. Tujuan pembangunan itu dapat tercapai, bila sarana-sarana dasarnya

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi rakyat Indonesia guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

DALUWARSA PENGHAPUS HAK MILIK DALAM SENGKETA PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. Akta Tanah (PPAT) yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP)

KETIDAKHADIRAN SESEORANG DALAM JUAL BELI DAN BALIK NAMA HAK ATAS TANAH DALAM PEWARISAN (Studi Kasus Perdata No. 1142/Pdt.P/2012/P.N.

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. 1 Berdasarkan rumusan

TINJAUAN YURIDIS SURAT KUASA YANG TIDAK DAPAT DICABUT KEMBALI DALAM PRAKTEK PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. Tanah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat

: FUNGSI AKTA OTENTIK DALAM PERJANJIAN JUAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Peranan tanah bagi pemenuhan berbagai kebutuhan manusia akan terus

BAB I PENDAHULUAN. adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga, dipelihara, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris, bahwa tanah-tanah di

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai sarana utama dalam proses pembangunan. 1 Pembangunan. dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. hukum tentang tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai lahan untuk memperoleh pangan. untuk pertanian, maupun perkebunan untuk memperoleh penghasilan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. 2. Pewaris meninggalkan harta kekayaannya yang akan diterima oleh ahli

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

PELAKSANAAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DIHADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) (StudiKasus di Kantor PPAT Farida Ariyanti, SH) Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu

BAB I PENDAHULUAN. Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cet. 9, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 358.

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

KAJIAN TENTANG GUGATAN PERALIHAN DAN PENGUASAAN HAK. MILIK ATAS TANAH SECARA TIDAK SAH (Studi Kasus Putusan

PEROLEHAN TANAH DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA KECIL

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG

BAB I PENDAHULUAN. seperti jual beli, hibah, dan lain-lain yang menyebabkan adanya peralihan hak milik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Salah satu tujuan pembentukan UUPA adalah untuk memberikan

KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola perekonomian

BENTUK PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH WARGA NEGARA ASING AKIBAT PERCAMPURAN HARTA DALAM PERKAWINAN

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

BAB I PENDAHULUAN. besar. Oleh karena itu untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya. bagi kemakmuran dan kesejahteraan, bangsa Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan permukaan bumi yang memiliki dua dimensi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan

Upik Hamidah. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Peranan notaris..., Oki Triastuti, FH UI, 2009

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

PELAKSANAAN PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK UNTUK RUMAH TINGGAL DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUKOHARJO

Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Sertifikat ganda..., Joshua Octavianus, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai

: KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO.

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu : 1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer Yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindah-tangankan kepada orang lain atau ahliwarisnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (lebih lanjut disingkat dengan UUPA) terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu : a. Hak Milik atas tanah; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai 2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder Yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat sementara, karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan hakhak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu : a. Hak Gadai;

2 b. Hak Usaha Bagi Hasil; c. Hak Menumpang; d. Hak Menyewa atas Tanah Pertanian. 2 Peralihan hak atas tanah dapat terjadi dikarenakan: 1. Pewarisan tanpa wasiat Menurut hukum perdata, jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahliwarisnya. Peralihan tersebut kepada ahliwaris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahliwaris, berapa bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya, diatur oleh Hukum Waris almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan oleh Hukum Tanah. Hukum Tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahliwaris. Menurut ketentuan Pasal 61 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu enam bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. 2. Pemindahan hak Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya bisa dikarenakan : a. Jual-Beli, b. Tukar-menukar, c. Hibah, d. Pemberian menurut adat, 2 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 64.

3 e. Pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan f. Hibah-wasiat atau legaat Perbuatan-perbuatan tersebut, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat, hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemegang haknya meninggal dunia. Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah-wasiat, dilakukan oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan PPAT, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyisembunyi). Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau riil perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. Dengan demikian sifat jual-beli, yaitu tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara implisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahliwarisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum. Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya, untuk dicatat pada buku tanah dan sertipikat yang bersangkutan. Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada sertipikat haknya, diperoleh surat tanda bukti yang kuat. Karena administrasi pendaftaran tanah yang ada di kantor pertanahan Kabupaten/ kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan hanya yang memindahkan hak

4 dan ahliwarisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru. 3 Sebelum berlakunya UUPA, dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disingkat KUHPer, yang tertulis, dan ada yang diatur oleh Hukum Adat yang tidak tertulis. Menurut Pasal 1457 KUHPer, pengertian jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Oleh karena itu, pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah yang disebut penjual, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut pembeli. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Yang diperjualbelikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang disebut tanah-tanah hak barat, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom, Erfpacht, Opstal. Dengan dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun pada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun misalnya pembeli sudah membayar penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan kepadanya. Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkannya secara yuridis kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya. 4 Pada prakteknya, jual beli tanah tersebut biasanya disertai dengan adanya pemberian kuasa untuk mempermudah pengurusan pendaftaran jual beli tanah tersebut, yang pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan atas pemberian kuasa tersebut lebih dikenal dengan pemberian kuasa mutlak, yang sekarang ini telah dilarang penggunaannya berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah.. 3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. Cetakan ke-9. (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 329. 4 Ibid., hlm. 27.

5 Sebelumnya, sudah pernah dibahas tentang pemberian kuasa mutlak dalam tesisnya Ade Rosalina, mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum pada tahun 2008, dengan judul Tinjauan Yuridis Pemberian Kuasa Mutlak dalam Pemindahan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli. Dalam tesisnya, ia membahas tentang kedudukan hukum kuasa mutlak yang diberikan oleh pemegang hak atas tanah dalam rangka pemindahan hak atas tanahnya melalui jual beli dan perlindungan hukum yang diberikan terhadap pihak pembeli yang melakukan peralihan hak berdasarkan kuasa mutlak apabila akan melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut dalam menyelesaikan status hak atas tanahnya dengan dua contoh kasus yang telah mendapat putusan dari pengadilan, yaitu : 1. Kasus pemberian kuasa mutlak sebelum diberlakukannya instruksi menteri dalam negeri nomor 14 tahun 1982. Yaitu kasus yang telah mendapat Putusan Pengadilan negeri Jakarta Pusat nomor 439/Pdt.G/1984/PN.Jkt Pusat tgl 23 Mei 1985; Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta nomor 527/Pdt/1987/PT.DKI tanggal 22 oktober 1987; Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3176.K/Pdt/1988 tanggal 19 April 1990. 2. Kasus pemberian kuasa mutlak setelah diberlakukannya instruksi menteri dalam negeri nomor 14 tahun 1982. Yaitu kasus yang telah mendapat Putusan Pengadilan Negeri Malang nomor 161/Pdt.G/1991/PN.Malang tgl 22 Agustus 1992; Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya nomor 344/Pdt/1993/PT.Sby tanggal 13 Juni 1994; Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (dalam Kasasi) Nomor 3332.K/Pdt/1994 tanggal 18 Desember 1997; Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (dalam Peninjauan Kembali) Nomor 316.PK/Pdt/2000 tanggal 29 juni 2004. Selain Ade Rosalina, ada juga Indah Ayu Salianti dan Anastasia Adha Rizka, mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

6 Indonesia yang membahas tentang topik yang serupa. Indah Ayu Salianti dalam tesisnya yang berjudul Peranan PPAT dalam Peralihan Hak Atas Tanah dengan Adanya Kuasa Mutlak membahas tentang kedudukan hukum peralihan hak atas tanah dengan menggunakan kuasa mutlak sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997, perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah, serta peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan Anastasia Adha Rizka dalam tesisnya yang berjudul Pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam Kaitannya dengan Kuasa Mutlak di Kotamadya Bekasi Tahun 2002 (Studi Kasus Yayasan Yanatera) membahas tentang kekuatan hukum yang ditimbulkan oleh kuasa mutlak dalam perjanjian pengikatan jual beli, pelaksanaan pembuatan Akta Jual Beli berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli di Kotamadya Bekasi setelah diberlakukannya larangan penggunaan kuasa mutlak serta faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan pemberian kuasa. Pemberian kuasa sekarang ini semakin sering digunakan oleh anggota masyarakat karena kesibukkan mereka, namun masyarakat memerlukan pengetahuan hokum yang terakit dengan praktek pemberian kuasa. Penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai kuasa yang terdapat dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Penulis membatasi pada akibat hukum apabila si penerima kuasa meninggal dunia, apakah perjanjian pengikatan jual beli tersebut masih sah dan mengikat? Ataukah perlu dibuat perjanjian pengikatan yang baru? Penulis dalam kesempatan ini ingin membahas tentang kasus perdata dalam putusan perkara nomor 108/PDT.G/2005/ PN.JKT.UT, dan putusan pada tingkat banding atas perkara ini sebagaimana termuat pada putusan Pengadilan Tinggi nomor 27/PDT/2006/PT.DKI. Dalam kasus tersebut telah dilakukan perikatan jual beli yang dilakukan pada tanggal 6 Juni 1996 di hadapan Notaris Anasrul Jambi, S.H., Notaris di Jakarta antara Tuan Haji Amiruddin Kamaruddin dengan Tuan Suhendra Djajasuprato selaku kuasa dari PT. Asinusa Fajar Utama dengan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, Tuan Haji Amiruddin

7 Kamaruddin bertindak selaku kuasa berdasarkan kuasa yang dibuat secara di bawah tangan dan bermaterai cukup dari tujuh orang pemilik sembilan bidang tanah hak milik yang menjadi obyek perikatan jual beli, antara lain: 1. Tuan Dokter Mirsil Ilyas 2. Tuan Sadiyun Alibasah (Sadiun) 3. Tuan Kanapi (Kanafih) 4. Tuan Soehadi (Suhadi) 5. Tuan Sandiworo 6. Tuan Antonius Haryono (Harjono) 7. Perempuan Siti Binti Asmad (Pr. Siti Bin H. Asmad) Pada tanggal 14 Nopember 2000, Tuan Haji Amiruddin Kamaruddin meninggal dunia. Kemudian perikatan jual beli yang berdasarkan kuasa tersebut tetap dilanjutkan oleh para ahliwaris dari almarhum Tuan Haji Amiruddin Kamaruddin. Pihak calon pembeli kemudian wanprestasi dan tidak menghiraukan teguran yang telah dilakukan ahli waris almarhum Tuan Haji Amiruddin Kamaruddin sehingga mereka menuntut pembatalan perikatan jual beli tersebut. Dalam kasus tersebut, setelah penerima kuasa meninggal dunia, salah satu ahliwaris dari penerima kuasa yaitu Yetty Sulastri (Penggugat) membuat Akta Kuasa Untuk Menjual dengan ke-tujuh pemberi kuasa yang merupakan pemilik dari ke-sembilan bidang tanah tersebut, antara lain : 1. Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor 08, tanggal 14 November 2003, yang 2. Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor 09, tanggal 14 November 2003, yang 3. Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor 10, tanggal 14 November 2003, yang 4. Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor 11, tanggal 14 November 2003, yang

8 5. Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor 13, tanggal 14 November 2003, yang 6. Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor 14, tanggal 14 November 2003, yang 7. Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor 4, tanggal 10 Januari 2004, yang dibuat di hadapan Afifah, S.H., Notaris di Sukoharjo. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengangkat beberapa pokok permasalahan, yaitu : 1. Bagaimana kekuatan hukum atas kuasa yang terdapat dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah apabila penerima kuasa yang mewakili pihak penjual meninggal dunia? 2. Apakah Akta Kuasa Untuk Menjual yang kemudian dibuat oleh pemberi kuasa kepada ahliwaris penerima kuasa mempunyai kekuatan hukum? 3. Apakah perjanjian pengikatan jual beli dalam kasus tersebut tetap berlaku setelah penerima kuasanya yang mewakili pihak penjual meninggal dunia? C. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, perbandingan hokum dan sejarah hukum. Penelitian ini dilakukan

9 dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 5 Tipologi Penelitian yang akan membantu peneliti dalam kegiatan pengumpulan dan analisa data dalam penelitian ini adalah gabungan dari penelitian eksplanatoris dan penelitian evaluatif. Tujuan penelitian eksplanatoris adalah menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala. Sedangkan dalam penelitian evaluatif, seorang peneliti memberikan penilaian atas kegiatan atau program yang telah dilaksanakan. 6 Dengan menggunakan tipologi penelitian tersebut diharapkan dapat membantu peneliti memberikan analisis yang mendalam terhadap permasalahan yang dipaparkan dalam penelitan ini, dan dapat memberikan penilaian atas kegiatan yang telah dilaksanakan. Sejalan dengan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti, maka jenis data yang digunakan adalah data sekunder melalui penelitian kepustakaan. Data sekunder dalam penelitian ini berupa : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, sebagai landasan hukum dalam menganalisis permasalahan tersebut. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya. Bahan hukum sekunder digunakan sebagai landasan teoritis dalam menganalisis permasalahan yang ada. Dalam memperoleh bahan hukum sekunder, peneliti menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Dalam memperoleh bahan ini, peneliti menggunakan kamus bahasa Indonesia untuk mencari pengertian-pengertian yang belum ada dalam Undang-Undang. 7 Sedangkan alat pengumpulan datanya adalah dengan cara studi dokumen 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 13. 6 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum, 2005), hlm.4. 7 Ibid., hlm. 30.

10 dan wawancara dengan narasumber yang ahli dalam bidangnya, yaitu Bapak Rahmat S.S. Soemadipradja S.H., L.LM., Advokat, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang permasalahan yang akan dianalisis. Metode analisis yang akan digunakan adalah metode analisis kualitatif, karena analisis yang diharapkan adalah untuk memahami hasil dari data yang terkumpul, dimana data yang berasal dari hasil identifikasi masalah akan dianalisis berdasarkan konsepsi yang tersedia di bidang Hukum Perdata dan Hukum Tanah Nasional terutama jika dikaitkan dengan sumber hukum positif terkait. D. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini dibagi menjadi tiga bab. Secara garis besar dari setiap bab diuraikan sebagai berikut : Bab I : PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang permasalahan yang mendasari tesis ini, pokok permasalahan yang akan dibahas, metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini, serta sistematika penulisan penelitian ini. Bab II : KUASA DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI HAK ATAS TANAH Pada bab ini, peneliti akan menganalisis mengenai permasalahan yang ada dengan menggunakan teori-teori yang mendukung seperti, perjanjian, jual beli tanah, kuasa, berakhirnya pemberian kuasa, serta wawancara dengan Advokat, Bapak Rahmat S.S. Soemadipradja, S.H., L.LM. Bab III : PENUTUP Bab ini berisi simpulan dari pokok permasalahan yang telah dibahas serta saran yang dianggap perlu bagi pihak yang terkait.