ASPEK GEOHIDROLOGI DALAM PENENTUAN LOKASI TAPAK TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH (TPA)

dokumen-dokumen yang mirip
Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

TATA CARA PEMILIHAN LOKASI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH SNI

DAFTAR ISI. Halaman. Daftar Isi... BAB I DESKRIPSI Maksud dan Tujuan Ruang Lingkup Pengertian... 1

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

BAB III METODOLOGI. 3.1 Prinsip Pemilihan TPA

BAB III METODE PENELITIAN. ditentukan sesuai dengan SNI nomor :1994 yang dianalisis dengan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

BAB IV DISAIN DAN REKOMENDASI TPA SANITARY LANDFILL KABUPATEN KOTA

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

OP-014 STUDI KELAYAKAN LOKASI TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) SAMPAH KABUPATEN PADANG PARIAMAN

Penentuan Lokasi Terpilih Tempat Pembuangan Akhir Sampah di Kota Jambi Selected Location Determination of landfill in the City of Jambi

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

KESESUAIAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DENGAN LINGKUNGAN DI DESA KALITIRTO YOGYAKARTA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN I-1

PEMILIHAN LOKASI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH KABUPATEN BANGKALAN DENGAN BANTUAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG UNTUK PENGELOLAAN PERSAMPAHAN. Oleh : A Hermanto Dardak Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum

Penentuan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Kota Prabumulih Determining The Location of Landfill (TPA) Kota Prabumulih

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

BAB I PENDAHULUAN. lereng, hidrologi dan hidrogeologi perlu dilakukan untuk mendapatkan desain

BAB I PENDAHULUAN. Besarnya jumlah penduduk Indonesia diikuti oleh tingkat pertumbuhan

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I-1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persentasi uap air di udara semakin banyak uap air dapat diserap udara.

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. gas/uap. Maka dari itu, bumi merupaka satu-satunya planet dalam Tata Surya. yang memiliki kehidupan (Kodoatie, 2012).

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENENTUAN LOKASI TEMPAT PENGOLAHAN AKHIR (TPA) SAMPAH KOTA BANJARBARU MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) Andy Mizwar

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

19 Oktober Ema Umilia

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENENTUAN LOKASI TEMPAT PENGOLAHAN AKHIR (TPA) SAMPAH KOTA BANJARBARU MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN]

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam

4/12/2009. Water Related Problems?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Limbah padat atau sampah padat merupakan salah satu bentuk limbah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM. Penataan Ruang. Kawasan Sekitar, Sampah. Pedoman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

Transkripsi:

J. Hidrosfir Indonesia Vol. 3 No. 1 Hal. 1-6 Jakarta, April 2008 I SSN 1907-1043 ASPEK GEOHIDROLOGI DALAM PENENTUAN LOKASI TAPAK TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH (TPA) Mardi Wibowo Peneliti Geologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Abstract Final Waste Disposal Facilities (FWDF) often pollute the environment, especially in city that have limited area. Groundwater pollution is one of negative impact that is caused FWDF. For minimized the environmental pollution, FWDF should located at area that geologically appropriate. Regional feasibility analysis for FWDF especially from geohydrological aspect is the best first selection step for determine location of FWDF. Geohydrologival aspect include lithology, groundwater water table, slope, rainfall intensity, distance to river, distance to shoreline, distance to fault, volcano eruption, flood and conservation zone. Key words : geohydrology, final disposal facilities 1. LATAR BELAKANG Sampah sampai saat ini merupakan masalah yang serius bagi kita, terutama masyarakat yang tinggal di perkotaan. Hal ini menjadi masalah lingkungan yang komplek dan cenderung meningkat, manakala jumlah penduduk semakin bertambah seiring dengan lajunya pembangunan dan perekonomian suatu wilayah. Persoalan ini menjadi dilematis karena pada dasarnya semua usaha dan kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, demikian halnya dengan sampah yang merupakan konsekuensi logis dari suatu kegiatan manusia sebagai makhluk hidup. Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar. Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang kian mendesak di kota-kota di Indonesia, sebab apabila tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan sehingga dapat mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air dan udara. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut diperlukan penanganan dan pengendalian terhadap sampah. Penanganan dan pengendalian akan menjadi semakin kompleks dan rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun komposisi dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Oleh karena itu penanganan sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding Aspek Geohidrologi...J. Hidrosfir Indonesia Vol. 3(1) : 1-6 1

sampah di desa-desa. Masalah yang sering muncul dalam penanganan sampah kota adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan semakin sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan. Sebagai akibat biaya operasional yang tinggi, kebanyakan kota-kota di Indonesia hanya mampu mengumpulkan dan membuang 60% dari seluruh produksi sampahnya. Sementara disisi lain sampah juga dapat menimbulkan dampak negatif bila tidak dikelola dengan tepat dan cermat guna memelihara dan meningkatkan mutu kesehatan lingkungan, khususnya lingkungan pemukiman. Permasalahan klasik dari penanganan sampah perkotaan di Indonesia adalah : - Rendahnya tingkat pelayanan kebersihan (kurang dari 50% sampah yang terangkut). - Masih bertumpunya pada paradigma lama 3P, yakni pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan, sehingga umur suatu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi sangat singkat. - TPA dikelola seadanya dengan cara open dumping tanpa ada monitoring bahan masuk, gas yang timbul maupun pengelolaan air lindi. Penempatan limbah domestik atau sampah perkotaan seringkali menimbulkan masalah lingkungan, terutama pada kota-kota yang cepat berkembang. Karena terbatasnya lahan yang layak untuk lokasi pembuangan sampah yang ada di sekitar perkotaan tersebut menyebabkan dampak negatip terhadap lingkungan. Pencemaran air tanah akibat adanya leachate merupakan salah satu dampak negatif dari kesalahan dalam menentukan lokasi pembuangan sampah. Untuk menghindari pencemaran lingkungan oleh buangan sampah, lokasi pembuangan sebaiknya diitempatkan pada kondisi geologi yang sesuai. Dalam lokasi yang sesuai tersebut maka pencemaran dapat dikurangi.. Analisis kelayakan regional lokasi tempat pembuangan akhir sampah (TPA) khususunya didasarkan pada aspek geohidrologi merupakan tahapan seleksi awal terbaik dalam perencanaan lokasi pembuangan sampah. Pada dasarnya analisis kelayakan regional akan menghasilkan empat zona kelayakan, yakni, zona tinggi, zona sedang, zona rendah dan zona tidak layak. Dalam beberapa tahun terakhir ini. kota-kota besar maupun kecil di Indonesia menghadapi masalah tempat pembuangan sampah yang tidak sedikit menimbulkan masalah lingkungan. Hal ini terjadi antara lain karena belum tersedianya data yang memadai mengenai lokasi yang sesuai untuk Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). 2. PENENTUAN LOKASI TPA BERDASARKAN SNI Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 03-3241-1994 yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ialah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah. TPA juga tempat untuk menyingkirkan atau mengarantina sampah kota sehingga aman. Persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota/ lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA (SNI nomor 03-3241-1994). TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut. Penentuan lokasi TPA disusun 2 Wibowo, M. 2008

berdasarkan tiga tahapan. Pertama, tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah.kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau tidak layak. Dari sisi kondisi geologi, tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak boleh di zona bahaya geologi. Dari sisi kondisi hidrogeologi, tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter, tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm/det, jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran, dan dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, maka harus diadakan masukan teknologi. Kemiringan zona harus kurang dari 20%, jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain, dan tidak boleh pada daerah lindung/ cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun. Kedua, kriteria penyisih, yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria iklim (intensitas hujan yang makin kecil dan arah angin dominan tidak menuju ke permukiman), utilitas (lebih lengkap), lingkungan biologis (habitat kurang variatif dan kurang menunjang kehidupan flora/fauna), kondisi tanah (tidak produktif, dapat menampung lahan lebih banyak, punya tanah penutup, status tanah bervariasi), demografi (kepadatangan penduduk rendah), kebisingan (banyak zona penyangga), batas administras (di dalam), estetika (tak terlihat dari luar), bau (banyak zona penyangga), dan ekonomi (biaya santunan kecil). Ketiga, kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku. Selain kriteria yang disebutkan di atas, terdapat pula kriteria khusus yang ditinjau dari segi geologi. 3. ASPEK GEOHIDROLOGI TPA SAMPAH a. Jenis Batuan Jenis batuan sangat berperan dalam mencegah atau mengurangi pencemaran air tanah dan air permukaan secara alami yang berasal dari leachate (air lindi). Tingkat peredaman sangat tergantung pada attenuation capacity (kemampuan peredaman) dari batuan. Attenuation capacity mencakup permeabilitas, daya filtrasi, pertukaran ion, absorbs, dan lainlain. Material batuan berbutir halus seperti batu lempung dan napal mempunyai daya peredaman yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan material besar atau kristalin. Batuan yang telah padu umumnya juga mempunyai daya peredaman yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batuan yang sifatnya masih lepas. Batu gamping dianggap tidak layak untuk menjadi TPA sampah karena batuan ini umumnya berongga. b. Muka Air Tanah Kedudukan muka air tanah merupakan parameter penting. Semakin dangkal muka air tanah, semakin mudah Aspek Geohidrologi...J. Hidrosfir Indonesia Vol. 3(1) : 1-6 3

pencemaran terjadi. Daerah dengan kedalaman muka air tanah kurang dan 3 meter dianggap tidak Iayak untuk menjadi TPA. c. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng berkaitan erat dengan kemudahan pekerjaan konstruksi dan operasional TPA sampah. Semakin terjal suatu daerah semakin sulit pekerjaan konstruksi dan pengoperasiannya. Daerah dengan kemiringan lereng > 20 % dianggap tidak layak untuk menjadi TPA. d. Curah Hujan Besarnya curah hujan berkaitan dengan tingkat kesulitan penyediaan sarana TPA sampah yaitu parit pembuang air larian. kolam pengumpul leachate dan oksidasi. Semakin tinggi curah hujan semakin tinggi pula tingkat kesulitannya. e. Jarak terhadap Sungai Jarak TPA sampah terhadap sungai ditetapkan 150 meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagi sempadan untuk pengelolaan sungai. Sungai yang diberi adalah sungai permanen. f. Jarak terhadap Patahan (Sesar) Jarak terhadap patahan ditetapkan 100 meter sebagai buffer tidak Iayak. Buffer TPA sampah berfungsi untuk mencegah terjadinya pengaruh patahan terhadap konstruksi TPA sampah karena zona patahan merupakan zona lemah sehingga tidak stabil jika terimbas rombakan gelombang gempa. Tidak dibedakan antara patahan aktif dan tidak aktif. g. Kerentanan terhadap Gerakan Tanah Daerah yang rentan terhadap gerakan tanah merupakan daerah yang tidak layak bagi lokasi TPA, karena akan menimbulkan bencana baik terhadap infrastrukturnya sendiri maupun memicu terjadinya penyebaran pencemaran. h. Erupsi Gunung Api Daerah bahaya erupsi gunung api dianggap tidak layak menjadi TPA sampah karena erupsi gunung api akan membahayakan operasinya. i. Banjir Daerah berbakat banjir atau rawan bajir dianggap tidak layak menjadi TPA sampah karena banjir dapat merusak sarana dan prasarana TPA sampah serta dapat menyebabkan pencemaran. Daerah yang layak untuk TPA sampah harus terbebas dari banjir 25 tahunan. j. Jarak terhadap Garis Pantai Jarak TPA sampah terhadap garis pantai ditetapkan 250 meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagai sempadan untuk pengelolaan pantai. k. Daerah Lindung Daerah lindung seperti hutan lindung, cagar alam, cagar budaya dan sebagainya yang ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai daerah yang tidak layak untuk menjadi TPA sampah. 4. ANALISIS PENENTUAN LOKASI TAPAK TPA SAMPAH Analisis tapak rinci dilakukan pada beberapa daerah yang direkomendasikan untuk menjadi alternatif TPA sampah baru dan evaluasi TPA yang telah ada. Untuk lokasi usulan dipilih pada lahan dengan kelas layak tinggi atau layak sedang pada peta kelayakan regional dengan memperhatikan parameter tambahan seperti tata guna lahan, aksesibilitas dan lain-lain. Analisis tapak rinci juga dilakukan terhadap beberapa TPA sampah yang masih aktif ataupun yang telah ditinggalkan dengan tujuan untuk menilai tingkat kelayakannya serta memberikan rekomendasi seperlunya. Analisis tapak rinci memerlukan informasi antara lain : 4 Wibowo, M. 2008

- Jarak dari sumber pencemar ke titik pemanfaatan sumber air - Kedalaman muka air tanah dari sumber pencemar - Gradien muka air tanah dari sumber pencemar - Permeabilitas dan sorption batuan dasar Untuk memperoleh informasi di atas memerlukan penelitian dan pekerjaan lapangan antara lain : - Pemboran tangan dangkal hingga mencapai kedalaman 10 meter - Pemboran teknik hingga kedalaman 30 meter - Pengujian infiltrasi - Analisis mekanika tanah - Analisis kualitas air Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak melakukan penyelidikan mengenai tingkat kelayakan regional dengan skala 1 : 50. Hal tersebut dilakukan pada beberapa kota di Indonesia dengan menggunakan metode pendekatan seperti yang telah dijelaskan di atas. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa ternyata hanya kira-kira 2% dari luas daerah yang diteliti mempunyai tingkat kelayakan baik untuk TPA, 2% mempunyai tingkat kelayakan sedang, dan 3% mempunyai tingkat kelayakan rendah, sedangkan sisanya (93%) tidak layak untuk TPA. Daerah dengan tingkat kelayakan baik bermakna bahwa TPA dapat dibangun dengan biaya dan rekayasa teknis minimal. Sedangkan daerah dengan tingkat kelayakan rendah bermakna bahwa TPA dapat dibangun dengan biaya dan rekayasa lebih tinggi. Kecilnya luas daerah yang layak untuk TPA mempunyai arti bahwa pemilihan lokasi TPA secara sembarangan dengan tidak memperhatikan pertimbangan parameter geologi lingkungan dan parameter Iainnya sangat berisiko tinggi. Terlebih jika TPA ternyata ditempatkan pada daerah yang tidak layak. Hal ini dapat menyebabkan biaya penanggulangan resiko menjadi lebih tinggi. Tersedianya informasi atau peta kelayakan untuk TPA sangat bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam perencanaan penataan ruang yang optimum dan berwawasan lingkungan. Biaya penyusunan peta kelayakan tersebut relatif murah jika dibandingkan dengan manfaat atau risiko yang ditimbulkan jika TPA ditempatkan pada daerah yang tidak layak. 5. PENUTUP a. TPA seringkali menimbulkan masalah lingkungan, terutama pada kota-kota yang cepat berkembang dan lahan yang terbatas. Pencemaran air tanah karena leachate merupakan salah satu dampak negatif dari kesalahan penentuan lokasi TPA sampah. b. Untuk menghindari pencemaran lingkungan oleh buangan sampah, lokasi pembuangan sebaiknya diitempatkan pada kondisi geologi yang sesuai. Analisis kelayakan regional lokasi tempat pembuangan akhir sampah (TPA) khususunya yang didasarkan pada aspek geohidrologi merupakan tahapan seleksi awal terbaik dalam perencanaan lokasi pembuangan sampah. c. Aspek-aspek geohidrologi yang perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi tapak TPA adalah jenis batuan, tinggi muka air tanah, kemiringan lereng, curah hujan, jarak terhadap sungai, jarak terhadap patahan, kerentanan terhadap gerakan tanah, erupsi gunung api, banjir, jarak terhadap sungai dan pantai, kawasan lindung. d. Pemilihan lokasi TPA secara sembarangan dengan tidak memperhatikan pertimbangan aspek geohidrologi dan parameter Iainnya sangat berisiko tinggi. Aspek Geohidrologi...J. Hidrosfir Indonesia Vol. 3(1) : 1-6 5

e. Tersedianya informasi atau peta kelayakan untuk TPA sangat bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam perencanaan penataan ruang yang optimum dan berwawasan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, 2003, Standard Nasional Indonesia SK. SNI. T-11-1991-03 2. Anonim, 2007, TPA Piyungan Ditinjau Dari Aspek Geologi Lingkungan, dalam website : www.pedulisampah.org/ index.php 3. Alwin, 2005, TPA Harus Penuhi Persyaratan Lingkungan dan Geologi, dalam website : www.dgtl.esdm.go.id/ modules.php.?=modload &name=news & file= article &sid=41 4. Tedy, 2005, Penataan TPA Leuwigajah, dalam website : www.dgtl.esdm.go.id/ modules.php.? op =modload &name=new file=article &sid=69&mode=thead&... 5. Wikantika K., dkk, Penginderaan Jauh dan SIG untuk Mencari Lokasi TPA, dalam website : www.turateaberita.blogspot.com/2006/02/ pengindraan-jauh-dan-sig-untukmencari.html 6. Noriko, N, 2003, Tinjauan Ekologis Tempat Pemusnahan Akhir Bantar Gebang, Bekasi, dalam website : http://tumoutou.net/6_sem2_023/ nita_noriko.htm 6 Wibowo, M. 2008