Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

1)I. PENDAHULUAN. Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus. berupaya untuk meningkatkan produksi pangan melalui peningkatan

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

KAJIAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK DAN USULAN PENYEMPURNAANNYA: Kasus di Tiga Propinsi di Jawa

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

EFEKTIVITAS DISTRIBUSI PUPUK BERSUBSIDI (Studi Kasus di Desa Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang) PENDAHULUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1<? TAHUN 2013 KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN BUPATI BENGKAYANG,

ANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output *

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

AGRITECH : Vol. XVIII No. 1Juni 2016: ISSN : ANALISIS TATA NIAGA PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN PURBALINGGA

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

Transkripsi:

20 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah Pendahuluan Sebagai salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang membutuhkan dukungan anggaran pemerintah yang amat besar, sudah semestinya subsidi pupuk dievaluasi dan disesuaikan agar senantiasa efektif dan efisien. Efektivitas subsidi pupuk dapat dipilah menjadi dua bagian : distribusi dan usahatani. Pada tingkat distribusi, efektivitas kebijakan berkenaan dengan kelancaran pasokan pupuk dari produsen hingga petani sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan pemerintah. Efektivitas ditingkat usahatani berkenaan dengan sejauh mana subsidi pupuk berdampak pada peningkatan produksi dan laba usahatani. Kajian ringkas ini difokuskan pada usahatani padi yang merupakan pengguna terbesar pupuk bersubsidi. Catatan ringkas ini masih berupa temuan sementara yang dipandang perlu segera diketahui oleh para pembuat kebijakan, khususnya pimpinan Departemen Pertanian. Efektivitas HET dan Distribusi Pupuk Bersubsidi Produksi padi di Indonesia mengikuti siklus musim, dimana panen raya dimulai pada bulan Februari sampai bulan April yang diperkirakan mencapai 42 persen dari total produksi padi nasional. Sisanya menyebar secara merata antara bulan Mei sampai bulan Desember (Gambar 1). Panen raya pada periode bulan Februari sampai bulan April merupakan produksi tanaman pada bulan Oktober sampai bulan Desember. Selanjutnya panen pada Mei sampai Oktober merupakan produksi tanaman pada Pebruari sampai Mei. Kasus di Jawa Timur menunjukkan pola demikian. Permintaan pupuk yang dicerminkan oleh volume penyaluran urea mengalami peningkatan sejak Oktober sampai Desember dan mengalami penurunan mulai pada bulan Januari sampai Mei (Gambar 2). Mengingat pola permintaan pupuk yang bersifat musiman, sedangkan produksi pupuk merata sepanjang tahun, maka pada bulan-bulan tertentu ketika permintaan pupuk meningkat melebihi kapasitas produksi akan menimbulkan kelangkaan yang akan mendorong spekulan distributor ataupun pengecer menaikkan pupuk di atas HET. Hasil pengamatan pada periode Januari sampai Maret 2006 menunjukkan bahwa harga beli petani di kios resmi 12,38 33,50 persen di atas HET (Tabel 1), dan dalam situasi normal pun (temuan lapang bulan Agustus 2005) tanpa ada isu langka pasok sekalipun, petani tetap membayar berkisar 6,7 18,1 persen di atas HET (Tabel 2). Penyebab harga pupuk yang dibayar petani di atas HET adalah : (a) Produsen kurang peduli terhadap penyaluran pupuk yang dilakukan oleh distributor dari Lini III ke Lini IV, sehingga banyak distributor hanya menjual DO (delivery order). Kasus di Jawa Barat, distributor menjual DO dengan keuntungan mencapai Rp. 65 per kg jauh di atas fee distributor Rp. 18,5 per kg, di Jawa Timur distributor bodong pada wilayah penyaluran PT. Pupuk Kalimantan Timur diperkirakan mencapai 30 persen. Kasus jual beli DO ini akan mengakibatkan kontrol dan pengawasan peredaran pupuk sulit dilakukan, dan dapat mengacaukan ketersediaan pupuk di suatu wilayah, seandainya DO tersebut dijual ke pengecer di luar wilayah kerjanya. Kondisi ini pada akhirnya akan mengakibatkan keterjaminan HET di pengecer akan terganggu, karena pengecer menebus pupuk di atas harga yang ditetapkan, (b) Gambaran akibat dari kejadian jual beli DO adalah pengecer resmi yang seharusnya menebus pupuk urea per kg ke distributor franko toko pengecer sebesar Rp. 1.020, akibat ulah distributor menjual DO meningkat menjadi Rp. 1.055 (kasus Jawa Barat), Rp. 1.050 (kasus Jawa Tengah) dan Rp. 1.045 (kasus Jawa Timur) (Tabel 1, 2 dan 3), (c) Selain distributor, pengecerpun berperilaku tidak benar dengan mengambil marjin harga jauh di atas ketentuan (tambahan keuntungan di luar fee untuk kasus Jawa Barat mencapai Rp. 135/kg; Jawa Tengah Rp. 100/kg; dan Jawa Timur Rp. 25/kg) (Tabel 1, 2 dan 3). Kondisi tersebut telah memberikan andil peningkatan harga pupuk bersubsidi yang seharusnya dibayar oleh petani (harga melampaui HET), (d) Kenaikan harga BBM yang menyebabkan kenaikan biaya distribusi dan adanya isu langka pasok yang terjadi pada awal tahun 2006 telah memicu kenaikan harga pupuk lebih tinggi dari tahun 2005 (Tabel 1), dan (e) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab utama harga pupuk

Analisis Kebijakan 21 bersubsidi yang dibayar petani di atas HET adalah (1) ulah distributor yang hanya menjual DO dan (2) ulah pengecer resmi yang mengambil marjin di atas ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini lebih disebabkan oleh marjin pengecer yang sudah tidak layak lagi; (3) kenaikan harga BBM yang mendorong peningkatan biaya distribusi sehingga biaya distribusi tidak layak lagi. Tiga hal tersebut dipicu oleh lemahnya kontrol produsen pupuk atas penyaluran pupuk dari Lini III ke Lini IV, padahal produsen tersebut yang bertanggungjawab atas terjaminnya HET di Lini IV juga menjadi penyebab harga pupuk di atas HET. Untuk mengatasi hal tersebut pada bulan Juni 2006, pemerintah menaikkan HET untuk urea dari Rp 1.050 menjadi Rp 1.200; ZA dari Rp 950 menjadi Rp 1.050; SP- 36 dari Rp 1.400 menjadi Rp 1.550; dan NPK dari Rp 1.600 mejadi Rp 1.750. Namun demikian, sampai saat ini kondisi harga pupuk di lapang memang masih di sekitar HET. Hal ini bisa dipahami karena saat ini belum musim tanam. Efektivitas Ditingkat Usahatani Intensitas Penggunaan Pupuk Efektivitas subsidi pupuk ditingkat usahatani ditentukan oleh dua aspek yaitu respon harga terhadap penggunaan pupuk dan respon pupuk terhadap hasil padi. Subsidi pupuk efektif bila intensitas penggunaan pupuk pada usahatani ditentukan oleh harga pupuk ditingkat petani dan intensitas penggunaan pupuk berpengaruh nyata terhadap hasil (produktivitas) usahatani. Berdasarkan fungsi respon penggunaan pupuk (Tabel 6 dan Tabel 7) ternyata bahwa intensitas penggunaan pupuk urea terutama ditentukan oleh harga gabah dan tren (keduanya positif). Harga pupuk urea tidak berpengaruh nyata terhadap penggunaan pupuk urea. Harga pupuk SP-36 berpengaruh nyata (negatif) terhadap penggunaan pupuk urea di Luar Pulau Jawa. Ini berarti, subsidi pupuk urea tidak efektif untuk mendorong peningkatan intensitas penggunaan pupuk urea. Intensitas penggunaan pupuk SP-36 di setiap wilayah dipengaruhi secara nyata oleh harga pupuk SP-36 (negatif) dan tren (positif). Harga gabah berpengaruh nyata terhadap penggunaan pupuk SP-36 di Jawa, sedangkan harga pupuk urea berpengaruh nyata di Sumatera. Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk (urea dan SP-36) terutama ditentukan oleh faktor non harga. Variabel tren yang nyata disetiap wilayah dan besarnya bervariasi menurut intensitas penggunaan merupakan bukti empiris dari dominannya faktor non harga tersebut. Subsidi harga pupuk, khususnya pupuk urea, tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas penggunaan pupuk urea. Namun, subsidi pupuk SP-36 masih berpengaruh nyata terhadap intensitas penggunaan pupuk SP-36. Insentif dukungan harga gabah lebih efektif daripada subsidi harga pupuk dalam mempengaruhi penggunaan pupuk. Respon Hasil Usahatani Hasil usahatani padi responsif terhadap intensitas penggunaan pupuk urea di semua pulau (Tabel 8). Intensitas penggunaan pupuk SP-36 berpengaruh nyata di Jawa dan Sulawesi, namun tidak nyata di Sumatera maupun di Indonesia. Secara agregat, penggunaan pupuk urea lebih esensial daripada SP-36 karena kebutuhan tanaman terhadap nitrogen lebih besar daripada terhadap fospor (P) dan ketersediaan hara P didalam tanah relatif cukup besar. Walaupun penggunaan pupuk SP-36 responsif terhadap harga, bila respon hasil terhadap penggunaan SP-36 rendah maka efektivitas subsidi pupuk SP-36 dalam meningkatkan hasil usahatani padi akan rendah pula. Berdasarkan hasil dugaan fungsi respon hasil, ternyata bahwa penggunaan pupuk urea dan SP-36 untuk memperoleh hasil maksimal praktis sama dengan untuk memperoleh hasil optimal pada tingkat harga dasar gabah (HDG) dan harga eceran pupuk tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah saat ini (Tabel 9). Hal ini berarti perbandingan HDG dan HET pupuk yang berlaku saat ini telah tepat dan sebaiknya tidak diubah.

22 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Hasil perhitungan yang ditampilkan pada Tabel 9 juga menunjukkan bahwa penggunaan pupuk urea maupun SP-36 tidak jauh melampaui tingkat penggunaan optimal maupun maksimal di semua lokasi. Penggunaan pupuk yang amat berlebihan tersebut ternyata tidak berdampak pada peningkatan hasil usahatani padi. Penggunaan pupuk sudah tidak efisien sehingga perlu dikurangi. Pada kondisi penggunaan pupuk yang sudah jauh dari tingkat optimal maupun maksimal, subsidi pupuk jelas tidak akan efektif untuk meningkatkan hasil usahatani padi. Pemberian subsidi pupuk mungkin berguna untuk mengurangi ongkos usahatani namun tidak bermanfaat dalam memacu peningkatan produksi maupun laba usahatani. Kesimpulan dan Saran Hasil pengamatan pada periode Januari sampai Maret 2006 menunjukkan bahwa harga beli petani untuk pupuk di kios resmi 12,38 33,50 persen di atas HET, dan dalam situasi normal pun (temuan lapang bulan Agustus 2005) tanpa ada isu langka pasok sekalipun, petani tetap membayar berkisar 6,7 18,1 persen di atas HET. Penyebab utama harga pupuk bersubsidi yang dibayar petani di atas HET adalah : (1) ulah distributor yang hanya menjual DO dan (2) ulah pengecer resmi yang mengambil marjin di atas ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini lebih disebabkan oleh marjin pengecer yang tidak layak lagi; (3) kenaikan harga BBM telah mendorong peningkatan biaya distribusi sehingga biaya distribusi tidak layak lagi. Tiga hal tersebut dipicu oleh lemahnya kontrol produsen pupuk atas penyaluran pupuk dari Lini III ke Lini IV, padahal produsen tersebut yang bertanggungjawab atas terjaminnya HET di Lini IV juga menjadi penyebab harga pupuk di atas HET. Intensitas penggunaan pupuk pada usahatani padi sudah jauh diatas ambang titik maksimalnya sehingga yang perlu dilakukan adalah menurunkannya, bukan meningkatkannya. Dalam kondisi demikian, pemberian subsidi pupuk tidak bermanfaat atau malah berpengaruh negatif terhadap produksi gabah nasional. Petani padi Indonesia telah pupuk minded sehingga yang paling menentukan penggunaan pupuk adalah ketersediaan pupuk dan harga jual gabah, bukan harga pupuk. Oleh karena itu, pilihan kebijakan yang lebih baik ialah menjamin pasokan pupuk dan harga gabah yang cukup memadai ditingkat petani. Pengurangan subsidi pupuk melalui peningkatan harga pupuk mungkin tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Perbandingan HDG dan HET pupuk saat ini telah tepat. Bila pemerintah suatu saaat meningkatkan HDG, maka HET pupuk sebaiknya ditingkatkan pula secara bersamaan. Dengan demikian, fenomena overintensifikasi penggunaan pupuk dapat diperlambat dan penumpukan beban anggaran subsidi pupuk dapat dikurangi. Hal ini disertai pula dengan penyuluhan untuk menerapkan dosis pemupukan spesifik lokasi sesuai dengan kandungan hara tanah. Tabel 1. Perbandingan Harga Pupuk di Tingkat Petani Dengan HET. Jenis Pupuk Bersubsidi HET 2006 (Rp/kg) Sulawesi Selatan Harga di Tingkat Petani (Rp/kg) Jawa Timur Rataan Harga di Bayar Petani Terhadap HET (%) Sulawesi Selatan Jawa Timur Rataan Urea 1.050 1.160 1.200 1.180 10,48 14,29 12,38 SP-36 1.400 1.455 1.700 1.578 3,93 21,43 12,68 ZA 950 1.273 1.100 1.187 34,00 15,79 24,89 NPK 1.600 2.272 2.000 2.136 42,00 25,00 33,50

Analisis Kebijakan 23 Tabel 2. Tingkat Harga Urea yang Berlaku di Masing Masing Penyalur (Rp/kg). No. Uraian Jabar Jateng Jatim 1 Harga di Lini III (GPP) *) 965 (100) 980 (100) 980 (100) 2 Harga di Tingkat Distributor**) 1.055 (103,4) 1.050 (102,9) 1.045 (102,5) 3 Harga di Tingkat Pengecer***) 1.240 (118,1) 1.200 (114,3) 1.120 (106,7) Keterangan : *) Harga referensi Rp. 980/kg. **) Harga referensi Rp. 1020/kg. ***) Harga referansi (HET) Rp. 1050/kg. Angka ( ) menunjukkan persentase terhadap harga referensi. Tabel 3. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengece(Lini IV) di Jawa Barat, Berdasarkan Harga Referensi, 2005 (Rp/kg). Distributor Pengecer Resmi No. Uraian Referensi Riil Referensi Riil 1 Harga Tebus 980 965 1,020 1,055 2 Fee 18.5 20 25 30 3 Biaya Transport, Bongkar muat, Gudang dan lainnya 22 40 5 20 Total Biaya 1,020 1,025 1,050 1,105 8 Harga Jual 1,020 1,055 1,050 1,240 9 Tambahan Keuntungan Diluar Fee Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk 2003-2005 - 30-135 Tabel 4. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengecer (Lini IV) di Jawa Tengah, Berdasarkan Harga Referensi, 2005 (Rp/kg). Distributor Pengecer Resmi No. Uraian Referensi Riil Referensi Riil 1 Harga Tebus 980 980 1,020 1,050 2 Fee 18.5 20 25 30 3 Biaya Transport, Bongkar Muat, Gudang dan lainnya 22 35 5 20 Total Biaya 1,020 1,035 1,050 1,100 8 Harga Jual 1,020 1,050 1,050 1,200 9 Tambahan Keuntungan Diluar Fee Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk 2003-2005. - 25-100

24 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Tabel 5. Kelayakan Usaha Perdagangan Pupuk di Tingkat Distributor dan Pengecer (Lini IV) di Jawa Timur, Berdasarkan Harga Referensi, 2005 (Rp/kg). Distributor Pengecer Resmi No. Uraian Referensi Riil Referensi Riil 1 Harga Tebus 980 980 1,020 1,045 2 Fee 18.5 20 25 30 3 Biaya Transport, Bongkar muat, Gudang dan lainnya 22 40 5 20 Total Biaya 1,020 1,040 1,050 1,095 8 Harga Jual 1,020 1,045 1,050 1,120 9 Tambahan Keuntungan Diluar Fee Keterangan : Referensi berdasarkan usulan subsidi pupuk 2003-2005. - 5-25 Tabel 6. Fungsi Respon Permintaan Pupuk Urea Pada Usahatani Padi Sawah Menurut Pulau. Harga Harga Harga Tren Wilayah Konstanta Gabah Urea SP-36 (Tahun) Sumatera 4,6663 0,2083 0,5841-0,8869 0,0581 0,8494 (0.0001) (0.1542) (0.2174) (0.0221) (0.0028) Jawa 5,0401 0,2723-0,3192 0,1243-0,0011 0,5415 (0.0001) (0.1542) (0.2174) (0.0221) (0.0028) Kalimantan 7,3225-0,2091 0,0202-0,7522 0,1855 0,6679 (0.0021) (0.6155) (0.9755) (0.1534) (0.0072) Sulawesi 4,5480 0,8734 0,3822-1,3840 0,0878 0,8833 (0.0001) (0.0020) (0.2119) (0.0001) (0.0001) Indonesia 4,9631 0,2489 0,0159-0,2459 0,0143 0,7124 (0.0001) (0.0191) (0.9504) (0.2213) (0.1098) Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan derajat nyata. R 2

Analisis Kebijakan 25 Tabel 7. Fungsi Respon Permintaan Pupuk SP-36 Pada Usahatani Padi Sawah Menurut Pulau. Wilayah Konstanta Harga Harga Harga Tren R2 Gabah Urea SP-36 (Tahun) Sumatera 4,9536 0,3073 1,3937-2,0371 0,1192 0,8881 (0.0002) (0.1596) (0.0592) (0.0015) (0.0002) Jawa 5,0364 0,3267 0,5265-1,0744 0,0783 0,8761 (0.0001) (0.0746) (0.1819) (0.0038) (0.0003) Kalimantan 6,6473-0,0008 0,6027-1,5846 0,2156 0,7030 (0.0077) (0.9988) (0.4132) (0.0124) (0.0051) Sulawesi 6,9025-0,0054 0,5901-1,4921 0,1717 0,7606 (0.0001) (0.9904) (0.3110) (0.0080) (0.0001) Indonesia 5,2411 0,1838 1,1319-1,6437 0,1011 0,8862 (0.0001) (0.3166) (0.0334) (0.0006) (0.0001) Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan derajat nyata. Tabel 8. Fungsi Respon Hasil Padi Terhadap Pupuk Menurut Pulau. Variabel Sumatera Jawa Sulawesi Indonesia Konstanta 27359 614932 11961 319216 (0,0003) (0,0001) (0,0001) (0,0001) Urea -656,48-7421,99-195,22-5205 (0,0016) (0,0001) (0,0064) (0,0001) Urea 2 5,63 29,68 1,788 28,71 (0,0031) (0,0001) (0,0047) (0,0001) Urea 3-0,0152-0,0391-0,0059-0,0529 (0,0045) (0,0001) (0,0011) (0,0001) SP-36 42,99 200,53-114,77-80,16 (0,2077) (0,0002) (0,0135) (0,3922) Urea * SP-36-0,3352-0,767 0,8531 0,4271 (0,2351) (0,0002) (0,0095) (0,3611) Tren (Tahun) 28,14 40,24 45,65 40,81 (0,0276) (0,0001) (0,0003) (0,0002) R 2 0,8932 0,9640 0,9190 0,9510 Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan peluang tidak nyata.

26 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Tabel 9. Penggunaan Urea dan SP-36 Untuk Hasil Padi Maksimal, Optimal dan Aktual Menurut Pulau (kg/ha). No. Uraian Sumatera Jawa Sulawesi Indonesia 1 Maksimal Urea 128 262 135 188 SP-36 107 103 40 42 Hasil 4.464 5.564 4.925 5.007 2 Optimal 1 Urea 127 261 135 189 SP-36 108 105 42 48 Hasil 1 4.462 5.565 4.926 5.008 3 Aktual 1998/1999 2 Urea 1 123 278 153 206 SP-36 1 63 112 28 82 Hasil 1 4.036 4.972 4.033 4.442 4 Hasil ARAM 2 2006 4.247 5.377 4.543 4.807 5 Aktual (Survei 2005-06) Urea 226 3 341 4 244 5 270 6 SP-36 167 3 60 4 81 5 103 6 Sumber : 1. Pada harga 2006, 2. Struktur Ongkos BPS, 3. Sumatera Utara, (PSEKP, 2006), 4. Jawa Timur (PSEKP, 2006), 5. Sulawesi Selatan (PSEKP, 2006), 6. Rata-rata Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan (PSEKP, 2006).

Analisis Kebijakan 27 Gambar 1. Pola Panen Padi, 2005 9000000 8000000 7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 Januari Maret Mei Juli Sept Nov Gambar 2. Grafik Rencana/Realisasi Pupuk Urea Subsidi 2006 Wilayah Kerja PT. Pupuk Kaltim di Jatim II s.d. 6 April 2006